Sayyidatuna Zainab Al-kubro

Sayyidatuna Zainab Al-Kubra adalah putri Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, cucu tercinta Rasulullah saw. Kelahirannya menjadi penawar hati Rasulullah, yang sebelumnya kehilangan putrid tertuanya, juga bernama Zainab. Sebagai rasa syukur, Rasulullah menjuluki cucunya Al-Kubra ( yang Agung ), sehingga dibelakang hari beliau dikenal dengan nama Zainab Al-Kubra. Kebetulan kelahiran Sayyidatuna Zainab Al-Kubra bertepatan dengan tahun ditandatanganinya perjanjian damai antara kaum muslimin dan musyrikin, yang kemudian disebut Perjanjian Hudaibiyah.

Menurut para Ahli Tarikh, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra mewarisi keberanian, kepahlawanan dan kefasihan dalam berbicara dari ayahandanya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, serta kebajikan, kelembutan, dan pengorbanan dari ibundanya Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra. Sementara dua orang kakak lelakinya, Sayyidina Hasan dan Husein mendapat gelar dari Rasulullah saw sebagai Pemimpin para pemuda Ahli surga. 

Seperti ayahandanya, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra juga dikenal suka belajar dan mencintai ilmu, itu sebabnya, pandangannya dalam ilmu dan makrifat cukup mendalam. Berkat kecerdasannya itu pula, beliau dijuluki Aqilah Bani Hasyim ( wanita cerdas dari Bani Hasyim ).

Menjelang dewasa, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra menyaksikan sebuah tragedy, yang mendorongnya berkewajiban menyelamatkan Ahlul Bait ( keturunan Rasulullah saw ). Ketika Sayyidina Husein, kakaknya gugur syahid dipancung dalam perang Karbala. Bersama para wanita dan anak-anak, Sayyidatuna Zainab meronta, merintih dan menjerit dibawah langit Karbala yang menghitam oleh mendung.

Jauh sebelumnya, Allah swt sudah mengisyaratkan nasib Sayyidatuna Zainab kepada kakeknya, Rasulullah saw. Kala itu pada hari tertentu, Rasulullah saw sering menciumi wajah wajah mungil si kecil Zainab dengan isak tangis tertahan dan linangan air mata. Terbayang oleh Rasulullah saw penderitaan cucunda tercinta itu. Di sela-sela kegembiraan dan rasa bahagia atas kelahiran Sayyidatuna Zainab, para sahabat melihat suasana mendung di rumah Rasulullah saw.

Junjungan semesta alam-Kekasih Allah-Rasulullah Muhammad bin Abdullah saw. Bersabda,

“Saya berpesan kepada yang hadir maupun yang tidak untuk menghormati wanita ini. Karena ia seperti Khadijah (al)-Kubra.”(i)

Kelahiran dan Nama Sayyidah Zainab binti ‘Ali bin Abi Thalib (s.a)

Sayyidah Zainab lahir pada tanggal lima Jumadil Awal tahun lima atau enam Hijriah.(ii) Berdasarkan hasil kajian, Sayyidah Zainab adalah anak perempuan pertama Sayyidah Fathimah Zahra as.(iii) Ada juga yang mengatakan bahwa Sayyidah Zainab lahir empat tahun sebelum Rasulullah saw. wafat. (iv)

Ketika Sayyidah Zainab lahir, Sayyidah Fathimah Zahra as. Berkata kepada Amirul Mukminin as., “Karena ayahku tengah bepergian, tolong beri nama bagi anak ini. “Imam Ali as. Menjawab, “Aku tidak mau mendahului ayahmu.”

Setelah tiga hari berlalu, Rasulullah saw. pulang dari perjalanan. Sebagaimana biasa, pertama Rasulullah saw. datang ke rumah Sayyidah Fathimah Zahra as. Kemudian beliau berkata, “Anak-anak Fathimah adalah anak-anakmu.” (v)

Rasulullah saw. untuk memberi nama menunggu wahyu. Kemudian Jibril turun dan berkata, “Allah menyampaikan salam untukmu, dan dia berfirman, ‘Beri anak ini nama Zainab, sebagaimana yang telah Kami tulis di Lauh Mahfuz.”

Kemudian Rasulullah saw. mencium Sayyidah Zainab dan berkata, “Aku berpesan kepada umatku, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, untuk menghormati anak perempuan ini. Karena dia sebanding dengan Khadijah Kubra.” (vi)

Kemudian Rasulullah saw. mendekap Sayyidah Zainab di dadanya dan meletakkan wajahnya yang mulia di wajahnya. Tiba-tiba Rasulullah saw. menangis. Begitu banyak air mata yang mengalir hingga membasahi janggutnya. Sayyidah Fathimah as. bertanya, “Duhai ayah, mengapa engkau menangis?”

Rasulullah saw. bersabda, “Setelah kepergianku, anak ini akan mendapat musibah yang bermacam-macam.”

Mendengar itu, Sayyidah Fathimah as. pun menangis.

Berkaitan dengan akar kata nama Sayyidah Zainab sa terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur. Kelompok lain berpendapat nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu Zain dan Abun yang berarti ‘perhiasan ayah’. Sebagaimana ibunya, Sayyidah Fathimah Zahra, memiliki gelar Ummu Abiiha (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Sayyidah Zainab as juga memiliki gelar Zain Abiiha (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.(vii) Yang pasti, baik nama Sayyidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan arti dan makna yang sangat tinggi dan indah. 

Masa Kanak-Kanak

Hanya sebentar Sayyidah Zainab al-Kubro dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw. wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab sa masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata: “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke sana dan ke mari. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun”. Rasulullah saw. menangis setelah mendengarkan cerita beliau dan berkata: “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka”. (viii)

Sayyidah Zainab di masa kanak-kanaknya sangat dekat dan sayang kepada saudara laki-lakinya Imam Husain as., hingga ia tidak akan tenang kecuali berada dalam pelukan saudaranya. (ix) Jika ia tengah berada dekat Imam Husain as., ia tidak mau jauh darinya, dan jika Imam Husain as., jauh, ia akan menangis. (x)

Suatu hari, Sayyidah Fathimah as., berkata kepada Rasulullah saw., “Hai ayah, antara Zainab dan Husain demikian saling menyayangi. Hingga jika ia tidak melihat Husain as., sebentar saja, ia terlihat tidak tenang”.

Manakala Rasulullah saw., mendengar kata-kata ini, beliau menarik napas dalam-dalam sementara air mata mengalir dipipinya, kemudian beliau bersabda, “Duhai belahan jiwaku, anak perempuan kecil ini akan mendapat berbagai macam ujian dan cobaan.” (xi)

Pernikahan dan Keluarga Sayyidah Zainab (sa)

Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfar lah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya. (xii) Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan bendera yang ada ditangannya.

Keutamaan Sayyidah Zainab sa

1.  Aqilah Bani Hasyim

Salah satu gelar termansyur beliau ialah ‘Aqilah’. Abul Faraj Ishfahani dalam karyanya ‘Muqotil at-Tholibin’, ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah bin Jakfar berkata: “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah. Ibnu Abbas meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah Zahra darinya seraya berkata: “Aqiilah kami Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami ....”. Berkaitan dengan kata ‘Aqiilah’ terdapat beberapa pendapat. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya. Begitu juga pendapat Ibnu Zakaria dalam ‘Mujmal Luhgoh’. Pendapat ini merupakan pandangan beberapa sarjana bahasa. Namun sebenarnya dapat kita katakan bahwa ‘Aqiilah’ adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal atau dengan kata lain kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar. (xiii)

Gelar terhormat yang dimiliki pribadi agung seperti Sayyidah Zainab sa ini dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah Zahra as. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sayyidah Zainab as., khutbah Fadak berisi pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saww, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Quhafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw., dan lain sebagainya. (xiv) Padahal, ketika Sayyidah Fathimah Zahra as menyampaikan khutbahnya, Sayyidah Zainab as kala itu baru berusia lima tahun. 

Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab sa dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab sa yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali kw menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita”.

Riwayat ini mengisyaratkan bahwa hati Sayyidah Zainab sa telah dipenuhi oleh cinta pada Allah swt sejak usia sangat dini. Sebagaimana doa dari Imam ‘Ali bin Husain as-Sajjad sa (Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin): 

Allahumma inni as’aluka an tamla’a qalbii hubban laka, 

Ya Allah aku bermohon pada-Mu Agar Kau penuhi kalbuku dengan cinta pada-Mu

Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali kw mendudukan putrinya Zainab sa dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Iman Ali as mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab sa menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali kw memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab sa. Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua.

Penafsiran irfani (tashawwuf) tentang hal ini barangkali adalah Sayyidah Zainab sa telah tenggelam dalam Tauhid (Ketunggalan Tuhan) sejak usia sangat dini. Dalam pandangan wahdah al wujud (Ketunggalan Keberadaan atau Ketunggalan Wujud), yang memiliki keberadaan hakiki hanyalah Ia, sedangkan semua selainNya sirna dalam Cahaya KetunggalanNya. 

Berikut adalah Penggalan dari Doa Imam Husain bin ‘Ali sa kakak dari Sayyidah Zainab binti ‘Ali sa di Padang ‘Arafah yang diriwatkan Sayyid Ibn Thawus ra

****

2. Berilmu Tanpa Ada yang Mengajari (‘Aalimah Ghair Muta’allimah)

Imam Ali Zainal Abidin sa berkata:

“Wahai bibiku ... dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajari dan memahami (sesuatu permasalahan, pent.) tanpa ada yang memahamkannya (menerangkannya, pent).” Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw., yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”. (xv)

Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab sa bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali as., para lelaki penduduk Kufah mendatangi Iman Ali as dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab sa, mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Iman Ali as, menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab sa pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Iman Ali as mendengar Sayyidah Zainab sa mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali as mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali as menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyura yang akan menimpanya. (xvi

3.  Kekasih Allah (Waliyatullah)

Kendati beliau harus kehilangan kakak yang amat dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab sa berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”.

Ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Sayyidah Zainab sa masih sempat berkata: “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini) melainkan sesuatu yang indah”. (xvii) Kesyahidan Imam Husain as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Illahi yang selalu sesuai dengan hikmah Illahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi.

Setelah kesyahidan Imam Husain as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”. (xviii)

Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Sayyidah Zainab sa dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Illahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyatullah). Demikian dahsyatnya kesabaran Sayyidah Zainab sa, sehingga layak bagi Beliau untuk disebut jabar ash-shabr (gunung kesabaran).

4.  Banyak Beribadah (‘Abiidah)

Sayyidah Zainab seorang ahli ibadah. Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Pada malam Asyura bahkan pada malam kesebelas, ia tetap mengerjakan salat malam di samping kemahnya yang setengah terbakar. (xix)

Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab sa., Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”. (xx)

Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab sa berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu. 

5.  Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)

Basyir bin Khuzaim Al-Asai berkata (xxi): “Aku melihat Zainab binti Ali as saat itu. Tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan-akan semua kata-katanya ke luar dari mulut Amirul Mukminin Ali as. Beliau memberi isyarat agar semuanya diam. Nafas-nafas bergetar. Suasana menjadi hening seketika. Beliau mulai berbicara:

segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas kakekku Rasulullah Muhamamd saw dan keluarganya yang suci dan mulia.

Amma ba’du. Wahai penduduk Kufah! Wahai para pendusta dan licik. Untuk apa kalian menangis? Air mata ini tak akan berhenti mengalir. Tangisan tak akan cukup sampai disini. Kalian ibarat wanita yang mengurai benang yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga bercerai-berai kembali. Sumpah dan janji setia kalian hanyalah sebuah makar dan tipu daya. 

Ketahuilah, wahai penduduk Kufah! Yang kalian memiliki hanya omong kosong, cela dan kebencian. Kalian hanya tampak perkasa di depan wanita tapi lemah dihadapan lawan. Kaliah lebih mirip dengan rumput yang tumbuh diselokan yang berbau busuk atau perak yang terpendam. Alangkah kejinya perbuatan kalian yang telah membuat Allah murka. Di neraka kelak kalian akan tinggal untuk selama-lamanya.  

Untuk Apa kini kalian menangis tersengguk-sengguk? Ya, Demi Allah, banyaklah menangis dan sedikitlah ketawa, sebab kalian telah mencoreng diri kalian sendiri dengan aib dan cela yang tidak dapat dihapuskan selamanya. Bagaimana mungkin kalian dapat menghapuskannya sedangkan orang yang kalian bunuh adalah cucu  penghulu para nabi, poros risalah, penghulu pemuda surga, tempat bergantungnya orang-orang baik, pengayom mereka yang tertimpa musibah, menara hujjah dan pusat sunnah bagi kalian.

Ketahuilah, bahwa dosa kalian adalah dosa yang sangat besar. Terkutuklah kalian!Semua usaha jadi sia-sia, tangan-tangan jadi celaka, dan  jual beli membawa kerugian. Murka Allah telah Dia turunkan atas kalian. Kini hanya kehinaanlah yang selalu menyertai kalian.

Celakalah kalian wahai penduduk Kufah! Tahukah kalian, bahwa kalian telah melukai hati Rasulullah? Putri-putri Beliau kalian gelandangkan dan pertontonkan di depan khalayak ramai? Darah beliau telah kalian tumpahkan? Kehormatan Beliau kalian injak-injak? Apa yang telah kalian lakukan adalah kejahatan yang paling buruk dalam sejarah yang disaksikan oleh semua orang dan tak akan pernah hilang dari ingatan.

Mengapa kalian mesti keheranan menyaksikan langit yang meneteskan darah?Sungguh azab Allah  di Akhirat kelak sangat pedih. Di sana kalian tidak akan tertolong. Jangan kalian anggap remeh waktu yang telah Allah ulurkan ini. Sebab masa itu pasti akan datang dan pembalasan  Allah tidak Akan meleset. Tuhan kalian menyaksikan semua yang kalian lakukan.”

Perawi berkata : Demi Allah, aku melihat orang-orang tertegun dan larut dalam tangisan.Tangan-tangan mereka berada di mulut mereka. Aku melihat seorang lelaki tua berdiri disampingku sambil menangis hingga janggutnya basah. Ia berkata , “Demi ayah dan ibuku,kalian adalah sebaik-baik manusia. Keturunan kalian adalah sebaik-baik keturunan. Tak ada cela dan aib pada kalian.”

Perawi berkata: (xxii) “Ibnu Ziyad duduk di atas singgasanannya di istananya yang megah. Sesuai dengan perintahnya, izin masuk ke istana untuk menghadiri pertemuan yang ia adakan diberikan untuk umum. Kepala suci Al-Husain as di bawa kehadapannya bersama dengan para wanita keluarga Al-Husain as dan anak-anaknya.

Zainab binti Ali as duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Ibnu Ziyad bertanya, "Siapakah dia?" Terdengar jawaban ,”Dia Zainab binti Ali.”

Ibnu Ziyad berpaling kepadanya dan berkata, ”Puji syukur kapada Allah yang telah mempermalukan kalian dan membuka kedok kebohongan kalian."

Zainab menjawab , ”Yang sebenarnya dipermalukan adalah orang fasik dan yang mempunyai kebohongan adalah para pendosa, bukan kami,”

Ibnu Ziyad menyahut, ”Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah lakukan terhadap saudara dan keluargamu?”

“Aku tidak melihat ketentuan Allah kecuali Indah. Mereka adalah sekelompok orang yang telah di taqdirkan oleh Allah untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menuju kematian itu. Allah kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak kau akan dihujani pertannyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapa pemenang hari itu!Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!”

Perawi berkata: Ibnu Ziyad marah bukan kepalang. Hampir saja ia mengambil keputusan membunuh Zainab.

'Amr bin Huraits segera menegurnya “Tuan dia hanya seorang. Seorang wanita Tidak akan dihukum karena kata-katanya.

Tragedi karbala.

Ketika Sahabat Salman Al-Farisi menjenguk Sayyidatuna Zainab yang baru lahir dan mengucapkan selamat kepada orang tuanya, beliau menemukan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, ayahanda Sayyidatuna Zainab, bukannya bahagia, melainkanmenangis dalam duka. Dengan terbata-bata Sayyidina Ali bin Abi Thalib menceritakan kembali "ramalan" Rasulullah saw mengenai nasib Sayyidatuna Zainab di masa kemudian sebagai saksi utama peristiwa pembantaian keluarga Rasulullah saw di Padang Karbala, Irak.

Sayyidatuna Zainab Yang masih kecil, juga merasakan bagaimana orang tuanya memperlakukannya secara istimewa. Hatinya yang bersih menangkap makna butiran air mata di sudut mata ayah bundanya. Ketika baru berusia lima tahun, beliau sudah mendapat latihan ketabahan. Misalnya, menyaksikan ibundanya dengan setia berada disamping Rasulullah saw, kakeknya tercinta, yang tengah sakit. Sampai suatu hari hari, beliau mendengar segenap warga Madinah menangis.

Kala itu beliau melihat serombongan Sahabat secara bergiliran menyampaikan penghormatan terakhir kepada kakeknya tercinta, Rasulullah saw. Sayyidatuna Zainab juga melihat orang-orang menggali sebuah lubang di kamar Sayyidatuna Aisyah, neneknya. Gundukan tanah galian itu menumpuk di kiri-kanan lubang itu, sebagian butirannya mengenai baju Sayyidatuna Zainab. Tak lama kemudian, beliau melihat ayahandanya dibantu dua Sahabat yang lain, perlahan-lahan menurunkan jenazah Rasulullah saw kedalam lubang. Kemudian tubuh mulia yang suci itu ditutupi tanah dan pasir.

Berbagai peristiwa kemudian terjadi. Namun tampaknya Sayyidatuna Zainab tidak memahami semuanya, sebab yang paling beliau cemaskan ialah kesehatan ibundanya. Sejak Rasulullah saw wafat, ibundanya selalu tampak murung, wajahnya semakin kuyu, matanya sembab dan lebih sering mengasingkan diri. Sayyidatuna Zainab pernah melihat ibundanya mengambil sekepal tanah di makam datuknya, lalu mengusapkannya ke wajahnya sambil berlinang air mata.

Sekitar enam bulan setelah kakeknya wafat, apa yang dicemaskannya terjadi; Asma binti Umaisy menemukan Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra, ibunda Sayyidatuna Zainab wafat di sebuah rumah disamping masjid dan maqam datuknya. Untuk kedua kalinya, Sayyidatuna Zainab melihat tubuh orang yang dicintainya dimasukkan ke dalam lubang lalu ditimbun tanah dan pasir.

Dalam usia sekitar lima tahun, beliau sudah kehilangan dua orang yang sangat dicintainya; kakek dan ibundanya. Kala itu, selain beliau sendiri, di rumah keturunan Rasulullah saw itu masih ada ayahandanya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dua kakak lelaki, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, serta Adik perempuannya Ummu Kultsum. Setiap kali pulang, Sayyidatuna Zainab menemukan rumah yang sepi.

Beliau tak lagi tertidur di pangkuan ibundanya, ketika malam mulai mendingin, tak lagi mendengar panggilan ibundanya ketika matahari mulai terbit. Namun samara-samar masih teringat wasiat ibundanya untuk merawat kedua kakak lelakinya, Sayyidina Hasan dan Husein serta adik Perempuannya, Sayyidatuna Ummu Kultsum. Tapi, apa yang dapat dilakukannya , kecuali berkumpul dan berpelukan dengan mereka, sementara ayahandanya berusaha menghibur mereka.

Sebelum genap berusia 10 tahun, Sayyidatuna Zainab sudah bertindak sebagai ibu bagi abang dan adiknya, beliau tampak tabah, lembut, rajin, dan penuh kasih sayang. Dan akhirnya menjelang dewasa, ayahandanya memilihkannya seorang lelaki shaleh dan dermawan, Abdullah bin Ja'far. Pasangan ini melahirkan tiga putra dan dua putri. 

Belum puas mengecap kebahagiaan, musibah mengguncang rumah tangga mereka, Sayyidatuna Zainab menyaksikan bagaimana ayahandanya, setelah diangkat sebagai Khalifah, tak henti-hentinya bertempur. Sampai suatu hari, tak lama setelah adzan subuh, beliau mendengar hiruk pikuk di masjid " Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!"

Betapa miris ketika dilihatnya ayahandanya diusung dengan wajah berlumuran darah. Segera Sayyidatuna Zainab teringat percakapan ayahandanya dengan Sayyidatuna Ummu Kultsum, adiknya, tiga hari sebelumnya; 

"Anakku, tinggal sebentar lagi Ayah bersamamu" kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. 

"Mengapa ayah?" Tanya Sayyidatuna Ummu Kaltsum kaget.

"Aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Beliau mengusap debu dari wajahku, sambil bersabda; "Ali, jangan cemas. Engkau telah melaksanakan apa yang harus engkau lakukan" itulah mimpiku semalam" kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw.

Mendadak Sayyidatuna Zainab terguncang, perasaannya kalang kabut dipenuhi hal-hal mencemaskan. Sesaat beliau menyaksikan adiknya Ummu Kultsum, menjerit dan menghardik Abdurrahman bin Muljam, si pembunuh ayahandanya, "Ayahku tidak berdosa, mengapa kau bunuh, hai musuh Allah!".

Sayyidatuna Zainab berlari, lalu memeluk ayahandanya, membanjiri wajah ayahandanya dengan air mata, beliau melihat luka menganga di kepala ayahandanya.

Kala itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw masih bertahan hidup sampai dua hari. Dan setelah itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, Singa Allah yang lahir di dalam Ka'bah itu, wafat menghadap Allah swt dengan tenang.

Setelah Ayahandanya tiada, Sayyidatuna Zainab masih harus menanggung kepedihan tatkala beliau menyaksikan kakak sulungnya, Sayyidina Hasan, wafat karena diracun oleh pengikut Muawiyah. Derita batin rupanya belum lenyap dari nasib Sayyidatuna Zainab, rupanya beliau ditakdirkan Allah swt untuk mendampingi kakaknya, Sayyidina Husein yang syahid di Padang Karbala. Kepala Sayyidina Husein dipancung oleh anggota pasukan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, kepalanya ditancapkan di ujung tombak, lalu diarak ke Kufah.

Dalam arak-arakan itu terdapat pula sejumlah wanita dan anak-anak berpakaian kotor berdebu dan compang-camping, Sayyidatuna Zainab dan keluarganya berjalan tertatih-tatih, letih, sedih, takut, geram, campur aduk jadi satu. Mereka digiring seperti kawanan ternak tanpa makan dan minum.

Ahlul Bait

Ketika rombongan memasuki gerbang Kufah, ribuan orang turun ke jalan. Kepada mereka Sayyidatuna Zainab berteriak;

"Hei Kaum Kufah, kaum penipu dan penghianat. Kalian telah membantai orang-orang shaleh keturunan Rasulullah saw, pelanjut keteladanan utama!".

Dihadapan Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, nyawa Sayyidatuna Zainab nyaris melayang, jika saja si Gubernur tak diingatkan oleh anak buahnya, Amr bin Huraits.

Begitu pula Sayyidina Ali Zainal Abidin, putra Sayyidina Husein yang sempat menantang Ubaidillah binZiyad dengan sangat berani; 

"Engkau memang seorang Fasiq!"

ketika itu Ubaidillah bin Ziyad memerintahkan pengawalnya memenggal cicit Rasulullah saw tersebut; dengan sigap Sayyidatuna Zainab segera meloncat memeluk remaja kemenakaannya itu.

"Belum puaskah engkau menumpahkan darah kami? Demi Allah, aku tak akan melepaskannya. Jika kamu membunuhnya, bunuhlah aku dulu!".

Ubaidillah bin Ziyad pun mengurungkan niatnya. Dengan begitu, Sayyidatuna Zainab telah menyelamatkan pelanjut kepemimpinan Ahlul Bait, keturunan Rasulullah saw. Setelah itu, dengan susah payah Sayyidatuna Zainab digiring menghadap Khalifah Yazid bin Muawiyah di Damaskus, Syria. Dalam iring-iringan itu Sayyidina Ali Zainal Abidin, yang masih remaja, harus memikul belenggu pemasung kedua tangannya di atas tengkuk. 

Ketika itulah Fathimah, putrid Sayyidina Husein yang cantik jelita, nyaris menjadi rebutan antara seorang serdadu Syria dan Yazid. Tentu saja itu menimbulkan kemarahan Sayyidatuna Zainab; 

"Engkau memang penguasa Zalim. Engkau menindas orang dalam kekuasaanmu."

Sayyidatuna Zainab menantang dengan berani. Mendengar itu, Yazid jadi malu. Ia terdiam. Sekali lagi, Sayyidatuna Zainab menyelamatkan kuncup keluarga Rasulullah saw.

Kemudian Gubernur Ubaidillah bin Ziyad memulangkan Sayyidatuna Zainab dan rombongannya ke Madinah. Warga Madinah menyambut mereka dengan ratap tangis, Sayyidina Abdullah bin Ja'far, suami Sayyidatuna Zainab menyongsong istrinya dengan perasaan haru tak terlukiskan. Namun, Sayyidatuna Zainab sekeluarga tak dapat lama tinggal di Madinah, karena beberapa hari kemudian Yazid mengusirnya.

Maka berangkatlah Sayyidatuna Zainab ke Mesir, enam bulan pasca tragedy Karbala. Mereka disambut warga Kairo dengan penuh antusias. Bahkan Maslamah, Gubernur Mesir, memboyongnya ke rumah dinas Gubernur, Al-Hamra al-Quswa, sampai akhir hayatnya. Sejak itu kaum muslimin berduyun-duyun mendengarkan tausiyahnya yang mempesona, dan mempelajari hadits-hadits yang disampaikannya. Akhirnya, Sayyidatuna Zainab Al-Kubra wafat sekitar setahun setelah tragedy Karbala.

Ratusan tahun kemudian, keturunan Sayyidatuna Zainab, yang juga keturunan Rasulullah saw, mendirikan Kesultanan besar, Dinasti Fathimiyyah. Dan pada abad ke 5 Hijriyah, 10 abad silam dibangunlah Universitas tertua di dunia, Al-Azhar.

Sayyidatuna Zainab telah wafat, namun setiap saat puluhan ribu kaum muslimin senantiasa menziarahi makamnya dengan hidmat. Kecerdasan, ketabahan dan keberaniannya merupakan teladan bagi kaum Muslimah sepanjang masa.

    

( Dikutip dari Al-Kisah no. 16 / Tahun IV / 31 Juli-13 Agustus 2006 )