Antara Dunia dan Akhirat

Al-Kisah no.11/2004

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pengasuh Konsultasi Spiritual yang terhormat. Kalau kita telaah sejarah wali, dalam kehidupannya, ada yang menghargai dunia dan ada yang tidak.

Yang menghargai dunia berargumen, walaupun memiliki harta banyak, hati mereka tidak terpengaruh, tidak terikat pada dunia. Sebaliknya yang tidak menghargai dunia beralasan, kalau orang menghargai dunia, mustahil hatinya tidak terikat dengan dunia.

Tetapi mereka, baik yang pro maupun yang kontra dunia, memiliki kesamaan dalam menata hati. Hati bagi mereka harus suci, hati sebagai alat untuk makrifatullah dan tidak boleh dikotori oleh nafsu duniawi, karena akan membutakan mata hati untuk lebih mengenal Allah. 

Bagaimana pendapat pengasuh menjembatani dua kecenderungan amaliah wali yang terkesan berseberangan ini. Untuk masa sekarang, mana yang terbaik untuk diteladani.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Lisa Febriantl

Karyasari, Salatiga, Jateng

 

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Sebenarnya para waliyullah tersebut dalam memandang dunia, sama. Zuhud adalah dasar utama untuk mengantisipasi kecintaannya kepada dunia. Tetapi tidak berarti meninggalkan syariat. Siapakah yang tidak ingin berzakat dan berhaji? Keduanya memerlukan dunia sebagai sarana duniawi.

Jelasnya, waliyullah tidak meninggalkan syariat Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya. Ikhtiar sebagaimana layaknya manusia hidup. Mereka mengerti, sungguh, dunia ini menyebabkan kelalaian dan kesombongan. Dari itu mereka menjauhkan hatinya dari cinta dunia.

Tiada kecintaan terkecuali kepada Sang Pencipta dan Rasul-Nya. Karena itu hanya keabadian yang dicintainya. Ber-beda dengan dunia yang tiada berkekekalan. Setiap wali, setinggi apa pun ketinggian derajat yang diperolehnya, tetap merasa fakir di sisi-Nya. Karamah yang luar biasa bagi mereka justru makin membuat malu kepada AI-Khalik. Apa artinya dunia ini dibandingkan dengan derajat serta karamah dan kedekatan kepada Allah SWT sehingga dia diangkat sebagai para kekasih-Nya.

Baik bagi yang diberi kekayaan maupun yang fakir, keduanya melahirkan rasa syukur. Syukur yang pertama, rezeki yang didapatkan tidak mengubah hatinya dalam mencintai Allah. Sedangkan mereka yang fakir, dunia tetap disyukuri, walaupun keberadaannya kecil. Bagi para wali, kekayaan dan kefakiran tidak ada artinya.

Yang memiliki kekayaan tidak berarti memiliki kepuasan, karena dalam hatinya tetap merasa fakir di sisi Allah.

Manakah yang patut diteladani? Semuanya dapat diteladani. Lihatlah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman yang tercatat sebagai Nabi dan Rasul, raja yang kaya raya. Apakah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman lebih utama dibanding nabi yang lain, tentu tidak. Semuanya memberikan keteladan dalam kebaikan. Sama seperti para pewarisnya, yaitu ulama dan awliya.

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah