Habib Husein Alkadrie

1. Riwayat Hidup

Habib Husein Alkadrie lahir di Tarim Ar-Ridha Hadralmaut, Yaman Selatan, pada tahun 1120 H/1708 M. Nama lengkapnya adalah As-Saiyid/as-Syarif Husein bin al-Habib Ahmad/Muhammad bin al-Habib Husein bin al-Habib Muhammad Alkadrie, atau disebut juga dengan nama Jamalul Lail dan Ba ‘Alawi, yang konon nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Nama besarnya adalah Tuan Besar Mempawah.

Habib Husein dididik dengan ajaran-ajaran Islam oleh orang tuanya hingga berumur 18 tahun. Setelah itu ia tidak hanya belajar Islam, namun juga belajar ilmu pengetahuan umum. Ia pernah mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di sana selama empat tahun. Di salah satu kota besar di Yaman Selatan ini, ia belajar tentang ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum kepada Sayyed Muhammad Hamid. Akhirnya ia menguasai disiplin ilmu pengetahuan agama dan umum serta memiliki wawasan luar negeri yang mendalam. Bahkan, ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai barat Afrika. Di Kalkuta ini ia juga sempat belajar banyak hal.

Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang amat memadai ini, Habib Husein terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur, yang banyak terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Motivasinya tidak hanya untuk berdagang, namun juga untuk menyebarkan ajaran Islam. Ia termasuk dalam kelompok “empat sahabat” yang pergi ke wilayah Timur (Indonesia). Tiga ulama lain yang turut beserta dengan dirinya adalah: Saiyid Abu Bakar al-‘Aidrus (dengan gelar Tuan Besar Aceh) yang menetap dan wafat di Aceh, Saiyid Umar as-Sagaf (Tuan Besar Siak) yang menetap, mengajar, dan wafat di Siak, Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi (Datuk Marang), yang menetap dan mengajar di Terengganu.

Habib Husein kemudian melanjutkan pengembaraan ke Aceh. Ia menetap di sana selama satu tahun dengan tujuan menyebarkan Islam dan mengajarkan kitab. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke Siak, Betawi (tinggal selama tujuh bulan), dan Semarang (menetap selama dua tahun). Ketika menetap di Semarang, ia berteman baik dengan Syeikh Salim bin Hambal. Keduanya kemudian pergi berlayar ke negeri Matan. Sesampainya di sana mereka kemudian menemui Saiyid Hasyim al-Yahya dengan gelar Tuan Janggut Merah, seorang ulama yang hebat, gagah, dan berani.

Setelah menetap beberapa hari di Matan, Habib Husein dan Syekh Salim kemudian dijamu oleh Sultan Matan. Pada saat jamuan makan dengan sultan digelar, ada suatu kisah menarik yang mencerminkan kecerdikan ilmu Habib Husein ketika menyikapi kejadian yang berkenaan dengan tempat sirih adat istiadat kesultanan yang dikeluarkan di hadapan sultan dan para punggawa kesultanan. Saiyid Hasyim al-Yahya melihat suatu benda besi buatan Bali dengan ukiran kepala ular yang ada di dalam tempat siri tersebut. Di hadapan Sultan Matan dan para pembesar kesultanan, Sayid Hasyim mematah-matah dan menumbuk-numbuk benda tersebut dengan tongkatnya. Kontan saja, Sultan marah terhadap sikap Saiyid Hasyim. Habib Husein mengambil benda yang telah tercerai-berai tersebut, yang kemudian diusap-usap dengan air liurnya. Atas izin Allah SWT, benda tersebut tiba-tiba kembali utuh seperti sedia kala.

Sultan Matan mengagumi kesaktian yang dimiliki Habib Husein. Beberapa hari setelah acara jamuan makan tersebut, Sultan Matan menunjuk Habib Husein sebagai guru di negeri Matan. Di samping itu, Sultan Matan juga mencarikan istri untuk Habib Husein, yaitu Utin Candramidi (Nyai Tua). Perkawinan mereka dikaruniai empat putra-putri, yaitu: Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi Alkadrie. Syarief Abdurrahman Alkadrie dikenal sebagai tokoh yang pernah mendirikan Kesultanan Kadriah (Pontianak) di Kalimantan Barat.

Setelah menetap di Matan selama dua hingga tiga tahun, Habib Husein didatangi seseorang yang merupakan utusan Raja Mempawah (Upu Daeng Menambon dengan gelar Pangeran Tua) dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu. Surat yang dibawa isinya tiada lain adalah bujukan raja terhadap Habib Husein agar ia bersedia pindah ke Mempawai. Habib Husein tidak langsung menerima tawaran tersebut karena dirinya masih betah tinggal di Matan. Utusan raja tersebut kemudian kembali ke Mempawai dengan tangan kosong. Kesediaan Habib Husein untuk menetap di Mempawah terwujud setelah dirinya merasa adanya ketidakcocokan dengan sikap dan pendirian Sultan Matan.

Habib Husein pindah ke Mempawah pada 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M, dan menetap di Kampung Galah Hirang. Kedatangannya di tempat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat di Mempawah. Banyak orang dari pelbagai penjuru yang datang ke Mempawah. Ada pengunjung yang tujuannya untuk berniaga, namun tidak sedikit dari mereka yang menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Husein. Ia merupakan mufti pertama di Mempawah. Ketika mengajar, yang diutamakan olehnya adalah pelajaran lughah ‘Arabiyah (bahasa Arab). Dalam tempo yang singkat, Kampung Galah Hirang berkembang sangat pesat, bahkan lebih ramai dari pusat Kesultanan Mempawah sendiri. Setelah Upu Daeng Menambon (Sultan Mempawah) wafat, puteranya yang bernama Gusti Jamiril kemudian menjadi anak angkat Husein Al-Qadri. Gusti Jamiril diasuh oleh Habib Husein di Kampung Galah Hirang. Pada tahun 1166 H/1752 M, Gusti Jamiril dinobatkan sebagai Sultan Mempawah menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Adiwijaya Kesuma.

Kebesaran nama Habib Husein (Tuan Besar Mempawah) tersebar luas hingga ke Asia Tenggara. Ia merupakan penganut madzhab Syafii. Ia juga suka dengan ilmu tasawuf. Amalan tasawuf yang sering dilakukannya adalah Ratib al-Haddad dan Tarekat Qadiriyah. Ketika menjadi mufti Mempawah, yang diajarkannya kepada masyarakat umum lebih berupa amalan dan bercorak memberi keterangan (syarah).

Habib Husein wafat pada pukul 02.00 petang, tepatnya pada tahun 1184 H/ 1771 M, di Sebukit Rama Mempawah, dalam usia 64 tahun. Ia pernah berwasiat bahwa yang layak menggantikan dirinya sebagai mufti Mempawah adalah Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani, ulama asal Patani, Thailand Selatan. Untuk melaksanakan wasiat tersebut, pihak pemerintah Kesultanan Mempawah kemudian melantik Syeikh al-Fathani sebagai mufti di kesultanan ini dengan gelar Maharaja Imam Mempawah.

Kronologi Sejarah Pemerintahan Kesultanan Pontianak

1706 M (1118 H) Habib Husein Alkadrie lahir di negeri Trim Arridha Hadramaut.

1729 M (1142 H) Setelah menamatkan pelajaran agama Islam, atas saran gurunya, berangkat menuju ke negeri sebelah timur Jazirah Arab dengan tujuan untuk melaksanakan syiar Islam. Besertanya ikut berangkat dua orang rekanannya yang lain.

1731 M (1145 H) Keempat santri muda dari Hadramaut itu tiba di Aceh. Selama setahun di sana mereka melakukan syiar Islam. Kecuali tiga orang rekannya, Habib Husein melanjutkan perjalanan menuju Betawi. Selama menjalankan syiar Islam, ia juga melakukan perniagaan.

Adapun tiga orang rekannya, yaitu Sayid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh, Sayid Umar Husein Bachsan Assegaf meneruskan pelajarannya ke siak Sri Indra Pura kemudian menetap di Trengganu.

1732 M (1146 H) Kurang lebih tujuh bulan Habib Husein berada di Betawi.

1733 M (1147 H) Habib Husein berada di Semarang selama sekitar dua tahun, selama di Semarang ia menetap bersama ulama Syekh Salim Hambal.

1735 M (1149 H) Atas petunjuk Syekh Salim Hambal, Habib Husein meneruskan pelajarannya kembali. Tiba di Matan dan diterima untuk mengabdikan diri di Kerajaan Matan selaku ulama di kerajaan ini.

1736 M (1147 H) Habib Husein dijodohkan mula-mula dengan Nyai Tua, seorang puteri keluarga kerajaan Matan. Nantinya, setelah Nyai Tua mangkat Habib Husein menikah lagi dengan Nyai Tengah. Demikian pula setelah Nyai Tengah wafat, terakhir ia menikah dengan Nyai Bungsu.

1739 M (1153 H) Hari senin tanggal 3 rabiul awal sekitar pukul 10 pagi, dari rahim Nyai Tua, lahirlah seorang putera sebagai anak kedua pasangan Habib Husein yang diberi nama Syarif Abdurrachman.

1740 sampai 1755 M Selama lebih kurang 15 tahun, Habib Husein menjabat sebagai mufti atau hakim agama Islam di kerajaan Matan.

1755 M (1169 H) Atas permintaan raja Mempawah di Sebukit, Opu Daeng Menambon, pada tanggal 8 Muharram 1169 H, Habib Husein beserta keluarganya pindah ke negeri Mempawah. Di sebuah tempat yang belakangan dikenal dengan nama Galaherang, di sinilah ia dan keluarganya menetap untuk melaksanakan syiar Islam sekaligus selaku mufti agama Islam di kerajaan ini. Belakangan kemudian Habib Husein diangkat sebagai tuan besar negeri negeri Mempawah. Pada saat mengikuti kepindahan orang tuanya ini, Syarif Abdurrahman menapak usia 16 tahun.

1757 M (1171 H) Dalam usia 18 tahun, Syarif Abdurrachman menikah dengan puteri Opu Daeng Menambon yaitu Utin Tjindramidi.

1764 M (1178 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie berlayar ke luar negeri Mempawah, antara lain ke negeri Tambelan, Siantan, Siak Sri Indrapura dan Riau, termasuk juga Johor dan kawasan sekitar selat melaka.

1765 M (1179 H) Syarif Abdurrachman berlayar dari negeri Mempawah ke Palembang selama sekitar dua bulan.

1767 M (1180 H) Untuk kedua kalinya, Syarif Abdurrachman selama sekitar dua bulan berada di Palembang. Selanjutnya berlayar (niaga) ke negeri Banjarmasin dan Pasir.

1768 M (1182 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie menikah dengan Ratu Syahranum, puteri dari raja kerajaan Banjar. Sebagai seorang menantu raja, Abdurrachman kemudian diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrachman Nur Alam.

1771 M (1184 H) Dalam usia 64 tahun, pada hari rabu tanggal 3 Dzulhijjah selepas waktu zuhur, Habib Husein Alkadrie Tuan Besar Mempawah berpulang ke Rahmatullah.

Tanggal 11 Rabiul Akhir, Syarif Abdurrachman kembali ke Mempawah.

Pada tanggal 9 Rajab hari Sabtu selepas Zuhur, Syarif Abdurrachamn dan para pengikutnya beserta juga keluarga, berlayar meninggalkan negeri Mempawah untuk mencari lokasi hunian yang baru.

1771 M (1185 H) Tanggal 14 Rajab hari Kamis pagi, setelah lima hari melayari Sungai Kapuas, rombongan yang dipimpin Syarif Abdurrachman mendarat di sebuah delta di pertemuan dua sungai besar, Kapuas Besar dan Landak Kecil.

Tanggal 14-30 Rajab, di lokasi yang didarati rombongan ini, dibangun barak-barak dan membuka arealnya untuk dijadikan tempat hunian. Bangunan pertama permanen yang didirikan adalah sebuah surau yang belakangan kemudian dikenal sebagai Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie.

Dalam bulan syaban, diikuti sejumlah rakyatnya, Abdurrachman sebentar waktu kembali ke Mempawah untuk mengangkut armada tiang sambung dan perlengkapan lainnya untuk dibawa ke negeri yang didirikannya di mana negeri ini dinamakan dengan Pontianak.

1771 sampai 1778 M (1185 sampai 1191 H) Syarif Abdurrachman Alkadrie selama sekitar enam tahun membangun cikal bakal negeri Pontianak.

1771 M (1192 H) Dalam bulan Muharram dan Safar, dibantu kerajaan Riau, Syarif Abdurrachman memimpin pasukan kerajaannya menyerang kerajaan Tayan dan Sanggau. Sanggau setelah berusaha bertahan, akhirnya dapat ditaklukkan.

1778 (1192 H) Pada tanggal 18 Syaban hari Senin, setelah menaklukkan Sanggau, dengan dihadiri oleh raja-raja kerajaan Landak, Simpang, Matan, Sukadana dan Mempawah, sultan Riau menobatkan Syarif Abdurrachman Alkadrie sebagai sultan (pertama) di kesultanan Pontianak.

1779 M (1193 H) Residen Rembang Willem Adrian Palm mewakili VOC, untuk kali pertamanya menginjakkan kaki di kesultanan Pontianak. Dilangsungkan kontrak pertama antara VOC dengan kesultanan Pontianak dan Sanggau. Sejak tanggal 5 Juli, kesultanan Pontianak beserta negeri taklukkannya (Sanggau dan Tayan) berada di bawah kekuasaan VOC.

1784 M (1198 H) Dibantu tentara kompeni Belanda, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie menyerang kerajaan Sukadana yang dikuasai kesultanan Riau.

1786 M (1200 H) Kesultanan Pontianak dengan bantuan Belanda menyerang kerajaan Mempawah. Perang saudara berkecamuk hampir delapan bulan, di mana akhirnya Mempawah dapat ditundukkan. Panembahan Mempawah, Adijaya Kusuma tak sudi negerinya diinjak Kolonial Belanda kemudian meninggalkan negeri Mempawah. Dengan persetujuan VOC, Syarif Kasim, salah seorang putera Sultan Syarif Abdurrachman, dinobatkan sebagai Panembahan Mempawah. Belum berapa lama Syarif Kasim menduduki tahta kekuasaan, Belanda menyodorkan sebuah kontrak kepadanya.

1791 M (1206 H) Selama kurang lebih delapan bulan, terjadi peperangan antara kesultanan Pontianak dengan Sambas.

1792 sampai 1808 M Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie meneruskan menata pemerintahan kesultanannya bersamaan dengan tindakan Belanda membangun di sebelah barat sungai kapuas.

1808 M (1223 H) Hari sabtu tanggal 1 Muharram selepas zuhur, dalam usia 69 tahun, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie berpulang ke Hariban llahi dan dimakamkan ke Batulayang.

1808 M Tanggal 12 maret 1808 Panembahan Syarif Kasim raja Mempawah datang melayat ayahnya (Abdurrachman) yang wafat. Dan ketika itu pula, ia menyatakan kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia bahwa dirinya bertindak sebagai sultan Pontianak.

Syarif Kasim adalah putera pasangan Abdurrachaman dan isterinya Utin Tjindramidi. Sebetulnya sebelum wafat, Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie telah menetapkan Syarif Osman Alkadrie sebagai calon penggantinya atau selaku Pengeran Ratu. Syarif Osman Alkadrie adalah putera pasangan Abdurrachman dengan isterinya yang bernama Nyai Kesumasari.

1818 MGubemurJenderal Belanda menugaskan Holtz dengan serdadunya datang ke Pontianak atas permintaan Sultan Syarif Kasim untuk menjaga keamanan kesultanan Pontianak. Kesempatan itu digunakan Belanda untuk melindungi logi dagangnya di sini. Tangga! 9 Agustus, bendera Belanda berkibar di Pontianak dengan persetujuan Sultan Pontianak.

1819 M Tanggal 12 Januari, Komisaris Belanda Nahuys mengadakan perjanjian atau kontrak baru dengan Sultan Syarif Kasim Alkadrie. Atas dasar kontrak inilah, maka dengan perintah Gubemur Jenderal Du Bus, di wilayah yang dikuasai Belanda di seberang pusat kesultanan, dibangun benteng dengan nama Marianne’s Oordn, mengabadikan nama putri Raja Willem I. Dalam perkembangan kemudian inilah awal hadirnya Kampung Mariana di Pontianak.

Langkah-langkah lunak yang ditempuh sultan menyebabkan tidak sedikit kerabat kesultanan Pontianak yang menentang dan memilih meninggalkan pusat pemerintahan serta mendirikan kawasan baru yang belakangan dikenal sebagai kampung luar. Beberapa pekan setelah perjanjian dengan Belanda, Sultan Syarif Kasim Alkadrie wafat. Putranya yaitu Syarif Abubakar sangat berhasyrat untuk menggantikannya, namun ditentang keras oleh rakyat dan kalanga.n istana Kadriyah lainnya. Gubernur jenderal mengirim Komisaris Roesler untuk mengangkat Pangeran Ratu Syarif Osman Alkadrie sebagai sultan ketiga di Pontianak.

1822 M Tanggal 16 Maret, Belanda mengadakan perjanjian dengan kesultanan Pontianak yang intinya sangat merugikan Pontianak.

1823MTanggal 14 Oktober ditetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas mencakup pengadilan terhadap rakyat kesultanan Pontianak.

Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Usman istana Kadriyah untuk pertama kalinya direnovasi, Masjid Jami diperluas dan penataan kembali pemerintahan kesultanan Pontianak.

1855 M Setelah 36 tahun bertahta, Sultan Syarif Osman Alkadrie berpulang ke Haribaan llahi. Anak tertuanya, Syarif Hamid Alkadrie diangkat sebagai pelanjut pemerintahan.

1857 M Tanggal 4 Januari terbit Surat Keputusan Residen Borneo Barat yang memasukkan Distrik Cina Monterado ke dalam wilayah kesultanan Pontianak. Ini sebagai imbalan atas kebijakan almarhum Sultan Syarif Osman yang tidak memihak atas kekacauan Kongsi Cina di Mandor tahun 1850. Atas usul Sultan Syarif Hamid, Residen Borneo Barat Swager menyetujui pembentukan Majelis Ulama dan menetapkan Syarif Abdurrachman sebagai ketua untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dan hukum pemerintahan.

1872 M Relatif singkat, 17 Tahun memerintah, Sultan Syarif Hamid meninggal dunia. la kemudian digantikan anaknya yang tertua Syarif Yusuf Alkadrie. Sultan Yusuf lebih kentara sangat ulama. Tanggal 22 Agustus Belanda menyodorkan sebuah perjanjian lagi di mana inti dari perjanjian ini melibatkan Bestuur Ambtenaar dalam tindak hukum terhadap penduduk pribumi kesultanan.

Di masa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alkadrie, banyak berdatangan imigran dari negeri-negeri Banjar, pulau Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan, daerah sekitar Selat Malaka, bahkan Kamboja, juga Tambelan dan Sempit. Akibat diberlakukannya Undang-Undang Bumi, Pontianak semakin kehilangan kekuasaan dan otonom perekonomiannya.

1895 M Setelah memerintah selama 23 tahun, Sultan Syarif Yusuf berpulang ke Rahmatullah. la kemudian digantikan putera sulungnya yaitu Syarif Mohammad Alkadrie.

1911 M Tanggal 23 Juni Belanda menyodorkan perjanjian kembali dengan kesultanan Pontianak di mana perjanjian ini direalisir pada tahun 1912 (tanggal 26 maret) yang inti perjanjian ini Belanda semakin jauh ikut-campur dalam urusan pemerintahan Pontianak.

1913 M Tanggal 12 Juli, Putera sulung Sultan Syarif Mohammad Alkadrie dari isteri yang bernama Syecha Jamilah binti Machmud Syarwani, dilahirkan. Pewaris tahta ini diberi nama Syarif Hamid Alkadrie. Hamid mendapatkan kehidupan dan pendidikan modern. Semasa kecilnya ia diasuh oleh seorang wanita Inggris.

1941 M Tanggal 19 Desember, Pontianak dijatuhi bom oleh sembilan pesawat tempur Jepang. Pontianak luluh lantak menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Jepang mulai menduduki Pontianak.

1943 M Tanggal 23 April, beserta sedikitnya 60 kerabat kesultanan, Sultan Syarif Mohammad Alkadrie diciduk balatentara Dai Nippon Jepang.

Sultan Syarif Mohammad Alkadrie sebagai salah seorang korban kebengisan dan kekejaman Jepang di Kalimantan Barat semasa Perang Dunia II. Dengan disungkupnya sultan, berakhirlah kekuasaannya yang telah memerintah selama sekitar 48 tahun.

1945 M Tanggal 29 Agustus atau 29 Hatigatu 2605 dilangsungkan rapat untuk mengisi tahta Kesultanan Pontianak yang kosong sejak tahun 1943. Rapat untuk menentukan calon tokoh Pontianak itu dihadiri Ken Kanrikan Pontianak Tokoro, Asjikin, Jamagata, Hasnoel Kabri, Syarif Osman, Syarif Hamid Alhinduan, Syarif Ibrahim Alkadrie dan Kerabat Kesultanan Pontianak.

Dalam rapat diputuskan atas dasar adat kesultanan ditetapkan dua orang calon, yang keduanya adalah perempuan anak dari Sultan Mohammad Alkadrie dari istrinya Syarifah Zubaidah Maharatu Besar Permaisuri, yaitu Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara yang telah menjadi istri Syarif Hamid, Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara istri dari Syarif Osman Alkadrie.

Namun kedua putri sultan itu menyatakan ketidakbersediaan mereka, maka diputuskan akan diangkat sebagai sultan adalah salah seorang cucunya yang sudah akil baligh. Maka diusulkan lima orang cucu sultan sebagal calon, masing-masing Syarif Thaha, Syarif Ahmad Van dan Syarif Hasyim (ketiganya anak dari Syarifah Fatimah Ratu Anom Bendahara) dan dua cucu lainnya anak dari Syarifah Maryam Ratu Laksemana Srinegara, yaitu Syarif Ibrahim dan Syarif Yusuf.

Keputusan terakhir maka untuk mengisi kekosongan tahta ditetapkanlah cucu yang tertua diantara kelimanya yaitu Syarif Thaha Alkadrie yang ketika itu berusia sekitar 18 tahun. Dalam menjalakan roda pemerintahan, Syarif Thaha didampingi sebuah majelis kesultanan atau zityo hyogikai.

Syarif Thaha di atas tahta bergelar Pangeran Negara (1927 – 82) Tanggal 29 Oktober, Syarif Hamid Putera sulung sultan Syarif Mohammad Alkadrie telah kembali ke Pontianak, selanjutnya diangkat sebagai sultan Pontianak oleh Pemerintah NICA. Dengan Demikian, berakhirlah masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alkadrie Pangeran Negara (29 Agustus 29 Oktober 1945). Syarif Hamid dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dangan gelar Sultan Hamid II.

1950 M Atas perintah Jaksa Agung, tanggal 5 April Sultan Hamid II ditangkap di Hotel Des Indes Jakarta.

1953 M Tanggal 8 April, Sultan Hamid II divonis penjara selama 10 tahun dengan tuduhan melakukan tindak suversib.

1978 M Tanggal 30 Maret, Sultan Hamid II wafat di Jakarta dalam usia 65 tahun dan dimakamkan di Batu Layang Pontianak.

(Kronologis diadaptasi dari naskah Riwayat Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Pendiri Kota dan Kesultanan Pontianak 1739 -1808, oleh H. Ya’ Achmad dan Drs. Ansar Rahman, Pemda Kota Pontianak: 1999).

Sumber:

Sejarah pemerintahan Kesultanan dan Kota Pontianak / dihimpun dan ditulis oleh Syafaruddin Usman MHD.

Penghargaan

Habib Husein pernah menjabat sebagai mufti di Kesultanan Matan. Pada saat yang bersamaan ia juga ditunjuk sebagai patih di kesultanan ini. Ia juga pernah menjabat sebagai mufti di Kesultanan Mempawah, mufti pertama di kesultanan ini. Ia berperan sangat besar terhadap dakwah dan perkembangan ajaran Islam di Kalimantan Barat pada saat itu.