Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwy

[Al-Imam Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Beliau adalah Al-Imam Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW.

Imam Ali bin Alwi adalah orang pertama dari kalangan keluarga Alawiyin yang datang ke Tarim, di mana sebelumnya beliau sering mengunjungi kota tersebut. Beliau tinggal di Tarim sejak tahun 521 hijriyah bersama anak keturunan pamannya dari keluarga Basri dan keluarga Jadid. Di kota Tarim mereka mendirikan sebuah masjid yang dikenal dengan nama masjid Bani Ahmad yang terakhir dikenal dengan nama masjid Bani Alawi. Masjid tersebut dari tahun ke tahun terus diperbaharui diantaranya oleh Muhammad Shahib Marbath dan Umar Muhdhar.

Imam Ali bin Alwi dibesarkan dan dididik dalam asuhan ayahnya Imam Alwi bin Muhammad. Beliau adalah pemimpin kaum Alawiyin yang dikaruniai Allah ketajaman mata hati, hafal Alqur’an dan menguasai berbagai macam cabang ilmu, sangat dermawan, tawadhu’ dalam berbicara maupun bertindak serta berpakaian, ia tidak terlihat lebih menonjol dari yang lain. Jika beliau duduk bersama kaum khawas maupun kaum awam, orang tidak mengenali kalau beliau adalah seorang yang mempunyai kemuliaan yang tinggi, beliau melebur menjadi satu dengan dengan kumpulan jamaah tersebut.

Beliau terkenal dengan julukan Khali’ Qasam (pelepas/pemberi Qasam). Julukan tersebut diberikan kepada beliau dikarenakan beliau membeli suatu tanah dengan harga 20.000 Dinar. Tanah itu kemudian beliau namakan dengan Qasam, sesuai dengan nama tanah keluarganya di kota Bashrah. Di tanah itu beliau menanam pohon kurma. Disana beliau juga membangun suatu rumah yang ditempati pada saat panen kurma. Kemudian beberapa orang membangun rumah-rumah disamping rumah beliau. Sampai akhirnya tempat itu menjadi suatu desa dan dinamakan dengan desa Qasam. kota Qasam di Basrah yang pada awalnya dimiliki oleh kakeknya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau adalah orang yang pertama dimakamkan di perkuburan Zanbal, Tarim dan dikaruniai tiga orang anak: Abdullah dan Husin ( tidak mempunyai keturunan) serta Muhammad ( dikenal dengan Shahib Mirbath ).

Sejak kecil ia rajin beribadah dan dikenal cerdas serta berakhlak mulia. Ketika menginjak dewasa, ia sudah menjadi guru besar karena keluasan ilmu agamanya. Ia lahir dan dibesarkan di Baitu Jubair, Hadramaut, suatu daerah yang penuh berkah dan kebaikan. Di sana pula ia mengaji kepada ayahandanya, Beliau mengambil ilmu dari ayahnya terutama Al-Quran dan hadis. Bahkan kemudian sudah mampu pula menghafal Al-Quran. Selain itu, ia juga belajar dari para ulama besar yang lain di berbagai pelosok Tarim. Beliau sering mondar-mandir bepergian ke kota Tarim. Akhirnya beliau, pada 521 H/1101 M diikuti oleh saudara-saudara dan anak pamannya, memutuskan untuk tinggal di kota Tarim. 

Beliau juga dikenal sebagai orang pertama dari keluarga Ba’alwi yang tinggal di Tarim. Setelah ia menetap di sana, banyak orang berdatangan dan kemudian bermukim pula di sana. Di Tarim itu juga ia menyemarakkan berbagai majelis pengajian untuk dakwah, dan di sana pula ia mengajar hadis. Sejak itu ia termasyhur sebagai ulama yang sangat alim dengan berbagai karamah.

Beliau adalah seorang imam agung, guru besar, dan terkenal dengan keluasan ilmunya. Terkumpul di dalam diri beliau keutamaan dan kebaikan, anwar dan asrar. Beliau dikaruniai oleh Allah dengan maqam yang sangat tinggi, sehingga tampak dalam diri beliau karomah-karomah yang luar biasa. Beliau adalah seorang alim yang tiada duanya di jamannya dan tempat rujukan bagi manusia di saat itu. Jarang sekali pada suatu jaman terdapat orang yang mempunyai maqam setinggi beliau.

Wali yang Dermawan

 Dia adalah sesepuh para awliya di Hadramaut. Konon, ia sering bersalam dengan Rasulullah SAW. Dialah pula yang pertama kali dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim, yang terkenal itu.

Para ulama besar dan ahli sejarah banyak menyebutkan manaqib dan ketinggian maqam beliau di buku-buku mereka. Termasuk di antaranya adalah Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad menyebutnya dalam suatu syairnya,

Rasulullah membalas salamnya,

“(Salam bagimu) Ya Syeikh”

sebagai jawaban atas salamnya (kepada Rasulullah),

maka dibuat kagumlah para orang-orang mulia.

Syair tersebut menggambarkan suatu karomah besar yang ada pada diri beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam. Hal ini terjadi setelah beliau tinggal di kota Tarim. Beliau jika menjalankan shalat dan sampai pada waktu tahiyat dan membaca salam kepada Nabi SAW, “As-salaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyu wa rohmatullohi wa barakaatuh,” beliau mengulang-ulangi bacaan tersebut, sampai beliau mendengar langsung jawaban dari Rasulullah SAW, “As-salaamu ‘alaika ya Syeikh (salam sejahtera bagimu wahai Syeikh).” Demikianlah yang terjadi sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama seperti Al-Jundi, Asy-Syaraji, Ibnu Hisan, dan lain-lain. Al-Allamah Asy-Syeikh Al-Khatib juga menyebutkannya di dalam kitabnya Al-Jauhar Asy-Syafaaf.

Kekhususan ini, yakni dapat mendengar jawaban salam dari Rasulullah SAW, merupakan suatu maqam yang tinggi. Tidak bisa mendapatkan maqam setinggi itu, kecuali hanya segelintir auliya. Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali oleh orang yang sangat-sangat dekat dengan Allah. Asy-Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rawi berkata dalam hal ini, “Tidak akan sampai seseorang kepada maqam berinteraksi langsung dengan Rasulullah SAW dan mendengar jawaban salam dari beliau SAW, kecuali ia telah melampaui 247.999 maqam para Auliya.”

Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani dalam kitabnya al-Tanbieh mengatakan, ‘Salah satu peristiwa yang dihadapi oleh suatu kaum, ketika mereka sholat di samping kubur Nabi saw dan mereka membaca shalawat nabi dalam shalatnya itu, mereka mendengar jawaban dari Nabi saw’.

Sebagian ulama bertanya, ‘Karomah apa yang diwarisi oleh kaum itu sehingga mereka dapat mendengar salam dari Nabi saw, padahal tidak satu pun dari sahabat yang mendapat jawaban salam dari kubur Nabi saw setelah beliau wafat, dan saya tidak melihat satu pun dari mereka yang sampai pada maqam tersebut. Sayid Ali al-Khawas berkata, ‘Tidak berhak suatu kaum mendapatkan wilayah al-Muhammadiyah, jika orang tersebut tidak berkumpul dan hadir bersama Nabi saw’.

Asy-Syeikh Abu Al-Abbas Al-Mursi bertanya kepada teman-temannya, “Adakah diantara kalian yang ketika menyampaikan salam kepada Rasul SAW di dalam shalat, terus dapat mendengar jawaban salam dari beliau SAW?.” Mereka berkata, “Tidak ada.” Selanjutnya beliau berkata, “Menangislah kalian, karena kalbu-kalbu kalian tertutup dari Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau, Al-Imam Ali Khali’ Qasam, tidak hanya mendapat jawaban salam dari Rasul SAW di dalam shalatnya saja, tetapi di dalam semua kesempatan yang beliau memberikan salam kepada Rasul SAW. Beliau, meskipun mempunyai maqam yang demikian tinggi, adalah seorang yang sangat tawadhu. Beliau mempunyai akhlak yang mulia. Disamping itu, beliau adalah seorang yang pemurah, khususnya bagi mereka yang datang dari jauh. 

Dialah yang membangun Masjid Bani Ahmad di Tarim, yang kemudian diberi nama Masjid Ba’alwi, sejak 900 tahun silam. Pembangunan masjid itu dilanjutkan oleh putranya, Imam Muhammad Shahib Mirbath (wafat 556 H/1136 M).

 

Imam Ali Khali’ Qasam, ulama besar dan sesepuh para aulia Hadramaut, wafat berkisar antara 523 hingga 529 H/1103 sampai 1109 M. Akan tetapi, dalam kitab Nafa’is al-‘Uqud fi Syajarah ‘alal Ba’abud, Habib Muhammad bin Husin Ba’abud menulis, Imam Ali Khali’ Qasam meninggal pada tahun 527 H/1107 M. Sedangkan menurut Al-Ustaz Alwi bin Muhammad Bilfagih dalam kitab Syajarah as-Sa’adah ‘alal Bani Alawy, Imam Ali Khali’ Qasam wafat pada 529 H/1109 M. Sementara dalam riwayat lain disebutkan, ia wafat pada 529 H/1109 M. Jasadnya disemayamkan di makam Zanbal, Tarim, sebagai ulama pertama keluarga Ba’alwi dan cucu Imam Ahmad Al-Muhajir, yang dimakamkan di pemakaman Zanbal yang terkenal itu.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih]