KH Ahmad Siradj Solo

Selama ini, tokoh yang akrab dengan panggilan Mbah Siradj (baca : Siroj) dari Kota Solo, dikenal sebagai seorang waliyullah yang memiliki berbagai kisah penuh karomah. Semisal, ia memiliki ilmu “melipat bumi”, sehingga perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat atau cerita tentang berbagai kekeramatan lainnya.

Kyai Ahmad Siroj, bagi masyarakat Solo dan sekitarnya cukup dikenal dengan sapaan mBah Siroj. Beliau selalu berpakaian khas dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh.

Tidak hanya kekhasan dalam berpakaian, namun beliau dikenal juga sebagai seorang ulama yang arif, shaleh, dan mempunyai kharisma. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlah makna (sasmita). Bahkan di jajaran Kota Solo, beliau dikenal sebagai seorang Waliyullah dengan beberapa karomah yang dimilikinya.

Maka, berdasarkan kepribadian dan sikap hidup serta istiqamah beliau, banyak muridnya yang senantiasa menyelenggarakan haul untuk mengenang wafat beliau setiap tahunnya.

Namun, pada tulisan kali ini, sengaja penulis tidak paparkan berbagai kisah kekeramatan yang dimiliki Kiai Siradj, akan tetapi lebih pada kepribadian serta kisah perjuangannya, agar selalu dikenang dan dapat diteladani oleh para generasi sesudahnya.

Dari buku Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala (1989), diperoleh keterangan ayah Kiai Siradj bernama Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kiai Imam Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R. Fatah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.

Selain Kiai Siraj, Kiai Imam Pura ini memiliki beberapa keturunan, di antaranya adalah Kyai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.

Sosok yang Inklusif

Kiai Siradj dilahirkan pada tahun 1878 M. Secara fisik, penampilan Mbah Siradj cukup mudah untuk dikenali, sebab dalam sehari-hari maupun saat bepergian jauh, ia sering berpakaian khas dengan memakai iket (semacam kain batik yang digunakan untuk menutupi kepala), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi.

Model pakaian ini agak mirip dengan pakaian yang dikenakan para ulama lain di lingkup Keraton Surakarta, semisal guru Mamba’ul Ulum yang memakai kain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi (jas tutup) warna putih, dan memakai blangkon.

Namun, tidak hanya kekhasan dalam berpakaian semata, Mbah Siradj juga dikenal sebagai seorang ulama yang alim, bijaksana dan kharismatik. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlahsasmita (isyarat). Bahkan di wilayah Solo dan sekitarnya, banyak yang menyebutnya sebagai seorang Waliyullah, dengan ilmu dan beberapa karomah yang dimilikinya.

Salah satu cicit Mbah Siradj, Agus Taufik, menjelaskan kakek buyutnya dikenal banyak orang karena sosoknya yang inklusif, dan pendekatannya dalam menyebarkan agama Islam dengan cara humanis.

“Mbah Siradj tidak pernah membedakan agama atau suku saat bergaul. Ajaran beliau untuk mempersatukan umat dan pluralisme, mungkin mirip dengan ajaran Gus Dur,” jelasnya.

Bahkan, karena sifatnya yang sangat terbuka terhadap segala macam lapisan masyarakat ini, hingga sekarang setiap diperingati haulnya, seorang penjual bakso di Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.

Berawal dari Gedhek

Semasa muda, Kiai Siradj pernah berguru kepada sejumlah ulama besar. Di antaranya di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, Siradj muda menimba ilmu kepada Kyai Bahri (ayah Kiai Ibnu Mundhir). Kemudian di Pesantren Tremas, ia berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, ia menjadi santri Kiai Sholeh Darat.

Kyai Ahmad Siroj termasuk pengikut Tariqah Qadariyah Naqsabandiyah sebagaimana yang diamalkan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Beliau terkenal sebagai ‘abid (ahli ibadah). Beliau senantiasa berjamaah shalat lima waktu, jarang sekali beliau shalat sendirian. Shalat sunnah rawatib, qabliyah dan ba’diyah selalu dijalankan secara lengkap. Yang empat rakaat dijalankan empat rakaat.

Shalat Dluha dilakasanakan oleh beliau secara kontinyu sebanyak delapan rakaat, meskipun sedang berada di rumah orang lain. Sedangkan antara maghrib dan isya’, beliau melakukan shalat awwabin.

Silaturahmi termasuk ibadah yang beliau gemari dan rajin dilakukan. Beliau acap menerima tamu dari pelbagai kalangan dan tamu-tamu itu dilayaninya dengan baik. Saat tengah malam tiba, beliau selalu bangun untuk menjalankan shalat tahajjud atau qiyamul lail.

Setelah menimba ilmu dari berbagai pesantren, ia kemudian mendirikan pesantren (kelak dikenal dengan nama Pesantren As-Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m².

Di pesantren tersebut, Kiai Siradj mengajarkan berbagai pelajaran, antara lain Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.

Menurut penuturan dari keturunannya, salah satunya Mujab Shoimuri (74), mengungkapkan bangunan pondok dulunya hanya sebuah gedhek (rumah sederhana). “Bangunan ini, dibangun Mbah Siradj, pada awalnya hanya sebuah gedhek. Kemudian setelah Mbah Siraj wafat tahun 1961, pesantren diasuh oleh ayah saya Kiai Shoimuri,” kenang Mujab, kala penulis menyambanginya tahun 2014 lalu.

Pada zaman dulu, Pesantren As-Siraj sangatlah ramai, begitu pula dengan lingkungan di sekitar pesantren. Sebab, selain karena ketokohan Kiai Siraj, di sekitarnya juga terdapat berbagai lembaga pendidikan terkenal seperti Pesantren Jamsaren, Al-Islam, Mamba’ul Ulum dan lain sebagainya.

Mujab juga mengisahkan, ketika ia masih kecil ia bersama santri lainnya, mengikuti pelajaran yang diajarkan Mbah Siradj, yakni belajar membaca surah al-fatihah dan tasyahud.

“Sesudah KH Shoimuri wafat, pondok diasuh oleh adik saya, KH Mubin Shoimuri. Saat dipegang Mubin kemudian tempat ini dibangun rumah dan pondok yang bagus. Santri lambat laun juga bertambah banyak, kalau bulan puasa bahkan ada sekitar 200 santri yang ikut mengaji di sini. Semuanya dicukupi mulai dari makan, pakaian dan lain-lain,” terang dia.

Kiai Mubin, yang juga pernah mengemban amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Surakarta 2003-2008, mengasuh pondok sampai akhirnya dia wafat pada tahun 2007.

Mbah Siradj juga dikenal khalayak sebagai seorang guru Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah. Setiap hari, ia senantiasa istiqamah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dan shalat sunnah rawatib, yang selalu dijalankannya secara lengkap.

Doa yang banyak dipanjatkan olehnya adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”

Ikut Barisan Kiai

Saat masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari cengkraman penjajah, Mbah Siradj juga ikut berjuang dalam kelompok “Barisan Kiai”. Barisan Kiai yang dibentuk pada akhir tahun 1945 ini berisi para kiai sepuh, yang diharapkan nasihat-nasihatnya dalam peperangan juga untuk membakar semangat para pejuang. Beberapa dari mereka juga ada yang memanggul senjata, ikut berperang di front terdepan.

Ulama lain yang tergabung dalam Barisan Kiai ini antara lain KH R M Adnan, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Kiai Abdul Karim Tasyrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.

Sebagai salah satu anggota Barisan Kiai, Mbah Siradj sering didatangkan di hadapan para pejuang Laskar Hizbullah untuk memberikan pengarahan dan penggembelengan, baik jasmani maupun rohani.

H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa”, mengenang pernah suatu ketika ia dan pasukan lainnya yang tergabung dalam Hizbullah berkumpul di Begalon Solo. Ketika itu, tentara Belanda sudah mulai memasuki Kota Solo untuk mengadakan Agresi Militer II tahun 1948.

Saat itulah, Mbah Siradj bersama anggota Barisan Kiai mengadakan inspeksi kepada pasukan Hizbullah yang berjumlah sekitar 50 orang. Tiba-tiba seorang anggota Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, didekati lalu dipeluknya seraya berucap :“ahlul jannah … ahlul jannah!”.

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.

Wariskan Perjuangan NU

Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kisah perjuangan Mbah Siradj bersama NU, mengingat keterbatasan data dan narasumber. Namun, dari satu fakta penting yang penulis temukan pada catatan dari Kongres ke Kongres (Muktamar) Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Siradj tercatat pernah mengikuti Kongres I NU yang diadakan pada bulan Rabi’ul Awwal 1345 H/ 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin Peneleh Kota Surabaya. Ketika itu ia datang bersama KH Mawardi (ayah KH Chalid Mawardi) sebagai utusan golongan ulama muda dari Kota Solo.

Melalui fakta tersebut, dapat penulis asumsikan, pertama, sosok bernama lengkap KH Ahmad Siradj ini merupakan salah satu tokoh generasi pertama yang ikut mendirikan NU di lingkup daerah Karesidenan Surakarta, khususnya di Kota Solo.

Kedua, ini berarti NU di Kota Solo juga sudah ada sejak tahun 1926, tahun awal berdirinya NU, meski baru dalam lingkup kecil. Sampai sekarang, Kota Solo sebagai sebuah kota pergerakan yang terdapat berbagai macam aliran ideologi, keberadaan NU di daerah itu, tentu menjadi pilihan warna dan wadah tersendiri bagi para kaum santri.

Perjuangan Mbah Siradj bersama NU kemudian diteruskan oleh anak keturunannya hingga sekarang. Semisal puteranya yang bernama KH Shoimuri (wafat tahun 1983) pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Boyolali. Kemudian dilanjutkan oleh para cucunya antara lain KH Tamam Shoimuri (Rais Syuriyah PCNU Boyolali/ wafat tahun 2014), KH Mubin Shoimuri (Ketua PCNU Surakarta/ wafat tahun 2007), KH Makin Shoimuri (Pengasuh Pesantren Putri Raudhatut Thalibin Leteh Rembang), Nyai Hj. Basyiroh Shoimuri (Ketua PP IPPNU periode kedua) dan lain sebagainya.

Memiliki Karomah

Al-magfurlah mBah Siroj memiliki beberapa karomah sebagai perwujudan kewaliannya. Yang dimaksud karomah di sini adalah kejadian yang luar biasa, di luar kebiasaan, yang timbul dari Waliyullah. Kalau timbul dari Nabi disebut mu’jizat, sedangkan dari mukmin yang shaleh dinamakan ma’unah.

Beberapa karomah yang ada pada diri beliau, dapatlah diutarakan antara lain:

Kasyaf

Beliau mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa (kasyaf). Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada tahun 1948. Satu seksi lascar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.

Seorang anggota lascar Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, tiba-tiba didekati beliau lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”.

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.

Menurut salah seorang saksi mata, H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah, teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya mBah Siroj memeluknya sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.

Berulang kali berhaji

Secara lahiriah, Kyai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu beliau di sana.

K.H. Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kyai Ahmad Siroj yang bermukim di Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada tahun 1937 dirinya menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1960 orang jamaah haji lainnya.

Sehabis makan siang, Kyai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari Jumat waktu subuh, akan dicarinya mBah Siroj. Sebab, sering didengarnya ada seorang waliyullah sering shalat subuh di Mekkah pada hari Jumat.

Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah Kyai Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti. Setelah berbincang sejenak, Kyai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut merasa keheranan.

Ketika sudah sampai di Mekkah, Kyai Bulqin hendak menjalankan ibadah shalat subuh. Kyai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan shalat subuh di Mekkah. Mungkinkah Kyai Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang pernah didengarnya.

Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya mBah Siroj sedang melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.

Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kyai Bulqin hendak menyalami mBah Kyai Siroj namun pada putaran terakhir mBah Siroj sudah tidak tampak lagi. Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan mBah Siroj, kini yakinlah Kyai Bulqin bahwa yang tidak mengkin bagi orang biasa, bagi waliyullah seperti Kyai Ahmad Siroj, mungkin-mungkin saja.

Berjalan Luar Biasa Cepatnya

Waktu Kyai Shoimuri, putra Kyai Ahmad Siroj selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai Latifah di daerah Boyolali, rombongan Kyai Ahmad Siroj segera berkehendak pulang ke Solo bersama 33 santrinya.

Kyai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan Nyai Siroj dengan naik kereta api. Ia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan Kyai Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.

Anehnya, setiba di Solo, rombongan Kyai Bulqin baru sampai Ngapeman, mBah Siroj sudah berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo. Bagaimana itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang brangkat lebih dahulu tersebut.

Kejadian serupa juga dialami oleh Nyai Sa’diyah Ali. Suatu ketika bersama Kyai Ahmad Siroj bepergian ke Boyolali dari Karang Gede. Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Sesampai di Masjid Dawung, Boyolali, belum qomat, masih pujian. Padahal kedua tempat itu jauh dan ditempuh dengan jalan kaki.

H. Dasuki pun pernah mengalami hal serupa. Suatu ketika diminta mBah Siroj mengikuti beliau bepergian dari Desa Paesan ke Boyolali yang jaraknya sekitar 10 km. Sesampainya di tempat yang dituju, tasbih Kyai Ahmad Siroj masih tertinggal di Paesan. Lalu, disuruhnya H. Dasuki mengambilkannya, berjalan kaki pulang balik. Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Anehnya, waktu kembali di Masjid Kokosan, Boyolali, belum qomat maghrib. Menurutnya, itu berkah Kyai Ahmad Siroj.

Nasi Satu Kendil

Suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten Semarang dari Solo. Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu (miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah, satu kendil nasi. Karena nasi terbatas, Kyai Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilahkan makan dalam kamar.

Kyai Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi diminta dihidangkan ruang depan di mana beliau dan santrinya sedang duduk bersila. Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk makan kenyang.

Erat dengan Pejabat/Raja

Sekitar tahun 1935, Kyai Ahmad Siroj mengajak Imam Muslim bepergian. Sesampai di Pura Mangkunegara, mereka terus masuk.

Di Pendapa Mangkunegaran, Kyai Ahmad Siroj bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal oleh Imam Muslim. Dua insanpun segera saling berpelukan erat, menggambarkan saling melepas rindu, setelah lama tak bersua. Lalu, mereka menuju ke belakang, duduk berhadapan sambil berbincang seperlunya.

Akhirnya, mengertilah Imam Muslim bahwa yang saling berbincang antara Kyai Ahmad Siroj dengan orang tersebut, tidak lain adalah Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGAA) Mangkunegara VII. Perbincangan tersebut berakhir sekitar pukul 02.30 dini hari, lalu mereka segera meninggalkan Pura Mangkunegaran. Sesampai di Pasar Pon, pohon asam yang berdahan tinggi diraih Kyai Ahmad Siroj untuk menghentikan sepeda motor yang datang dari arah timur. Penumpangnya pun berhenti, lalu turun.

Sebagaimana kejadian di Pura Mangkunegaran, di tempat inipun keduanya saling berpeluk erat, menunjukkan keakraban. Setelah berbincang sejenak, berpisahlah keduanya.

Dari percakapan Kyai Ahmad Siroj dengan penumpang motor tersebut, Imam Muslim barulah mengetahui bahwa ternyata yang bersepeda motor lalu berhenti dan bercakap-cakap dengan Kyai Ahmad Siroj, tidak lain adalah Ingkang Sampeyandalem Sri Susuhunan Paku Buwono X, Raja Kasunanan Surakarta yang termahsyur.

Pintu Terkunci, Bisa Masuk

Semasa kecil, Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan Kyai Abdus-Syakur, kakak iparnya. Sesekali anak ini kena ‘slenthik’ karena kenakalannya.

Suatu malam, Kyai Abdus-Syakur pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Pintu rumah pun kemudian ditutup, dan dikunci dari luar. Maklum, Ahmad Siroj di kala itu sedang pergi ke luar rumah juga.

Sepulang shalat isya’, Kyai Abdus-Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya, dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj.

Lalu ditanya “Kau lewat mana, nak?” Dijawab oleh Ahmad Siroj “Inggih lewat mriku mawon.” (Ya melalui situ juga). Sejak itu, Kyai Abdus-Syakur tak pernah lagi member ‘slenthikan’ padanya.

Kali yang lain, Kyai Abdus-Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal di rumah.

Alangkah terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah berada di situ.

Seusai upacara perkawinan, Kyai Abdus-Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab “Kang, jarene aku kon tunggu omah.” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).

Meski Hujan Tak Basah

Bersama dua santrinya, suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian ke  Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan.

Kedua santri yang mengikuti Kyai Siroj basah kuyup bajunya, tetapi Kyai Ahmad Siroj tidak apa-apa, tetap kering bajunya.

Sungai Banjir Besar Terlewati

Suatu hari, Kyai Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk keperluan shalat dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. Kyai Ahmad Siroj akan menyusulnya kemudian.

Dalam perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, Kyai Ahmad Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai.

Dengan berteriak, santri pun bertanya “Gus, sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda tadi lewat mana?)

Jawab Kyai Ahmad Siroj “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)

Karena santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, Kyai Ahmad Siroj perintahkan padanya agar pulang saja.

Bak Air Kosong, Penuh Tiba-Tiba

Pada suatu ketika, Kyai Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak air (pengaron) yang berada di rumahnya, diminta oleh Kyai Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa diisi dengan air.

Setelah pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak menuangkan air ke dalam pengaron tersebut, ternyata pengaron kosong tadi telah penuh berisi air.

Impian Jadi Kenyataan

Pada suatu saat, Kyai Ahmad Siroj memerlukan shalat Jumat berturut-turut selama 7 Jumat di masjid yang di kemudian hari dikenal dengan nama Masjid Al-Muayyad yang terletak Jalan K.H. Samanhudi 64 Mangkuyudan, Solo.

Pada malam Jumat minggu ke-7, Kyai Asfari (kala itu berstatus duda) mimpi dianjurkan Kyai Ahmad Siroj agar menikah dengan Nyai Syafi’ah.

Jumat siang, sehabis shalat Jumat di Masjid Al-Muayyad, Kyai Ahmad Siroj singgah ke rumah dekat masjid tersebut. Di samping Kyai Asfari berada di situ, juga K.H.A. Umar Abdul Mannan. Jamuan makan siang pun disajikan. Kebetulan yang menghidangkan Nyai Syafia’ah juga.

Seketika itu juga, Kyai Ahmad Siroj memerintahkan agar Kyai Asfari pergi (sowan) ke rumah Kyai Manshur di Popongan, Delanggu, Klaten. Ternyata perintah Kyai Manshur sama dengan Kyai Ahmad Siroj sebelumnya. Malah ditetapka hari tanggalnya sekaligus.

Setelah diingat-ingatnya, ternyata 3 tahun yang lalu K.H.A. Umar pernah diperintah memotong kambing pada haritanggal tersebut (tepat pada hari/tanggal ijab Kyai Asfari dengan Nyai Syafi’ah).

Meninggal, Beri Impian

Ketika Kyai Ahmad Siroj sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H atau 10 Juni 1961, Kyai Zaenal Makarim (Karang Gede) mimpi bertemu Kyai Ahmad Siroj.

“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Kyai Ahmad Siroj kepada Kyai Zaenal Makarim dalam mimpi.

Terperanjatlah Kyai Zaenal Makarim, lalu seketika beliau berangkat ke Solo untuk menjenguk Kyai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Dari Allah kita berasal, dan kepada-Nya pula kita akan kembali” ucapnya kemudian.

Kejadian serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, sekitar pukul 05.00 mimpi didatangi Kyai Ahmad Siroj, dan membangunkannya seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudahlah Bib, saya duluan, Anda menyusul).

Alangkah terkejutnya Sang Habib. Seketika itu pula, Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah Kyai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kyai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.

“Anehnya, pukul 04.00 pagi Kyai Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke Kepatihan” kata Sayyid Abdullah, dalam hati tidak kurang herannya. Doa pun segera dipanjatkan bagi almarhum Kyai Ahmad Siroj.

Kyai Ahmad Siroj wafat pada hari Senin Pahing, 27 Muharram 1381 H atau 10 Juni 1961 M. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.

Semasa hidup, Kyai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya. Contoh di atas hanyalah sebagian karomah yang dimiliki Kyai Ahmad Siroj untuk membuktikan kewalian almarhum. Tentu saja masih banyak karomah lain yang belum terungkap di sini. Karena masih banyak cerita di masyarakat Solo perihal ‘keistimewaan’ Kyai Ahmad Siroj dalam kepribadiannya. 

(Ajie Najmuddin)

Daftar Pustaka :

Hakim, Adnan. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala. Solo: Pesantren As-Siroj.

Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.

Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.

Sumber : NU Online