8. Ulama Nusantara

Tarim dan Penyebaran Islam di Indonesia 

Kota Tarim yaitu salah kota di Hadramaut, kota di mana para pelajar Indonesia banyak belajar di sana. Tarim diambil dari nama seorang anak raja yaitu Tarim bin Hadramaut, Tarim juga merupakan tempat hidup dan berkembangnya sadah bani Alawi keturunan Alwi bin Ubaidilllah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir, sekaligus sumber para aulia dan ulama karena di Tarim tidak kurang dari 40 orang wali.

Sebelum datangnya Sayyid Ali Khali' Qasam ke Tarim, di Tarim sudah bermukim 300 orang mufti dari berbagai kabilah yang ada.

Sayyid Ali bersama dua putranya pindah ke Tarim yaitu Husein dan Abdullah yang dilahirkan di Bait Zubair, sedangkan anak beliau yang bernama Muhammad yang dikenal dengan shohib Mirbath dilahirkan di Tarim. Dari Muhammad shohib Mirbath ini tersebar luas zuriat/keturunan sadah Alawiyah ke penjuru dunia karena sadah bani Alawi sekarang semua nasab mereka kembali kepada dua anak Muhammad shohib Mirbath yaitu Alwi (paman Faqih Muqaddam) dan Ali (ayah Faqih).

Diakhir abad ke-6 hijriyah, Sayyid Abdul Malik bin Alwi ('ammul Faqih) pergi merantau dari Tarim menuju India. Setelah menetap di sana dan mempunyai keturunan, pada awal abad ke-7 hijriyah atau abad ke-13 masehi menyebarlah anak cucunya keberbagai Negara dengan tujuan da'wah sepeti Kamboja, Cina, Thailand sebelum masuk ke Indonesia.

Cicit dari Sayyid Abdul Malik yang bernama Husein bin Ahmad bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan Jumadil Kubra atau Jumadil Akbar, menjadikan Kamboja sebagai tempat singgah yang pada akhirnya menetap di sana. Sayyid Husein mempunyai dua orang anak yaitu Ibrahim dan Ali.

Sayyid Ibrahim bin Husein mempunyai beberapa orang anak yaitu Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel), Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) dan yang terakhir Ali Al-Murtadha.

Sayyid  Ahmad  Rahmatullah pergi dakwah menuju Jawa sedangkan saudaranya Ishaq berdakwak menuju Samudera Pasai atau Sumatera. Akan tetapi, beliau juga sering mengunjungi saudaranya  Ahmad  Rahmatullah di Jawa sambil berdakwah. Sebagaimana masyhur diceritakan dalam buku kisah Wali Songo, bahwa Maulana Ishaq pergi dakwah ke daerah Blambangan, pada waktu itu Blambangan dilanda wabah penyakit sampai-sampai anak dari raja Blambangan yang bernama Dewi Sekardadu juga jatuh sakit, karena semua tabib sudah dicoba untuk mengobatinya namun tak kunjung sembuh, akhirnya sang raja memohon kepada Maulana Ishaq untuk mengobati putrinya karena sang raja mendengar berita bahwa Maulana Ishaq mampu mengobati berbagai penyakit, raja berjanji apabila Maulana Ishaq dapat mengobati penyakit putrinya, dia akan mengawinkan putrinya tersebut dan berjanji akan masuk agama yang dianut Maulana Ishaq yaitu Islam. Akan tetapi, setelah putrinya sembuh dan mengawinkannya dengan Maulana Ishaq, sang raja mengingkari janjinya untuk masuk islam malah mengusir Maulana Ishaq keluar Blambangan karena banyak rakyat Blambangan masuk islam. Dia juga bersumpah akan membunuh anak keturunan Maulana Ishaq yang masih berada dalam kandungan putrinya apabila lahir nanti.

Anak inilah yang nantinya cikal bakal penerus perjuangan sang ayah, yang ditelantarkan kakeknya dibuang ke laut dengan tujuan membunuhnya, itulah dia Raden Paku alias Maulana Ainul Yakin alias Sunan Giri.

Kemudian  Ahmad  Rahmatullah saudara Maulana Ishaq mempunyai beberapa orang anak yang termasuk penyebar ajaran islam di pulau Jawa. Mereka adalah Ibrahim (Sunan Bonang), Hasyim (Sunan Derajat) , Jakfar Shadiq (Sunan Kudus) dan lain-lain.

Sedangkan keturunan dari Sayyid Ali Al-Murtadha bin Husein mempunyai putra bernama Abdullah.

Dan dari Sayyid Barakat bin Husein mempunyai dua orang putra yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Ahmad Abdurrahman Arrumi.

Setelah perkembangan islam yang pesat di nusantara Indonesia, banyaklah berdatangan para da'I dari timur tengah terutama Hadramaut dari golongan Alawiyin zuriat Faqih Muqaddam. Perkembangan ini sangat dirasakan di daerah pusat perdagangan seperti Pasai, Palembang, Sunda Kelapa, Gresik dan lain-lain.

Palembang yang merupakan salah satu pusat perdangangan dan tempat pertama yang disinggahi oleh pedagang-pedagang dari timur tengah, di situ terdapat berbagai kabilah Alawiyin seperti Al-Athtas, Syihabuddin, Syaikh Abi Bakar bin Salim, As-Seggaf, Al-Qadri, Baragbah, Jamalullail, Al-Habsyi dan lain-lain yang tidak terdapat di daerah lain sebelum mereka tersebar ke berbagai daerah di nusantara.

Peranan kaum Alawiyin sangat besar dalam perkembangan islam bahkan ada di antara mereka yang memimpin pemerintahan seperti kerajaan Siak (Riau) yang diperintah oleh keluarga bin Syihabuddin, kerajaan Pasai (Aceh) diperintah oleh keluarga Jamalullail, kerajaan Pontianak diperintah oleh keluarga Al-Qadri, kerajaan Cirebon yang diperintah oleh Sunan Gunung Jati dan lain-lain. Bahkan ada di antara golongan Alawiyin yang menjadi pahlawan memimpin peperangan melawan penjajah seperti Tuanku Imam Bonjol yang bernama Muhammad Syihab, walaupun beliau bukan yang merupakan tempat kelahiran beliau sehingga melupakan silsilah asli beliau sebagai keturunan Hadramaut.

Kesimpulannya bahwa da'i-da'i yang menyebarkan islam di Indonesia kebanyakan dari mereka adalah dari Arab golongan Alawiyin, mereka datang ke Indonesia setelah melewati India bahkan sempat menetap di sana kemudian pindah ke nusantara Indonesia.

Menurut Thomas Arnold bahwa kedatangan islam bukanlah seperti halnya Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia tidak dengan pedang dan merebut kekuasaan politik, islam masuk ke nusantara dengan benar-benar menunjukan rahmatan lil alamin.