al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Ba’alawy

al-Arifbillah Mawlana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’alawy, Ra’is Am (Ketua Umum) Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah, dari berbagai penjelasan beliau yang di muat dalam majalah al-Kisah pada rubrik konsultasi spiritual menjelaskan ;

 

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Doa para alim ulama dalam ziarah kubur pasti ada dasar-­dasarnya. Ketakutan seorang ulama itu kepada Allah (Swt) sangat tinggi. Jadi mereka tidak mau berbuat sesuatu yang mengada-ada, yang tidak ada dasarnya, yang mengundang pertanggungjawaban di hari Kemudian.

Contoh, mengambil sepotong ayat,

tA$s%ur ãNà6š/u‘ þ’ÎTqãã÷Š$# ó=ÉftGó™r& ö/ä3s9 4 ¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrçŽÉ9õ3tGó¡o„ ô`t㠒ÎAyŠ$t6Ïã tbqè=äzô‰u‹y™ tL©èygy_ šúï̍Åz#yŠ ÇÏÉÈ  

60. dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina".

(QS AI-Mukmin: 60).

 

Lalu bab perintah ziarah kubur dalam Hadist, "Dahulu aku melarang kamu ziarah kubur, sekarang berziarahlah." Namun banyak orang yang mamotong Hadist ini, dan tidak dilanjutkan, jadi bunyinya hanya, "Aku telah melarang kamu berziarah kubur." Kalau tidak dilanjutkan, akan mengundang pertanyaan. Karena, dalam uslub (tata Bahasa) dalam kali­mat yang didahului dengan kata kerja madhi' (past tense, kata kerja lampau), kalau kata kerja lampau itu diucapkan, selalu mengundang pertanyaan: Lalu sekarang bagaimana?

 

"Dulu aku melarang kamu berziarah kubur", mestinya orang bertanya, sekarang bagaimana. Di sini, Hadist itu diianjutkan oleh Rasulullah, "sekarang berziarahlah."

 

Tujuan orang berziarah, pertama, mengingatkan kembali kepada kita bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Kedua, mengingatkan kita, apa yang harus kita bawa (bekal) ketika keluar dari dunia yang fana ini. Ketiga, dzikr al-maut bertujuan untuk membangkitkan amal saleh, bukan untuk memupuk rasa takut mati, tapi takut kalau mati dalam keadaan yang buruk.

 

Berziarah kubur akan mendorong kita mengubah sikap serta amal yang tidak baik. Adapun doa-doa ziarah kubur, karena ada perintah dari Allah "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan", sangat luas. Kita bisa minta kepada Allah dengan perantaraan bacaan surah Al-Fatihah. Atau dengan lantaran bacaan Al-Qur'an yang lain. Dan pahala bacaan. Al-Qur'an itu kita hadiahkan kepada para ulama yang kita cintai.

Siapakah yang mengatakan doa seperti ini tidak sampai kepada Allah (Swt)? Kita tidak bisa mengklaim suatu doa itu sampai atau tidak kepada Allah, yang bisa mengetahui hanya Allah.

 

Apalagi tentang mendoakan orang lain, shalat lima waktu kita saja kita tidak tahu, apakah diterima Allah atau tidak. Itu hak Allah SWT. Jadi, perlu diingat, tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan para wali maupun ulama yang saleh akan menyimpang dari keteladan Nabi dan para sahabat.

 

Bacaan,"Salamullah ya sadah" merupakan bagian dari ajaran Rasulullah (saw). Rasulullah kalau berziarah kubur mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum, ya ahlul kubur, wal mukminin wal mukminat." Ada lagi Hadist, "Ya daril kaumul mukminin". Artinya, kalau Rasulullah memberikan salam kepada ahli kubur, berarti ahli kubur itu mendengar apa yang diucapkan Rasulullah. Bahkan telapak sandalnya saja mereka mendengar. Para ahli kubur mendengar setiap telapak kaki yang masuk ke kuburan. Apalagi orang membaca doa. Apalagi orang membaca AI-Qur'an. Apalagi orang membaca tahlil. Dari situlah, ungkapan "Assalamu'alaikum, ya darul mukminin" di dalamnya diteruskan oleh para alim ulama, "Salamullah, ya sadah minar-rahman yaghsyakum, ibadallah ji'nakum, qashadnakum thalabnakum". Itulah di antaranya luasnya doa ziarah kubur yang artinya, Semoga Allah memberikan keselamatan, wahai orang yang mulia, (keselamatan) dari Yang Maha Pengasih. Itu semua merupakan doa, permintaan kepada Allah Ta’ala, untuk siapa yang diziarahi, yaitu orang-orang yang dekat kepada Allah SWT.

 

Seperti kita mengucapkan kalimat "Assalamu'alaika ayyuhan nabiyyu warrahmatullahi wabaraktuh, assalamu'alaina wa'ala ‘ibadillahish-shalihin”.

 

"Assalamu'alaina" di sini memiliki arti yang luas. Sebab di sini lafalnya jamak. Namun secara terperinci sudah merangkum semuanya, dan diucapkan lagi oleh Baginda Nabi, karena cintanya Rasulullah kepada para salihin. Sedang di dalam kalimat tersebut, para salihin sudah termasuk di dalamnya. Seperti ketika shalat, kita senantiasa mengu­capkan "Ihdinash-shirathal mustaqim, atau "tunjukkanlah kami jalan yang lurus." Di sini lafal tersebut menggunakan kata "kami", bukan "saya", untuk menunjukkan bahwa subjeknya umat Islam secara umum.

 

Perlu diketahui, barakah itu mutlak milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ngalap berkah kepada orang-orang yang dekat kepada Allah (Swt), maksudnya ngalap berkah kepada orang-orang yang telah mendapatkan barakah dari Allah, sehingga hidupnya bermanfaat, banyak amalnya. Karena itulah, selain hidupnya barakah, ilmu yang diajarkan juga membawa barakah. Terbukti dengan banyaknya murid yang mengikuti jejaknya, dan murid itu pun mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, dan seterusnya.

 

Kalau berziarah kepada awliya, para wali, jangan lupa, yang utama adalah belajar mengoreksi diri atau introspeksi diri sendiri. Pertama, kita patut merenung tentang pemilik makam yang kita ziarahi. Meski sudah dikubur, beliau tetap mendapat kehormatan dari keluarga, para murid, serta umat Islam, dikunjungi dan didoakan. Kedua, kita harus ingat, ketika melihat makam tersebut, kita juga sadar bahwa nantinya kita pun akan menemui ajal, sebagaimana pemilik makam tersebut. Jadi, yang terpenting adalah, apakah kita sudah menyiapkan bekal untuk menuju alam akhirat. Dan, apakah bekal kita sudah cukup untuk menghadapi pertanyaan malaikat serta timbangan amal di akhirat nanti.

 

Ketika di makam itu, bacalah Al-Qur'an, dzikrullah, dan shalawat. Pahala-pahala bacaan itu semoga menjadi penyebab turunnya rahmat dari Allah (Swt). Diharapkan, pahala bacaan itu akan menambah pahala kepada orang yang diziarahi, dan nantinya akan mengalirkan pahala kepada yang menziarahinya. itulah di antaranya hikmah yang dapat kita petik dari ngalap berkah di makam para wali.

 

Berziarah akan membuat kita sadar betapa kehidupan di dunia ini tidak akan kekal. Semua yang bernyawa pasti akan kembali ke haribaan Allah. Ini yang disebut dzikrul maut, atau mengingat mati yang akan mempertebal iman dan mencegah diri dari maksiat.

 

Sedang berziarah ke makam awliya' adalah wujud kecintaan kita terhadap orang-orang yang alim, shalih, dan banyak berjasa dalam menegakkan dakwah.

 

Bagi yang meyakini, boleh-boleh saja berziarah wali dengan hitungan, seperti halnya membaca wirid dengan hitungan tertentu. Tetapi, tidak ada aturan bilangan dalam berziarah.

 

Lalu mengapa kita sebaiknya memper­banyak berziarah ke makam awliya; bukan makam orang Islam biasa atau masyarakat awam? Yang paling mudah jawabannya adalah agar kita bisa lebih mawas diri dan merasa malu kepada mereka, serta meng­amalkan, banyak keteladanan dari mereka.

 

Betapa tidak Para awliya' (kekasih Allah) yang sudah lama meninggal saja masih sangat dicintai Allah dan hamba-hamba-Nya, terbukti dari masih banyaknya orang yang mau men­ziarahinya. Bukan hanya itu, keberkahan Allah untuk sang wali juga terlihat dari ma­sih terus mengalirnya keberkahan kepada orang banyak yang tinggal atau berjualan di sekitar komplek pemakaman, misalnya.

 

Yang juga tak kalah menarik untuk di­ambil pelajaran adalah aktivitas peziarah. Begitu masuk kompleks makam, mereka langsung duduk dan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, dzikir, tahlil dan doa. Secara tidak langsung mereka yang sudah me­ninggal saja masih berdakwah atau meng­ajak banyak orang yang masih hidup untuk beribadah kepada Allah SWT.

 

Dari situ kita bisa merenungi diri bagai­mana dengan kita? Kita yang masih hidup berdakwah atau mengajak satu-dua orang lain untuk beribadah saja susahnya setengah mati.

 

Kita juga patut bertanya kepada kita sendiri akan seperti apakah keadaan kita kelak setelah meninggal dunia? Adakah orang yang mau beziarah ke makam kita dan mendoakan kita? Atau, lebih pedih lagi, jangan-jangan karena banyaknya dosa kita, sekedar mengingat nama kita pun orang-orang sudah tak mau lagi.

 

Sekali lagi, inilah fungsi utama berziarah. Dzikrul maut atau mengingat mati insya Allah akan mempertebal iman kita, serta menambah kecintaan kita kepada Allah, rasul-Nya, dan para awliya' kekasih-Nya. Berziarah kubur waliyullah dengan i'tiqad yang benar juga akan menambah kedalaman pengetahuan agama dan aqidah kita.

 

Rasu­lullah (saw) sering berdoa, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mutawatir, "Allahuma inni as'aluka bihaqqis­sa'ilin," atau artinya, “Ya Allah, aku mohon kepadamu dengan haknya orang-orang yang ahli meminta kepadamu. Ini termasuk kalimat tawassul.

 

Satuan Bahasa "Ihdina" (Tunjukkanlah kepada kami) juga bisa mengandung tawassul, karena kalimat itu tidak menun­jukkan satu orang, tetapi juga termasuk orang yang telah mati, orang yang sedang sakit, atau orang yang tengah sekarat. Kalau arti "lhdina" ini diperluas, ia bermakna "agar semua kaum muslimin yang telah meninggal mendapatkan jalan yang lurus (baik), sedang yang masih hidup men­dapatkan jalan kebaikan". Dalam kalimat yang didahului “ihdina" juga bisa termasuk kaum muslimin maupun muslimat, mukminin ataupun mukminat.

 

Pada zaman Nabi Musa, ketika terjadi peperangan, ada pengikut beliau yang bertawassul dengan Tabut (kotak wasiat). Di dalam tabut itu ternyata ada pakaian-pakaian para nabi zaman dahulu. Tabut tersebut bekas kotak penyimpanan barang-barang milik para nabi, seperti tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dan serpihan Taurat yang robek ketika diletakkan oleh Nabi Musa.

 

Setiap Bani Israel membawa tabut. Bani Isreal selalu memenangkan pertempuran dengan orang-orang yang memeranyi mereka. Inilah yang dipakai bangsa Israel untuk bertawassul.

 

Tawassul itu menunjukkan kerendahan hati seseorang. Ini dilakukan orang yang banyak amalnya tapi menganggap amalnya di sisi Allah masih kurang dan masih banyak dosanya. Tawassul itu mendidik kita menghilangkan sifat egois. Meski kita banyak amalnya, kita tetap menggandeng orang yang saleh di sisi-Nya. Bukan kita minta kepada or­ang tersebut, tetapi kita tetap minta kepada Allah dengan ditemani orang saleh itu.

 

Mari kita kembali kepada ajaran para ulama kita. Mengapa mereka menyandang sebutan "al-mukhlisun", or­ang-orang yang ikhlas? Mereka mampu mengamalkan perbuatan yang saleh tetapi tidak membanggakan diri bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan saleh, sebab apa yang mereka lakukan semata-mata karena anugerah Allah.

 

Kewajiban lainnya adalah mereka itu "abdullah", hamba Allah, sehingga semata-mata mengabdi kepada-Nya. Dari sinilah kita berangkat belajar ikhlas. Selanjutnya, kekurangan-­kekurangan yang ada dalam diri kita jangan sering kita lalaikan. Kita harus introspeksi atau muhasabbah. Semua itu yang menyempurnakan adalah Allah. Tanpa petunjuk dan fadhilah-Nya, apa yang dilakukan manusia tidak ada artinya.

 

Kita bisa memiliki sesuatu karena kita diberi oleh Allah. Karena itulah, apa yang kita miliki kita kembalikan kepada­Nya, sebagai Yang Maha Pemberi. Kita perbanyak menggapai pahala dari Allah, semata-mata karena sifat ikhlas kita kepada Allah.