Maha Pemaaf dan Maha Pengampun

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Dua Nama Indah Allah S.W.T, Maha Pemaaf dan Maha Pengampun

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

"Tindakan memaafkan dan mengampuni tidak bisa dilepaskan dari sikap Allah S.W.T terhadap kesalahan manusia"

Dalam kitab Suci Al Qur'an, Allah SWT seringkali mengungkapkan secara berpasangan dua Nama Indah-Nya (Asma' al-Husna). Misalnya, Nama Al-'Afuww (Maha Pemaaf) dan Nama Al-Ghafur (Maha Pengampun). Hal itu bisa kita lihat dalam salah satu ayat: "Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun". (QS al-Hajj (22): 60). Dalam kitab Al-Maqshad Al-Asna, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Nama Pengampun (Al-Ghafur) memiliki arti sama dengan Al-Ghaffar (Al-Ghazali, Al-Maqshad Al-Asna, 1986, halaman.114). Kata Al-Ghafur dan kata Al-Ghaffar berasal dari akar kata yang sama, yaitu gh-f-r. Ibn Faris menjelaskan bahwa akar kata itu memiliki artinya menutupi (sitr). (Ibn Faris, Mu'jam, 1994, hlm.811).

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali.rhm, Al-Ghaffar adalah bahwa Allah memperlihatkan kebaikan dan menutupi keburukan. Dosa merupakan totalitas keburukan yang ditutupi oleh dengan memberikan tutupnya di dunia dan menghilangkan sangsinya di akhirat. Pengampunan adalah menutup. Dalam hal ini, Allah menutupi dalam tiga tahap penting:

1). Allah menjadikan keburukan-keburukan badan manusia yang dianggap buruk oleh mata, tertutup di dalamnya dan menutupinya dengan keindahan lahirnya.

2). Allah menjadikan letak gerak hatinya yang tercela dan keinginannya yang buruk, tersembunyi dalam hatinya sehingga tidak seorang pun mengetahuinya.

3). Allah menutupi dosa-dosa manusia yang seharusnya ditampakkan di hadapan manusia lain. Bahkan dia menjanjikan untuk mengganti keburukan itu dengan kebaikan dan menutupi keburukan dosanya dengan pahala kebaikannya jika ia mati dalam keimanan (Al-Ghazali al-Maqshad al-Asna, 1986, halaman 85).

Sementara itu, kata Al-'Afuww berasal dari akar kata 'a-f-w yang berarti meninggalkan sesuatu (Ibn Faris, Mu'jam, 1994, halaman 667). Dalam konteks ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan Allah sebagai Maha Pemaaf adalah bahwa Dia menghapus keburukan dan memaafkan kemaksiatan. Makna Maha Pemaaf ini berdekatan dengan makna Maha Pengampun. Meski begitu, maka Maha Pemaaf itu lebih dalam lagi daripada makna Maha Pengampun karena mengampuni dibangun dari makna"Menutupi" dan memaafkan dibangun dari makna "Menghapus". Makna menghapus lebih jauh daripada menutupi. (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 151).

Sebagai hamba Allah SWT, seorang mukmin dituntut agar ia bisa meneladani dua Nama indah-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, ia harus meneladani Nama Indah Al-Ghaffar dengan cara menutupi orang lain apa yang seharusnya ditutupi. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda; "Barang siapa menutupi aurat pada orang beriman, maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi akan menutupi auratnya di hari Kiamat.". (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 85).

Kedua, ia juga harus meneladani Nama Indah Al-'Afuww dengan cara memaafkan setiap orang yang berbuat zhalim kepadanya. Bahkan ia bisa berbuat baik kepadanya seperti halnya Allah berbuat baik kepada orang durhaka dan kafir tanpa mempercepat siksa mereka. Lebih dari itu, Dia kadang memberikan maaf dan taubat kepada mereka (Al-Ghazali, al-Maqhad al-Asna, 1986, halaman 151).

Betapa mulianya “Memaafkan“, sesungguhnya menaruh dendam terhadap kesalahan seseorang itu hal yang membebankan hati, memang memaafkan itu tidak semudah apa yang kita ucapkan, tetapi cobalah berfikir "Allah saja Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, kenapa kita tidak bisa memaafkan ? ". Berikut ini adalah beberapa Perintah Memaafkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, semoga bisa menjadikan kita manusia yang mudah memaafkan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:

(40). وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖفَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى الَّهِ ۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“…dan balasan kejelekan itu adalah kejelekan pula, namun siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang dhalim. “(QS Asy Syura 40)

Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam bersabda :

“Allah tidak akan menambah kemaafan seseorang, melainkan dengan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (Hadits riyawat Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam bersabda: 

"jika rasa marah telah menyesakkan (menyusahkan) mu, maka hilangkanlah dengan memberi maaf. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti akan ada suara yang memanggilL: berdirilah siapa yang memiliki pahala di sisi Allah! Tidak ada seorang yang berdiri, kecuali orang-orang pemaaf. Tidakkah kamu mendengar firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: “siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungannya), maka pahala baginya di sisi Allah” (A’lâmuddin hal. 337)

Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam juga bersabda: "Hendaknya engkau memaafkan, karena tindakan memaafkan itu akan menambahkan kemuliaan seorang hamba. Salinglah memaafkan sehingga kalian mendapatkan kemuliaan dari Allah! "(Al Kafi juz 2 hal. 108 hadits no 5)

Bersabda Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam : 

"Siapa yang banyak memaafkan, maka akan panjang umurnya."(A’lâmuddin hal. 315)

Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam bersabda: "Maafkanlah kesalahan orang-orang yang berbuat kesalahan niscaya Allah akan melindungi kalian dari takdir yang buruk. " (Tanbihul Khawathir juz 2 hal. 120)

Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, berkata, “Barangsiapa memaafkan kesalahan seorang Muslim, maka Allah akan memaafkan kesalahannya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang lebih suka memaafkan selain Allah. Oleh karena itu, Dia mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Riwayat Bukhari).

Al-Qur'an mengajarkan pada seluruh umat manusia, untuk dan saling memaafkan, memang tidak mudah memaafkan kesalahan orang lain, akan tetapi sifat pemaaf adalah salah satu sifat yang diajarkan oleh Al-Qur’an dalam Surat Al-A'raf (7) ayat 199, yang artinya :

199. خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ 

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”

Seperti diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ketika ayat di atas diturunkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) meminta penjelasan kepada Jibril tentang maksud dan kandungannya.

Jibril.as kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan agar engkau memaafkan, sekalipun kepada orang yang menganiayamu (agar engkau) memberi kepada orang yang menahan pemberiannya, dan (agar engkau) menyambung silaturrahim, meskipun kepada orang yang sengaja memutuskannya.”

Dalam kisah yang diriwayatkan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memuji seorang bernama Abu Dhamdham.ra di depan para Sahabat. “Apakah kalian mampu berbuat seperti yang dilakukan Abu Dhamdham?” kata Rasulullah SAW.

Para Sahabat kemudian bertanya, “Apakah yang dilakukan Abu Dhamdham wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang ketika bangun pagi selalu mengucapkan doa, ‘Ya Allah, saya berikan jiwa dan nama baik saya. Jangan dicela orang yang mencela saya dan janganlah dizalimi orang yang menzalimi saya, serta jangan dipukul orang yang memukul saya,’.

Pahamilah firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ini dengan sepenuh hati, mengampuni bagi orang orang yang memaafkan kesalahan orang lain, sesuai firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surat An-Nuur (24) ayat 22 yang artinya :

(22). وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖوَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗأَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗوَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nuur [24] ; 22)

Al-Qur`an secara spesifik pernah menegur Sahabat Nabi Sayyidina Abu BakarAsh-Shiddiq.ra karena ia telah bersumpah akan memutuskan hubungan kekerabatan dan menghentikan bantuan keuangan yang biasa diberikannya kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah.

Peristiwa ini bukan tanpa alasan. Karena sepupunya, Misthah telah melukai hati Sayidina Abu Bakar karena ikut serta menyebarluaskan fitnah/berita bohong (haditsul ifki) tentang ‘Aisyah, putri kesayangannya dan istri Baginda Nabi Rasulullah SAW.

Dalam berita palsu itu disebutkan bahwa ‘Aisyah.rha telah berbuat serong dengan lelaki lain. Siapa yang hatinya tidak marah jika putrinya difitnah seperti itu, bahkan istri Baginda Nabi SAW.

Akan tetapi Allah Ta’ala justru menurunkan ayat secara khusus ditujukan kepada Abu Bakar. Allah Ta’ala berfirman, sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nuur [24] ayat 22, diatas  “… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”

Setelah ayat itu disampaikan oleh Rasulullah SAW, maka secara spontan Sayidina Abu Bakar.ra menjawab pertanyaan Allah Ta’ala dengan berdoa, “Ya Allah, aku lebih suka agar Engkau mengampuniku, dan aku sudah memafkannya.”

Sahabat Nabi Sayyidina Abu Bakar.ra memberi maaf kepada sepupunya yang menyebarkan fitnah keji itu sebelum Misthah datang meminta maaf. Baginya, ampunan Allah Ta’ala jauh lebih penting dari pada sekadar permintaan maaf orang lain.

Ia tidak menunggu sepupunya merengek-rengek atau menunduk-nunduk meminta maaf. Meminta maaf atau tidak, ia telah memaafkannya.

(14). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚوَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ الَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taghaabun, 64:14)

134. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.. QS. Ali ‘Imraan (3):134

Oleh karena itu barangsiapa yang menahan nafsunya itu dan memaafkan saudaranya, maka Allah menjanjikan kebaikan yang luar biasa. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman, 

149. إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا 

Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. QS.an-Nisa' 4:149.

Perhatikan, “atau engkau memaafkan sesuatu kesalahan” adalah kalimat syarat yang umum, dimana Allah mensyaratkan untuk memaafkan apa saja. Karena pada dasarnya kesalahan saudara kita yang datang kepada kita akan bermacam-macam modelnya, baik besar maupun kecil.

Salah satu kriteria dan keutamaan akhlak yang terpancar secara jelas dari pribadi Baginda Nabi SAW adalah sifat memaafkan orang lain. Metode yang selalu digunakan oleh Rasulullah Saw dan para mukminin dalam menghadapi kesalahan dan bahkan hinaan orang lain adalah perlakuan yang sangat mulia. Mereka memaafkannya dan malah berbuat kebajikan kepadanya. Hal ini menyebabkan orang itu merasa malu atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Dalam surah An-Nahl ayat 126-128, Allah SWT berfirman menjelaskan, 

(126). وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖوَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

"Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." 

(127). وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚوَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

(128). إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

Diriwayatkan Hadist oleh al-Hakim, al-Baihaqi di dalam kitab ad-Dalaa-il, dan al-Bazzar, yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa ketika Rasulullah saw. berdiri di hadapan jenazah Hamzah yang syahid dan dirusak anggota badannya, bersabdalah beliau: “Aku akan membunuh tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan atas perlakuan mereka terhadap dirimu.” Maka turunlah Jibril menyampaikan wahyu akhir surat an-Nahl (an-Nahl: 126-128) di saat Baginda Nabi SAW masih berdiri, sebagai teguran kepada beliau. Akhirnya Rasulullah pun mengurungkan rencana itu, karena Rasulullah sangat ingin bersama dengan Allah, sesuai Janji-Nya dalam surah an-Nahl ayat 128, dimana Allah SWT beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yangmenganggap hadits ini hasan, dan al-Hakim, yang bersumber dari Ubay bin Ka’b, bahwa pada waktu perang Uhud gugurlah enam puluh empat orang shahabat dari kaum Anshar dan enam orang dari kaum Muhajirin, di antaranya Hamzah. Kesemuanya dirusak anggota badannya secara kejam. Berkatalah kaum Anshar: “Jika kami memperoleh kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang mereka lakukan.” Ketika terjadi pembebasan kota Mekah, turunlah ayat ini (an-Nahl: 126) yang melarang kaum Muslimin mengadakan pembalasan yang lebih kejam dan menganjurkan supaya bersabar.

Begitupun pada surah Asy-Syura ayat 40, 

(40). وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖفَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى الَّهِ ۚإِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim."

Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa balasan atas suatu kejahatan yang diperbuat seseorang hendaklah dengan yang seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukannya itu. Tidak dibenarkan oleh agama memberi balasan atas suatu kejahatan melebihi kejahatan yang diperbuat, atau melampaui batas. 

Sesuai dengan ini firman Allah SWT sebagai berikut: 

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ 

Artinya: 

Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Q.S. Al Baqarah: 194) 

Di ayat lain Allah berfirman: 

وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا 

Artinya: 

Dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya. 

(Q.S. An Nahl: 126) 

Sekalipun demikian, adalah lebih baik kalau kejahatan yang ditimpakan kepada kita itu, tidak kita balas, melainkan kita berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita, karena yang demikian itu, Allah akan memberikan dan menyediakan pahalanya. Selain dari itu, memaafkan orang yang berbuat jahat kepada kita adalah penebus dosa, sebagaimana firman Allah SWT: 

وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ 

Artinya: 

Dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.(Q.S. Al-Maidah: 45) 

Ayat 40 ini ditutup dengan satu penegasan bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang zalim yang melampaui batas di dalam melakukan pembalasan atas kejahatan yang ditimpakan kepadanya.

Orang yang mulia adalah orang yang suka memafkan. Dalam sebuah hadis yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Musa bin Imran a.s, berkata: "Wahai Tuhanku diantara hamba-hamba-Mu, siapakah orang yang paling mulia dalam pandangan-Mu ? "Allah Azza Wajalla menjawab, “ Orang yang memaafkan walaupun ia mampu membalas. “ ( Hadis Riwayat Baihaqi )

Orang yang bertakwa adalah mereka yang mengerjakan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya. Allah SWT mengkategorikan mereka yang pemaaf termasuk dalam golongan muttaqin (orang bertakwa). Allah SWT mengampunkan mereka yang pemaaf serta menempatkan mereka di syurga.

 

Sikap pemaaf adalah akhlak yang mulia dan dituntut syara'. Memaafkan orang adalah akhlak mulia dan tergolong dalam amalan yang amat digalakkan. Tentu sekali bagi mereka yang dikasihi Allah SWT akan mudah mendapat rahmat dan keampunan-Nya.

 

Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah sebaik-baik contoh ikutan bagi seluruh umat manusia. Antara contoh keperibadian yang tinggi yang wujud dalam diri Rasulullah SAW adalah sikap pemaaf baginda. Ini dapat kita perhatikan dalam banyak peristiwa yang dialami baginda melalui banyak riwayat yang menceritakan kemuliaan akhlak baginda dengan memaafkan orang kafir yang menyakiti baginda hingga menyebabkan mereka masuk Islam.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam tafsir 3/483, mengatakan: “Ayat ini merupakan landasan pokok menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan dalam ucapan-ucapan beliau, perbuatan-perbuatan, dan dalam semua keadaan beliau.”

Allah SWT berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al Anbiya 107).

Ulama pun menguraikan tiga tingkatan sifat pemaaf dalam Al-Qur'an. Pada tingkatan pertama, seseorang memperhitungkan keburukan dan kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain. Namun ia rela memberi pemaafan demi keridhaan Allah SWT.

Pada tingkat kedua, seseorang dengan begitu saja memaafkan kesalahan orang lain tanpa pernah memperhitungkan dan mengungkit-ungkitnya. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan seperti ini disebut shafh.

Dan pada tingkatan yang lebih tinggi, bukan hanya tidak memperhitungkan kesalahan orang lain, tidak pula sekedar memaafkan bahkan membalasnya dengan kebajikan. Dalam terminologi Qurani, sifat memaafkan ini disebut ghufran.

Sikap ghufran dalam menghadapi kesalahan orang lain adalah sebuah tindakan yang sangat sulit. Akan tetapi, Al-Quran senantiasa mengajak seluruh kaum mukminin di samping memaafkan dan shafh, juga harus berbuat kebajikan kepada mereka yang telah berbuat kesalahan. Hal ini sejalan dengan sebuah pepatah bijak yang mengatakan, "Berakhlaklah sebagaimana pohon mangga, dilempari orang yang lewat, namun ia membalas dengan memberi buah yang ranum."

Al-Qur`an bahkan menyebut dengan tiga tindakan berkaitan dengan pemaafan dalam keluarga, yaitu ta’fu (memaafkan), tasfahu (tidak mengeluarkan kata-kata yang identik dengan mencela), dan taghfiru (memohonkan ampunan kepada Allah Ta’ala untuk mereka).

Sesungguhnya ada seribu satu alasan untuk memaafkan, sebagaimana ada seribu satu alasan untuk tidak memaafkan. Hanya saja, sebagai orang yang katanya cinta kepada Rasulullah SAW, kita tentu lebih memilih untuk memaafkan.

Sebab, itulah ciri-ciri orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat Ali Imran [3] ayat 133-134 bahwa, :

133. وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

134. الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran 133 dan 134)

Ingatlah, guru kita yang mulia, Mawlana al-Habib Luthfi bin Ali bin Yahya telah menyampaikan nasehatnya;

Bilamana seseorang benar-benar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia takut apabila putus hubungannya dengan Allah SWT dan takut putus hubungannya dengan Baginda Nabi Rasulullah SAW, takut tidak diakui umatnya oleh Baginda Nabi, takut yang akhirnya mewujudkan kecintaan-mahabbah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.... (dengan mengikuti, ta'at serta melaksanakan seluruh perintah-Nya (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (Hadist), juga berupaya menjauhi larangan dari Allah dan Rasul-Nya) 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (tidak mau mengikuti Rasulullah SAW) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin (para ulama awliya shalihin), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa': 115]

Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang dikarunia hati yang penyayang, lembut dan senantiasa lebih memilih memaafkan daripada marah, membenci dan memusuhi.

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!