Mbah Muhammad Nuh - Pati

KH. Muhammad Nuh anak kedua dari lima bersaudara, lahir dari ayah Toyyib dan Ibu yang bernama Hawa, tumbuh dan berkembang sampai dewasa di desa Nggeneng Kertomulyo Kec. Trangkil kab. Pati silsilahnya insya Allah bisa dilihat pada akhir buku ini.

Mbah Nuh begitulah panggilan akrabnya dari generasi ke generasi, bahkan suatu ketika dulu karena keakrabannya nama itu, Kertomulyo biasa desebut dengan Nggeneng Mbah Nuh, demikian menurut saksi-saksi sejarah yang telah kami jumpai, Mbah Nuh adalah tokoh yang santun, tawadhu’ dan disiplin. Beliau telah menghiasi seluruh pemikirannya dengan idiologi uluhiyyah dan membangun akhlaq atau tingkah lakunya dengan amalan robbaniyah. Cita-citanya hanya satu, bisa dekat dan kenal dengan Allah, karena ridhonya, tak mengherankan jika sepanjang hidupnya ia adalah sosok yang tenang dan tabah menghadapi pahit getirnya hidup, syukur dan bahagia menerima apa yang ada, sabar dalam setiap kekurangan, ia adalah figur yang senantiasa meyakini bahwa : akheratlah rumah kebahagiaannya yang abadi, sepanjang hidupnya penuh dengan jalan perjuangan untuk dirinya, keluarganya, serta ummat secara umum, maka tidak ada satu sejarah pun yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang roukhah ( merasa cukup dengan kelapangan materi, dan bersahaja dalam amal ibadah ), dan ketika pemikirannya, ucapannya visi dan cara hidupnya, berbuah menjadi mutiara ibadah dan namanya harum dikenal masyarakat, ia tetap pada kepribadiannya yang tenang dan tawadlu’.

Mbah Nuh dilahirkan pada tahun 1868 M, dipenghujung abad 18 itu merupakan kado sejarah yang besar bagi masyarakat Nggeneng Kertomulyo dan sekitarnya, betapa tidak...? Jika pada tahun itu hadir sosok generasi yang tsiqoh dan berakhlak mulia yang darinya ada ketauladanan hidup didalam menjalin hubungan ilahiyah, ia adalah generasi masa lalu yang menempuh arah hidupnya diatas falsafahnya ترك الدنيالاجل الاخرة (meninggalkan kemewahan dunia, karena kehidupan akhirat) karenanya sepanjang hidupnya Mbah Nuh sangat identik dengan kemiskinan dan kekurangan, namun kemiskinan dan kekurangan justru menjadi wasilah antara ia dengan Allah, maka tidak berlebihan jika akhlaknya patut dicontohi, dan tidak berlebihan jika kelahirannya lebih besar dari sejarah itu sendiri, mungkin harus seperti itulah kondisi hamba-hamba Allah yang solih, yang ikhlas mengabdi kepadaNya.

Sosok Mbah Nuh adalah contoh terdekat bagi kita sebagai i’tibar bahwa kesungguhan bermuqorobah kepada Allah dengan segala konsekuensinya adalah jalan yang pahit dan penuh pengorbanan. Suluk ... begitu kata yang sering dipakai banyak orang untuk memberikan takhassus ketika hendak menempuh maqom muroqobah kepada Allah, dalam suluknya Mbah Nuh benar-benar melupakan rasa lapar dan gemerlapnya duniawi dan juga rela memegang pahitnya kejujuran, menahan kepayahan fisik, karena harus menempatkan sebagian besar waktunya dalam zikir dan tafakur kepada Allah, mengedepankan prinsip-prinsip uluhiyyah ketimbang prinsip-prinsip insaniyyah yang lebih banyak membelokkan pemikiran kearah ghurur, dalam kata lain Mbah Nuh adalah sosok yang hidup dalam keterasingan, karena bukan materi yang menjadi tujuan. Kini setelah 60 tahun terbaring dipusarannya, Allah tetap memberikan penghormatan kepadanya meski 56 tahun nama besarnya nyaris hilang karena kesuraman akhlaq zduriyyahnya dan karena sejarahnya yang kadag tidak dikehendaki sebagian orang akan keberadaannya, kalau boleh berkata maka nyatalah i’tibar itu kini, bahwa nilai kebaikan itu tidak akan pernah hilang karena kesenjangan waktu, dan penghormatan Allah tidak akan terhalang oleh tipu daya manusia, karena sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pembuat tipudaya والله خير الما كرين

SEORANG PENDIDIK

Jika pola dan metode tidak membedakan i’tirof (pengakuan) didalam mengajarkan suatu pengetahuan didalan kurun dan abad yang berbeda dan hanya memandang kesamaan dasar-dasarnya saja maka Mbah Nuh adalah seorang معلم dan مؤدب ia adalah seorang pendidik masa lalu, tentunya dengan definisi yang sederhana karena cara hidup yang masih jauh berbeda antara abad 18 dengan akhir abad 19 dan awal abad 20. abad 18 adalah kehidupan jaman Belanda, dimana pendidikan formal adalah sesuatu yang sangat mahal, namun dengan metode dan caranya Mbah Nuh, senantiasa memberikan tuntunan (pengajaran) hidup kepada umat didalam memahami pengetahuan rububiyyah, dan bukan hanya dengan teori qoulinya saja, Mbah Nuh juga mengajar dan memberikan didikan jauh bernilai dengan menghayati dan memberikan contoh dari setiap apa yang diajarkan. Suatu ketika KH. Abd Hadi berkata : saya mudah sekali mencari kyai dimanapun, tetapi saya sangat langka menjumpai sosok seperti Mbah Nuh. Jika setiap orang bisa memahami dari apa yang disampaikan oleh beliau, maka natijahnya adalah adanya perbedaan tujuan dan niat serta keyakinan dari masing-masing figur dan pribadi di dalam amal ibadah, sehingga apa yang dilakukan Mbah Nuh didalam beribadah yang didasari dengan rasa ketulusan, membedakannya dengan sosok yang lain, itu mungkin yang dimaksud dengan kelangkaan ala KH. Abd Hadi Kurdi.

Pertanyaan akan tetap ada, antara Mbah Nuh benar-benar seorang pendidik atau hanya sekedar contoh dari laku yang baik, jawabnya hanya apabila hati bisa : tawadlu’ dan tidak oportunis dalam menerima realita sejarah dan setiap momen hidup Mbah Nuh, maka akan jelas bahwa beliau adalah seorang tokoh pendidik masa lalu yang berjalan sesuai dengan jaman dan buaya hidup masyarakat waktu itu untuk saat ini mungkin kebanyakan orang akan lebih kenal sejarah Mbah Nuh ketika mengobati seseorang ketimbang sisi hidupnya yang lain, sehingga kadang-kadang ketika membuat kesimpulan kesannya hanya Mbah Nuh adalah seorang dukun, tetapi memungkinkan orang-orang besar seperti Mbah Salam (ayah Mbah Abdullah Salam) Kajen Margoyoso, Mbah Mahfudz (ayah KH Sahal Mahfudz), Mbah Wi (adik dari Mbah Salam). Kyai Aly Akhmadi (Ngagel) dan Kyai Jamaludin (Batangan) yang sering sowan bersilaturahim dirumah Mbah Nuh juga datang sebagai kapasitasnya orang yang merdukun ? hanya Allah Yang Maha Tahu. Kami sangat menyadari mengungkap fakta sejarah Mbah Nuh berarti bertembung dengan emosional diffance atau emosi yang tertahan, tetapi sekali lagi sejarah adalah sejarah yang akan muncul kepermukaan dengan dua sisi nilai, baik atau buruk dari pelaku sejarah itu sendiri, dan inilah kisah hidup yang memang pernah dilalui dan dijalani oleh Mbah Nuh sebagai bingkai sejarah masa lalu untuk masa kini, yang sudah muncul kepermukaan karena ungkapan para saksi, kalau KH. Abd Hadi Kurdi pernah berkata bahwa munculnya peringatan Khaul Mbah Nuh mengapa harus diera pemilu yang menjadi lambang perebutan kekuasaan dan mengapa harus muncul diera orang sedang dilanda penyakit حب الدنيا (suka mementingkan dunia) sedangkan itu jelas dan sangat bertentangan dengan cara hidup Mbah Nuh, mungkin jawabnya adalah itu pesan moral bahwa Mbah Nuh hidup kembali dalam ruh ta’lim dan ta’dibnya agar masyarakat tidak lepas kontrol dalam ambisi harta dan jabatan.

          SOSOK YANG JUJUR DAN WARO’ (senantiasa menjaga diri dari barang syubhat). Mengenang dan menghidupkan kembali ketauladanan Mbah Nuh berarti bertarung dalam sifat jujur dan waro’nya yang melegenda sehingga ketika pertama kali Mbah Joyo Pardi menerangkan sifat kepribadian Mbah Nuh, menegaskan bahwa Mbah Nuh adalah simbol kejujuran, boleh jadi kejujuran itu tidak hanya menjaga kebenaran ketika berbicara, akan tetapi juga bersifat benar dan berlaku apa adanya apabila menerima amanat dari orang lain, dalam hal ini nama Mbah Nuh sangat identik dengan kejujuran itu sendiri, baik ketika berbicara dan jujur dalam menjalankan amanah yang diterima. Diantara kisah-kisah kejujuran dan sifat waro’ Mbah Nuh adalah : suatu ketika bapak petinggi (kepala desa) Kalikalong Kec. Tayu, ngaturi rawuh Mbah Nuh untuk menikahkan putranya ...ketika majlis berakhir dan saatnya Mbah Nuh pamitan pulang ... Bapak kepala desa memberikan sejumlah uang dengan pesan untuk ongkos kendaraan, selanjutnya sesuai dengan amanah ... sejumlah uang tersebut diberikan kepada kusir (kusir dokar) tanpa sisisakan sedikitpun (diberikan semua).

            Selang beberapa hari Bp. Kepala Desa Kalikalong datang ke rumah Mbah Nuh bersilaturrahmi, dengan membawa beberapa karung berisi jagung pipilan, untuk diberikan Mbah Nuh, sayang pesan yang disampaikannya agak basa basi : Mbah puniko jagung kangge pakan peksi doro (Mbah Nuh dulu mempunyai piaraan burung merpati yang sangat banyak dan beberapa ekor kambing yang diambil susunya untuk minum yang dicampur dengan santan, gula dan beberapa potong ketela pohon sebagai makanan, konon itulah makanan pokok Mbah Nuh. Kemudian Mbah Nuh menjawab ... kono sok emper (taruh dihalaman) Bapak Kepala Desa kemudian menaruh jagungnya diemperan rumah sesuai perintah Mbah Nuh, kemudian sesuai amanat yang diberikan bapak lurah kepadanya Mbah Nuh pun segera memberikan jagung itu kepada burung merpati (doro) tanpa disisakan sedikitpun. Berkata kepada saya bapak Kusnan Almarhum (Sambilawang) dulu bapak suka sekali bila kebetulan mengantar Mbah Nuh kesebuah undangan, istimewanya bila Mbah Nuh mendapat sangu dari pengundang dan dipesan sangu tersebut untuk ongkos pulang maka oleh Mbah Nuh uang tersebut diberikan semuanya tanpa disisakan sedikitpun, tapi bapak sudah terbiasa dengan tabi’at Mbah Nuh yang seperti itu jadi begitu sampai dirumah sisanya diberikan kepada keluarga dan bapak hanya mengambil sepantasnya saja.  

            Ada lagi sifat Waro’ Mbah Nuh yang sangat terpuji, berkata kepada saya bapak Kasiru (Rejoagung) dulu di Rejoagung ada orang yang cukup kaya dan terpandang namanya Mbah Masijah, suatu hari beliau ingin ikrom pada Mbah Nuh kemudian beliau menumbuk padi ketan untuk diberikan kepada Mbah Nuh, pada waktu itu untuk mendapatkan beras yang bagus dan putih padi itu harus ditumbuk dengan mengulang hingga empat kali, namun karena ikromnya Mbah Masijah menumbuk padi tersebut dengan tangannya sendiri. Beras sudah siap diantar, Mbah Masijah segera memanggil pembantunya yang bernama Mbah sarwi untuk segera mengantar beras tersebut ke Kertomulyo, sebelum berangkat Mbah Masijah memberikan pesan dan wanti-wanti pada Mbah Sarwi agar jangan sampai salah matur ketika menyerahkan beras itu pada Mbah Nuh, tapi taqdir Allah lain dengan yang diharapkan Mbah Masijah, sesampainya di Kertomulyo dan berhadapan dengan Mbah Nuh entah karena apa Mbah Sarwi salah matur, katanya ... ! Mbah Meniko wos ketan saking Mbah Masijah kangge pakan peksi, Mbah Nuh menyahut hiyo sok emper kono ... anehnya Mbah Sarwi bungkam tidak membantah atau paling tidak memberikan keterangan yang dia salah matur, diceritakan lagi oleh bapak Siru, ketika Mbah Sarwi pamitan pulang dan melangkah untuk beberapa lama, kemudian Mbah Sarwi tak kuasa menahan tangis mengingat kesilapannya, kondisi seperti itu terus berlangsung hingga ia sampai kerumah Mbah Masijah, begitu melihat kedatangan pembantunya Mbah Masijah memang sudah berharap-harap cemas, Sarwi kamu tidak salah matur kan ... ? mendengar pertanyaan itu Mbah Sarwi tidak menjawab dan hanya menangis, melihat pembantunya Mbah Masijah sudah tahu bahwa pembantunya sudah salah matur, maka ketika itu pula Mbah Masijah ikut menangis, ingat jerih payahnya tidak jadi didahar oleh Mbah Nuh dan ikromnya seakan tak kesampaian.

            Suatu hari datang seorang perempuan dari desa Jetak Kec. Wedarijaksa, dengan maksud akan mencarikan obat untuk anaknya yang sedang sakit, wanita itu membawa gula sebagai oleh-oleh (dihaturkan) pada Mbah Nuh, begitu diserahkan Mbah Nuh berkata ”gowo balik wae gulamu, yen arep rene nggowo oleh-oleh, ora usah utang-utang, wis mulyo insya Allah anakmu mari ”. Setelah perempuan tadi sampai di rumah ternyata anaknya sudah sembuh atas izin Allah, begitulah kepekaan jiwa Mbah Nuh. Tidak bisa menerima sesuatu yang dihasilkan dari menghutang dan memberatkan orang lain. Mbah Nuh adalah tipe orang yag sangat memperhatikan nilai-nilai halal dan haram.

KAROMAH

            Sebagian dari beberapa karomahnya adalah : suatu hari Mbah Rajik datang kerumah Mbah Nuh, begitu sampai di rumah Mbah Nuh, terpikir olehnya bahwa nanti harus pulang berjalan kaki, karena dikantongnya hanya mempunyai uang 2 (dua) sen, Mbah Rajik duduk dan mendapat suguhan kopi, ketika Mbah Rajik mengangkat cangkir hendak meminum kopinya, dengan izin Allah di bawah lapak / cawik terdapat uang sebanyak 3 sen, ketika bercerita Mbah Rajik tersenyum dan tertawa teringat kepuasan hatinya ketika itu.

Suatu ketika Mbah Nuh sedang duduk-duduk dengan Mbah Kopsah (istri Mbah Nuh) ada seorang perempuan lewat bernama Hj. Ngaisah (orang kaya) memakai perhiasan emas yang lengkap, sehingga terucap oleh Mbah Kopsah sepatah dua patah kata keinginan hatinya kepada Mbah Nuh. Mbah Nuh mendengar dan memahami hasrat seorang wanita. Kemudian Mbah Nuh bertanya ” bener kowe kepingin ...? enggih jawab istrinya, lalu Mbah Nuh berkata ” la iku nek ngisor kloso ono emas... jupuken lan nggonen yen kowe kuat nganggo yen ora kuat yo ojo ” (dibawah tikar ada emas, boleh dipakai kalau kamu mampu memakainya, kalau tidak mampu ya jangan diambil), maka Mbah Kopsah segera membuka tikar yang dimaksudkan Mbah Nuh, begitu tikar dibuka Mbah Kopsah sangat terkejut, karena tampak emas yang sangat banyak berserakan di bawah tikar. Entah karena takut atau karena apa, Mbah Kopsah berubah pikiran dan mendadak semua keinginannya menjadi hilang terhadap emas-emas itu, setelah menyampaikan kepada suaminya keadaan itu, Mbah Nuh memerintahkan menutup kembali tikarnya. Diantara karomahnya lagi : diceritakan oleh Hj. Asfiyah (Guyangan), pada suatu malam ketika ia sedang berziarah di makam Mbah Nuh bersama-sama dengan 6 orang peziarah lainnya, ketika sudah tengah malam, tiba-tiba turun hujan dengan cukup lebat, pada saat itu terjadi keanehan-keanehan. Ketika air hujan membasahi sekitar makam, atas kehendak Allah air hujan tidak turun di makam Mbah Nuh (waktu itu makam belum diberi atap)