Jalaludin Rumi

Mawlana Jalaludin Rumi

Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani

( Grandson of Mawlana Rumi )

“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan, Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.

Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.” 

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang

lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.

PENGARUH TABRIZ

Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.

Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.

Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar di perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari kota Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.

Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.

Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar) . Nama itu muncul karenapara penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

Konya, dahulu disebut Iconium, Conium, Conie, Konieh, Konia atau dalam bahasa Arabnya ‘Guniye’, adalah pengejewantahan dari Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi, apapun yang didengar, dilihat dan dirasa disana semuanya tertuang didalam bahasa kerinduan dan cinta Maulana yang misterius. Sebelum Attaturk di tahun 1925 menutup semua asrama darwis dan melarang semua kegiatan tarekat Maulawiyah, kota ini menjadi pusat ziarah bagi umat Islam, tidak saja bagi para pria, bahkan para wanita dari golongan bangsawan kelas atas ataupun wanita yang berprofesi kurang terhormat. Karomahnya tersebar ke pelosok-pelosok penjuru dunia yang terjauh dan terpencil sekalipun, banyak orang-orang dari agama lain pun berdatang kesini untuk memberikan penghormatan yang tinggi. Seseorang yang ingin bergabung dengan para darwis dari tarekat ini, harus melayani selama seribu satu hari, mulai dari tugas-tugas yang paling kasar, yang kemudian mempelajari penafsiran Matsnawi (kitab yang berisi puisi-puisi cantik karya Maulana), barulah syah hukumnya menjadi anggota persaudaraan para darwis. Terlalu banyak karomah-karomah yang disaksikan oleh murid-muridnya, juga oleh masyarakat Konya pada umumnya, namun salah satu yang membuat semua manusia dan jin tercengang tatkala orang-orang Mongol yang tadinya kejam dan bengis membantai masyarakat Islam berduyung-duyung memeluk agama Islam, agama yang hanif ini, agama yang telah disempurnakan dan diridhoi-Nya.

Orang-orang yang berjasa mengantarkan Maulana sampai pada derajat yang sedemikian tingginya, yang pertama adalah ayahnya sendiri, Syaikh Bahauddin Walad,qs., yang melimpahkan permata-permata ilmu kesufian sejak Maulana berada di dalam perut ibunda tercintanya tanpa Maulana sendiri menyadarinya. Khirkoh tarekatnya diperoleh dari gurunya yang bernama Imam Sarakhsi,qs., murid dari Syaikh al-Khatibi,qs., ayah kandung Syaikh Bahaudin Walad,qs. Tiga ratus orang alim di kota Balkh pernah mengalami mimpi yang sama berkenaan dengan ketinggian ilmunya, lalu dengan suara bulat para ulama memberikan gelar kepada Syaikh Bahauddin Walad,qs., sebagai 'Sulthan Al-Ulama atau Sultan Para Ulama', dan ada juga yang menyebutnya sebagai 'Mawlanayi Buzurg atau Tuan Besar.' Beliau secara terang-terangan menentang bid'ah-bid'ah raja dan pegawai tinggi istana, seraya mendesak agar kembali kepada ajaran Islam yang benar. Raja menawarkan kepadanya kekuasaan, namun ditolaknya. Sebelum meninggalkan Balkh beliau mengatakan bahwa : 'Akan datang orang-orang Mongol yang akan menghancurkan kerajaan.' Dalam safarnya, beliau singgah di Bagdad, disambut oleh Syaikh Agung Syahabuddin Umar Suhrawardi,qs., penulis Hikmah as-Israq karya yang menggemparkan dan fenomenal yang tidak bisa dimengerti oleh para ulama dzahiran. Beliau menolak berkunjung kepada khalifah Musta'zhim (dinasti Abassiyah pada waktu itu) serta menampik hadiah berupa tiga ribu mata uang emas kuno, namun beliau bersedia menyampaikan khutbah di Masjid Jami'. Dalam khutbahnya yang dihadiri oleh khalifah, beliau menegur gaya hidup khalifah yang tidak terpuji dan memperingatkan bahwa khalifah akan dibunuh oleh orang-orang Mongol dengan sangat keji dan kejam dikemudian hari. Sebelum meninggalkan Bagdad guna melaksankan ibadah haji di Makkah diterima berita bahwa Balkh sudah dikepung oleh tentara Mongol dibawah komando Jengiz Khan sendiri. Sebuah ungkapan ekstase terdapat didalam salah satu kitab karyanya : 'Pergilah ke pangkuan Tuhan, dan Tuhan merengkuhmu ke dada-Nya dan menciummu dan menampakkan diri-Nya hingga engkau tak mungkin melepaskan diri dari-Nya, melainkan manaruh segenap hatimu pada-Nya, siang dan malam.' 

Lalu yang kedua adalah Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., salah seorang murid Syaikh Bahauddin Walad.qs. Yang melakukan uzlah (menyendiri) di Tirmidz, yang kemudian selang beberapa lama ia mulai berceramah mengenai makna-makna pengetahuan. Di suatu pagi pada hari Jum'at 18 Rabi' Al-Tsani 628H, tiba-tiba ia memekik sedih dengan air mata bercucuran : 'Allah .. Allah .. Allah … Guruku telah meninggalkan dunia debu ini menuju tempat kesentosaan. Putra guruku, penggantinya, kini sendirian dan berkeinginan menemuiku. Aku harus pergi ke Konya untuk menjadi pelayannya, sekaligus untuk menyampaikan amanat guruku (ilmu kesufian).' Bersamaan dengan itu, semua penduduk di Konya mengalami duka yang dalam selama 40 hari, karena Sultan Para Ulama telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Setelah pertemuan dengan Maulana dan melakukan percakapan langit, beliau berkata kepada Maulana : “Seratus kali engkau mengungguli ayahmu dalam semua pengetahuan tentang sastra, sejarah, dan filsafat. Namun ayahmu adalah seorang akhli dalam misteri-misteri ekstase dan realitas. Sejak hari ini, aku menghendaki agar engkau juga menguasai pengetahuan itu, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi, wali, yang disebut dengan ilmu tentang ilham Ilahi, ilmu yang difirmankan Allah SWT : 'Kami telah mengajarinya sebuah ilmu dari Diri Kami.' Ilmu seperti inilah yang aku dapatkan dari ayahmu (guruku). Dapatkanlah ilmu itu dariku, sehingga engkau akan meneruskan kedudukan ayahmu dalam masalah-masalah ukhrawi maupun hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian engkau akan menjadi dirinya yang kedua.” Di usia yang ke 24, tahun 1231 secara resmi Maulana dituntun oleh beliau melewati segenap tangga latihan mistik yang telah dikembangkan selama empat abad yang lalu oleh para sufi terdahulu. Latihan ruhani ini berlangsung selama 9 tahun (1231-1240). Sehingga resmilah Maulana sebagai penerus rantai emas dari tarekat ini yang bermula dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., Hasan Basri,ra., Habib al Ajami,ra., Dawud Thai,ra., Syaikh Ma'ruf al Karkhi,ra., Imam Sirri as Saqoti,ra., Imam Junaid al Bagdadi,ra., Syaikh Abu Bakar as Syibli,ra., Syaikh Abu 'Amr Muhammad,ra., Syaikh Abu Bakar bin Abdullah artartusi,ra., Syaikh Abu Ahmad,ra., (putra Imam al Ghazali), Syaikh Al-Khatabi,ra., (kakek Maulana), Imam Sarakhsi,ra., Syaikh Bahaudin Walad,ra., (ayah Maulana), Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq al Tirmidzi,qs., Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,ra., Syaikh Sultan Walad,ra., (putra Maulana). Kemudian Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., memperkenalkan karya ayahnya, Ma'arif, dan kitab Hadiqat al-Haqiqah karya seorang penyair istana yang fasih di Ghazna bernama Sana'i.

Yang ketiga adalah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., yang mempunyai beberapa julukan : Sultan Pengemis, Misteri Allah dimuka bumi, Yang sempurna kata dan perbuatannya, Sultan pengembara. Beliau telah mengembara di belahan dunia guna mencari sahabat ruhnya, akhirnya pencarian itu berakhir di Konya pada hari Sabtu 28 Nopember 1244. Saat itu Maulana sebagai guru besar pada empat perguruan tinggi. Pada pertemuan pertamanya beliau mengajukan pertanyaan kepada Maulana, sebuah pertanyaan yang membuat Maulana jatuh pingsan : “Siapa yang lebih besar, yang pertama mengucap ‘Subhani – Mahasuci aku’ atau yang kedua mengucap ‘Aku tidak mengenal-Mu sebagai Engkau seharusnya dikenal.’” Simpang siur siapa sesungguhnya yang menjadi murid dan guru sudah terjadi sejak dahulu kala, karena kedua-duanya saling memanggil dengan sebutan ‘guru’, mereka begitu dekat dan tawadhu, serta santun dan saling menghormati diantara keduanya. Namun bila dilihat dari rantai emas atau silsilah tarekat Maulawiyah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs mendapatkan khirkoh dari Maulana. Sebuah riwayat mengatakan bahwa suatu ketika Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi menganjurkan Maulana untuk melakukan telaah terhadap “karya ayahnya terdahulu – ma’arif” dan dilarang berbicara dengan siapapun. Perintah ini dipatuhinya, ia bungkam dan mengunci dirinya di rubat. Murid-murid Maulana banyak yang tidak sependapat dan melakukan protes, karena kata-kata, pikiran-pikiran Maulana merupakan makanan dan minuman bagi murid-muridnya, sedangkan mereka itu selalu dalam keadaan lapar dan haus. Lalu setelah sekian lama, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs melarang Maulana untuk tidak mempelajari lagi tulisan-tulisan ayahnya, dan ini pun dipatuhinya. Namun disuatu hari Maulana di tegur : ‘Bagaimana kamu sampai berani mempelajari buku itu lagi ?’ Maulana menjawab : ‘Sejak engkau melarangku, aku tidak pernah lagi membuka karya-karya ayahku dan kitab-kitab itu sudah tidak ada padaku.’ ‘Ya’ jawab Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs, ‘ada belajar lewat membaca, dan ada juga belajar lewat perenungan, hentikan perenungan tentang karya-karya ayahmu itu.’ Sejak saat itu Maulana tidak lagi menyibukkan diri dengan karya-karya ayahnya baik melalui membaca atau perenungan selama Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs masih hidup. Lalu disuatu kesempatan Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dengan maksud menguji, meminta Maulana untuk memberikan hamba sahaya guna melayaninya. Maulana segera menjemput istrinya yang bernama Kira Khatun, yang amat cantik dan shaleh untuk dipersembahkan kepadanya. Melihat tindakan yang mengandung arti penolakan itu, beliau berkata : ‘Dia itu kan saudaraku yang paling kuhormati, yang aku inginkan adalah seorang muda usia untuk melayaniku.’ Lalu Maulana membawa putranya sendiri, Sultan Walad, yang menurutnya sangat tepat untuk melayaninya, lagi, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs keberatan dengan berkata : ‘Dia itu seperti putraku sendiri, tetapi barangkali, engkau mau memberiku anggur, aku sudah terbiasa meminumnya, dan sudah lama aku tidak meminumnya.’ Permintaan ini dipatuhinya, ia pergi ke daerah Yahudi dengan membawa sebuah kendi, dan kembali dengan kendi berisi penuh anggur, kemudian diletakkan dihadapannya. Tiba-tiba Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs. Memekik dengan kerasnya, bersimpuh di kaki Maulana, tenggelam dalam kekaguman melihat sikap kepatuhannya, kemudian berkata : ‘Demi kebenaran Yang Mahaawal, yang tidak berawal, Yang Mahaakhir, yang tidak berakhir, belum pernah ada, dari awal diciptakannya makhluk, dan tidak akan pernah ada, sampai akhir zaman, di alam semesta ini, seorang tuan dan guru, yang mempesonakkan hati dan menyerupai Rasulullah,saw., seperti engkau.’ Lalu dia menyatakan diri menjadi murid Maulana seraya berkata : ‘Aku telah menyaksikkan sepenuhnya ketabahan guru kami, kudapati kemuliaan dan kebesaran hatinya, benar-benar mengagumkan.’ Diriwayatkan bahwa Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dan Maulana mengunci diri selama enam bulan dalam ruangan di rubat, keduanya tidak makan daging dan tidak ada seorang pun diperbolehkan masuk dalam ruangan itu, kecuali Sultan Walad dan seorang murid lainnya. Keduanya tidak pergi meninggalkan ruangan sekejap pun, kecuali untuk melaksankan hukum syariat.

Yang keempat adalah Syaikh Salahuddin Zerkubi,qs., dari keluarga miskin, si penempa emas, bersama-sama dengan Maulana menjadi murid Sayyid Burhanudddin Muhaqqiq,qs. Maulana mengetahui bahwa gurunya menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya, karena kecerdasannya dan kegagahannya didalam riyadhah dan mujahadah. Karena itu, ketika Maulana khirkoh sebagai Syaikh, guru, atau mursyid, dan menjadi panutan di Konya, ia pun memperlakukan Syaikh Salahuddin dengan sangat baik seperti saudaranya sendiri. Setelah menghilangnya Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., beliau pun diangkat menjadi asisten tarekat Maulawiyah untuk mengajar murid-muridnya. Fathimah, putrinya menikah dengan Sultan Walad, putra tertua Maulana, maka lengkaplah persaudaraanya. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Maulana bersahabat dengan raja Seljukid yang bernama Alaeddin Kaykobad (w.1236). Untuk menghormati persahabatan itu, dibangun sebuah mesjid diatas bukit, Alauddin Hills, mesjidnya tampak luar biasa-biasa saja tanpa adanya hiasan apapun, namun didalamnya sangat mengagumkan, ornamennya sangat indah, mihrabnya sungguh menggetarkan hati. Persis seperti keadaan orang yang dicintainya, jasadnya seperti manusia kebanyakan namun keadaan ruhaniahnya sangatlah indah dan tinggi. Setelah Alaeddin wafat, kedudukannya digantikan oleh Gayasuddin Key-Khusraw. Suatu hari, raja berjalan di kebun anggur, dia memungut seekor ular kecil lalu memasukkannya kedalam kotak emas dan menguncinya, kemudian ia menyelenggarakan sayembara, agar siapapun diperkenankan menebak isi kotak tersebut. Sampailah berita ini kepada kaisar Rum, Konstaninopel dan berkata : ‘Jika agama Islammu itu keimanan sejati, maka seseorang dari orang-orang arifmu akan dapat mengetahui isinya tanpa merusak segelnya.’ Raja lalu menyuruh seluruh menteri dan pejabat istananya namun tidak ada satupun yang bisa memecahkannya, kemudian semua guru teologi di Anatolia pun tak sanggup dan hasilnya nihil. Akhirnya seorang pejabat istana menyampaikannya kepada Maulana, dan Maulana memerintahkan Syaikh Salahuddin untuk menjawabnya, dan beliau pun langsung berkata : ‘Bukan tindakan terpuji bagi raja memenjarakan seekor ular kecil didalam kotak emas, menyegelnya seolah-olah itu paket, dan kemudian berbohong kepada para pejabat tinggi istananya, para menterinya dan orang-orang alim. Namun seorang wali bukan saja mengetahui tipu daya murahan ini, tetapi juga mengetahui setiap pikiran dalam benak raja, dan juga segenap rahasia bumi dan langit.’ Ketika jawaban itu sampai kepada raja, dia langsung bergegas datang ke rubat dan menyatakan diri sebagai murid. Syaikh Salahuddin nenjadi asisten Maulana selama sepuluh tahun.

Yang kelima adalah Syaikh Husamuddin Shalabi,qs., penganut mahzab Imam Syafi’i beliau menjadi asisten Maulana setelah wafatnya Syaikh Salahuddin selama sepuluh tahun. Maulana dapat dengan baik membaca pikiran-pikiran muridnya itu dan berkata : ‘Tetaplah pada mahzab Imam Safi’i,ra., walaupun engkau ingin hijrah kedalam mahzab Imam abu Hanifah,ra., seperti mahzab yang aku anut, akan tetapi ajarkan kesemua orang doktrin cinta Ilahi, seperti yang aku ajarkan.’ Ketika masih muda ia bertemu dengan Syaikh Syamsuddin at Tabrizi,qs., yang berkata kepadanya : ‘Husam, ini bukan jalannya, agama adalah masalah uang, berilah aku sedikit, dan berikan pengabdianmu kepada Tuhan, semoga engkau termasuk dalam tarekat kami.’ Husam bergegas pulang ke rumah, mengumpulkan semua miliknya yang berharga dan uang, beserta permata-permata milik istrinya, dan semua bekal kebutuhan rumah tangga, lalu membawanya dan meletakkannya di kaki Syaikh. Selanjutnya dia menjual sebidang kebun anggur dan vilanya, menyerahkannya kepada syaikh seraya berterimakasih kepadanya karena telah mengajari tentang suatu kewajiban dan karena telah sudi menerima sedikit pemberiannya yang tidak berarti itu. Syaikh berkata : ‘Ya Husam, semoga dengan rahmat dan doa para wali, kamu akan mencapai maqom yang tinggi, sehingga hamba Allah yang paling sempurna merasa iri hati dan akhli-akhli ikhlas menunduk hormat. Memang wali-wali Allah tidak memerlukan apa-apa, tidak memerlukan dua dunia. Namun pada awalnya tidak ada cara lain untuk menguji keikhlasan orang yang kita cintai dan cinta kasih seorang sahabat, selain dengan menyuruh mengorbankan harta-harta duniawinya. Lalu menyuruhnya melepaskan segala yang bukan Tuhannya. Tidak ada murid yang ingin mencuat yang pernah membuat kemajuan dengan mengikuti cara-caranya sendiri. Kemajuan dapat dicapai melalui pengabdian dan pengorbanan di jalan Allah. Setiap murid yang mengorbankan miliknya demi memenuhi seruan gurunya, juga akan mengorbankan hidupnya, jika memang diperlukan. Tidak ada pecinta Allah yang dapat mempertahankan kekayaan di dunia dan agama secara bersama-sama.’ Syaikh kemudian menyerahkan kepada Husam segenap miliknya, menyisakan hanya satu keping perak. Dari awal sampai akhir dia memberikan kepada Husam sebanyak sembilan kali. Akibat dari segala sesuatu ada di tangan Allah, Husam pun akhirnya menjadi penguasa para wali Allah, dan Maulana menjadikannya penjaga perbendaharaan Allah. Dialah yang menulis 24.666 untai sajak dalam enam buku dari Matsnawi.

Minggu tanggal 6/6/672 H (17/12/1273), ruh suci itu kembali ke hadirat-Nya, setelah sekian lama Ia mengalami kemabukan yang hebat, menjadikan tubuhnya berputar bak sebuah poros bumi, seluruh anasir di alam semesta ini tersedot oleh putaran harmonis yang semakin lama semakin cepat, terbang bersama Maulana menghadiri perjamuan yang suci. Bagaimana bisa kematian yang ditakutkan oleh kebanyakan orang, justru ditunggu-tunggu olehnya, karena, katanya kematian bukanlah pemisahan, akan tetapi pembebasan bagi burung ruh. Sebelum wafat, beliau menghibur seluruh sahabatnya dengan berkata : “Bagiku, inilah saat pertemuan suka cita. Jangan katakan ‘selamat tinggal’ tatkala aku dimasukkan ke liang kubur. Disana adalah tirai bagi rahmat yang kekal.” Bukan saja semua murid-muridnya yang berduka, bahkan orang-orang kristen pun berkata “Ia adalah ‘Isa kami’” dan orang-orang Yahudi berkata “Ia adalah Musa kami’”, juga seekor kucing kesayangan Maulana meratap pilu dan menolak makan selama beberapa hari, yang akhirnya kucing itu pun mati sepekan kemudian. Oleh putri Maulana, kucing itu dikuburkan berdekatan dengan makamnya sebagai tanda hubungan yang mesra antara Maulana dengan segenap makhluk Tuhan.

Gandum tumbuh dari debunya, tungku terbuat dari tanah lempungnya, yang menyanyikan hymne-hymne estatik, cintanya pun menjadi api. Untuk menjadi roti, adonan gandum pun harus dibakar didalam tungku, dengan membawa-bawa rasa rindu, cinta dan takzim kepada Maulana, barokah akan turun yang menjadikan si pembuat roti tak kuasa membedakan antara roti dan dirinya. Tujuh ratus tiga puluh lima (735) tahun kemudian tepatnya 17/12/2008 Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) diiringi beberapa murid terkasihnya berziarah ke Konya, Turki, dahulunya sebagai pusat pemerintahan dinasti Seljuk, tempat dimana Tuan Syaikh Maulana Jalaludin Rumi dimakamkan. Ziarah kali ini sungguh istimewa, guna memenuhi undangan sebagai tamu agung dari sang Maulana, yang hadir didalam muroqobah Syaikhuna, yang dengan bahasa kecemburuan mengatakan : ‘Engkau ke Turki namun tidak menziarahiku.’ Nyaris di setiap pojok kota terlihat kata-kata yang puitis yang dipersembahkan teruntuk sang Maulana, seluruh unsur pemerintahan berbaur dengan masyarakat Konya dan negara lain hadir didalam perayaan itu. Semuanya menantikan tarian berputar yang magis itu, yang semasa beliau hidup sering terlihat di sepanjang jalan bersama dengan sahabat terkasihnya Salahuddin Zarkub yang dikenal pada masanya sebagai pandai emas, melakukan tarian berputar dalam keadaan ekstasi, setelah mendengar palu-palu si pandai emas, dengan nada yang aneh memasuki telinga beliau yang diberkati. Tarian berputar (Sema) ini menjadi tradisi dan ritual Tarekat Maulawiyah di Konya, Turky. Lalu di Indonesia, baru belakangan ini, tarian berputar ini sering terlihat diperagakan oleh kelompok tarekat Nasyabandi Haqqani. Padahal tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya justru melakukan ritualnya secara sirri (tersembunyi, halus), khususnya pada pelaksanaan dzikir-dzikirnya, dan tidak pernah ada ritual atau tradisi melakukan tarian sema ini.

WAFATNYA MAWLANA RUMI

Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan pahit.”

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar

Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan, “Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.

Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat Isya sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota Konya.

Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul daritarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.

Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah ke berbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.

Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukiskan dalam istilah-istilah yang menyenangkan. Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan. Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tuayang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik, gendang marawis dan seruling ney.

Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada putaran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”, kelahiran kedua.

Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup dan pembacaan ayat suci Al-Quran.

Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.

Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan Tariqah Mawlawi menyebar luas ke berbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.

Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengaruh di seluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian public. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.

Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.

Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus, Turki.

Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani

Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan menguman-dangkan azan pun tak diperbolehkan.

Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat parapejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran hukum.

Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa menghentikannya. Orang-orang harus mendengar panggilan azan untuk shalat.”

Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada Mawlana Syaikh Nazim.

Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian “Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural untuk para wisatawan.

Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak Ataturk melarang agama mereka.

Wa min Allah at Tawfiq

————————————-

Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan “AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.”

Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.

Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, “Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:

“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi.”

Besar dalam kembara

Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.

Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad.

Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari

Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun,

Bahaudin Walad meninggal dunia.

Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah

kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri.

Cinta adalah menari

Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!

Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.

Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.

Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar

mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.

Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.