Apakah Berdiri selagi Berselawat kepada Nabi saw. Menunjukkan bahwa Beliau Hadir
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Apakah Berdiri selagi Berselawat kepada Nabi saw. Menunjukkan bahwa Beliau Hadir?
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani ar-Rabbani
Dikutip dari Encyclopedia of Islamic Doctrine vol.3
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
Sebagian orang yang melarang berdiri untuk Nabi saw. melakukan demikian karena mereka mengira orang-orang yang berdiri tersebut berpikir bahwa Nabi saw. benar-benar hadir pada saat tersebut. Meskipun begitu, ini bukanlah alasan mengapa orang-orang berdiri, dan tidak seorang pun mengklaimnya demikian. Akan tetapi, mereka yang berdiri itu menyatakan kebahagiaan, cinta, rasa hormat, dan pengabdiannya saat menyebut nama Nabi saw. dalam majelis-agung orang-orang yang mengingatnya. Mereka berdiri untuk memberi perhatian dengan penuh kekaguman pada cahaya yang turun kepada makhluk melalui seseorang yang kemasyhuran namanya telah diangkat tinggi oleh Allah swt. Mereka berdiri sebagai tanda syukur atas rahmat besar yang telah dilimpahkan untuk seluruh makhluk melalui seorang nabi bernama Muhammad saw.
Lebih jauh, tidaklah boleh mengingkari kebebasan ruh di alam barzakh untuk bepergian ke mana saja yang disukainya dengan seizin Allah swt. Berdasarkan riwayat Ibn al-Qayyim, Salmân al-Fârisî mengatakan, “Ruh orang-orang beriman itu ada di alam barzakh, dari sana mereka pergi ke mana saja yang mereka mau,” dan Imam Malik mengatakan, “Saya pernah mendengar bahwa ruh itu dibiarkan bebas dan boleh pergi ke mana saja ia mau.”
Berdiri atau menari sebagai ungkapan gembira atas Nabi saw., atau apa saja yang berkaitan dengan beliau, atau kelahiran beliau, didukung oleh berbagai hujah yang jelas dalam sunah, termasuk di antaranya:
1. Orang-orang Habsyi menyajikan pertunjukan tari dengan penuh kegembiraan tatkala mereka datang ke Madinah. Ini diriwayatkan oleh Abû Dâwud dengan sanad yang baik.
2. Mereka memainkannya kembali di Masjid Nabi saw pada hari Idul Fitri. Selagi mereka menari, Nabi saw dan istrinya menonton, dan Nabi saw menyemangati mereka dengan kata-kata, “Dûnakum yâ banî Arfadah (Loncatlah, wahai para putra Arfadah),” yang menunjukan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak nista dan dibolehkan. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Â’isyah pada bagian “Shalât al-‘Îdayn” dalam Shahîh-nya.
3. Mereka juga menabuh genderang, bernyanyi, dan bermain di depan beliau pada hari ‘Îd. Ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Mâjah dari Qays ibn Sa‘ad ibn ‘Ubâdah.
4. Semuanya itu bukanlah untuk alasan lain selain bergembira karena berada di tengah-tengah kehadiran Nabi saw., sebagaimana dikuatkan oleh tindakan kaum perempuan dari Bani Najjar tatkala Nabi saw. datang ke Madinah:
Anas meriwayatkan bahwa tatkala Nabi saw. datang pertama kali ke Madinah, kaum Anshar berhamburan keluar, baik laki-laki ataupun perempuan, dan mereka semua mengatakan, “Bersama kami, wahai Rasulullah saw!” [maksudnya, marilah tinggal bersama kami]. Nabi saw. berkata, “Biarlah unta ini yang memilih, karena ia memiliki urusannya sendiri.” Unta itu pun duduk di pintu Abû Ayyûb. Anas kemudian melanjutkan bahwa (setelah beliau masuk) para perempuan Banu Najjar keluar sambil menabuh genderang dan bernyanyi:
Nahnu jawâr min banî al-najjâr
Yâ habbadza Muhammad min jâr
(Kami perempuan-perempuan dari Bani Najjar
Betapa senangnya bila Muhammad saw menjadi tetangga).
Nabi saw. keluar dan berkata, “Apakah kalian mencintaiku (atuhibbûnî)?”
Mereka menjawab:
Ay wa Allâhi yâ Rasûl Allâh
(Ya, demi Allah swt, ya Rasulullah saw)
Sampai sini beliau berkata:
Wa anâ uhibbukum
Wa anâ uhibbukum
Wa anâ uhibbukum
(Dan aku mencintaimu) .
Dalam versi lain beliau mengatakan: Allâh ya‘lamu anna qalbî yuhibbukunna, atau Allâh ya‘lamu annî lauhibbukunna, (Allah swt mengetahui bahwa hatiku mencintai kalian, atau Allah swt mengetahui bahwa sungguh aku mencintai kalian).
5.Beberapa sahabat perempuan mendatangi Nabi saw. setelah beliau pulang dari suatu ekspedisi dan mengatakan bahwa mereka telah bernazar untuk menabuh gendang di depan beliau apabila beliau pulang dengan selamat dan sehat, dan Nabi saw pun mengizinkan mereka.
6. ‘Alî ra berkata, “Saya mengunjungi Nabi saw. bersama Ja‘far ra (ibn Abî Thâlib) dan Zayd ra (ibn Hâritsah). Nabi saw. berkata kepada Zayd ra, ‘Engkau orang merdekaku (anta maulâyâ),’ karena itu Zayd ra berlompatan kegirangan dengan sebelah kaki di sekeliling Nabi saw. Lalu Nabi saw berkata kepada Ja‘far ra, ‘Engkau mirip aku dalam penciptaan dan tingkah laku (anta ashbahta khalqî wa khuluqî),’ karena itu Ja‘far ra berlompatan kegirangan di belakang Zayd ra. Nabi saw. kemudian berkata kepadaku: ‘Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu (anta minnî wa ana minka),’ karena itu aku pun girang berlompatan di belakang Ja‘far ra.”
Tidak ada keraguan lagi bahwa hal-hal sejenis bernyanyi, menari, membaca syair, menabuh gendang adalah untuk menyatakan kegembiraan karena berada bersama Nabi saw.; beliau tidak mencelanya ataupun mengerutkan dahi karena pertunjukan semacam itu. Semuanya itu pertunjukan biasa untuk menunjukkan kebahagiaan dan bentuk kesenangan yang dibolehkan. Sama halnya dengan berdiri dalam acara peringatan kelahiran Nabi saw., mereka biasanya melakukan tindakan yang menunjukkan cinta dan kegembiraan dan menggambarkan kebahagiaan makhluk. Tak satu pun dari jenis ini yang merupakan peribadatan. Karena itulah mengapa seorang terpelajar seperti al-Barzanjî mengatakan dalam syair maulidnya yang terkenal:
Wa qad sanna ahl al-‘ilm wa al-fadhl wa al-tuqâ
Qiyâman ‘alâ al-aqdâm ma‘a husn im‘an
Bi tasykhîsh dzât al-mushtafâ wa huwâ hâdhir
Bi ayy maqâm fîhi yudzkaru bal dânî
(Sudah menjadi kebiasaan orang-orang berilmu, berkedudukan, dan bertakwa
Berdiri di atas kaki dengan sikap yang sebaik-baiknya
Bertindak seolah-olah Nabi saw. benar-benar hadir
Setiap kali mereka menyebut beliau, seakan melihat beliau mendekat).
Penyebutan oleh al-Barzanjî mengenai tindakan seolah-olah Nabi saw. hadir dan penglihatan atas beliau, memberi kesan penghadiran sebentuk dan sekualitas kemuliaan beliau ke dalam hati sehingga meningkatkan dan menyempurnakan gerakan hati dan tubuh dalam memberi penghormatan dan mengungkapkan rasa cinta kepada beliau.
Penggunaan Ungkapan “al-Salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh”
Membacakan salam kepada Nabi saw. dengan menggunakan ungkapan-ungkapan:
yâ Rasûl Allâh (wahai Utusan Allah),
yâ Habîb Allâh (wahai Kekasih Allah),
yâ Nabî Allâh (wahai Nabi Allah),
yâ Shâfî Allâh (wahai Teman Pilihan Allah),
yâ Khalîl Allâh (wahai Teman Dekat Allah),
yâ Nâjî Allâh (wahai Teman Kepercayaan Allah), itu dibolehkan, baik sekali, terpuji, dan berpahala besar.
Ungkapan-ungkapan ini dan yang semacamnya dapat digunakan pada setiap waktu dan setiap tempat, tetapi lebih khusus lagi dalam majelis zikir, karena ungkapan-ungkapan semacam ini dapat meningkatkan rasa cinta kepada Nabi saw. dalam hati yang tak terkirakan besarnya. Muslim diharuskan mencintai beliau melebihi cinta kepada anak, orang tua, dan bahkan diri sendiri. Para ahli manasik (tatacara haji), menganjurkan penggunaan ungkapan-ungkapan ini, lebih-lebih tatkala sedang menziarahi Nabi saw. di Madinah. Ada keterangan bahwa ‘Abd Allâh ibn ‘Umar mengucapkan, “Al-salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh,” setiap berkunjung kepada Nabi saw., dan ucapan serupa saat berkunjung kepada Abû Bakr ra. Mereka yang merasa keberatan atas penggunaan kata “yâ” yang digandengkan dengan Nabi saw. berarti mereka menyakiti diri sendiri dan orang lain dengan menganggapnya sebagai menyalahi sunah dan perbuatan bidah. Ini karena beberapa alasan berikut:
Rupanya mereka telah mengabaikan fakta bahwa kaum muslim diharuskan membaca tasyahud dalam salat karena salat tidak sah tanpanya. Paling sedikit sembilan kali sehari, kaum muslim dalam tasyahudnya mengatakan: “Al-salâm ‘alayka ayyuhâ al-Nabî wa rahmat Allâh wa barakâtuhu. Ungkapan ayyuhâ al-Nabî sama persis dengan yâ Nabî.
Allah swt memerintahkan muslimin agar tidak memanggil Nabi saw. dengan cara yang sama seperti yang dilakukan di antara mereka: Lâ taj‘alû du‘â al-Rasûl baynakum ka du‘â’ ba‘dhikum ba‘dhan (Janganlah kamu jadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada yang lain) [24:63].
Ini bukti bahwa Allah tidak melarang orang-orang memanggil Nabi saw., karena kalau hal tersebut merupakan larangan mutlak, larangan tersebut tidak perlu diperinci lagi. Allah swt sendiri menunjukkan kepada kita etika memanggil kepada Nabi saw. dengan memanggil beliau, “Yâ ayyuhâ al-Nabî,” atau “Wahai Nabi,” dan dengan menyebutnya sebagai “Sang Utusan” dalam Alquran, sementara Dia memanggil nabi-nabi lain dengan namanya, yâ Ibrâhîm, yâ Yahyâ, yâ Mûsâ, yâ ‘Îsâ, dan seterusnya. Para ulama menjelaskan bahwa dengan berbuat demikian Allah swt menetapkan suatu perbedaan penghargaan antara Nabi Penutup saw dan nabi-nabi yang mendahuluinya— semoga selawat dan salam dari Allah swt diberikan kepada mereka semua. Mereka pun mengatakan bahwa itulah sebabnya lebih disukai menyebut yâ Rasûl Allâh daripada yâ Muhammad saw.
Seperti telah disebutkan dalam jilid tentang tawasul, Nabi saw. mengajari seorang tunanetra cara memohon yang di dalamnya ia harus mengatakan, “Yâ Muhammad saw.” Riwayat ini begitu dikenal, dan merupakan hadis sahih yang tak dapat ditolak. Tawasul tersebut sebagai berikut:
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan meminta tolong kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad saw, Nabi rahmat; wahai Muhammad saw, aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku sehubungan dengan kebutuhanku ini sehingga Dia memenuhi permohonanku ini. Ya Allah swt, perkenankanlah beliau menjadi wasilah kepada-Mu dariku!
Kata-kata “wahai Muhammad saw” tidak terdapat dalam versi riwayat al-Tirmidzî. Secara gramatikal itu merupakan penghilangan yang salah, karena tanpa panggilan “yâ Muhammad saw,” maka pihak tertuju menjadi “yâ Allâh swt.” Tetapi, ini tak masalah karena pada bagian selanjutnya ia mengatakan, “aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku,” yang dengan jelas tidak mungkin bermakna: “Ya Allah swt, aku minta tolong denganmu kepada Tuhanku.”
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!