KH Abdullah bin Nuh

∞∞∞

Al-Ustadz, Al-‘Aalim, Al-Adiib, Azzaahid, Al-Mutawadli’, Al-Haliim, Al-Mujahid fi Sabilillah. KHR. Abdullah bin Nuh dilahirkan di kota Cianjur pada tahun: 1324 H/ 1905 M, putera dari seorang ibu bernama Nyi Rd. H. Aisyah dan dari seorang ayah bernama KHR. Nuh.

NASABNYA

HR. Abdullah putera KHR. Nuh; putera Rd. H. Idris, putera Rd. H. Arifin, putera Rd. H. Sholeh putra, Rd.H. Muhyiddin Natapradja, putra Rd. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra Rd. AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).

CIANJUR DAN AL-I’ANAH

Cianjur ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para Ulama dan para pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal lelah dan tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah mengharapkan kendhoan Allah swt dan Rohmat-Nya.

Pada tahun 1912 dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang bernama Al-l’anah ; pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi, sesepuh Cianjur pada waktu itu. Dalam pembinaannya beliau dibantu oleh seorang Cucunya Al-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang menguasai kitab Ihya ‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar keluaran Makkah Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya barokah, menyebar keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah AI-Mukarromah, yaitu : K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)

Nadhir (Guru kepala) nya waktu itu adalah Syekh Toyyib Almagrobi, dari Sudan. Bertindak sebagai pembantu (guru bantu) adalah Rd. H. Muhyiddin adik ipar Juragan Rd. H. Tolhah Al-Kholidi. Murid pertamanya adalah : Rd. H. M. Sholeh Almadani.

Syekh Toyyib Almagrobi mengajar di Al-I’anah hanya 2 (dua) tahun, karena beliau diusir oleh pemerintah Belanda. Maka untuk mengisi kekosongan, Nadhir Al-I’anah dipegang oleh Al Ustadz Rd. Ma’mur keluaran pesantren Kresek Garut (Gudang Alfiyah) dan lulusan Jami’atul Khoer Jakarta (Gudang Bahasa Arab). Diantara murid-muridnya ialah :

1).Rd. Abdullah,2).Rd. M. Soleh Qurowi 3). Rd. M. Zen

Dari Al-I’anah Almubarokah inilah muncul para pahlawan dan sastrawan Muslim yang namanya tidak akan sirna, tetap tercantum dalam lembaran sejarah, diantaranya ialah Rd. Abdullah bin Nuh. Beliau telah menguasai Bahasa Arab sejak usia 8 (delapan) tahun (penjelasan beliau sendiri sewaktu hidup kepada salah seorang muridnya).

Rd. Abdullah bin Nuh adalah juara Alfiah, beliau sanggup menghafal Al-fiah lbnu Malik dari awal sampai akhir dan dibalik dari akhir ke awwal (demikian menurut Al-Ustadz Rd. Abubakar sesepuh Cianjur). Walhasil: kecerdasan, bakat dan watak Rd. Abdullah bin Nuh semenjak duduk di bangku Madrasah Al-I’anah sudah nampak jelas keunggulannya.

Selain belajar di Al-I’anah, Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya beliau. (Beliau pernah berkata kepada salah seorang muridnya : “Mama mah tiasana maca Kitab lhya teh khusus ti bapa Mama” begitu dengan logat Cianjurnya). Jadi jelas, Kota Cianjur adalah Gudang Ulama, pabrik para pahlawan dan pusat para santri. Maka tidak heran kalau kota Cianjur sejak dahulu penuh dikunjungi oleh para peminat ilmu Syari’at Islam dari seluruh pelosok Jawa Barat, dari daerah Priangan Sarat sampai ke Timur seperti : Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.[pagebreak]

PEKALONGAN DAN SYAMAILUL HUDA

Pekalongan sebuah kota kecil yang mungil, berhasil mencetak kader-kader Muslim yang militan dan berwatak, membina mental pemuda -pemuda Islam yang berjiwa pahlawan dan bercita-cita tinggi menuju Indonesia Merdeka dengan landasan Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya.

Di kota Pekalongan telah berdiri sebuah madrasah Arabiyyah yang benama “Syamailul Huda” yang terletak di JI. Dahrian (sekarang Jl. Semarang). Madrasah tersebut mempunyai sebuah internat (pondok pesantren) dipinggiran Jl. Raya, ditengah-tengah keramaian manusia, bahkan tepat berhadap-hadapan dengan sebuah gedung bioskop. Nakhoda madrasah tersebut ialah seorang Sayyid keturunan Hadramaut bernama: Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al-‘Alawi Al-Hadromi. Beliau seorang ‘Alim yang berjiwa besar, bercita-cita tinggi, berpandangan luas. Beliau tak mengenal payah dan lelah, tak ingin melihat putra-putri Islam tidak maju. Beliau bersemboyan: “sekali maju tetap maju, bekerja dengan semangat, disertai ikhlas niat, pasti dapat dengan selamat “.

Di Madrasah dan internat inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendidik, menerapkan ajaran Islam, menggembleng pemuda-pemuda yang berwatak, calon pahlawan/ Da’i/ Muballig dan Ulama.

Syamailul Huda dan internatnya, laksana Masjidil Harom dan Darul Arqom di zaman Rosulullah saw. Pemuda-pemuda didikan Rosulullah saw di Darul Arqom, kadar Islamnya kuat, keyakinannya bulat, akhlaqul karimahnya mengkilat, terlihat sinarnya memancar dari pribadi-pribadi para sahabat di kala itu, mereka berpegang teguh kepada amanah Rosulullah S.A.W

Hidup terpuji dimata masyarakat bangsa, mati syahid perlaya di medan laga membela agama Allah swt.

Pada tahun 1918 putra-putra Cianjur, murid-murid pilihan dari madrasah Al-I’anah berangkat ke Pekalongan menuju Syamailul Huda. Putra-putra pilihan itu ialah :1). Rd. Abdullah, 2). Rd.M.Zen, 3). Rd. Taefur Yusuf , 4). Rd. Asy’ari, 5). Rd.Akung, 6). Rd. M. Soleh Qurowi

Beliau-beliau inilah yang termasuk murid-murid dakhiliyyah yang bermukim di Internat (Pondok Pesantren) Syamailul Huda bersama-sama dengan teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 orang (dari Ambon, Menado, Surabaya, Singapura, dan Malaysia/ daratan Malaka). Sahabat karib Rd. Abdullah bin Nuh pada waktu itu, yang masih ada sekarang, ialah yang telah penulis temui ditempat kediamannya Jl. Surabaya No. 69 Pekalongan, Al Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits (kelahiran Ambon). Beliau lebih tua usianya dan Rd. Abdullah bin Nuh, beliau dilahirkan di Ambon pada tahun 1904 (waktu di Syamailul Huda Rd. Abdullah bin Nuh kelas 3, Al Ustadz Said kelas 4).

Sewaktu penulis menemui beliau, banyak sekali kata-kata mutiara yang diucapkannya. Beliau memulai percakapan dengan kata-kata: “Waktu saya berziarah ke rumah Abdullah kebetulan waktu sholat Maghrib, saya tahu persis keadaan dalam rumahnya, hanya dua kamar yang sempit dan satu kamar mandi yang darurat. Padahal kalau melihat ilmunya, dan banyak murid-muridnya, dia itu orang besar, sudah tidak sesuai lagi. Tidak seperti orang-orang besar sekarang mobil-mobil banyak, gedung-gedungnya mewah, dengan rumah saya saja sudah jauh berbeda “(rumah Al Ustadz Said itu gedung dan besar sekali).

Beliau (Al Ustadz Said) melanjutkan dengan ucapan beliau: “Maka dari gambaran suasana rumahnya yang sangat sederhana itu, Masya Allah – Masya Allah – Masya Allah, Abdullah sedang syugul lillahi Ta’ala, dia AZ-Zaahid”

1. Inilah Ulama, ini waktu, mencari seperti itu tidak ada ;

2. Abdullah tetap Abdullah sebagai Kiyai ;

3. Ini hidup yang benar ;

4. Ini thoriq (jalan) yang benar ;

5. Abdullah saudara saya betul Amanat-amanat beliau kepada putra-putri AI-Ustadz Abdullah bin Nuh:

   1). Berjalanlah menurut Abdullah bin Nuh ; 

   2). Ana ad’uu lahum (Aku berdoa untuk mereka); 

   3). Panggillah saya ‘aamii (anggaplah orang-tuanya) ; 

   4). Salam dari saya kepada keluarga Abdullah ;

   5). Dan minta foto Abdullah setetah mendekat wafat

Al Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits memberi julukan kepada Rd. Abdullah bin Nuh dengan julukan: 1). Al Ustadz ; 2). Al-‘Aalim ; 3). Al-Adiib ; 4). Azzahid ; 5). Al-Mutawadli’ ; 6). Al-Haliim. Lalu penulis menambahkan dengan “Al-Mujahid fii Sabilillah’, beliau mengiyakan.

Madrasah Syamailul Huda ialah Samudra tempat menimba tinta mas Ilmu Ilahi. Internatnya laksana ladang tempat mendulang berlian llmu agama Allah swt. Maka tidak sedikit pentolan-pentolan Ulama dan pahlawan yang dihasilkan dari Madrasah tersebut. Diantaranya yang berhasil dengan gemilang dan menonjol sekali Rd. Abdullah bin Nuh, putra Cianjur, sehingga beliau menjadi kesayangan gurunya.

Rd. Abdullah bin Nuh sewaktu duduk di kelas 4 kelas terakhir Syamailul Huda, telah turut aktif mengaji bersama-sama dengan para guru Madrasah tersebut. Jadi Rd. Abdullah bin Nuh sudah lebih dahulu maju dari teman-teman kakak kelasnya.

SURABAYA DAN HADROL MAUT SCHOOLNYA

Kota Surabaya ialah kota yang terkenal arek-areknya di zaman revolusi fisik dan jadi kebanggaan masyarakat Surabaya para patriotnya, dari kota 19 sampai kedesa-desa. Kira-kira pada akhir tahun 1922 AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim pindah ke Surabaya ; Rd. Abdullah bin Nuh dibawa dan dikembangkan bakatnya.

Di kota Surabaya pada waktu itu ada sebuah gedung besar dan tinggi letaknya dekat jembatan besar di Jln. Darmokali (dulu Noyo Tangsi). Penulis melihat dimuka gedung itu sebelah atas ada tulisan tahun 1914 waktu didirikannya. Di gedung inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan sekolah “Hadrolmaut School” untuk menyebar Ilmunya dan melatih anak-anak didik yang dibawanya dari Pekalongan, dalam rangka mengembangkan bakat dan penampilan kemampu§n anak-anak didiknya tersebut.

Hadrolmaut Shool di Surabaya laksana Masjid Quba di Madinah sewaktu Rosulullah saw mulai menginjakkan kakinya di bumi Madinatul Munawwaroh: Tempat Rosulullah saw, mempersaudarakan ummat yang berbeda-beda bakat dan adat istiadat, tempat mempersatukan kaum Muslimin yang bermacam-macam faham dan pendapatnya, tempat Rosulullah saw mengatur siasat; bermasyarakat dan lain-lain.

Gedung “Hadrolmaut School” ialah tempat Rd. Abdullah bin Nuh dan teman-temannya dididik, dibina, digembleng cara praktek mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang dipertukan.

Rd. Abdullah bin Nuh disamping diperbantukan mengajar disekolah tersebut, beliau tidak henti-hentinya menyerap dan menerima bermacam-macam ilmu Agama dan Umum, mempelajari beraneka ragam bahasa dari gurunya. Demikianlah keadaan Rd. Abdullah bin Nuh di kota Surabaya, beliau berjiwa arek-arek Suroboyo yang paling lincah berjuang. Dengan ilmunya yang mendalam, jiwa yang suci dan kemauannya yang kuat, maka beliau terpilih sebagai siswa yang akan dibawa ke Mesir oleh gurunya besama-sama dengan teman-temannya, sebanyak 15 orang.

Teman Rd. Abdulah bin Nuh yang bersama-sama belajar di Mesir yang masih ada di Kota Surabaya sekarang, ialah Al-Ustadz Abdul Razak Al-‘Amudi di kompleks IAIN Wonocolo. Beliaulah yang menyandang gelar: Syahadatul Aalimiyah dari “Jami’atul Azhar” dan Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya dari Madrasah Darul ‘Ulumul ‘Ulya.

Waktu penulis menemui beliau ditempat kediamannya, beliau berkata : “Al-Ustadz Abdul Rozaq, tetapi Al-Ustadz Abdullah bin Nuh lebih mendalam”.

MESIR DAN AL-AZHARNYA

Bertepatan dengan didudukinya Kota Makkah AL-Mukarromah oleh kaum Wahabiyyin dan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah pada tahun 1343 H (_+ tahun 1925 M), Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama sama teman-temannya yang 15 orang itu dibawa gurunya ke Mesir untuk melanjutkan pelajarannya. Perguruan Tinggi di Mesir pada waktu itu hanya dua : 1. Jami’atul Azhar ( Syari’ah ) : Lama belajar 6 tahun mendapat gelar : Syahadatul ‘Alimiyah. Lama belajar 3 tahun mendapat gelar : Syahadatul Ahliyyah. 2. Madrasah Darul’ Ulum AI-‘Ulya (AI-Adaab)

Lama belajar 4 tahun mendapat gelar: Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya Syarat-syarat masuk Jami’atul Azhar diantaranya harus hafal AI-Qur’an 30 Juz. Tetapi murid-murid yang dibawa oleh Al-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim yang 15 orang itu mendapat prioritas diterima dengan hafal beberapa surat. Pengecualian ini menunjukkan kebesaran dan keberkahan murid-murid Al-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim. Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama-sama dengan teman-temannya mula-mula bertempat tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasiyah. Pelayannya orang-orang Yaman.

Siang dan malam Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya belajar. Waktu adalah betul-betul berharga bagi betiau. Keluar dari Jami’atul Azhar beliau pulang hanya mengganti pakaian, memakai pantalon, berdasi dan memakai torbus, terus mengikuti pengajian-pengajian di luar Al-Azhar. Mahasiswa Al-Azhar mempunyai ciri khas ialah berjubah dan bersorban dibalutkan dikepala (udeng).

Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh di Mesir sudah tidak mempelajari bahasa Arab lagi, karena beliau ketika masih di Indonesia sudah benar-benar pandai dan ahli, mengusai berbagai bahasa. Beliau di Mesir hanya belajar fak Fiqih (ini menurut cerita beliau kepada salah seorang muridnya, katanya dalam bahasa Sunda Mama mah di Mesir teh mung diajar ilmu fiqih wungkul”. Selanjutnya beliau bertanya: “Dupi salira kitab-kitab fiqih naon anu parantos diaos? Dijawab oleh muridnya dengan menyebutkan beberapa kitab Fiqih. Setelah sampai menyebut kitab Iqna, maka beliau berkata: “Mama mah tamatna Iqna teh di Mesir, ari salira mah tamat Iqna teh di Indonesia.”

Dengan berkah ketekunan dan kesungguh-sungguhan, maka Al-Ustadz Abdullah bin Nuh di Mesir telah kelihatan sebagai seorang Pelajar yang paling cakap di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Al-Ustadz Abdur Rozzaq berpendapat: “Sebabnya Abdullah itu mempunyai kelainan daripada teman-temannya yang semasa, karena dia mendapatkan banyak ilmu dari hasil muthola’ah. Muthola’ah satu kitab saja sampai 10 kali. Inilah syarat muthola’ah kata Al-Ustadz Abdullah bin Nuh. Diantara kitab yang didawamkan muthola’ah : ialah kitab : ARAB 2

Al-Ustadz Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya selama dua tahun, dikarenakan putra gurunya yang beliau temani tidak merasa betah dan gurunya pulang ke Hadrolmaut, maka Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pun pulang ke Indonesia. Inilah riwayat hidup singkat beliau masa belajar/ tholabul’ilmi atau masantren.

MADRASAH P.S.A.

Pada tahun 1927 Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pulang dari Mesir ke Indonesia (Cianjur. Pada akhir tahun 1927 pergi ke Bogor (Ciwaringin). Beliau mengajar: 1. Di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama Ajengan Rd. Haji Manshur.2.Para Mu’allim yang berada di sekitar Bogor.

Pada awal tahun 1928 beliau pindah ke Semarang tetapi tidak lama yaitu hanya 2 (dua) bulan, kemudian kembali ke Bogor. Lalu pulang lagi ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru bantu) mengajar di Al-I’anah, waktu itu nadhirnya Al-Ustadz Rd. H.M. Sholeh Al-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau adalah: 1. Mengajar para kyai. 2.Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)

Pada tahun 1934 di Bogor (di Ciwaringin) didirikan Madrasah P.S.A. (Penolong Sekolah Agama). Maksud didirkannya PSA adalah untuk mempersatukan madrasah-madrasah yang ada di sekitar Bogor yang berada di bawah asuhan Mama Ajengan Rd. H. Manshur.

Susunan Pengurus P.S.A. ialah :Ketua, Mama Ajengan Rd. H. Mansur, Sekretaris M.B. Nurdin (Marah Bagindo), Inspektur K. Usman Perak. Ketua Dewan Guru/ Direktur. AI-Ustadz Rd.H.Abdullah bin Nuh, Pembantu/ Sekretaris Rd. Ali Basah

Selain memimpin madrasah-madrasah, juga AI-Ustadz mengajar di MULO (SLTP). Pada tahun 1939 Madrasah P.S.A, pindah ke jalan Bioskop (JI, Mayor Oking, yang sekarang dipakai Mesjid)

Dari tahun 1939 s.d 1942 beliau tetap bertempat tinggal di Panaragan dan setiap hari mengajar ngaji para Kyai. Walaupun Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh ilmunya telah begitu banyak, tetapi selama di Bogor beliau masih terus menambah ilmunya dari seorang ulama (Mufti Malaya) yaitu Sayyid ‘Alwy bin Thohir.

PETA

Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya HIZBULLAH beberapa minggu kemudian di mana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggota organisasi itu. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah merupakan salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat DAIDANCO yang berasrama di Semplak Bogor.

Lalu pulang lagi ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru bantu) mengajar di Al-I’anah, waktu itu nadhirnya Al-Ustadz Rd. H.M. Sholeh Al-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau adalah: 1. Mengajar para kyai. 2. Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)

Pemimpin-pemimpin umat ini, para alim ulama di sana-sini ditangkap oleh Dai Nippon, diantaranya Hadlorotnya Syekh Hasyim Asy’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Beliau dipenjarakan di Bubutan, Surabaya. Di Jawa Barat perlakuan serupa dilakukan terhadap KH. Zainal Mustofa, Tasikmalaya, bahkan sampai gugurnya karena di siksa Dai Nippon. Beliau adalah Pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya.

Tanggal 6 Agustus 1945 senjata dahsyat bom atom dijatuhkan Amerika Serikat di atas kota Hiroshima, disusul kemudian tanggal 9 Agustus bom atom gelombang kedua dijatuhkan pula di atas Nagasaki. Sekutu mengumandangkan kemenangannya. Bangsa Indonesia saat itu sangat optimis dengan tekuk lututnya Jepang terhadap sekutu. Ternyata pada tanggal 17 Agustus 1945 beberapa hari setelah pemboman terhadap kedua kota itu kita bangsa Indonesia memperoleh hikmah, yaitu kemerdekaan yang diperoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apakah ini bukan rohmat dari Allah SWT ?

Cobaan demi cobaan telah dan akan selalu kita hadapi. Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi peristiwa besar yang merupakan titik awal yang menyulut semangat kepahlawanan rakyat Surabaya. Beberapa personil Belanda yang saat itu membonceng sekutu berhasil menyamar sebagai Missi Sekutu mengibarkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, Tunjungan Surabaya. Kemudian personil Belanda lainnya setelah tiba di Tanjung Priok merayap keseluruh pelosok Jawa di antaranya ke Bandung, Yogya, Magelang dan Surabaya. ini merupakan tantangan berat lagi bagi bangsa Indonesia. Namun demikian rakyat tiada mengenal mundur atau menyerah.

Begitu pula Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh terus melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan memimpin barisan Hizbullah dan BKRI TKR di kota Cianjur bersama-sama dengan barisan lainnya hingga pertengahan tahun 1945.

Pada tanggal 21 Romadhon 1363 H/ 29 Agustus 1945 M, di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNlP) dan sekaligus melangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr. Kasman Singodimedjo, salah seorang bakes Daidanco PETA Jakarta. Anggota KNIP diantaranya adalah Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh. Pada tanggal 4 Juni 1946 Pemerintahan R.I. pindah ke Jogyakarta. 

JOGYAKARTA DAN P.T.I. NYA (SEKARANG UII)

Yogyakarta adalah sebuah kota kecil yang mendadak menjadi ibukota Republik Indonesia dan pusat segala kegiatan politik. Semenjak awal 1946, situasi politik terus meningkat dan ketegangan serta pergolakan terjadi di mana-mana. Jogyakarta amat berat memikul beban nasional di atas pundaknya. Namun Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh adalah benar-benar seorang ulama pejuang yang pandai membagi waktu. Walaupun tugas beliau sangat berat, sebagai tentara yang mewakili Jawa Barat dan anggota KNIP lainnya, namun beliau masih sempat mendirikan RRI Jogyakarta siaran Bahasa Arab dan kemudian mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/ UII) bersama dengan KH. Abdul Kohar Muzakkir.

Yang lebih unik lagi ialah tidak melupakan tugas kekiyaian, yaitu mengajar ngaji. Hasil didikan beliau waktu di Jogyakarta diantaranya adalah Ibu Mursyidah dan Al-Ustadz Basyori Alwi, yang telah berhasil membuka Pesantren yang megah di Jl. Singosari No.90 dekat kota Malang, dan banyak lagi Asatidz tempaan beliau.

Pada bulan Desember 1948 Jogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur dari kota Jogya dan terjadilah perang gerilya selama 6 bulan, mulai dari Desember 1948 s.d. Juni 1949. Perang gerilya ini dilakukan pula oleh para pejabat, walaupun dia itu adalah seorang Menteri.

Pada bulan Juni itulah (tepatnya tanggal 5) Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu Mursyidah, salah seorang puteri didiknya yang telah disebut tadi.

Tanggal 29 Juni 1949 setelah tentara Belanda meninggalkan Jogyakarta, pasukan Republik Indonesia yang sedang bergerilya bersama rakyat masuk kembali ke Jogyakarta. Itu berarti bahwa, Jogyakarta kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia.

Sejarah pertama kali mencatat, yaitu tanggai 17 Desember 1946, Bung Karno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat dengan mengambil tempat di Kraton Jogyakarta. Kemudian diakhir tahun 1949 Pemerintah RI pindah ke Jakarta, dan saat itu pulalah Al-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh bersama ibu Mursyidah (isterinya) hijrah ke Jakarta.

JAKARTA DAN UI-NYA

Setelah melalui liku-liku hidup dan mengarungi pasang surutnya gelombang perjuangan, keluarga Al-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh menetap di Jakarta selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 1950 s.d. 1970, Di Jakarta inilah beliau menjadikan ibukota sebagai arena pengabdiannya kepada Allah SWT dan kepada hamba-Nya. Beliau mengajar ngaji para asatidz/ Mu’allimin, memimpin Majlis-majlis Ta’lim, menjabat sebagai Kepala Seksi Bahasa Arab pada Studio RRI Pusat. Selain itu juga aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Board). Kemudian pernah pula menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian Sastra Arab, pemimpin Majalah Pembina dan Ketua Lembaga Penyelidikan Islam.

Di samping itu pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Kota Bogor, beliau telah aktif memimpin pengajian-pengajian di Bogor, yaitu :1. Majlis Ta’lim Sukaraja (Al-Ustadz Rd. Hidayat) 2. Majlis Ta’fim Babakan Sirna (AI-Ustadz Rd. Hasan) 3. Majlis Ta’lim Gang Ardio (KH. Ilyas) 4. Majlis Ta’lim Kebon Kopi (Mu’allim Hamim)

Dan akhirnya pada tanggal 20 Mei 1970 Mama hijrah dari Jakarta ke Bogor.

MAMA DAN “AL-GHAZALY”

YIC “Al-Ghazaly” ialah Pusat Pendidikan Islam (Pesantren, Majlis Ta’lim, sekolah umum dan madrasah Diniyah).

“Al-Ghazaly” sudah tidak asing lagi bagi Ummat Islam warga Bogor. YIC “Al-Ghazaly” memiliki empat lokasi yaitu: AG I di Kotaparis , AG II di Cimanggu (H. Firdaus), AG III di Cimanggu Perikanan dan AG IV di Cibogor.

YIC “Al-Ghazaly” adalah Mazro’atul Akhiroh (ladang akherat) Mama. Tempat Mama memberikan pelajaran kepada para Ustadz dan kyai-kyai yang berada di sekitar Bogor, bahkan ada pula yang datang dari Jakarta, Cianjur, Bandung dan Sukabumi.

Majlis-majlis Ta’lim yang ada dalam asuhan Mama adalah : Al-Ghazaly (Kotaparis) Al-Ihya(Batu Tapak) Al-Husna (Layungsari) Nurul Imdad (Babakan Fakultas, belakang IPB) Nahjussalam (Sukaraja).

Kesemuanya itu adalah tempat pengabdian Mama setelah usianya lanjut. Bagi Mama tiada hari tanpa kuliah shubuh. Kegiatan rutin setiap minggunya adalah hari Senin s.d. Kamis di Majlis Ta’lim AI-Ihya, Jum’at s.d. Ahad di Al-Ghazaly, sedangkan Ahad siang (ba’da dzuhur) di Nahjussalam Sukaraja.

Selain itu, Mama juga mengadakan pengajian khusus untuk para pemuda dan pelajar, mahasiswa/ mahasiswi. Demikian kegiatan Mama di “Al-Ghazaly” yang tidak mengenal istirahat.

MAMA DAN “NAHJUSSALAM”

Nahjus Salam ialah Pesantren idaman Mama yang belum terlaksana dengan sempurna dan tentunya.wajib kita tanjutkan sampai tuntas. Jauh sebelum merencanakan “Nahjus Salam”, Mama pernah mengutarakan keinginannya kepada salah seorang muridnya: “Mama ingin sekali punya Pesantren”. Kemudian muridnya itu bertanya: “Di daerah mana Mama ingin mendirikan Pesantren itu? Di Bogor Timur, Ciluar atau di Cianjur?” Mama menjawab: Di Sukaraja. Muridnya masih penasaran, kemudian melanjutkan pertanyaannya: “Kenapa ingin di Sukaraja?” Beliau menjawab:

1. Ingin dekat dengan makam eyang Mama (Kanjeng Dalem)

2. Melaksanakan amanat Mama Ajengan Manshur (Bilamana Mama Ajengan Manshur wafat, harus diteruskan oleh beliau).

3. Ingin istirahat total

Penulis pada waktu itu tidak memperhatikan akan arti dan kandungan obrolan Mama yang sebenarnya mendalam serta penuh dengan isyarat itu.

Maka pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1404 H, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1983, dimulailah pembangunan fisik Pesantren Nahjus Salam yang diprakarsai oleh para putera Almarhum Rd. H. Jamhur Ciwaringin Tanah Sewa beserta sesepuh dan warga Sukaraja Al-Ustadz Hasanuddin. Bangunan Pesantren tersebut selesai pada akhir bulan Rajab tahun itu juga. Peresmian yang langsung diisi oleh Mama dilaksanakan hari Jum’at tanggal 25 Rajab 1404 H/ 27 April 1984, dan hari Ahad tanggal 12-Sya’ban (lebih kurang 2 minggu setelah peresmian) dimulai pengajian di Nahjus Salam.

Keinginan Mama selalu terkabul, sukses dan Barokah. Maunahnya mulai nampak dan terlihat oleh khalayak ramai. Padahal menurut penulis setelah mengamati dan selalu memperhatikan gerak-geriknya, Mama memiliki keutamaan (kelebihan) ilmu, dan maunahnya telah terlihat dan terasa sejak Mama mulai menetap di Bogor. Pernah penulis alami ketika pada suatu kejadian yang membuktikan tentang itu.

Kira-kira tahun 1973 Mama bersama penulis berziarah kepada seorang kyai yang telah dianggap wali oleh para Ulama yang tahu tentang keadaan kyai itu. Ada tiga keanehan menurut penulis yang sangat mencolok pada pribadi Mama saat itu: Pertama: Bukan Mama yang masuk ke kamar Kyai yang sedang sakit berat itu, tetapi justru kyailah yang datang menemui Mama di ruang tamu. Kedua: Mama memohon di do’akan oleh Kyai itu, tetapi keadaan sebaliknya yang terjadi, yakni Kyailah yang meminta di do’akan. Akhirnya Mama-lah yang berdo’a. Kyai bersama penulis mengamini.Ketiga: Ketika Mama permisi, kyai itu mengantarkan sampai ke pintu gerbang pekarangan rumahnya, sedangkan Kyai itu tidak pernah melakukannya terhadap siapapun.

Dengan ketiga hal yang menurut penulis mengandung keanehan itu, membuktikan bahwa derajat Mama sudah lain dari pada yang lain. Obrolan Mama mengenai “ingin istirahat total” ini merupakan isyarat bahwa kepulangan Mama ke Rahmatullah telah mendekat. Karena hanya wafatnya hamba kekasih Allahlah yang termasuk dan boleh dikatakan “Istirahat Total”. Permohonan Mama ingin istirahat total dikabulkan oleh Allah swt.

Pada hari senin malam selasa, jam 19.15 WIB ba’da Isya, tanggal 26 Oktober 1987 bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1408 H beliau pulang ke Rahmatullah. “Innaa Lillaahi wa Inna Ilaihi Rooji’uuna”. Thoriqoh Mama ada tiga: 1. Mengajar 2. Muthola’ah 3. Mengarang.

Di mana saja Mama tinggal, Mama betah, asal Mama bisa menjalankan yang tiga itu dengan tenang. Jadi jelaslah, pindahnya Mama dan satu daerah ke daerah lain adalah termasuk : yang mudah-mudahan pulangnya Mama ke Rahmatullah pun demikian adanya, hijrah kepada keridhoan Allah swt. Amin …

AMANAHNYA

Di dalam mengarungi dunia yang penuh dengan godaan dan sarat dengan fitnah, Mama memberikan amanah kepada penulis tentang cara menghadapi manusia-manusia di abad modern ini, yaitu harus berpendirian.

Khumul = Tidak ternama

Malamih = Manampakkan roman muka Tawakal kepada Allah swt.

Insya Allah selamat dari godaan dan fitnah.

AHLUL BAIT MAMA

Ibu Cianjur dan putra-putrinya: Ibu Cianjur adalah Almarhumah Ny. Rd. Mariyah (Ibu Nenden‘ Putra-putrinya adalah :

1. Rd. Ahmad (Tanggerang) 2. Rd. Wasilah (Tanggerang). 3. Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor) 4. Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor), 5. Rd. Hamid (Australia) 

Ibu Bogor dan putra-putrinya :

Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin), Putra-putrinya adalah :

1. Rd. Aminah (almarhumah) 2. Rd. Aisyah (almarhumah) 3. Rd. Hj. Mariyam 4. Rd. Zahro (almarhumah) 5. Rd. Zulfa 6. Rd. H. Toto Mustofa

Mama telah pulang ke Rahmatullah Akan menerima keridhoan Allah. Kita yang ditinggalkan Wajib melanjutkan Amanat Mama. Kita laksanakan Thoriqoh Mama kita jalankan. Mudah-mudahan riwayat hidup Mama yang ringkas ini menjadi cermin untuk kita semuanya kaum muslimin-muslimat, baik tua maupun muda. Amin …

Karya-karya tulis K.H.R. Abdullah bin Nuh

I. Karya-karya tulis dengan bahasa Indonesia yang berbentuk buku diantaranya, yaitu:

1.1 Al-Islam

1.2 Islam dan Materialisme

1.3 Islam dan Komunisme

1.4 Islam dan Pembahasan .,

1.5 Keutamaan Keluarga Rosulullah

1.6 Islam dan Dunia Modern

1.7 Risalah As-Syuro

1.8 Ringkasan Sejarah Wali Songo

1.9 Riwayat Hidup Imam Ahmad Muhajir

1.10 Sejarah – Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten

1.11 Pembahasan Tentang Ketuhanan

1.12 Wanita Dalam Islam

1.13 Zakat dan Dunia Modern

II. Karya-karya tulis dengan Bahasa Arab yaitu berbentuk natsar (karangan bebas) dan syi’ir (puisi).

2.1 Dalam bentuk natsar (yang berbentuk buku) diantaranya berjudul:

Selain mengarang K.H.R. Abdullah bin Nuh juga menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.

Kitab-kitab yang beliau terjemahkan kebanyakan karangan Imam AI-Ghazaly yang beliau kagumi.

Diantara terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah:

1. Renungan; 

2. O’Anak; 

3. Pembebasan dari Kesesatan; 

4. Cinta dan Bahagia; 

5. Menuju Mukmin Sejati (Minhajul-Abidin, karangan terakhir imam Ghazaly.

Adapun yang beliau terjemahkan ke dalam bahasa Sunda diantaranya berjudul: 

1. Akhlaq; 

2. Dzikir

Sebagai seorang Ahli bahasa Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry, diantara kamusnya adalah:

1. Kamus Arab – Indonesia;

2. Kamus Indonesia – Arab – Inggris;

3. Kamus Inggris – Arab – Indonesia;

4. Kamus Arab – Indonesia – Inggris;

5. Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan: – diplomatik politik- ekonomi, dll.

Karya KH. Abdullah bin Nuh

Abdullah bin Nuh. Namanya tidak bisa dipisahkan dari nama al-Ghazali. Ulama, cendekiawan, sastrawan, dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor. Abdullah bin Nuh lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905 (26 Rabiul Tsani 1323H). Ia wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987.

Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab Abdullah bin Nuh. Di awal tahun 1960-an, Maftuh sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Beliau sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata Maftuh.  

Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Qur’an (bahasa Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8) Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al Munqidz min adl-Dlalal, (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).

Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang Abdullah bin Nuh. Diantaranya adalah Prof. Dr. H. Ridho Masduki menulis Disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis Tesis Master tentang “Ukhuwah Islamiyah menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis Skripsi untuk Sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.”. Dudi Supiandi, menulis Tesis Master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.”

Dr. Adian Husaini menuturkan pengalamannya berguru kepada Abdullah bin Nuh di Majlis al-Ghazali, Bogor. Ketika itu, Adian bersama sejumlah mahasiswa IPB secara rutin mengkaji kitab Ana Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun. Menurut Adian, jika pembahasan memasuki masalah-masalah khilafiah, beliau mengatakan, “Ini pendapat Mamak, terserah Ananda untuk mengambil pendapat yang lain.” Mamak adalah sebutan akrab untuk Abdullah bin Nuh. Beliau juga tetap berusaha melaksanakan shalat berjamaah di mushalla al-Ghazali, meskipun sambil duduk. “Kadangkala rakaat pertama masih berdiri, tapi rakaat kedua sudah shalat sambil duduk,” kenang Adian.

Kuasai Bahasa Arab

Keahlian utama yang dianugrahkan Allah SWT pada KH Abullah bin Nuh adalah mengusai bahasa Arab, baik yang berbentuk prosa, puisi maupun dalam berbicara, mengajar, menulis dan berceramah. Bahasa Arab yang keluar dari lisan beliau amat fasih dan menarik, bukan saja bagi para Kyai dan sahabat-sahabatnya di Indonesia yang mengerti dan memahami bahasa Arab, tetapi bangsa Arab pun mengaguminya.

Pegawai-pegawai kedutaan dari negeri Arab banyak yang senang bergaul dengan beliau, mereka tertarik oleh bahasa Arab yang dilafadz-kannya, termasuk para duta besar. Bahkan sesudah pindah ke Bogor pun masih ada beberapa duta besar yang bersilaturahhmi ke Al Ghazaly hanya untuk beramah tamah dan mendengar tutur katanya yang menarik hati.

Oleh karena kefasihannya dalam menggunakan bahasa Arab, pada saat umroh tahun 1979, Abdullah bin Nuh berkenalan dengan seorang pejabat tinggi Yordan, kemudian diundangnya untuk berceramah di Amman Yordan. Hingga akhrnya yang mulia Amir Hasan adik Raja Yordan memberi bea siswa untuk Mustofa salah seorang putranya dan kawan-kawannya belajar di Yordan University.

Tulisan KH Abdullah bin Nuh dalam bahasa Arab pun sangat menarik, buku-buku yang dikarang sepanjang hidupnya sebanyak 26 judul. Tidak sedikit kenalannya di Timur Tengah yang menyuruh anak-anaknya supaya menghafal salah satu tulisan Abdullah bin Nuh yang berjudul “Persaudaraan Islam”. Yang ditulisnya pada tahun 1925 ketika mengajar di Hadramaut School.

Bahasa Arab yang dikusai KH Abdullah bin Nuh betapa menjadi suatu pesona yang banyak menarik sahabat karib dan juga para Habaib. Bahkan, semasih tinggal di jalan Pasabean 66, almarhum Habib Abdullah Alatas (ayah Habib Alatas Menteri Luar Negeri Era Orde Baru) sering silaturahhmi kerumah Abdullah bin Nuh hingga larut malam. Dari keahliannya itu pula KH Abdullah bin Nuh memimpin siaran bahasa Arab di RRI, mengajar di Universitas Indonesia, memimpin majalah berbahasa Arab APB (Arabian Press Board) mengadakan Academi Bahasa Arab di Menteng Raya (Cikini) dan mengajar KH Abdullah Syafe’i, KH Abdu Rosyid dan Dr Hj Tuti Alawiyah.

Disamping mengusai bahasa Arab dalam bentuk prosa, KH Abdullah bin Nuh pun ahli menggubah Syi’ir dalam bahasa Arab. Syi’ir-syi’ir karangannya dihimpun dalam suatu buku atau diwan. Sayangnya, diwan itu kini tidak ketahuan lagi dimana rimbanya, Dulu Diwan itu pernah dipinjam oleh salah seorang bekas muridnya di STI yang akan menempuh ujian di Al Azhar (Cairo) untuk melengkapi disertasinya, kembali ke Indonesia murid beliau tersebut menjadi rektor IAIN. Tetapi diwatu itu?. Wallaahu a’lamu.

Buah Karya KH. Abdullah Bin Nuh

Di tengah-tengah kesibukannya dalam menjalankan aktifitas kesehariannya, Abdullah bin Nuh masih menyempatkan menyelipkan waktu untuk memunculkan karya-karyanya. Diantara karyanya ialah: 

1) Kitab fi Dzilal al-ka’bah al-haram. Dalam kitab ini, Abdullah bin Nuh menjelaskan tentang peranan ka’bah sebagai lambing pemersatu umat Islam dan rumah pertama yang dibangun sebagai tempat perlindungan di bawah kalimat Tauhid. 

Kitab 2) la thaifiyata fi al-islam. Dalam kitabnya ini Abdullah Bin Nuh menjelaskan pentingnya berjihad bagi seorang Muslim yang memiliki persyaratan. Kitab 3) al-alam al-islamiyyah. Melalui kitab ini Abdullah bin Nuh menjelaskan tentang dunia Islam yang amat kaya dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.

4) Terjemahan kitab munqiz al-Dlalal (terbebas dari kesesatan) karya Imam Al-Ghazali. Kitab ini menceritakan perjalan batin Imam Al-Ghazali dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka mencari kebenaran. Karena Imam Al-Ghazali mengalami keraguan dan ketidakyakinan terhadap kebenaran ilmu kalam, filsafat yang didalamnya banyak pendapat yang saling bertentangan. Karya beliau selanjutnya adalah 

5) Mu’allimu al-arabiyyah (Guru Bahasa Arab). Buku ini berisi uraian tentang cara-cara mengajar Bahasa Arab yang efektif. Buku ini sangat berguna bagi guru yang mengajar Bahasa Arab. Kemudian buku 6) Al-lu’lu al-Mantsur. Buku ini berbicara tentang nilai-nilai luhur yang seharusnya berpengaruh di dalam kehidupan manusia, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai ajaran Islam.

7) Al-Mustashfa. Buku ini berisi tentang kajian fiqh dalam Islam. Dilanjutkan dengan buku 

8) Jalan bagi ahli ibadah. Sesuai judulnya buku ini berisi tentang keutamaan orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT. 

9) Ana muslim sunniyyun syafi’iyyun. Buku ini merupakan refleksi dari sikap Abdullah bin Nuh yang tegas dan gamblang sebagai seorang penganut sunni. 

10) Zakat modern. Melalui buku ini Abdullah bin Nuh mencoba melakukan terobosan baru dalam memahami dan mengamalkan zakat dari keadaan yang tradisional kepada keadaan yang modern tentunya dengan membawa misi kebaikan bagi kehidupan sosial, ekonomi masyarakat dan menghilangkan kesenjangan sosial.

Melalui buku 11) Keutamaan keluarga Rasulullah tampaknya Abdullah bin Nuh ingin memperkenalkan akhlak Rasulullah dan mengajak masyarakat agar meneladaninya. Kemudian buku 

12) Hadits-hadits Mahdi yang berbicara tentang hadits-hadits yang mengandung kontroversial, yaitu hadits-hadits tentang Mahdi dan kemungkinan datangnya Mahdi sebelum hari kiamat tiba. Disusul dengan buku 

13)Islam dan marxisme. Sepertinya melalui buku ini Abdullah bin Nuh ingin menyampaikan bahwa ajaran Marxisme tidak sejalan dengan ajaran Islam yang mendasari pada ajaran tauhid. 

Buku 14) Sejarah Islam di Jawa Barat memberitahukan kepada masyarakat Jawa Barat terkait masuknya Islam ke Jawa Barat. Kemudian ada sebuah buku yang berisi tentang beberapa keterangan yang memperjelas ahlu al-sunnah wa al-jama’ah yaitu 

buku 15) Barahin Nuayyid Ahl Al-Sunnah wal jama’ah. Abdullah bin Nuh juga ingin mencoba memberikan penerangan kepada masyarakat tentang penerapan riba dengan bukunya yang berjudul 

16) Nushush fi al-hibbah, dan melalui buku 

17) al-Islam wa al-Syubhat al-ashriyah Abdullah bin Nuh mencoba memberikan penerangan tentang masalah syubhat yang berkembang di masyarakat dan terakhir dari sekian banyak bukunya yang berjudul 

18) Ummah wahidah adalah buku yang membicarakan bagaimana tata cara mempersatukan umat Islam.

Gagasan dan Pemikiran Pendidikan KH. Abdullah Bin Nuh

Gagasan dan pemikiran pendidikan KH. Raden Abdullah Bin Nuh secara implisit dapat ditelusuri dari berbagai karya tulis seta aktifitasnya sebagai mana yang telah diuraikan pada point sebelumnya. Dari berbagai judul buku yang ditulisnya tersebut secara eksplisit tidak ada yang berjudul pendidikan dalam arti ilmu pendidikan, yang dijumpai dalam buku tersebut adalah nilai-nilai luhur yang harus ditanamkan ke dalam jiwa masyarakat. Dengan demikian, Abdullah Bin Nuh dapat dikatakan sebagai praktisi pendidikan, yaitu orang yang mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk mendidik masyarakat. Dari berbagai upaya dan kiprahnya itu dapat diidentifikasi aspek-aspek pendidikan yang dimajukan oleh Abdullah Bin Nuh.

Tujuan Pendidikan

Sebelum mengutarakan tujuan pendidikan menurut KH Raden Abdullah Bin Nuh, berikut akan dikemukakan tujuan pendidikan Islam menurut para ahli yang ternukil dalam buku Ahmad Tafsir “ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam”: menurut Muhammad Naquib Al-Attas, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang baik. Menurut Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuk manusia yang berkepribadian Muslim. Menurut Al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang berakhlak mulia. Kemudian menurut Munir Mursyi, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sempurna dan menurut Abdul Fatah, tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah SWT.

Abdullah Bin Nuh menginginkan agar pendidikan diarahkan untuk menghasilkan manusia yang dapat mengabdikan dirinya kepada Allah SWT. Melalui berbagai aktifitas yang seluas-luasnya. Manusia yang demikian itulah yang akan dirasakan manfaatnya baik untuk dirinya sendiri ataupun bagi orang lain. Rumusan tujuan pendidikan demikian berdasarkan pada pengamatannya dimana umat Islam pada saat itu masih kurang memperlihatkan perhatiannya bagi kemajuan masyarakat. Pendidikan harus menolong masyarakat agar mampu melakukan perannya itu.

Dalam menentukan tujuan pendidikan, Abdullah Bin Nuh berangkat dari visi dan misinya yang bercita-cita akan mengatur lembaga pendidikan yang diasuhnya, dan dirumuskan melalaui tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka panjang yaitu para murid atau santri belajar ilmu agama dan diharapkan bisa menjadi alim ulama. Tujuan jangka pendek adalah meraih gelar sarjana, “sarjana yang ulama, ulama yang sarjana”.

Materi Pendidikan

Berdasarkan pada kiprahnya di lembaga pendidikan, Abdullah bin Nuh menginginkan materi pendidikan di samping memuat pelajaran agama, juga memuat mata pelajaran umum dan penguasaan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Berbicara mengenai materi, maka akan menyinggung kepada kurikulum yang digunakan. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, social, olah raga, kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolong mereka agar dapat merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.

Manajemen Pendidikan

Abdullah Bin Nuh menyadari dengan sepenuhnya bahwa untuk memajukan suatu lembaga pendidikan perlu adanya suatu manajemen yang kuat dan handal. Gagasan ini diwujudkan dengan cara membangun dan membentuk yayasan lengkap dengan sistem organisasinya yang handal sebagaimana tersebut di atas.

Kepribadian Guru

Secara teoritis, Abdullah bin Nuh tidak membahas tentang guru. Namun secara substantive fungsional ia begitu kuat keinginannya untuk menghasilkan tenaga-tenaga guru yang handal dan professional. Hal yang demikian ia lakukan dengan cara memberikan kepercayaan kepada para muridnya yang senior untuk bertugas sebagai guru sekaligus memimpin lembaga pendidikan.

Kepribadian Murid

Kriteria seorang murid menurut Abdullah bin Nuh adalah mempunyai jiwa yang bersih terhindar dari budi pekerti yang hina, harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi dan masalah yang dapat mengurangi keterkaitannya dengan kelancaran penguasaan ilmu. Lain dari itu seorang peserta didik harus bersikap tawadhu dan rendah hati. Kemudian peserta didik harus bisa dan dianjurkan belajar Al-Qur’an sebagai kepentingan dasar dalam beribadah kemudian seorang peserta didik harus menguasai dan mengenal sistem ilmu yang sedang dipelajarinya. Seorang murid juga dianjurkan untuk mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya, kelebihan dari masing-masing ilmu dan hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajari dengan baik.

Rasulullah SAW menggambarkan murid itu adalah manusia yang bersih (fitrah), untuk hal mau dimana dan dengan memakai apa, yang berperan adalah orang tua (guru). Majusi, Nasrani, Yahudi atau dalam keadaan Islam (selamat), empat pilihan dalam mengantarkan pendidikan anak-anak, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim:

“Rasulullah SAW berkata: Setiap orang dilahirkan membawa fitrah. Ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari Muslim)

KH Abdullah bin Nuh (kiri).

Hubungan Guru dan Murid

KH. Raden Abdullah Bin Nuh adalah sesosok pendidik yang mengedepankan keteladanan, istiqomah dalam mengajar dan keikhlasan dalam beramal. Melalui konsep persatuan umat, ia telah menjalin hubungan yang baik dan harmonis antara guru dan murid melalui jalinan ainurrohmah (kasih sayang), menyeru dengan hikmat dan nasihat yang baik tidak terbatas hanya ditempat pertemuan ta’lim, akan tetapi hubungan dimanapun bertemu, untuk selamanya, bahkan dunia-akhirat.

Dalam sejarahnya, hubungan guru dan murid dalam Islam, ternyata sedikit demi sedikit berubah, nilai-nilai ekonomi mulai masuk, seperti yang terjadi sekarang sebagai berikut: kedudukan guru dalam Islam semakin merosot, hubungan guru dan murid kurang harmonis, penghormatan murid kepada guru semakin turun dan harga karya mengajar semakin tinggi.

Mengenai pola hubungan guru dan murid, KH Raden Abdullah bin Nuh, sependapat dengan Al-Ghazali bahwa hubungan guru dan murid seperti hubungan bapak dan anak. Seorang guru mengajar muridnya seperti apa dia mengajar anaknya sendiri di rumah. Pendidik hendaknya memandang peserta didik seperti anaknya sendiri, berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa’I dan Ibn Majah bahwa “Sesungguhnya saya dan kamu itu bagaikan bapak dan anak.”(HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibn Majah)

KESIMPULAN

Uraian singkat pemikiran KHR Abdullah bin Nuh tentang pendidikan Islam di atas, maka dapat ditarik beberapa benang merah (kesimpulan) sebagai berikut;

KHR. Abdullah bin Nuh bisa digolongkan kepada tokoh praktisi pendidikan, bukan seorang yang menawarkan konsep dalam suatu pendidikan Islam. Namun demikian beliau juga memiliki beberapa pemikiran yang ditawarkan untuk diaplikasikan dalam pendidikan Islam.

Pemikiran pendidikan KHR. Abdullah bin Nuh lebih mengutamakan akhlak (tasawuf). Hal ini terwujud dari berbagai pengalaman dan pendalaman berbagai disiplin ilmu. Sekian banyak hasil karya Al-Ghazali banyak memberikan ide dan menerbitkan gagasan-gagasan konsep pendidikan KHR. Abdullah Bin Nuh. Ini terbukti dengan nama-nama lembaga pendidikan diantaranya: Pesantren Al-Ghazali, Majlis Ta’lim Al-Ihya yang keduanya berada di kota Bogor. Beliau juga menterjemahkan beberapa kitab karangan Al-Ghazali seperti: Minhajul ‘abidin, sebagian dari kitab Ihya ‘ulumuddin, serta materi yang menjadi bahan kajian mengkhususkan merujuk kitab Al-Ghazali.

KHR. Abdullah bin Nuh berpendapat bahwa materi pendidikan merujuk kepada sumber utama yakni Al-Qur’an dan Sunnah, ditambah pendapat para sahabat dan ulama-ulama salaf yang sejalan dengan al-Qur’an dan Hadits Nabi. Semua unsur-unsur pendidikan harus mendukung kepada pencapaian terhadap tujuan pendidikan yaitu sebagai wadah bertaqarrub kepada Allah SWT.

Cita-cita KHR. Abdullah bin Nuh yang sudah berjalan agar tetap dilanjutkan, dan cita-cita yang belum terlaksana dapat diwujudkan agar dapat memberikan maslahat untuk umat Islam. Mari kita dukung bersama untuk mewujudkannya, baik bantuan secara moril maupun materil sebagai bentuk perjuangan kita di jalan Allah SWT. Diantara cita-cita beliau yang belum tercapai adalah “Mempersatukan Umat Islam Seluruh Dunia.”

Selain ketanah suci untuk haji dan umroh, KH Abdullah bin Nuh pun pernah beberapa kali melawat ke luar negeri, seperti ke Australia, Malaysia, Singapore, India, Iran, Yoradan dan Mesir. Kepergian KH Abduillah bin Nuh ke Makkah yang terakhir ialah pada tahun 1983. Kondisi kesehatannya sudah sangat menurun, Beliau ingin beristirahat di Sukaraja. Kebetulan di Gang Ardio Tanah Sewa punya hibah tanah dari almarhum H Jamhur. Tanah itu dijualnya dan membeli tanah serta membangun rumah di Sukaraja. Keluarganya pernah juga tinggal disana, tetapi tidak lama kemudian pindah lagi ke Al-Ghazaly

Sekembalinya dari Makkah, kondisi dan kesehatannya semakin menurun, apa lagi setelah anak yang dibanggakannya Dr Aminah meninggal setahun sebelumnya. Beliau kerap berkata sendirian “Mien..bukan mama tidak ridho, tetapi mama ingat saja”. Ternyata itu adalah merupakan isyarat untuk keluarganya, karena tidak berselang lama Abdullah bin Nuh mangkat menyusul anak tercintanya.

KH Abdullah bin Nuh wafat menjelang magrib pada hari Senin tanggal 3 Robi’ul awwal 1987 di rumah Al Ghazaly Jl Cempaka No 6 Kota Paris Bogor. Dimakamkan keesok harinya di Sukaraja berdampingan dengan anak kebanggaannya Dr Aminah. Almarhum meninggalkan seorang istri dan sepuluh anak.

Renungan Doa sehari-hari yang diajarkan Mama Ajengan Abdullah bin Nuh ( YIC Al Ghazaly Bogor )

Berikut adalah doa yang biasa kami baca saat kami belajar di Madrasah Diniyah Al Ghazaly Bogor (tahun 1980 - 1986 ).  Doa ini adalah doa yang dibuat oleh mama Ajengan untuk para santri YIC Al Ghazaly ( hmm itu yang saya ketahui )

Renungan Doa Sehari-hari KH. Abdullah bin Nuh (YIC Al Ghazaly)

Ya Allah Tuhan kami Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Lindungilah dan jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan dosa besar dan dosa kecil:

1.  Menyembah selain daripada Allah swt

2.  Mendurhakai Ibu dan Bapak

3.  Berdusta

4.  Sombong

5.  Merusak amanat

6.  Menyalahi janji dan perjanjian

7.  Menggunjing atau mengupat

8.  Mengambil hak orang lain

9.  Lupa, bahwa ilmu dan agama itu untuk diamalkan bukan untuk diperdebatkan.

Amin Yaa Robbal'Alamin