Tawasul Dan Khadam Jin

Al-Kisah no.26/2004

 

Assalamu’alaikum Wr Wb 

Saya baru pertama kali membaca alkisah edisi 14, dan saya tertarik dengan konsultasi spiritual. Melalui surat ini saya ingin mengajukan beberapa persoalan. Pertama, apakah yang dimaksud dengan khadam? Apakah ia merupakan mahluk Allah SWT yang tersendiri, seperti halnya malaikat yang berbeda dengan manusia dan jin? 

Kedua, bila membaca penjelasan Habib Luthfi pada Alkisah edisi 14 tentang Khadam malaikat dan khadam jin, apakah ada pula khadam manusia? 

Ketiga, beberapa waktu lalu, saya mendapat ijazah dari seorang guru untuk hajat mendapatkan rezeki. Dalam amalannya, antara lain tawasul kepada Baginda Rasulullah SAW, malaikat Jibril, Mikail, Izrail, Israil; dan khadam sufi, yang menurut guru saya, adalah khadam jin. Yang saya tanyakan apakah diperkenankan bermunajat dan tawasul kepada khadam jin? Dan bagaimanakah sebenarnya kriteria amalan yang tidak melanggar syariat Islam? Apakah dengan adanya tawasul membaca surah Al Fatihah kepada Baginda Rasulullah SAW, para malaikat dan waliyullah, bisa dijadikan tanda bahwa amalan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam? 

Keempat, apakah untuk melakukan amalan wirid misalnya (Ratibul Hadad) harus diperlukan ijazah dari seorang guru? 

Kelima, saya tertarik dengan kitab Mafatihul ‘Aliyah yang menurut Habib Luthfi sedang dalam proses penerjemahan. Apakah untuk kitab manakib tarekat syadziliyah juga ada terjemahannya? Dimana dan bagaiman mendapatkan kedua kitab itu?. 

 

Wassalum’alaikum Wr Wb.

AGUS KURNIAWAN,

Jln. Mastrip,Jember, Jawa Timur

 

 

Wa’alaikumsalam Wr Wb 

Khadam itu memiliki makna “penjaga”. Yaitu penjaga setiap ayat ataupun asma Allah yang diberikan kepada setiap hambanya. Artinya, ada nilai-nilai tersendiri, barang siapa yang mengamalkan ayat-ayat tertentu, disana terdapat khadamnya yang melayani orang yang memuliakan ayat dan asma Allah, itu disebut khadam.

Jadi bukan khadam orang yang mengamalkan. Jangan salah pengertian, kalau orang disebut punya khadam, berarti kedudukannya lebih tinggi dari khadamnya. Belum tentu. Sebab Allah Ta’ala memilih setiap hambaNya yang telah dijadikan khadamNya itu jaminan yang bisa dipercaya, untuk bisa menjaga setiap asma dan ayatNya.

Maka, barang siapa yang memuliakan ayat dari ayat-ayat Allah SWt atau asma Allah, orang itu akan dilayani oleh khadam-khadam ayat dan asma tersebut. Karena orang itu mau memuliakannnya.

Khadam seperti halnya manusia dan jin yang keduanya adalah mahluk Allah. Tapi khadam berbeda dengan manusia dan jin. Alam jin lain, kedudukannnya juga berbeda dengan kita, apalgi malaikat tidak beristri, beranak, makan dan minum, sebagaimana layaknya manusia.

Kita ini sebenarnya dalam pengertian umum juga termasuk khadam Allah. Yaitu yang memuliakan ayat dan kitabullah. Jika kita berpegang pada kitabullah, kita juga termasuk khadam. Tapi kita disini disebut khadamullah. Setelah terangkat menjdi khadamnya atau orang berhikmah, kita akan diberi derajat oleh Allah Ta’ala, seperti para waliullah dan sebagainya.

Pada dasarnya, setiap hamba diperintahkan berbuat baik dan menjauhkan larangan-Nya. Soal mendapat pahala atau tidak, hanya Allah yang mengetahui. Dan Allah tidak akan mengingkari janji, karena tidak memiliki sifat ingkar janji. Barang siapa yang taat, akan diberi pahala.

Yang kedua, setiap amal yang baik, pasti dicatat para malaikat. Tanpa dicatat pun, allah adalah serba Maha, dalam segala sifatNya. Tapi ketentuan syariat, amal yang baik, menjadi tolak ukur catatan bagi seseorang kelak.

Secara tidka langsung, amal baik kita sendiri tanpa dicatat pun itu sudah bis a diketahui langsung oleh Allah SWt. Jadi siapapun hamba Allah yang saleh, akan diangkat menjadi waliNya. Entah itu dari, lebih-lebih dari manusia. Sehingga harus dicatat, jangan sekali-kali kita menyekutukan Allah dan mengambil atsar (manfaat) selain dari Allah.

Seperti contoh kita datang ke dokter, setelah itu kita diberi obat. Setelah minum obat, kita sembuh. Lalu kita berkomentar, “wah kalau saya tidak datang kedokter itu, saya akan mati.” Itu yang tidak benar. Kalau kita mengambil atsar, dokter itu mempunyai kemampuan menyembuhkan, menghidupkan atau mematikan ataupun obat itu sendiri memiliki kemampuan seperti itu, baru hal itu disebut musyrik. Obat dalam keyakinan kita masuk bagian dari ikhtiar.

Selanjutnya, tawasul itu sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Tawasul sangat memiliki nilai yang sangat istimewa dan sangat tinggi. Artinya, bagaimanapun dekat seseorang kepada Allah, tetap dia masih merasa rendah dihadapan Allah. Masih mengaku banyak dosanya. Dan memandang orang lain lebih dekat kepada Allah. Maka sebaik apapun, dia masih bertawasul, berpegangan, supaya tetap berada diantara orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. Inilah nilai akhlak dan adabnya, dan disini dilihat nilai sebuah tawasul.

Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam doanya,”Allahumma inni as aluka fi haqqis sailin (aku memohon dengan berpegangan pada orang-orang yag meminta kepada Engkau).” Padahal, Rasulullah termasuk orang yang mengerti adab dalam meminta, tapi mengapa masih menggunakan kalimat fi haqqis sailin.

Nabiullah Sulaiman pada waktu memindahkan istana Ratu Balkis, bertawasul kepad waliullah, asif bin Tahiya, yang juga menterinya. Padahal, keramat yang keluar dari Asif bukan mukjizat, karena dia bukan nabi atau rasul.

Sedangkan nabi Sulaiman sendiri adalah seorang rasul dan nabi yang lebih tinggi kedudukannya, tapi mengapa masih bertawasul keada Asif. Ini namanya taklim (pendidikan). Pendidikan untuk umat. Betapa hebatnya akhlak dan adab tawaduknya Nabi Sulaiman kepada Allah, dengan menghargai orang yang bukan Nabi dan Rasul. Tapi, seorang waliullah. Itulah nilai tawasul.

Sedangkan masalah buku, sampai sekarang, masih kami terjemahkan. Kami sangat berhati-hati, dalam mengerjakannya. Sebab, disitu terdapat banyak makna tasawuf yang nilainya sangat tinggi. Bila sipembaca kurang paham masalah tasawuf, itu akan merepotkan. Dan penerjemahan ini tidak semudah asal kita menerjemahkan. Jadi kita usahakan terjemahan ini bisa dengan mudah diikuti semua pembaca. 

 

 

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah