Abdul Wahab asy-Sya'roni

Sayyidi Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’roni  

Makam Imam Abdul Wahab al-Sya'rani

Abu al-Mawahib Abdullah bin Ahmad bin Ali al-Ansari, terkenal dengan nama al-Sya’rani merupakan seorang yang alim, zuhud, faqih, muhaddith. Beliau berasal dari negara Mesir. Beliau bermazhab al-Asy’ari dari segi akidah dan mazhab asy-Syafie dari segi fiqh dan bertarikat asy-Syazili.

Nasab beliau

Nasab beliau dapat diketahui dengan melihat di dalam kitab beliau sendiri, Lataif al-Minan, beliau berkata : “Sesungguhnya aku, dengan memuji Allah Ta’ala, Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Zarfa bin Musa bin Sultan Ahmad bin Sultan Sa’id bin Sultan Fashin bin Sultan Mahya bin Sultan Zaufa bin Sultan Rabban bin Sultan Muhammad bin Musa bin Sayyid Muhammad bin al-Hanifah bin Imam Ali bin Abi Thalib.” 

Al-Imam Abu Mawahid, Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali an Anshariy Asy-Sya’roniy/Asy-Syarowiy, Asy-Syafi’iy, Asy-Syadzilliy .ra beliau lahir tahun 899 H/1478 M di kampung Saqiyah Abu Sya’rah, di daerah Manufi, Mesir, wafat pada tahun 973 H/1552 M  juga di Mesir.

‘Abdul Wahab al-Sya’roni (wafat 973H) . Pengarang kitab al-Mizan al-Kubro ini berasal dari salah satu keluarga besar Bani Alawiyyah (keturunan Nabi SAW). Tetapi, di saat terjadi ketegangan antara keturunan Bani ‘Alawiyah dengan Bani Umawiyah, keluarga besar Bani ‘Alawiyah yang merupakan keluarga besar Imam al-Sya’roni, berpindah ke Maghrib (Maroko); yang pada akhirnya Bani ‘Alawiyah mampu mendirikan sebuah kerajaan di sana. Dengan demikian, Imam al-Sya’roni mempunyai silsilah keturunan dari Muhammad bin al-Hanafiah bin ‘Ali bin Abi Tholib.

Menurut riwayat yang shahih, tokoh kita ini dilahirkan pada tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H, di sebuah pedesaan yang bernama Qalqasyandah (daerah selatan Mesir). Desa tersebut merupakan pedesaan datuknya dari jalur ibu. Tapi, setelah empat puluh hari dari hari kelahiranya, al-Sya’roni dibawa oleh sang ibu untuk pindah dari desa kelahiranya, menuju desa asal ayahandanya yaitu desa Abu Sya'roh di propinsi Manufiyyah, yang lambat laun dari desa tersebut Imam Sya’roni mendapatkan sebuah gelar; yaitu al- Sya’roni.

 Beliau bukan hanya seorang Ulama besar bermadzhab Syafi’iy dan Allah juga menganugerahkan kepadanya pangkat Wali Qutub Adzhom, Imamul Muhaqqiqin (Pemimpinnya ahli kebenaran) wa qudwatul ‘Ariifin (sumbernya orang-orang arifbillaah), Syekhul Futuh Pembuka kemusykilan kata-kata dan isyarah-isyarah para Auliya Allah, ahli tahqiq (hakekat) yang mendalam, rumit dan yang berat-berat. Beliau berthariqah Syadzilliyah juga Qadiriyah. Allah menganugerahkan pengetahuan ilmu para Auliya Agung terhimpun kepadanya, sehingga mampu menyingkap rahasia-rahasia Asrornya para Auliya Wali Allah.

Beliau Imam-nya dalam berbagai ilmu agama dan kurang lebih kitabnya sebanyak 53 dalam berbagai bidang ilmu. Paling banyak dan paling bermanfaat kitab-kitab susunan beliau, terutama yang menerangkan tentang para Auliya (Wali Allah). Diantara  kitab-kitabnya yang terkenal

1.    Lathoiful Minan al-Kubro, (manaqib Auliya’)

2.    Kasyful ghummah, (Hadist)

3.     Minahus Saniyah, (Petunjuk menjadi kekasih Allah,tasawuf)

4.    Wasiatul Musthafa. (Hadist wasiat Nabi SAW)

5.    Mizan As-Sya’rani al Kubra (Fiqh perbandingan empat Madzhab)

6.    Syarah Jamul Jawamil  ( Ushul Fiqh)

7.    As Sirajul munir  (Kumpulan Hadist yang bernilai gharib)

8.    Faraidul Qalaid fii Ilmil ‘Aqaid  (Ushuluddin)

9.    Mukhtasar Alfiyah Ibnu Malik (Nahwu)

10. Al-Qaulul Mubin Syekh Muhyiddin ( Penjelasan fatwa Syekh ibnu ‘Arabi dari kitab Futuhat Makkiyah)

11. Faathul Wahhab fi Fadlailil Aali wal Ash-shab (Keutamaan keluarga dan sahabat Nabi SAW)

12. Al-Ajwibatul Mardliyah (kumpulan Jawaban dari para Imam Fiqih dan ahli Shufi)

13. Al-Akhaqudz Dzakiyah wal Ulumul Laduniyah (Petunjuk Akhlak yang bersih dan ilmu Laduni)

 

Beliau menuturkan akhlaq dan menggunakan dasar rentetan dari guru-gurunya dan orang-orang yang sempurna sebelumnya. Kitab-kitabnya itu tujuan beliau agar kita mensyukuri nikmat dan agar bisa ditiru oleh kita semua kaum muslimin sehingga dapat dengan jalan yang cepat meraih ridho Allah dan Rasul-Nya menjadi seorang mukmin yang sejati. Berkata para ulama-ulama dan Auliya, kalau diantar kita siapa saja yang mau membacanya maka akan tahu kekosongan kita, kejelekan-kejelekan kita, dan kekeliruan-kekeliruan akhlaq kita dan pasti bisa mengatakan bahwa dirinya masih amat sangat jauh dibandingkan beliau-beliau para Auliya Kekasih Allah. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini kami memaparkan sedikit kehidupan beliau dan karyanya dengan harapan semoga mendapat barakahnya dan meningkatkan akhlaq, ibadah, keimanan serta kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya serta para Awliya-Nya, Allahumma Amin.

 

Imam Sya'roni dan dunia ibadah

 Pada usia yang masih sangat belia, al-Sya’roni telah ditinggal mati oleh ayahnya. Setelah itu Sya'roni kecil dirawat oleh seorang paman yang shalih dan ahli ibadah.

Sang paman yang shalih selalu membimbing kemenakannya untuk selalu hidup dalam keshalihan dan ketaatan kepada Tuhan. Dari hasil didikan seorang paman yang taat ini, bukan sesuatu yang mengherankan jika Imam Sya’roni semenjak kecilnya, merupakan seorang anak yang terkenal akan ibadah dan pengabdianya kepada Allah

. Semenjak usia delapan tahun, dia telah terbiasa melakukan shalat malam, dengan menenggelamkan diri dalam dzikir-dzikir yang mengagumkan. Keyatiman yang ia alami, tidak menjadikan dirinya berkembang sebagai anak yang hidup dalam keputus- asaan dengan tanpa harapan. Semenjak kecil, ia telah menyakini dalam hatinya yang paling dalam, bahwa Allah telah menjaganya dari sifat keberagamaan yang lemah, sebagaimana Allah selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela dan hina. Bahkan dalam hatinya, dia juga percaya bahwa Allah telah memberikan kepada dirinya kecerdasan yang bisa dijadikan pisau dalam memahami semua keilmuan dengan benar, yang sekaligus mampu memahami semua kerumitan- kerumitan yang ada.

 

Imam Sya'roni dan dunia kelimuan

 Dalam sejarah hidupnya, kecintaan Imam Sya’roni terhadap ilmu-ilmu agama, telah menjadikan dirinya melakukan perjalananan dari desa asalnya menuju Kairo. Ketika berada di Kairo, dia yang semenjak kecil dididik dengan keshalihan dan ketaatan, selalu menghabiskan waktu-waktu yang ia miliki dengan beribadah dan menelaah semua keilmuan. Dia telah menjadi semakin alim dan bertakwa. Waktu-waktunya hanya ia habiskan untuk beribadah dan belajar, di dalam sebuah masjid. Semenjak berada di Kairo, dia telah berhasil bertemu dengan para ulama-ulama besar; seperti Jalaluddin al-Syuyuthi, Zakaria al-Anshori, Nashirudin al-Laqoni dan al-Romli , yang guru-gurunya ini selalu ia kenang dalam beberapa tulisan kitabnya. Di Kairo, Imam agung ini mempelajari semua keilmuan yang ada pada zamanya. Dia selalu mempelajari semua keilmuan dengan semangat belajar yang luar biasa. Dia merupakan simbol dari seorang murid yang teladan dan rajin pada zamanya. Dia selalu mencari sebuah kebenaran di manapun ia berada. Dalam pandangannya, semua imam adalah contoh yang telah mendapatkan sebuah petunjuk dari Allah . Dia tidak melakukan sikap fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu mazhab, dan tidak tergesa-gesa dalam menilai sebuah ijtihad dari salah satu mazhab tertentu, kecuali setelah melakukan pengkajian yang matang dan mendetail. Dan, setelah ia menguasai beberapa disiplin ilmu yang ada pada zamanya, dia tidak berubah menjadi seorang yang sombong dan angkuh, tapi tetap menjadi seorang yang tawadhu’ dan rendah hati. As-Sya'roni sebagaimana ahli sufi lainnya, selalu menghindari perdebatan yang tidak ada gunanya di saat menuntut ilmu. Dia memahami betul bahwa berdebat hanya akan menjauhkan dirinya dari cahaya Tuhan.

  

As-Syaroni dan ‘Ali al-Khowwas

 Pertemuan antara al-Sya’roni dan al Khowwas, merupakan salah satu bukti betapa pentingnya seorang Syeikh dalam dunia para sufi. Al-Khowwas adalah seorang laki-laki yang telah diberikan Allah sebuah mauhibah dan keistimewaan, dalam menjalani badai kehidupan. Dia merupakan salah satu anugerah, yang pernah diberikan Allah kepada umat manusia dalam menuju sebuah hakikat. Al-Khowwas merupakan simbol kebenaran atas keberadaan ilmu Laduni dalam dunia sufi. Semenjak kecil Dia adalah seorang yang ummi (buta huruf), yang dalam setiap perkataannya selalu diwarnai dengan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Dia mampu mengambil sebuah istimbat dari dalil-dalil tersebut, dengan sangat menakjubkan dan mengherankan. Pertemuannya dengan al-Sya’roni , merupakan sebuah bukti dari keistimewaan seorang wali dengan ilmu laduninya, dengan seorang ‘alim yang belum mencapai derajat tersebut. Al-Khowwas adalah seorang ummi, sedang al-Sya’roni adalah seorang yang ‘alim. Tapi, itu semua hanya dalam penampakan lahir belaka. Pada hakikatnya al-Khowwas adalah seorang ‘alim sedang al-Sya’roni adalah seorang ummi. Ilmu al-Khowwas adalah ilmu mauhibah yang langsung diterima dari Allah , sedang ilmu al-Sya’roni adalah ilmu yang bersumber dari kitab-kitab bacaan yang hakikat ilmu tersebut menurut orang sufi bukan merupakan ilmu yang dimiliki secara hakiki, melainkan ilmu yang didapat melalui bacaan terhadap kitab. Al-Khowwas adalah seorang yang telah mengantarkan al-Sya’roni menuju dunia sufi yang sesunggungya. Dia telah mengantarkan al-Sya’roni mencapai derajat kewalian, dan mengajarkan tata cara mencapai sebuah ilmu laduni. Dalam beberapa kesempatan Al-Sya’roni mengisahkan bagaimana al-Khowwas telah memberikan pengajaran kepada dirinya dalam mencapai derajat tersebut. Yang pertama ia lakukan adalah menjual semua kitab yang ia miliki, dan menghabiskan semua hasil penjualan kepada fakir miskin. Pada awalnya, al-Sya’roni merasa berat menjalankan perintah sang guru, bahkan setelah melakukan semua perintah tersebut, al-Sya’roni merasa tidak enak hati dan terus memikirkan kitab-kitab yang telah ia jual. Ia merasa telah kehilangan semua ilmu yang selama ini ia tekuni. Tetapi, ketika al-Khowwas mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan kepada al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah

. Setelah mampu menanggulangi cobaan pertama ini, al-Khowwas menyuruhnya menghindari keramaian manusia (uzlah), hingga pada akhirnya al-Sya’roni merasa dirinya paling baik dibandingkan dengan yang lainya. Al-Khowwas kemudian menganjurkan kepada al-Sya’roni untuk terus melakukan mujahadah hingga ia akan merasakan bahwa dirinya lebih hina dari pada orang yang paling hina sekalipun. Setelah masa-masa tersebut, al-Khowas menyuruh al-Sya’roni untuk berbaur kembali dengan masyarakat ramai, dengan bersabar atas apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Al-Sya’roni ketika menjalankan hal tersebut merasakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tinggai derajatnya jika dibandingkan dengan orang lainya. Tetapi, seperti biasanya, al-Khowwas kemudian memerintahkan kepada dirinya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Al-Khowwas menyuruh al- Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah dalam semua waktu- waktunya. Ia tidak boleh memikirkan hal lain selain sang pencipta. Sehingga ia harus menjalani masa-masa itu selama berbulan-bulan. Dan bukan hanya itu saja, al- Khowwas kemudian menyuruh dirinya untuk menghindar dari nafsu makan. Makan hanya dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup belaka, sehingga al-Sya’roni ketika itu merasakan dirinya telah terbang ke atas. Mujahadah yang telah diajarkan al-Khowwas kepada al-Sya’roni telah menjadikan dirinya memiliki keilmuan yang tidak ia duga sebelumnya. Ia merasakan, bahwa ilmu yang telah ia miliki, mendapatkan pesaing dari ilmu mauhibah yang baru ia dapat. Ilmu yang baru ia dapat telah memberi penyempurnaan terhadap ilmu yang selama ini ia miliki. Hati al- Sya’roni telah dibuka oleh Allah , dan diberikan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh seorang sufi saja. Tetapi, walaupun al-Sya’roni telah mendapatkan ilmu laduni dari Allah , al-Khowwas yang dalam hal ini berperanan sebagai guru al-Sya’roni , membimbing kepada dirinya untuk terus melakukan berbagai macam mujahadah dalam rangka membersihkan hatinya dari belenggu duniawi. Sehingga pada akhirnya al-Sya’roni mampu mendapatkan berbagai macam ilham dan karomah yang telah diberikan langsung oleh Allah kepada dirinya.

Pengalaman Spiritual Pengarang Al-Mizan, Syekh Abdul Wahab Sya’rani

Syekh Abul Mawahib Asy-Sya’rani dalam kitabnya Al-Mizan mengungkapkan:

“Cara untuk meraih derajat kasyaf dalam memahami sumber syariat adalah melalui suluk dengan bimbingan seorang yang Arif dengan syarat seseorang itu harus menyerahkan dirinya, hartanya dan keluarganya kepada pembimbing yang arif tersebut dengan hati yang lapang.

Seandainya pembimbing yang Arif itu menyatakan kepadamu: ‘Ceraikan istrimu, atau lepaskan hartamu atau pekerjaanmu’, misalnya, kemudian Engkau membangkang, maka Engkau tidak akan sampai kepada derajat kasyaf meskipun Engkau beribadah selama 1.000 tahun dengan cara biasa.

Apakah ada syarat-syarat lain dalam menempuh suluk? Ya, ada. Di antaranya tidak boleh menyandang hadats walaupun sebentar baik siang maupun malam, tidak makan selama menjalani suluk kecuali kalau sudah dalam kondisi mendesak, tidak memakan makanan yang asalnya bernyawa, tidak makan melainkan jika telah mengalami awal-awal tanda bahaya, tidak memakan makanan pemberian orang lain yang tidak wara’ dalam memperolehnya, seperti orang yang diberi makan karena ia orang baik atau karena ia zuhud, atau orang yang berjual beli dengan petani atau aparat penguasa yang tidak wara’. Syarat lainnya adalah tidak lupa kepada mengingat Allah siang malam meskipun sekejap, bahkan mesti muraqabah setiap saat.

Kalau sudah demikian, maka seseorang suatu ketika akan mencapai derajat ihsan dalam arti seolah-eoalah ia melihat Tuhannya. Atau bisa pula mencpai derajat keyakinan sesudah ihsan, sehingga ia dapat melihat Tuhannya setiap saat dengan mata iman, bukan dengan mata kepala, karena melihat Tuhan dengan mata iman itu lebih menyucikan Allah SWT daripada seolah-olah meilhat Allah dengan mata kepala yang tentunya dibayangi dengan khayalnya, padahal Allah Suci dari segala apa yang terlintas di dalam hatimu.

Jika ada orang bertanya: ‘Bagaimana pengarang kitab (Al-Mizan) ini menempuh suluknya?’ Jawabannya adalah sebagai berikut:

Pertama-tama saya mendapatkan suluk dari Nabi Khidhir As melalui ilmu, iman dan Islam. Kemudian saya mendapatkannya dari Sayid Ali Al-Khawash, sehingga saya dapat memahami sumber syariat melalui rasa (dzauq), kasyaf, dan yakin tanpa ada rasa ragu, kemudian saya bermujahadah dengan amalan-amalan tertentu selama satu tahun. Lalu saya berkhalwat berada di atas tali yang saya gantungkan ke atap sehingga tubuh saya tidak menyentuh bumi. Terus saya berupaya benar-benar dalam bersikap wara’, sehingga saya pernah memakan zat-zat tanah dengan terpaksa apabila saya tidak menjumpai makanan yang sesuai dengan maqam saya dalam ketaqwaan. Saya pun pernah memakan semacam lemak di atas tanah yang mirip dengan lemak daging atau lemak samin atau lemak susu. Suluk semacam ini pernah ada yang menjalani sebelum saya, yakni Ibrahim bin Adham Ra. yang bertahan selama 20 hari hanya memakan zat-zat tanah ketika ia tidak menemukan makanan yang halal menurut maqamnya.

Begitu pula saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung-gedung istana penguasa. Tatkala Sultan al-Ghuri As-Sabath berkuasa yang saya pernah lewati di antara madrasah dan kubahnya yang biru, saya masuk melalui pasar Warraqin dan keluar lewat pasar minuman, jadi saya tidak lewat di bawah atau di sebelah gedung istana sultan. Gedung-gedung lain milik orang yang lalim dan penguasa serta aparatnya, hukumnya sama dengan gedung istana yang penuh dengan kelaliman tersebut.

Saya tidak memakan sesuatu kecuali saya teliti terlebih dahulu dengan betul kehalalannya, tidak langsung saya memakannya dengan berdasarkan adanya rukhshah, dan al-hamdulillah saya sampai saat ini tetap seperti itu. Dulu, saya meneliti kehalalan makanan dengan melihat siapa pemilik sebenarnya, tetapi sekarang saya bisa mengetahui halal, haram, dan syubhatnya makanan dengan melihat warnanya atau melalui baunya atau rasanya. Saya merasakan bau wangi kalau makanan itu halal. Saya merasakan bau busuk kalau makanan itu haram, dan saya merasakan busuk yang tidak sebusuk bau makanan haram kalau makanan itu syubhat. Kalau ada tanda-tanda tersebut maka saya tidak memakannya tanpa harus meneliti siapa pemiliknya yang sah. Segala puji milik Allah atas karunia yang demikian itu.

Setelah saya selesai dari perjalanan suluk itu, maka mata hati saya bisa melihat sumber syari’at, yang dari sumber syari’at itu muncul beberapa pendapat Ulama yang kesemuanya bersambung ke sumber itu. Saya bisa mengetahui bahwa semua pendapat tersebut berada di dalam lingkup syara’ yang murni, dan mata hati saya bisa membuktikan bahwa semua mujtahid itu benar dengan pembuktian secara kasyaf dan yakin, bukan sekedar sangkaan dan kira-kira. Mata hati sayapun bisa mengetahui bahwa tidak ada suatu madzhab yang lebih kuat daripada madzhab lain di dalam syari’at. Kalau ada 1000 orang yang membantah saya bahwa ada satu madzhab lebih kuat dari lainnya, saya tidak terpengaruh. Anggapan tersebut hanya karena keterbatasab pemahaman seseorang terhadap sumber syari’at, dan kebenaran anggapan tersebut hanyalah berlaku sepihak.

Di antara yang bisa saya lihat secara kasyaf adalah bahwa ada saluran-saluran parit dari para Imam Mujtahid sebagai tokoh madzhab, di mana parit-parit itu bermuara sampai ke sumber syari’at bagai lautan yang luas. Tetapi parit-parit tersebut mongering airnya dan membatu / menjadi batu, hanya ada 4 parit yang airnya terus mengalir (4 madzhab). Saya memberikan takwil bahwa madzhab 4 Imam tersebut akan bertahan kekal hingga menjelang kiamat. ….

Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 957 H. saya berdoa di dalam Ka’bah, memohon kepada Allah agar diberi tambahan ilmu, kemudian saya mendengar suara dari atas sebagai berikut: “Belum cukupkah kitab Al-Mizan yang telah Kami anugerahkan kepadamu, yang dengan kitab itu kamu meyakini kebenaran semua pendapat para Mujtahid dan para pengikut mereka sampai hari kiamat, yang anugerah tersebut tidak diberikan kepada orang lain pada zamanmu?” Kemudian saya mengatakan: “Cukuplah kepada Allah saya berharap tambahan rahmat”. ……

Jika engkau yang bertanya: “Apakah orang yang memakan makanan yang halal dan meninggalkan maksiat lalu menempuh suluk dengan dirinya sendiri tanpa pembimbing yang Arif bisa sampai ke tingkat kasyaf sehingga mampu melihat sumber syari’at dengan mata hati?”

Jawabannya adalah 2 hal:

1. Adakalanya karena jadzab (tarikan) yang langsung diberikan oleh Allah.

2. Adakalanya dengan menempuh suluk di bawah asuhan dan bimbingan Guru yang Arif, agar bisa membuang cacat dan kotoran di dalam batinnya. Bahkan seandainya ia bisa menghilangkan aib dan kotoran batinnya melalui ibadahnya sendiri, ia tetap tidak akan sampai ke maqam kasyaf yang mampu melihat sumber syarai’at dengan mata batin, karena ia terkurung di dalam sikap taklid terhadap imam madzhabnya. Jadi imam madzhabnya itulah sebagai penghalang untuk melihat sumber syari’at, padahal imamnya sendiri mampu melihat sumber syari’at tersebut……

Apabila engkau ingin sampai ke tingkat yang setara dengan kitab Al-Mizan ini secara dzauq (rasa) dan engkau ingin mempunyai kemantapan bahwa semua madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu benar sebagaimana yang diakui oleh para Imam madzhab itu sendiri, maka tempuhlah melalui suluk dan riyadhah dengan asuhan seorang Guru yang Arif yang mengajarkan bagaimana cara engkau agar bisa menjadi orang yang ikhlas dan jujur dalam memahami ilmu dan amal, bagaimana cara engkau agar terhindar dari kotoran-kotoran yang mengotori batin yang menghambat dan menghalangi perjalanan taqarub kepada Allah SWT dan mematuhi anjuran Gurumu, agar engkau bisa sampai ke maqam kesempurnaan yang tertentu, sehingga engkau berperasaan bahwa semua manusia itu selamat kecuali dirimu sendiri, seolah-olah engkau melihat bahwa dirimu celaka. Kalau engkau sudah sampai di mana engkau bisa melihat sumber syari’at secara seksama dengan mata batin, yang dari sumber itu mengalir beberapa pendapat Ulama.

Adapun suluk yang engkau tempuh tanpa bimbingan Guru yang Arif, biasanya tidak bisa menyelamatkan dan membebaskan engkau dari sifat riya’, perdebatan, dan cenderung mencintai harta benda, walaupun sifat-sifat tersebut hanya ada di dalam hati tanpa diucapkan, sehingga tidak bisa mengantarkan engkau ke maqam kasyaf tersebut, walaupun teman-temanmu sudah terlanjur menjulukimu sebagai Wali Quthub.

Dalam masalah ini, Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi memberikan penjelasan di dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah pada Bab 73 sebagai berikut: ‘Barang siapa menempuh suatu cara taqarub kepada Allah tanpa bimbingan seorang Guru yang Arif dan tanpa bersikap wara’ dalam menghadapi hal-hal yang diharamkan Allah SWT, maka ia tidak akan sampai ke maqam makrifat seperti yang telah dicapai oleh para Ulama yang Arif, walaupun ia telah beribadah kepada Allah selama umur Nabi Nuh As. Kalau seseorang sudah sampai ke tingkat makrifat maka tidak ada lagi penghalang antara dia dengan Allah SWT, sehingga ia bisa mengetahui Asma-asma Allah secara kasyaf dan yakin, mampu memehami bahwa semua pendapat mujtahid itu tidak menyimpang dari Asma-asma Allah tersebut, sehingga tidak ada lagi pertentangan dan perbedaan di antara madzhab, karena kesemuanya bermuara dari satu sumber yang sama’.

 Karomah Imam Sya'roni

 Suatu ketika antara Syeikh Abd al-Wahhab ( dengan Syekh Nasiruddin al-Laqqani (, terjadi kesalah kefahaman karena ada aduan dari sebagian orang yang hasud pada Syeikh Abd al-Wahhab (. Dia mengadu pada Syeikh Nasir ( bahwa Syeikh Sya'roni ( dalam majlis pengajiannya mencampur santri laki-laki dengan santri perempuan. Ketika Syeikh Sya'roni ( mengetahui bahwa Syeikh Nasir ( terkena tipuan orang ini, maka beliau sowan ke Syeikh Nasir ( untuk meminjam kitab "Al-Mudawwanah". Syeikh Nasir ( dalam kesempatan itu mengatakan : "Aku harap engkau tidak melakukan pelanggaran lagi, dan engkau kembali pada Syariat yang benar ! ". Syeikh Sya'roni menjawab : "Insya-Allah itu akan terjadi". Setelah itu, Syeikh Nasir menyuruh pembantunya untuk mengeluarkan kitab "Al-Mudawwanah" dari almari, dan menyuruhnya mengantarkannya ke rumah Syekh Sya'roni . Beberapa saat setelah sampai di rumah Syeikh Sya'roni , pembantu itu mohon diri untuk pulang. Namun Syeikh Sya'roni menahan dan meminta agar ia mahu menginap barang satu malam. Keduanya mengisi malam itu dengan bercengkerama sampai larut malam. Ketika malam telah melampaui sepertiganya, Syeikh Sya'roni masuk ke kamar kholwatnya. Kira-kira seperempat jam, beliau keluar untuk membangunkan pembantu itu agar sholat tahajjud. Lalu dia bangun, berwudlu dan sholat bersama Syeikh Sya'roni sampai menjelang subuh. Selesai solat Subuh mereka berdua membaca Al-Qur'an bersama, lalu mengamalkan wirid masing masing sampai matahari terbit. Menginjak matahari setinggi tombak Syeikh Sya'roni mengajaknya untuk ke kamar dan makan pagi bersama. "Tolong kembalikan kitab al-Mudawwanah ini pada Syeikh Nasir dan sampaikan rasa terima kasih saya" ucap Syekh Sya'roni setelah acara makan pagi selesai. Khodim Syeikh Nasir ini hairan dan bertanya-tanya dalam hatinya : "Apa maksud Syeikh Sya'roni ini, meminjam kitab hanya satu malam saja? Apa yang telah dilakukannya dengan kitab ini? ". Ketika dia sampai pada gurunya dan mengembalikan kitab tersebut Syeikh Nasir tambah marah pada Syekh Sya'roni . Di tengah rasa marah ini Syeikh Nasir ditanya tentang suatu masalah yang mengharuskannya untuk membaca kitab Al-Mudawwanah. Ketika membukanya ia kaget karena di situ ada catatan-catatan tangan Syeikh Sya'roni . Demikian lembar demi lembar selalu ada catatan tangan Syeikh Sya'roni . Karena hairan dengan kenyataan ini Syeikh Nasir bertanya pada muridnya tadi : "Apa yang dilakukan Syeikh Sya'roni dengan kitab ini?". Diapun menjawab: " Demi Allah… dia tidak berpisah dariku kecuali hanya dua puluh minit, beliau tidak meninggalkan wiridan dan tahajjudnya ". Demi mendengar keterang muridnya ini, Syeikh Nasir lalu pergi menghadap Syeikh Sya'roni dengan tanpa memakai alas kaki dan tutup kepala. Ketika sampai di hadapan Syeikh Sya'roni Syeikh Nasir berkata : "Sekarang aku bertaubat. Aku tidak akan berani lancang pada golongan ahli Tasawwuf". Syeikh Sya'roni lalu berkata : "Mahukah tuan aku tunjukkan kitab ringkasan kitab Al-Mudawwanah, yang aku lakukan malam itu ? kalau memang ada yang menerimanya itu semata-mata anugerah Allah , dan barokah Izin Nabi J. Kalau tidak ada yang menerimanya maka aku akan menghapusnya dengan air". Lalu Syeikh Nasir memberikan kata pengantar, dan memuji kitab Syeikh Sya'roni ini. Di antara karomah Imam Sya'roni adalah suatu ketika ia tidur di rumah kawannya di sebuah ruang terpencil yang banyak jinnya. Pada petang harinya kawannya ini menyalakan lampu di ruangan itu, menutup pintu lalu meninggalkan Syeikh Sya'roni sendirian. Lalu datanglah sekelompok jin. Mereka mematikan lampu dan mengitari Syeikh kita ini hendak mengganggunya. Tahu akan apa yang terjadi Syeikh Sya'roni berkata : " Demi keagungan Allah…. Kalau saja aku mahu menangkap salah satu di antara mereka, nescaya tidak akan ada satupun yang mampu melepaskannya". Lalu Imam Sya'roni tertidur dengan tenang seperti tidak ada apa- apa. Di antara karomahnya adalah, suatu ketika Imam Sya'roni berkata : "Aku diberi anugerah oleh Allah berupa pengetahuan apakah seorang wali sedang berada dalam kuburnya atau tidak. Karena memang para wali dalam kuburnya mempunyai aktifitas tersendiri. Mereka selalu datang dan pergi. Keistimewaan ini juga di miliki oleh Syeikh

‘Ali al-Khowwas guru Syeikh Sya'roni . Sang guru ini kalau melihat seseorang mahu ziaroh ke makam seorang wali kadang-kadang mengatakan : "Cepatlah pergi kesana, karena sebentar lagi sang wali mahu pergi untuk keperluan! ". Suatu ketika Syeikh Sya'roni ziarah ke makam Syeikh Umar Ibn al-Faridl , tapi tidak menjumpainya dalam kuburannya. Setelah itu, Syeikh Umar datang kepadanya, sambil berkata :

 "Maafkan saya, karena tadi aku ada keperluan".

 Dalam usia 12 tahun, pada tahun 911 H, beliau ke Kairo, belajar dengan Imam Jallaludin As-Suyuthi .ra, Syekhul Islam Zakaria Al-Anshari .ra dan salah satu guru utamanya yaitu Sayyidi Syekh Ali al-Khawwash ra. , Sayyidi Syekh Ali al-Murshifi .ra , serta Sayyidi Muhammad Asy-Syanawi .ra dll.

Beliau Imam Sya’roni ra. Allah SWT telah mengangkatnya menjadi Waliyullah sejak dari masa kecilnya. Sejak kecil sudah bersungguh-sungguh didalam menuntut ilmu. Jika beliau bepergian, oleh Allah para manusia digerakkan hatinya, banyak sekali yang berjejalan ingin menjumpainya Orang Yahudi dan Nasrani banyak sekali yang masuk Islam dan bertaubat di hadapannya. Orang ahli berbuat durhaka amat banyaknya yang ikut thariqohnya, terutama Syadzilliyah, dan menjadi orang baik. Beliau dengan anugerah ilmu yang diberikan Allah kepadanya, kalau berfatwa tidak hanya dengan satu madzhab bahkan dengan keempat Madzhab, terbukti karyanya di bidang Fiqih yang terkenal “Al-Mizanul Kubro”, merupakan kitab utama untuk bidang Fiqh Islam, seperti halnya “Ihya Ulumuddin”, Imam Al-Ghazalli merupakan kitab utama untuk bidang Tasawuf. Harta bendanya selalu didermakan untuk para fuqoro’ dan murid-muridnya. Ketika wafat amat banyak sekali yang mengiringinya ke pemakaman baik dari segala lapisan masyarakat dari pejabat, ulama, dan rakyat, muslim maupun nonmuslim sebagai bukti tanda penghormatan yang luar biasa kepada beliau. Beliau dimakamkan di sebelah masjidnya yang masyhur dengan sebutan Babusy Sya’riyyah.

Karamah yang Allah SWT berikan kepada beliau .ra luar biasa banyaknya, berikut diantaranya yang tertera didalam kitab Lathoiful Minan Al-Kubro :

1.    Pada masa kecilnya beliau umur 8 tahun sudah hafal Al-Qur’an. Beliau selalu sholat lima waktu di dalam waktunya tak pernah di qodho’ mulai dari umur itu pula, seumur hidupnya hanya sekali mengqodho’ sholatnya ketika sholat Zhuhur bepergian/musafir, sampai masuk waktu Ashar, beliau lupa tidak berniat Jama’ ta’khir. Dan dari umur ini pula sebelum baligh, beliau kebanyakan sholat dengan mengkhatamkan Al-Qur’an satu khataman satu rakaat. Subahnallah - Alhamdulillah Rabbil ‘Alaamin.

2.    Ketika baligh/dewasa beliau berenang di sungai Nil, lalu tenggelam kedasar sungai hampir tewas, kemudian Allah mengutus buaya menapakkan dibawah telapak kakiku, beliau sangka batu, sehingga terus diangkat keatas sampai di tepi sungai.

3.    Dari sejak kecil beliau yatim piatu, sehingga pernah suatu waktu beliau diejek-ejek oleh orang fasiq lalu orang fasik tersebut jarak tujuh hari, tiba-tiba menderita sakit lepra sehingga orang-orang jijik kepadanya sampai dia mati. Ada juga yang mengejeknya kemudian dia tertangkap oleh tentara Prancis lalu dimasukkan penjara dan menjadi orang Nasrani. Allah memelihara Imam Sya’roni .ra dari hal-hal semacam itu banyak sekali dari semenjak beliau kecil.

4.    Diantara mujahadah beliau kepada Allah ; beliau mengikatkan tali dari atap sampai lehernya ketika beliau duduk, jika hendak tidur tidak sampai terlentang di bumi, mulai Isya’ sampai Subuh, sampai beberapa bulan untuk mencegah bermalas-malasan dan tidur. Beliau  menerima dan tidak pernah merasa kurang dengan harta duniawi. Beliau tidak pernah bekerja dari semenjak baligh, telah dicukupi oleh Allah tidak tahu dari mana datangnya rezeki tersebut. Banyak orang yang memberi dinar, emas dan perak, beliau tolak semua. Beliau didalam mujahadahnya meninggalkan makanan yang enak bahkan pernah makan tanah sampai dua bulan karena beliau tidak menemukan yang halal.

5.    Beliau tidak pernah makan makanannya orang yang zholim dalam bekerjanya.

6.    Ketika beliau berniat uzlah (mengasingkan diri), Allah membuat seluruh manusia membencinya, sehingga waktunya benar-benar bersih jernih, sehingga seakan-akan mereka semua tidak mengenalku.

7.    Beliau .ra memulai dzikir setelah Isya’ terus tidak berhenti jika belum sampai fajar, lalu sholat Subuh, dzikir lagi, sholat dhuha, dzikir lagi sampai Zhuhur lalu sholat Zhuhur, dzikir lagi sampai Ashar, Sholat Ashar, dzikir sampai Maghrib, Sholat Maghrib, dzikir sampai Isya’ , terus begitu selama setahun penuh.

8.    Beliau rutin membaca ¼ Al-Qur’an diantara Maghrib sampai Isya’ lalu mengkhatamkannya ketika shalat Tahajud, selain sering mengkhatamkannya dalam satu rakaat.

9.    Beliau tidur hanya satu lelapan saja, jika sampai tertidur sering mancambuk pahanya, kadang menceburkan diri di air bersama pakaiannya ketika musim dingin agar tidak tertidur.

“Barangsiapa mau mempelajari mujahadahnya para kaum salaf shalihin terdahulu, maka akan dimudahkan sesuatu yang sulit baginya.”

 

10. Beliau pernah setahun penuh menekuni wara’nya, menolak perkara yang makruh-mubah apalagi yang haram, dengan mendapat penjagaan dari Allah SWT bukan dengan daya dan kekuatanku. Sehingga beliau tidak makan anaknya burung merpati karena burung tersebut makan dari tanaman orang yang tidak meridhoinya dan tidak mau berjalan dibawah atap rumah atau bangunan para pejabat maupun kerabatnya.

11. Beliau mendapat ilham dari Allah Azza wa Jalla, agar berkumpul dan berguru dengan para ahli Thoriqoh lalu kepada para Auliya’ sampai banyak sekali, dapat belajar dan mengajinya langsung dengan kitab-kitabnya, guru-gurunya, mendapatkan kekuatan, ketekunan dan kehebatannya, mendapat pengakuan langsung dari guru-gurunya, dukungan dan pemberian ijazah dari guru-gurunya serta penerangan yang gamblang tentangnya.

12. Setengah dari pada anugerah Allah yang dikaruniakan kepadanya, terbukanya hijabnya sehingga beliau mendengar semua kayu, batu dan hewan apa saja, membaca tasbih setiap mulai sholat Maghrib sampai fajar pagi. Beliau juga terbuka hijabnya hingga dapat mendengar pembicaraan makhluk sampai semua kawasan bumi hingga lauh Muhith. Karunia ini diberikan kepada beliau sejak tahun 922 H, lalu jika sudah fajar, Allah mengasihinya menjadi tidak mendengar, karena kalau beliau mendengar terus mengakibatkan dirinya pusing sekali. Lalu dikaruniaNYA dengan jalan kasyaf, maka tambah-tambah kuat keimanannya beliau .ra.

13. Allah juga menganugerahkan Quthb ‘Azhom kepadanya sehingga beliau senantiasa menolong para Wali yang bergilir berjaga-jaga dikawasan bumi mana saja ; semua daratan, hutan-hutan, kota-kota, lautan-lautan, desa-desa dan gunung-gunung. Beliau mengitari dengan hatinya semua kawasan tadi dengan tiga derajat. Setiap malam beliau mengitari Mesir dan semua negara di bumi ini dengan selalu memberi isyarat Allah-Allah-Allah (maksudnya agar semuanya selalu takut kepada Allah), mulai dari Mesir terus Kairo semua desa-desanya – Guzzah – Baitul Muqaddas, Palestina – Syam – Halb – semua negara ‘Ajam – Turki – semua negara Rum. Kemudian melalui lauh Muhith menuju ke negara-negara Maghrib/Barat, terus satu per satu dikitari sampai tiba di negara Iskandar – Dimyath- Negeri Najasyi – Habasyah – India – Cina – terus sampai kembali melalui negara Yaman, Hadhramaut – terus naik ke Mekkah- keluar dari pintu Ma’la – Hijaz – daerah Badar – Shofro’ – kemudian sampai ke Madinatul Rasul SAW. Lalu beliau minta izin melalui Babul Nur terus masuk bersimpuh dihadapan kanjeng Rasul SAW. Beliau membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah langsung, beserta kedua sahabatnya terus ziarah ke Baqi’ lalu berdoa dan seterusnya beliau datang kembali sampai ke rumahnya di Mesir dengan penuh rasa letih lesu payah dan haus sekali, payahnya bagaikan memanggul gunung yang agung. Beliau diberi anugerah ini ketika tahun 923 H. Maqam /kedudukan/pangkat ini diantaranya yang memiliknya ialah Sayyidi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani .ra, Sayyidi Ahmad Al-Badawi .ra, Sayyidi Ibrohim Ad-Dasuqiy ra, Sayidi Ahmad Ar-Rifa’iy ra, Imam Thariqah Muhammad Syaah Baha’uddin an-Naqshbandi ra. dll.

14. Allah juga memberikan kenikmatan karunia-NYA, bahwa beliau bersama-sama ikut menyangga kesusahan, keberatan orang-orang yang tertimpa musibah billahi dan cobaan hidup, diantara yang punya maqam seperti ini yaitu, guru beliau, Sayyidi Syekh Ali al-Khawwash, Syekh Ibrahim al-Mabtuli, Syekh Maimun bin Mahron, Syekh Sofyan Ats-Tsauri, Syekh Fudhoil bin Iyadh dan lainnya yang sederajat ra. Sehingga badannya terasa hancur bagaikan minum racun sebelanga, bagaikan bisul yang mau pecah, karena begitu banyaknya orang yang ditanggung petaka kesulitannya. Hal semacam ini sesuai dengan hadist Nabi SAW : bahwa kaum mukmin itu sesama saudara, bagaikan satu kesatuan tubuh, jika salah satu bagian sakit maka bagian yang lain terasa sakit juga.

Beliau juga mengatakan, bagi orang yang memiliki maqam seperti ini, sempat tertawa atau bersenang-senang dengan istrinya atau berpakaian gagah atau berekreasi ketika waktu orang Islam terkena musibah, maka dia pangkatnya sama saja dengan hewan ternak.

15. Beliau dari gurunya Sayyidi Syekh Ali Al-Khowwash, jika ada orang yang terkena petaka/musibah/kesulitan menyuruh supaya mem-perbanyak istighfar, sabdanya : tiada yang tercepat untuk menghilangkan ‘billahi (bala’) kecuali banyaknya beristighfar, paling sedikit 1.000 kali setiap pagi dan 1.000 kali setiap sore.

16. Banyak para jin yang ikut tunduk dan mengi’tikadkan baik dan menjadi murid dengan beliau ra. Bahkan pernah datang padanya para jin membawa 75 masalah ilmu tauhid, dan mereka berkata kalangan ulamanya bangsa jin tidak sanggup menjawabnya, sehingga ada seorang ulama arifbillah dari kalangan jin tersebut mengatakan bahwa yang sanggup menjawabnya adalah Ulama dari manusia dan menyebut Imam Sya’roni sebagai Syekhul Islam, dan disuruh menghadapnya. Kemudian oleh Imam Sya’roni pertanyaan itu langsung dituliskan jawabannya sampai kira-kira sampai setebal 500 halaman dan diberi judul “Kasyful hijab war Roon ‘an As-ilatil Jaann”. Bahkan kitab ini diterima juga oleh para ulama kita. Yang punya maqam seperti ini diantaranya gurunya Syekh Ali al-Khawwash, Syekh Abul Khoir al Kalibati, Syekh Ibrahim al-Mabtuliy, Sayyidi Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzilliy. Beliau semuanya melayani semua makhluk seperti bangsa jin juga.

17. Beliau .ra dianugerahi Allah SWT, amat benci terhadap dunia bagaikan jijiknya manusia terhadap bangkai, dan beliau amat benci tidur dalam keadaan berhadast, tidak dalam keadaan suci berwudhu, serta bersih lahir dan batin seperti unek-unek jelek kepada orang lain, hasud dengki atau menyepelekan orang Islam. Sabdanya : “Jauhilah tidur beserta hadast lahir dan batin berupa senang dan syahwat dengan dunia. Kadang Allah mengambil nyawamu pada malam/tidur itu, lalu kamu menghadap Allah dengan mendapat Murka-Nya, dalam hadist telah disampaikan bahwasanya semenjak  Allah menciptakan dunia, Allah tidak melihat dengan ridho terhadap dunia dan kesenangan dunia. Celakanya! kalian kebanyakan manusia tidak merasa berdosa dengan senangnya kalian terhadap dunia. Maka bertaubatlah kamu dan biasakanlah tidur dalam keadaan suci lahir batinnya, semoga Allah memberi limpahan Taufik dan Hidayahnya kepadamu sekalian.”

18. Allah memberikan kenikmatan-Nya kepada Imam Sya’roni jika tidur hanya matanya, hatinya tidak, lantaran beliau mendapat warisan dari beliau Nabi SAW. Sehingga beliau banyak sekali digunakan membaca Al-Qur’an.

19. Beliau jika memanggil muridnya cukup dengan hatinya saja, meskipun muridnya berada di negara yang jauh mereka pun bisa hadir dihadapanku begitu pula sebaliknya. Hal itu bisa terjadi karena sangat intimnya hubungan mereka semua denganku dan aku dengan mereka semua muridku. Demikian ini bukanlah setiap para Wali mampu hanya satu-dua saja yang bisa.

20. Beliau kalau jual beli, selalu jika membeli ditambahi harganya dan kalau dijual dikurang harganya. Karena kedermawanannya beliau disertai keikhlasan yang penuh kepada Allah.

21. Beliau tidak pernah takut sama sekali dengan makhluk apa saja, beliau berkata untuk mendapatkan hal ini karena beliau menjalankan Syariat Allah sehingga Allah memerintahkan untuk tidak menjatuhkan celakanya ke diri kita dan karena takutnya kita hanya kepada Allah semata.

22. Beliau termasuk diberi anugerah oleh Allah dapat mengetahui keadaan para Auliya di makamnya, ada di makamnya atau sedang pergi, karena umumnya para Auliya Allah diberi idzin oleh Allah untuk bepergian. Terkadang beliau sering berkata bagi orang yang punya niat mau ziarah ke makam Auliya, untuk segera bergegas  karena Auliya tersebut segera akan pergi. Atau malah melarangnya jangan berangkat sekarang karena beliau (Auliya yang akan diziarahi) masih pergi.

 

Imam Sya’roni mendapat anugerah yang demikian besar salah satu sebabnya karena didikan serta mujahadah (perjuangan) taatnya kepada para gurunya, terutama Syekh Ali al-Khawwash ra. Beliau menerangkan ketika bersama gurunya :

Pertama-tama beliau perintahkan aku untuk menjual semua kitab-kitabku dan uangnya supaya disedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Kemudian aku jalankan dengan terasa sangat berat sebab kitab itu penting-penting semuanya, hingga seakan-akan ilmuku hilang. Lalu Syekh berkata : sekarang hilangkan ingatanmu terhadap kitab-kitabmu dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Sampai aku berhasil, lalu beliau menyuruhku ‘uzlah (mengasingkan diri), lalu aku ‘uzlah hingga jernih waktuku dan aku merasa lebih baik dirinya dibandingkan orang lain. Lalu disuruh menghapuskan perasaan itu sehingga menjadi diriku lebih rendah dibandingkan segala makhluk. Kemudian diperintah supaya berkumpul dengan masyarakat dan sabar atas penghinaannya dan tidak membalas. Lalu aku jalankan sampai berhasil sehingga kudapati diriku sebagai seutama-utamanya manusia dengan keluhuran akhlak. Kemudian Syekh memerintahku menghilangkan perasaan hal semacam itu di lubuk hatiku, lalu aku berhasil menghilangkannya. Kemudian memerintahkanku untuk dzikrullah, jangan pernah hati berkata selain Allah. Kemudian dilanjutkan untuk tidak boleh makan yang menuruti sesuai keinginan/ syahwat dan  seterusnya meningkat-meningkat terus, sampai banyak.

Sehingga karena terus menerus mujahadahnya dengan tekun lalu mengalirlah ilmunya yang langsung dari Allah (Warid). Sehingga pernah beliau menyusun kitab sampai 100 halaman kemudian dihaturkan kepada sang guru Syekh Ali al-Khowwash .ra, tetapi Syekh belum menganggapnya dan disuruh memusnahkannya dan berkata : “Ilmumu ini masih bercampur dengan pikiran. Ilmu pemberian Allah harus murni. Antara kamu dan ilmu pemberian Allah yang murni masih ada jarak seribu derajat.” Lalu Imam Sya’roni semakin bertambah-tambah mujahadahnya dan semakin tambah-tambah terus sehingga terbukanya hijab Rabbaniyah (Ketuhanan) baginya.

 

Ilmu yang murni dari Allah SWT, serta dibekali dengan ilmu dari para guru yang murni pula, berhubungan mempunyai sanad pertalian ilmu langsung dengan sumbernya segala sumber ilmu, yakni Baginda Nabi SAW.

 

Berikut ini sanad mutashil (bersambung) diantara guru-guru dari Sayyidi Syekh Abdul Wahab Sya’roni .ra sampai Rasulullah SAW, yang mana beliau ambil ilmunya ;

1.    Sayyidi Syekh Abdul Wahab Sya’roni

2.    Sayyidi Syekh Imam Jalaluddin As-Suyuthi

3.    Sayyidi Syekh Kamaluddin

4.    Sayyidi Syekh Syamsuddin Muhammad

5.    Sayyidi Syekh Umar bin Hasan

6.    Sayyidi Syekh Al-Akbar Muhammad Ibnu ‘Arabi

7.    Sayyidi Syekh Jamaluddin Yunus

8.    Sayyidi Syekh Imam Al-Kabir Sulthanul ‘Auliya wal Ulama wal Arifin Al-Quthb Ghauts ‘Azhom Sayidina Quthb Rabbani  Abdul Qadir Al-Jilani.

9.    Sayyidi Syekh Abu Sa’id Al-Mubarok

10. Sayyidi Syekh Abu Ali Hasan Ayyub

11. Sayyidi Syekh Abu l-Faraj Al-Thurthusi

12. Sayyidi Syekh Abu Faraj Abdul Wahab bin Abdul Aziz At-Tamimi

13. Sayyidi Syekh Abu Bakar Duhlaf bin Jahdar Asy-Syibli

14. Sayyidi Syekh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi

15. Sayyidi Syekh Sirri As-Saqathi

16. Sayyidi Syekh Ma’ruf Al-Kharkhi

17. Sayyidina Syekh Al-Imam Abul Hasan Ali Ridha

18. Sayyidina Syekh Al-Imam Musa Al-Kadzim

19. Sayyidina Syekh Al-Imam Ja’far Shadiq

20. Sayyidina Syekh Al-Imam Muhammad Al-Baqir

21. Sayyidina Syekh Al-Imam Ali Zainal Abiddin

22. Sayyidina Syekh Al-Imam Husein Al-Sibth

23. Sayidina Amirul Mukminin Imam Ali bin Abu Thalib

24. Sayidina Mursalin wal Khatamin Nabiyyin al-Musthafa Muhammad SAW

 

Jalur lain :

1.    Sayyidi Syekh Abdul Wahab Sya’roni

2.    Sayyidi Syekhul Islam Al- Imam Zakaria Al-Anshari

3.    Sayyidi Syekh Al-Imam Abdul Rahim Al-Iraqi

4.    Sayyidi Syekh Al-Imam Allauddin Al-Anshari

5.    Sayyidi Syekh Al-Imam Muhamad Yahya Nawawi

6.    Sayyidi Syekh Al-Imam Dimyathi

7.    Sayyidi Syekh Al-Imam Ibnu Syekh bin Yahya

8.    Sayidina Syekh Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali)

9.    Sayyidi Syekh Al-Imam Haramain

10. Sayyidi Syekh Al-Imam Abdullah Al-Juwayni

11. Sayyidi Syekh Abu Abbas Al-Ghafari

12. Sayyidi Syekh Abu Said Al-Ambiti

13. Sayyidi Syekh Abu Sai al-Kailani

14. Sayyidi Syekh Ibrahim ibn Abbas As-Syariq

15. Sayyidi Syekh Al-Imam Ibrahim Al-Muzni

16. Sayidina Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i)

17. Sayidina Al-Imam Malik (Imam Madzhab Maliki)

18. Sayidina Al-Imam Nafi’

19. Sayidina Abdullah bin Umar ibn Khatab

20. Sayidina Amirul Mukminin Imam Ali bin Abu Thalib

21.  Sayidina Mursalin wal Khatamin Nabiyyin al-Musthafa Muhammad SAW

 

 Inilah salah satu bukti nyata kebesaran dari Al-Imam Sayyidi Syekh Abdul Wahab Asy-Sya’roni.ra salah seorang kekasih Allah, Waliyullah, yang kita mohon kepada Allah SWT agar selalu melimpahkan ridho-Nya kepada beliau dan dijadikannya kita berkumpul bersama beliau dan guru-guru beliau semuanya, lahir dan batin dengan harapan semoga Allah mengampuni mereka serta kita semua, menyayangi mereka serta meninggikan derajat mereka di dalam surga, dan semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan Asror mereka, cahaya mereka, rahasia mereka, barakah mereka, karamah mereka, kemuliaan mereka, akhlak mereka dan ilmu mereka di dalam agama, dunia dan akhirat, Al Fatihah”

                                                                                              

                                                         Jakarta, Jum’at Ba’da Subuh,  24 Ramadhan 1423 H

                                                                                                          29 November 2002 M

 

                                                                                                             Penyusun