Arif menyikapi perbedaan

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Arif menyikapi perbedaan

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

Adalah dukuh Goah, sebuah kampung kecil yang berpenduduk sekitar kurang lebih  17 kepala keluarga.Dusun ini temasuk termasuk desa Pesaren kecamatan Sukorejo kabupaten Kendal. Letaknya yang terpencil dari dusun lainya dan terletak di tengah- tengah perkebunan cengkeh yang dikelola kepala kebun selokaton. Sehingga tidak heran jika kebanyakan penduduknya adalah pendatang karena banyak yang menjadi pekerja/pegawai di perkebunan tersebut. Tulisan ini tidak hendak mengulas dusun tersebut dari segi letak geografisnya. Tetapi dari salah satu cerita yang bernuansa aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).

Jika kita masuki kampung tersebut, di pojok dusun terdapat mushala kecil yang hanya dapat menampung sekian baris jamaah. Meskipun kecil toh mushala ini tidak penuh jamaahnya. Kondisi ini bukan karena penduduknya malas berjamaah, tetapi karena terlalu sedikit jumlah penduduknya. Tetapi setiap hari jumat  dari pukul 11.30 WIB, terdengar mengalun suara bacaan al Qur’an pertanda mushala tersebut sebentar lagi akan didatangi jamaah dan akan segera melaksanakan shalat jum’at.

Tempat shalat ini memang bisa disebut mushala jika dipandang dari ukuranya, tetapi berfungsi sebagaimana Masjid pada  umumnya, buktinya setiap hari Jum’at tempat tersebut digunakan untuk shalat jumat, meski yang datang hanya 3 baris/shaf.

Ada ceritera menarik dari keberadaan mushala ini yang setiap hari jumat dijadikan tempat untuk shalat jumah sebagaimana layaknya masjid. Kalau kita bertandang kesana pada setiap hari Jumat maka akan dijumpai beberapa  imam dan khatib yang bergantian stiap hari jumatnya. Mereka yang dapat giliran untuk bertugas disana juga sebagaian bukan penduduk asli kampung tersebut. Tetapi mengambil petugas dari desa sebelah.

Konon sudah bertahun tahun mushala tersebut dijadikan untuk shalat jumat, dengan satu  imam dan satu khatib. Tetapi sebagaimana tradisi di pedesaan, pengurus mushala atau tokoh masyarakat setempat mengadakan pengajian rutin dengan menghadirkan kyai/ustad pada setiap 36 hari sekali dengan menghitung kalender Jawa, misalnya setiap ahad wage, Kamis Pon dll. Suatu ketika sekitar akhir tahun 2011 sang ustadh ( sebut saja Ust. Rochim )yang di undang oleh tokoh masyarakat kampung Gowah  membuka Tanya jawab seputar fiqih shalat jumat, yang berkenaan dengan syarat dan rukun ibadah tersebut. Salah satu jamaah ada yang bertanya tentang syarat agar bisa melaksanakan shalat jumat. Sudah barang tentu Sang kyai pun menjawab bahwa shalat jumat dapat dikatakan sah jika dihadiri minimal 40 orang mukimin dan Mustautin ( seorang mukallaf yang tinggal di wilayah tersebut dan sudah merupakan penduduk tetap). Tidak bisa diceritakan terlalu detil yang jelas semenjak pengajian itu mushala tersebut tidak ditempati shalat jumat. Khatib tidak berani khutbah lagi, ia lebih memilih jumatan di masjid kampung sebelah yang dianggap telah memenuhi syarat, meskipun ia harus naik sepeda motor dan tentu saja akan memakan waktu lebih lama. Sebagian penduduk kampung gowah melaksanakan shalat jumat mengikuti sang mantan khatib, yaitu di masjid kampung sebelah.    Sebagian anak anak, dan usia remaja memilih tidak jumatan karena malas dan kurang memahami tentang kewajiban untuk melaksanakan shalat jumat bagi seorang laki – laki. Sebagian lagi terutama para orang tua melaksanakan shalat jumat di masjid terdekat namun jika hujan lebat atau sedang sakit ringan terkadang libur shalat jumat karena usia yang sudah tua sering sakit sakitan sementara perjalanan menuju masjid kampung sebelah cukup jauh, apalagi jalan belum diaspal kalau hujan licin dan becek.

Kondisi seperti itu tercium oleh K.H Abdullah ( A’wan Syuriah MWC NU sukorejo ) yang merupakan guru ustad Rochim, beliau mengadakan investigasi singkat di kampung Gowah tersebut dengan investigator salah satu santrinya yang telah kebetulan telah menjadi tokoh masyarakat di desa terdekat dari kampung Gowah tepatnya desa Bringinsari. Ini dilakukan agar mendapat informasi yang lebih akurat untuk kemudian ditarik kesimpulan.

Atas nasihat KH Abdullah, mushala tersebut  kembali dijadikan tempat untuk shalat jumat, dengan imam dan khatib yang baru, meskipun mengambil dari desa lain. Ini dilakukan karena mengingat ada beberapa anggota masyarakat yang meninggalkan shalat jumat dengan uzur yang kurang memenuhi syarat. Menurutnya masyarakat dusun Gowah tidak harus melaksanakan ketentuan shalat jumat sebagaimana lazimnya, dikarenakan jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga menyebabkan jamaah kurang dari 40 orang mukallaf. Jika dipakasakan harus begabung dengan masjid lain dikhawatirkan anak – anak kecil dan usia remaja tidak mengikuti shalat jumat, sehingga mereka tidak pernah belajar dan tidak mengenal Ibadah yang wajib tersebut. Menurutnya ini sesuai dengan Kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya). Maksudnya kondisi yang ada di dusun Goah  baik secara geografis maupun dilihat dari jumlah penduduknya maka hal tersebut ikut mempengaruhi keputusan hukum Jumatan yang diberlakukan di dusun tersebut.

Sebenarnya , ulama berbeda pendapat mengenai jumlah bilangan orang yang shalat Jum’at. Didalam madzhab Syafi’i, disyaratkan memenuhi bilangan 40 orang, ini juga pendapat beberapa fuqaha antara lain Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, Imam Ahmad dan Ishaq, dan satu riwayat dari Umar bin Abdul ‘Aziz. Jumlah bilangan 40 tersebut juga harus laki-laki, merdeka dan mustautin (penduduk tetap), termasuk juga muqimin. Sedangkan musafir, wanita, budak dan anak kecil tidak masuk dalam hitungan.

 

Lain halnya dengan ulama  seperti, Sufyan al Tsauri,dan Imam Abu hanifah berpendapat bahwa hanya dengan 4 atau 3 orang telah dianggap in’iqod (memenuhi minimal ) termasuk imam didalamnya. Didalam kitab I’anatuth Thalibin disebutkan ada sekitar 14 pendapat ulama, bahkan ulama mazhab al dzahiri konon menganggap sah jumatan sendirian, meskipun ini di nyatakan menyalahi ijma’.

 

Maka bagi yang mengikuti mazhab syafi’i yang  sulit kemungkinanya untuk memenuhi jumlah minimal 40 orang, setelah shalat jumat di lakukan shalat dhuhur atau yang sering disebut dengan shalat Muadah. Ini adalah jalan tengah agar tidak menyelisihi mazhab yang tidak mensyaratkan 40 orang jamaah. Kecuali itu ini dilakukan untuk khuruj dari ihtilaf dan sebagai upaya ihtiyat.

 

Rupanya inilah langkah yang diambil oleh KH Abdullah yang waktu sebelumnya telah dikominikasikan dan didiskusikan dengan MWC NU sukorejo. Sehingga pada acara pembukaan pengajian malam ahad di mushala tersebut dihadiri pula K.Nurrudin ( Ket. Tanfidziyah MWC NU sukorejo ) tidak ketinggalan hadir pula K.H Ahmad.Masjhadi ( Wakil Rais  Syuriah ). Kehadiran mereka sebagai simbul pangestu.bagi pelaksanaan jumatan di sana.

 

Sedangkan keputusan A. Rachim yang tetap berpegangan pada mazhab syafi’i, yang mensyaratkan 40 mukimin dan mustautin dalam shalat jumat, juga bukan tidak dengan pertimbangan. Mengadakan shalat jum’at dengan syarat yang tidak mencukupi akan menimbulkan kerusakan pada ibadah tersebut. Sehingga di khawatirkan akan terjadi tidak sah dan rusaknya shalat jumat tersebut, meskipun pelaksanaan shalat jumat yang diadakan bernilai menjagamaslahat. Tetapi sesuai dengan kaidah fiqhiyah dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah kerusakan  lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).

Beratnya memempuh perjalanan menuju masjid yang telah memenuhi kriteria sah dari segi syarat dan rukunya, janganlah menjadi alasan yang begitu dipermudah.Karena jika dilakukan toh masih bisa dan hanya beberapa menit dengan naik sepeda motor bisa sampai tujuan, yaitu menuju Masjid yang syarat dan rukunya telah memenuhi. Rasulullah dan para pendahulu dalam menjalankan agama jauh lebih berat, tetapi mereka tetap istiqomah dan bersabar dalam menegakkan dan menjalankan perintah agama. Keputusan inipun diikuti oleh beberapa orang yang setuju mengikuti “mazhab” ini.

Menghadapi perbedaan pendapat ini, para kyai tidak kehabisan cara agar tidak terjadi perselisihan yang meruncing bagi penduduk setempat terutama bagi orang awam. Dengan pengajian selapanan yang di hadiri masyarakat setempat, baik yang setuju dengan pelaksaan shalat jumat di mushala tersebut ataupun yang menganggap tidak sahnya shalat jumat, maka terjalin silaturahim dan saling mengerti kedua belah pihak. Bagi yang mengikuti pendapat pertama ( setuju mengadakan shalat jumat), dipersilahkan untuk mengikuti shalat jumat di mushala tersebut dengan melakukan shalat dhuhur setelahnya bagi yang ingin melaksanakan sebagai upaya ihtiyat ( hati hati ). 

Bagi yang mengikuti pendapat kedua ( yang menganggap tidak sah ) dipersilahkan melaksanakan shalat jumat dimasjid lain yang dianggap telah memenuhi syarat.

Sebenarnya tulisan ini tidak bermaksud mengulas shalat jumat dari segi fiqih, atau sengaja mengungkapkan perbedaan pandangan seorang da’i  ( Baca kyai ) sehingga berpotensi  pada perpecahan umat. Atau memberi justifikasi pada pembangkangan seorang santri/ murid pada gurunya, tentu tidak. Tetapi ingin memberikan sedikit wacana bahwa cara pandang terhadap perbedaan pandang  suatu kajian fikih ketika diterapkan di tengah- tengah masyarakat dengan menggunakan aswaja sebagai pisau analisisnya.Sudah penat rasanya kita selalu disuguhi dengan percekcokan yang diakibatkan dari perbedaan cara pandang syariat, ataupun dalam konteks agama secara lebih luas, sehingga sering melukai baik demokrasi, HAM ataupun nilai nilai agama itu sendiri.

Dalam menghadapi berbagai persoalan baik dalam perbedaan cara pandang dalam  kemajemukan  suatu bangsa baik dalam konteks agama, kemanusiaan dan lainya, para ulama telah mewariskan kepada kita cara cara penyelesainnya. Salah satu senjata untuk menyelesaikan semua persolan diatas adalah dengan menggunakan nilai nilai Aswaja sebagai minhajul fikri . Ada empat ciri utama dalam ajaran Ahlussunah waljamaah sebagaimana yang diajarkan oleh Rosulullah SAW, dan para sahabatnya.

Pertama, at-tawassuth atau tengah tengah, tidak terlalu minggir ke salah satu posisi. Ini dapat terejawantahkan dalam beragama tidak mengikuti kelompok ekstrim baik kanan ataupun kiri. Hal ini sesuai dengan  firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS.al-Baqarah:143).

Senada dengan firman Allah di atas, Rasulullah juga berpesan bahwa sebaik baik perkara adalah tengah tengahnya.

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam berbagai persoalan, tidak terkecuali  dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil rasional ) dan dalil naqli (dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i’tidal  ( tegak lurus), tegak dalam memegang teguh Akidah. Sikap teguh yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah hidup bersama. Prinsip ini yang menjadi  pegangan bagi seluruh elemen masyarakat terutama Ulama Ahlussunah sehingga dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat berlebihan atau  tatharruf (ekstrim).. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan 

bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Keempat, Tasamuh ( Toleransi ), golongan Ahlussunnah wal Jama’ah sangat memegang prinsip tasamuh ini dalam masyarakat  yang majemuk termasuk amar makruf nahi munkar. Prinsip ini dipegang untuk menghargai perbedaan cara pandang dan keyakinan orang lain tetapi bukan berarti harus mengakui kebenaran yang berbeda tersebut sehingga dapat mengoyahkan dari meneguhkan apa yang diyakini.Sikap tasamuh yang dimiliki juga mengajarkan dakwah dengan lemah lembut dan kasih sayang  meskipun dengan lawan sekalipun. Diceritakan dalam alquran tyentang dakwah Nabi Musa  AS dan Nabi Harun AS.  

Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.

(QS. Thaha: 44)

Dalam Khitah dan Fikrah Nahdliyah di uraikan sebagai berikut:

 1. Sikap tawasstuh dan i’tidal:

a. Sikap tengah berintikan keadilan di tengah kehidupan bersama.

b. Menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, tidak ekstrem.

  2. Sikap tasamuh:

a. Toleran di dalam perbedaan pendapat keagamaan.

b. Toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.

  3.  Sikap tawazun:

a.  Keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup.

b.  Keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.

  4. Amar ma’ruf nahi munkar:

a.  Kepekaan untuk mendorong perbuatan baik.

b. Mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai kehidupan.

KH Muhyidin Abdusshomad mengungkapkan bahwa Dalam Khittah Nahdliyah K.H Ahmad Sidiq menguraikan Prinsip –prinsip yang diambil dari Nilai nilai Aswaja dapat diejawantahkan dalam Aqidah, Syariah, Tasawuf, Budaya, Kebangsaan, pergaulan antar Golongan dan Dakwah.

1. Akidah.

a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.

b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.

c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.

2. Syari’ah

a. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.

b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qotht’i).

c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak

a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.

c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan

a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.

b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.

c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.

d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara

a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.

b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.

d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan

a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.

b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.

b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.

c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!