Habib Umar bin Ismail bin Yahya – Syahadatain- Cirebon

MELAWAN PENJAJAH DENGAN DAKWAH

        Demi menegakkan ajaran islam, ia tak kenal kompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.

Berikut adalah biografi singkat Abah Umar yang diketahui oleh umumnya masyarakat yang sudah kami rangkum:

Abah Umar adalah keturunan Rasulullah Saw. ke-36. Marga beliau adalah Yahya. Adapun silsilahnya adalah Umar bin Isma’il bin Ahmad bin Syaikh bin Thaha bin Masyikh bin Ahmad bin Idrus bin Abdullah bin Muhammad bin Alawi bin Ahmad bin Yahya bin Hasan bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali Muhammad Shahib al-Mirbath  bin Ali Khali Qasim bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir Ilallah bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Aridh bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir  bin Ali Zain al-Abidin  bin Husain bin Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah Saw.

Habib Umar adalah salah seorang keturunan Alawiyah yang lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1298 H. bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1888 M. di Arjawinangun Cirebon (± 25 KM ke arah Barat Laut kota Cirebon). Sejak usia remaja, beliau mengembara menuntut ilmu dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain.

Pesantren yang beliau singgahi pertama kali adalah pondok pesantren Ciwedus Cilimus Kuningan Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Ahmad Shobari. Menurut cerita KH. Ahmad Shobari adalah orang yang pertama kali bai’at tarekat kepada beliau, padahal usia Abah Umar di kala itu masih relatif muda. Dari Ciwedus, beliau bertemu dengan KH. Abdul Halim, seorang kyai muda dari Majalengka Jawa Barat yang juga pernah menjadi murid KH. Ahmad Shobari.

Dua tahun kemudian beliau pindah ke pondok pesantren Bobos Palimanan Cirebon yang dipimpin oleh Kyai Sujak. Pada tahun 1916 beliau pindah lagi ke pondok pesantren Buntet Astanajapura Cirebon Jawa Barat yang diasuh oleh KH. Abbas. Kemudian setelah satu tahun di sana, beliau pergi ke pondok pesantren Majalengka yang diasuh oleh KH. Anwar dan KH. Abdul Halim. Di pondok pesantren Majalengka ini, Abah Umar menimba ilmu selama lima tahun. Tahun keenam Abah Umar diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di madrasah yang didirikan oleh KH. Abdul Halim. Di sini beliau seringkali terlibat dalam diskusi dengan para tokoh di pesantren maupun para tokoh yang berada di persyarikatan ulama sehingga nama beliau cepat terkenal.

Pada tahun 1923 habib Umar pulang ke kampung halaman. Dari sinilah beliau memulai berdakwah dan membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial, material, keagamaan, maupun spiritual.

Melawan Penjajah Dengan Dakwah

Demi menegakkan ajaran islam, ia tak kenal kompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.

Habib Umar lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiu’ul Awwal 1298 H atau 22 Juni 1888. Ayahnya, Syarif Ismail, Adalah Da’i berdarah Hadhramaut yang menyebarkan Islam di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti H. Shiddiq. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak: Umar, Qasim, Ibrahim, dan Abdullah. Garis keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui Sayyidina Husein.

Pendidikan agama langsung diperoleh dari ayahnya sendiri, baru kemudian ia mengembara ke berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun 1913 hingga 1921.

Menyaksikan masyarakat kampung Arjawinangun, Cirebon, tanah kelahiranya tenggelam dalam kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa besar lainnya, Habib Umar merasa terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, yang memberinya restu untuk niat baiknya tersebut. Selain itu Syarif Hidayatullah juga mengajarkan hakikat kalimat Syahadat kepadanya. Maka, setiap malam Jum’at Habib Umar pun menggelar pengajian di rumahnya.

Tapi upaya itu mendapat perlawanan serius dari masyarakat. Mereka mencemooh, menghina, dan mencibir pengajian Habib Umar. Dibawah tekanan masyarakat itu, ia terus berjalan dengan dakwahnya itu. Dan Karena pengajiannya dianggap meresahkan masyarakat, pada gilirannya pemerintah kolonial menangkap Habib Umar dan menjebloskannya ke dalam penjara. Namun, tiga bulan kemudian ia dibebaskan, berkat perlawanan yang diberikan oleh jama’ahnya hingga jatuh korban di kalangan antek-antek Belanda.

Kepalang basah, tahun 1940, Habib Umar bahkan menyediakan rumahnya sebagai markas perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. Tidak hanya itu, ia juga turun tangan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda.

Bulan Agustus 1940 ia ditangkap Belanda lagi dan pengajiannya ditutup, enam bulan kemudian, 20 Februari 1941, ia dibebaskan.

Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin membara dalam dada Habib Umar. Maka ia pun banyak mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh agama di seputar Cirebon, seperti Kiai Ahmad Sujak (Bobos), Kiai Abdul Halim (Majalengka), Kiai Syamsuri (Wanantara), Kiai Mustafa (Kanggraksan), Kiai Kriyan (Munjul).

Tidak Hanya pada masa penjajahan Belanda, Pada zaman Jepang pun nama Habib Umar melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan Undang-Undang yang dikeluarkan Jepang yang melarang pengajaran huruf Arab di Masyarakat. UU itu dianggap sebagai alat agar umat islam meninggalkan Al-Quran.

Panji-Panji Syahadatain

Pada masa kemerdekaan, Tahun 1947, Habib Umar mulai mengibarkan panji-panji Syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang dipimpinnya yang semula dikenal sebagai “Pengajian Abah Umar” menjadi “Pengajian Jamaah Asyahadatain”. Ternyata pengajian ini mendapat simpati luas sehingga menyebar ke seluruh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1951 lembaga itu mendapat restu dari presiden Soekarno.

Tahun 1951, Habib Umar sempat mendirikan Pondok Pesantren Asyahadatain di Panguragan. Namun  selain mengajarkan ilmu agama dan ketrampilan seperti bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu kanuragan, Habib Umar juga mengharuskan Jamaahnya bertawasul kepada Rasulullah, Malaikat, Ahlul bayt, Wali, setiap selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul menyebabkan terkabulnya suatu doa. Lebih jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan Tarekat  Assyahadatain.

Ia juga sekaligus pemimpin Tarekat Assyahadatain, menulis buku berjudul Awradh Thariqah Al-Syahadatain, sebagai pedoman bagi jamaahnya. Syahadat, menurut Habib Umar, tidak cukup dilafadzkan di mulut, tapi maknanya juga harus membias ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat syahadat itu, seseorang akan diampuni atas dosanya, dan terkikis pula akar-akar kemusyrikan dalam dirinya.

Karyanya yang lain adalah Awrad (1972), menggunakan Bahasa daerah yang berisi ilmu ahlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum muslimin.

Habib Umar menghadap ke Hadirat Allah pada 13 Rajab 1393 atau 20 Agustus 1973. Semoga Amal Ibadah dan perjuangannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

(Sumber: ALKISAH NO.09/4 – 17 MEI 2009 HAL 146 ).

Kang aran sugih bungah susah eling Allah # serta manut peritahe Rasulullah

Sapa wonge gonjang ganjing syahadate # Pikir keder uripe banget repote

Kalimat syahadat merupakan sumber ideologi Islam yang menjadi pondasi setiap amal shalih. Dalam setiap amal shalih pasti akan beriringan dengan keimanan. Semakin baik kualitas amal shalih seseorang maka semakin kuat kadar keimanan seseorang. Sebaliknya, semakin rusak amal shalih seseorang maka semakin lemah pula keimanan seseorang.

Ideologi dibangun bukan hanya dengan logika (akal) saja. Namun ideologi dibangun dan disusun dengan hati. Logika mempunyai batasan yang mencegah sisi manusiawi untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi untuk ber-tawajjuh (menghadap) Tuhannya. Pasang dan surutnya kadar keimanan seseorang pula menggunakan takaran hati. Maka dalam penghujung tasyahud akhir Rasulullah mengajarkan untuk membaca doa supaya menetapkan hati kita pada agama Allah, sebagaimana dalam hadits

Berkata Abu Ya’la: bercerita Syabab, bercerita kepada kami Muhammad bin Humran, bercerita kepada kami Shafwan, bercerita kepada kami Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata:

“Aku masuk masjid dan Rasulullah SAW. sedang shalat. Beliau meletakkan tangan kanannya pada pupu kanannya dan berisyarat dengan jari telunjuknya seraya berdoa:

يا مقلب القلوب، ثبت قلبي على دينك

‘wahai Pembolak-balik hati, tetapkan hatiku pada agama-Mu”

(Al-Mathaib al-Aliyyah bi Zawaid al-Masanid as-Tsamaniyyah, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani, juz 1 hlm. 181)

Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah ditanya oleh Aisyah karena banyanya Rasul membaca doa tersebut. Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah kenapa engkau memperbanyak doa tersebut, apakah engkau takut?” Rasul menjawab: Tidaklah demikian keyakinannku ya Aisyah! Hati hamba-hamba Allah adalah bagaikan di kedua jari dari jari-jari Allah yang maha al-Jabbar. Ketika Ia menghendaki membalikkan hati hamba-Nya maka berbaliklah hati itu”

(at-Tadzkirah, Imam al-Qurthubi, juz 1 hlm. 42)

Seseorang yang telah dianugerahi Allah memantapkan keimanannya di dalam hati maka ia bagaikan pohon yang kuat akarnya dan batangnya menjulang tinggi ke angkasa. Buah keimanannya akan mudah untuk dipetik, serta daya tahan pohon tidak akan mudah mati. Sebalikanya seseorang yang rusak keimanannya, maka bagaikan pohon yang akarnya membusuk dan mengering. Selanjutnya pohon itu akan mudah mati dan jatuh ke tanah.

Representative dari kuatnya keimanan hati adalah konsistensi dalam melafalkan kalimat thayyibah yang membasahi bibir sebagai dzikir atau wirid setiap saat. Sedangkan cerminan rusaknya hari ialah keringnya bibir dari kalimat thayyibah yang efeknya akan mengeringkan dan mengeraskan hati. Allah berfirman:

وَأُدْخِلَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ تَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ (23) أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)

“Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam syurga itu ialah "salaam". Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 23-27)

Syaikh Nawawi al-Jawi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari al-Qaul as-Tsabitadalah Syahadat tiada tuhan selain Allah. Beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas bahwa aktualisasi dalam usaha mengneguhkan hati pada kalimat syahadat adalah dengan men-dawam-kannya. Ibnu Abbas berkata: “Siapa yang melanggengkan membaca syahadat di kehidupan dunia maka Allah akan meneguhkannya di kubur dan Allah mengajarkannya.”

(Mirah al-Labid, Syaikh an-Nawawi al-Jawi, hlm. 436)

Syahadat iku minangka wiji kang tukul

Wite gede pange ngrembyak wohe gadul

Sebab syahadat ilmune dadi manfaat

Nyelametaken neng badan dunya akhirat

Artinya: "Syahadat adalah perumpamaan sebuah biji yang tumbung menjadi pohon besar, kemudian rantingnya banyak tersebar dan buahnya bergelantungan. Sebab syahadat ilmu menjadi manfaat untuk menyelamatkan diri kita di dunia dan akhirat"

Syahadat dari segala asperk, baik itu kalimat syahadat, makna syahadat dan aktualisasi syahafat merupakan sebuah pondasi yang di atasnya berdiri kokoh sebuah bangunan keimanan. Sebagaimana yang diilustrasikan dalam syair di atas bagaikan biji yang menumbuhkan pohon keimanan dan mencabangkan ilmu syariat serta menghasilkan buah hakekat.

Sumber dari segala ilmu adalah syahadat. Penelaran kalimat tersebut adalah bahwa keindahan ilmu yang kita lihat baik itu ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi berasal dari penyaksian kita kepada Allah dan utusaNya (baca: syahadat). Sebagai contoh ketika kita menyaksikan keindahan ilmu biologi maka hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kita menyaksikan eksistensi Allah dan makhluk hidup. Kita tau kenapa burung bisa terbang, karena burung mempunyai sayap, siapa yang menciptakan sayap, yaitu Allah sang maha Pencipta. Dengan demikian ilmu biologi tidak menafikan eksistensi Allah yang kemudian disebut menyaksikan Allah atau bersyahadat.

Sama dengan ilmu duniawi, ilmu ukhrawi pun tidak lepas dari eksistensi Allah. Syaikh Said bin Muhammad Ba'syin dalam Busyra al-Karim menuturkan: "Seluruh ilmu ilmiyah dan amaliyah tumbuh dari syahadat yaitu tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Oleh karena itu syahadat adalah kunci Islam dan surga, tidak ada yang melebihi beban beratnya di mizan, dan ucapan yang paling utama para Nabi"

Senada dengan itu Syaikh Muhammad bin Salim Babashil dalam Is'ad ar-Rafiq juga berpendapat: "seluruh ketaatan ilmiyah dan amaliyah tumbuh dari syahadat, dan tidaklah sah imam seseorang tanpa syahadat. Oleh karena itu syahadat adalah kunci surga dan tidak ada bobot yang lebih berat sedikitpun dari syahadat di mizan, dan ucapan yang paling utama diucapkan para Nabi" 

Percaya Guru Mursyid, Kunci Bertarekat

Guru nuntun kesugihan dunya akhirat

Yen gelema pada buka neng syahadat

Seorang salik (pelaku tarekat) adalah ibarat kertas putih yang belum terlukis, atau tepung terigu yang belum menjadi makanan. Sedangkan Guru Mursyid ibarat seorang seniman yang akan melukis di kertas putih atau seorang koki yang akan membuat makanan dari bahan dasar tepung.

Kepasrahan seorang salik menentukan keberhasilah dalam menjalankan tuntunan tarekatnya. Semakil salik tuntuk kepada gurunya maka semakin cepat dia wushul mendapatkan hakekat kehidupan. Ibarat orang buta yang dituntun namun ragu dengan orang yang menuntunnya, maka jalan pun semakin lama dan berat.

Dengan demikian salik harus punya rasa percaya kepada gurunya. Sejenak saja salik meragukan gurunya maka nasehat yang diajarkan oleh gurunya tidak akan bermanfaat.

ان المعلم والطبيب كلهما # لم ينصحان ادا هما لم يكرما

"Sesungguhnya Guru dan Dokter, keduanya tidak akan memberikan nasehat (menyembuhkan penyakit), apabila keduanya tidak dimuliakan (tidak ditercaya, tidak dihargai) oleh murid atau pasiennya"

Alkisah diceritakan, suatu ketika Imam Ghazali shalat berjamaah dengan adiknya Syaikh Muhammad. Namun, entah mengapa tiba-tiba Syaikh Muhammad mufarraqah (memisahkan diri dari jamaah) dengan Imam Ghazali. Setelah selesai shalat Imam Ghazali memohon kepada ibunya untuk bertanya kepada adiknya kenapa dia mufarraqah, dan adakah yang tidak sah di dalam shalatnya.

Kemudian ibunda Imam Ghazali bertanya kepada Syaikh Muhammad: "Muhammad anakku, kenapa engkau tadi dalam shalat mufarraqah dengan kakakmu? Adakah yang tidak sah pada Ahmad (Imam Ghazali)?"

Syaikh Muhammad menjawab: "Aku tadi melihat kangmas Ahmad dalam shalat seluruh badannya penuh dengan darah, sehingga tidak mungkin aku meneruskan makmun dengan beliau"

Sang ibunda pun menceritakan hal tersebut kepada Imam Ghazali. "Astaghfirullah, aku baru ingat, sebelum shalat aku memikirkan tentang darah haid. Karena bab tentang darah haid ini merupakan hal yang rumit sampai-sampai ketika aku shalat menjadi imam tadi aku teringat terus akan darah haid"

Imam Ghazali pun menyadari bahwa pasti gurunya Syaikh Muhammad adalah orang alim dan hebat. Bertanyalah Imam Ghazali kepada adiknya perihal gurunya, dan dia berniat akan berguru dengan gurunya tersebut.

Namun, adiknya tidak mau mengatakan siapa gurunya lantaran malu akan keberadaan gurunya. Karena terus didesak, adiknya pun mau mengatakannya. Ternyata guru adiknya adalah orang biasa yang bekerjaan sehari-harinya sebagai tukan sol sandal di pasar.

Hal tersebut tidak mengurungkan niat Imam Ghazali belajar kepada beliau. Setelah beliau menemukannya beliau meminta guru tersebut untuk mengangkat imam Ghazali sebagai muridnya. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh guru lantara imam Ghazali adalah imam besar dan mulia. Sedangkan beliau hanyanya tukang sol sepatu.

Walaupun sudah ditolah imam Ghazali tetap keukeuh ingin menjadi muridnya, sehingga imam Ghazali menunggu selama tiga hari tiga malam di lapak guru tersebut. Karena, keyakinan imam Ghazali kepada guru lah yang membuat beliau mau menerimanya menjadi murid.

Maring Guru kang percaya dulur pomah

Zaman akhir sapa kang momong agama

Ingkang momong bangsa turunane nabi

Turun olih perintah sing Allahu Rabbi 

Umat zaman akhir kabeh bae pada tuna # yang mong tuna gage gandul neng syaikhuna

Semakin tinggi ilmu kita maka semakin tinggi pula tanggung jawab kita untuk mengamalkannya. Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya maka dia dianggap sebagai orang yang telah mengkhiyanati ilmunya. Bukan kemanfaatan yang dia dapatkan tapi justru laknat ilmu yang dia terima. Ilmu juga tidak untuk dipamerkan sehingga ilmu itu menjadi berdebu dan usang. Tapi ilmu harus diaktualisasikan sehingga ibarat pisau semakin diasah akan semakin tajam.

Disaat orang alim sudah tidak lagi menggunakan ilmunya maka datanglah masa yang diramalkan sebagai akhir zaman. Akhir zaman tersebut mempunyai salah satunya adalah hilangnya perkara yang haq sehingga orang alim pun ibadahnya tidak haq.

Tanda-tanda datangnya akhir zaman yang lain adalah hilangnya keberkahan orang yang mencari nafkah. Rasulullah menceritakan bahwa keberkahan tersebut hilang karena mereka semakin menjauh dari para intelektual muslim (ulama') dan pakar hukum islam (fuqaha'). Sabda Rasulullah: 

"Akan datang masanya orang-orang menjauh dari para ulama dan fuqaha, sehingga Allah akan mencoba mereka dengan 3 (tiga) hal: Allah akan menghilangkan keberkahan dari apa yang mereka kerjakan, Allah akan mendatangkan pemimpin dzolim, dan Mereka keluar dari dunia tanpa membawa iman"

Ciri-ciri orang yang kehilangan keberkahan adalah cukupnya harta, namun hatinya masih merasa kekurangan.

Tanda-tanda berikutnya adalah sudah tidak ada lagi kasih sayang. Banyak terjadi pembunuhan, perperangan, yang terhangat ada tawuran baik antar pelajar, antar desa bahkan antar pemimpin kelompok. Ada juga yang populer dan menjadi tren seperti pembunuhan bayi yang tidak berdosa.

Tanda-tanda yang selanjutnya adalah banyak orang yang sudah lupa akan Tuhannya. Walaupun mereka menghadap Allah ketika shalat, namun hatinya berpaling dan lalai akan Allah. Ini juga yang dimaksud al-Quran sebagai orang yang mendustakan agama. Firman Allah:

"Tahukah kami (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberik makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya" (QS. Al-Ma'un: 1-5)

Iki zaman sampun ilang perkara kang haq # bagen alim ibadahe ora haq

Iki zaman sampun ilang kaberkahan # bagen sugih atine ngerasa kemlaratan

Iki zaman ora nana ning ganjaran # bagen ahli ibadah ibadahe lali Pengeran

MENJAGA KEKHUSYU’AN DALAM BERTAWASUL

 Berikut kami rangkumkan beberapa kiat dan diskripsi kekhusyu’an dalam bertawasul.

Allah SWT. dalam hal tawasul atau istilah lain adalah wasilah telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, 

dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al-Maidah: 45)

Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa orang-orang yang beriman diseur untuk bertakwa kepada Allah, mencari jalan yang mendekatkan diri kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam jalan Allah. dengan demikian ada beberapa konsep secara implisit telah diterangkan dalam ayat tersebut. Konsep tersebut menjadi kiat dasar memperoleh tawasul dengan khusyu’:

1. Berimanlah kepada Allah. Janganlah kita mengingat apapun selain bertujuan untuk mengingat Allah dan beriman kepada-Nya

2. Bertakwa kepada Allah. Tujuan kita tawasul hanyalah mentaati perintah Allah untuk selalu mencari jalan yang mendekatkan diri dengan Allah melalui melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya

3. Mencari metode (thariqah) yang kiranya dapat mendekatkan diri dengan Allah. 

Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Abah Umar:

Muhaiminan barisane ingkang lempeng # Eling Allah Rasulullah ingkang mancleng

Mancleng ati rasa ubah sing Pengeran # Mata ningal Rasulullah ning adepan

“Muhaiminan (sebuah penggilan) mari kita luruskan barisan # Ingat Allah Rasulullah dengan penuh konsentrasi

Khusyu’kan hati merasa gerak dari Allah # (seperti) mata melihat Rasulullah di depan mata”

Syair tersebut merupakan muqaddimah yang dibaca setiap kali akan melaksanakan tawasul, sekaligus sebagai peringatan bagi kita sifat tawasul yang baik adalah barisan disiplin, rapi, lurus dan hati konsentrasi untuk mengingat Allah dan Rasulullah. Konsentrasi tersebut meliputi hati yang khusyu’ sehingga sepertinya hati ini bergerak mengingat Allah yang menggerakkan adalah Allah. Artinya, hati pasrah untuk mengingat Allah. Kemudian mata sepertinya melihat bahwa Rasulullah ada di depan mata, sehingga memperoleh konsentrasi yang penuh.

4. Melaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam jalan tersebut sebagaimana tuntunan Abah Umar yang telah saya sebutkan di atas.

Setelah keempat konsep tersebut kita lakukan maka kita akan memperoleh titel al-muflihun. Yaitu orang-orang yang beruntung. Orang yang beruntung digambarkan dalam surat al-Mu’minun.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ () الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ ()

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,” (al-Mu’minun: 1-2)

Dan orang-orang yang beriman adalah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, 

dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)

Intelektual Muslim

Intelektual muslim adalah orang alim yang mengetahui seluruh ilmu yang berkenaan dengan syariah dan akidah. Dua ilmu ini adalah representatif dari ilmu agama, yaitu ilmu yang mendefinisikan dan mengatur segala hal tentang agama. Ilmu syariah adalah ilmu yang mempelajari tentang diskripsi hukum islam. Baik dalam hal ubudiyah (ibadah), dan mu'amalah (sosial). 

Sedangkan ilmu akidah adalah ilmu yang mempelajari tentang diskripsi ideologi atau keyakinan. Ideologi tersebut mencakup keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-Nya, Utusan-Nya, Taqdir dan Ketetapan-Nya, serta Hari Kiamat. Cakupan 6 hal ini kemudian disebut sebagai rukun Iman. 

Orang yang menguasai dalam 2 bidang ilmu tersebut adalah yang dikatakan sebagai orang alim. Bermajlis bersama orang alim merupakan upaya yang tepat agar kita selamat dari kesesatan. Mendengarkan petuahnya merupakan penyejuk hati. Berinteraksi dengannya merupakan sarana pembelajaran bagi yang belum tau. Serta bermitra dengan orang alim adalah jalan untuk menghindari jatuhnya keharaman. 

Hal tersebut yang termaktub dalam catatan KH. Abdur Rasyid sebagai salah satu murid kepercayaan Habib Umar bin Isma'il bin Yahya yang diamanahi untuk mencatat setiap petuah yang keluar dari beliau: 

من جلس عند العالم ساعتين # او أكل معه لقمتين 

او سمع منه كلمتين # او مشي معه خطوتين 

أعطاه اللّه تعالى جنتين # كل جنت مثل الدنيا مرتين 

Sapa wonge lungguh rong jam ning wong alim (barangsiapa duduk dua jam dengan orang alim)

Atawa mangan rong pulukan sarta wong alim (atau makan dua suap bersama orang alim)

Atawa ngerungu rong kalimah sing wong alim (atau mendengarkan dua kalimat dari orang alim)

Atawa melaku rong tindakan sarta wong alim (atau berjalan dua langkah bersama orang alim)

Mangka gusti Allah maringi surga loro (Maka Gusti Allah akan menganugerahinya surga dua)

Saben siji surga padane dunya loro (setiap satu surga seperti dua dunia)

TUNTUNAN AQIDAH

Tuntunan-tuntunan al-habib Umar terbagi menjadi empat kategori, yaitu aqidah, syari'at, akhlak dan khusus. Tuntunan yang diajarkan oleh al-habib Umar tentang aqidah adalah memerintahkan murid-muridnya untuk beraqidah sesuai dengan aqidah ahl as-sunnah wa al-jama’ah. Yaitu aqidah yang sesuai dengan paham Imam Asy’ari dan Maturidi. Penekanan ajaran al-habîb Umar dalam hal aqidah adalah pemahaman arti syahadat dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya adalah apabila syahadat sudah masuk ke dalam hati maka akan selalu ingat kepada Allah. Dalam syair beliau disebutkan: anjingana syahadat loro marang ati # eling Allah Rasulullah manfaati. Beliau menyandarkan hal ini berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu". (Fushshilat: 30)

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Artinya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia kehendaki”. (Ibrahim: 27)

Menurut Ibnu Abbas bahwa siapa yang melanggengkan membaca syahadat maka Allah akan menetapkan dan mengajarkannya di kubur.( Muhammad Nawawi al-Jawi, At-Tafsir al-Munir li Mu'alim at-Tanzil, Toha Putra, Semarang, t.th, juz. 1 hlm. 437)

Untuk melanggengkan membaca syahadat maka al-habîb Umar memerintahkan membacanya setiap sesudah shalat maktubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw. riwayat dari Anas ra. bercerita: "Rasulullah setiap sesudah shalat mengusap keningnya dengan tangan kanan. Kemudia berdoa:

أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم والحزن""

(Muhammad Nawawi Al-Jawi, Al-Azkar an-Nawawi, Toha Putra, Semarang, t.th, hlm.60)

Sama dengan konsep hadits tersebut, al-habîb Umar memerintahkan membaca syahadat dengan lafadl dua kalimat syahadat ditambah dengan shalawat yang dibaca tiga kali:

اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَسَلَّمْ

اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَسَلَّمْ

اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ

Dalam syair disebutkan:

Ba'da shalat tetep duduk aja rubah

Maca syahadat kaping telu dawuh abah

Syahadataken sepisan sira macane

Nuhun selamet wektu naza' neng dunyane

Maca syahadat kaping pindone

Nuhun selamet mungkar nakir jawabane

Maca syahadat kaping telu aja mblasar

Nuhun selamet waktu ladrat ara-ara makhsyar

Artinya: “Sesudah shalat tetaplah duduk jangan berubah, baca kalimat syahadat tiga kali seperti yang dikatakan al-habîb Umar. Membaca syahadat yang pertama memohon selamat di waktu naza’ (sewaktu dicabutnya nyawa). Membaca syahadat kedua memohon selamat dari pertanyaan Munkar dan Nakir. Membaca syahadat ketiga jangan kacau memohon selamat di waktu dikumpulkan di padang Mahsyar”.

Syair ini sesuai dengan ungkapan Sayyid Thahthawi dalam Tafsirnya yang mengutip pendapat al-Allusi dari Zaid bin Aslam: bahwa pertolongan Malaikat karena kita istiqamah membaca syahadat ketika hendak mati, ketika di kubur dan ketika di yaum al-ba’ts (hari pembalasan). (Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir al-Wasith, Maktabah Syamilah, juz.1 hlm. 3739)

TUNTUNAN SYARI'AT

Tuntunan mengenai syari’ah, al-habib Umar memerintahkan kepada muridnya untuk melaksanakan syari’at Islam sesuai dengan paham ahl as-sunnah wa al-jama’ah yang mengikuti madzhab empat, yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Oleh karena itu beliau menyebutkan sumber hukum syari’at adalah empat sebagaimana konsep paham ahl as-sunnah wa al-jama’ah, yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Beliau bersyair:

Qur’an Hadits Ijma’ Qiyas sumberane

kanggo ngatus badan kula neng donyane

Artinya:           “al-Qur’an, hadis, Ijma’ dan Qiyas adalah sumber ajaran Islam, untuk mengatur badan kita di dunia”.

TUNTUNAN AKHLAK

Dalam risalah yang berjudul al-khulashah min maqashid tharîqah as-syahadah karya KH. Asy’ari yang merupakan salah satu murid al-habîb Umar dijelaskan mengenai akhlak yang diajarkan oleh al-habîb Umar. Beliau membuka wacana dalam risalah tersebut dengan firman Allah SWT.:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya :          “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. (al-Hujurat: 13)

Beliau (KH. Asy’ari) menggambarkan bahwa salah satu tujuan daritharîqah as-syahadat (tharîqah as-syahadatain) adalah taqwa kepada Allah atas sebgala perintahnya dan berakhlak mulia. Karena ujung dari kita bermu’amalah dengan Allah maupun dengan sesama baik dan tidaknya berawal dari akhlak kita. Jika kita berbudipekerti mulia maka kita akan selalu dekat dengan Allah dan akan selalu dekat dengan manusia. Sebaliknya jika kita berakhlak madzmumah(tercela), maka kita akan jauh dari Allah dan begitu juga jauh dari manusia.[1]

Al-habîb Umar bersyair:

Bersenana ati kang banget kotore

ujub riya tama’ hasud takabbure

Artinya:           “Bersihkan hati yang sangat kotor akibat ujub, riya,thama’, hasud dan takabbur”.

[1] Buku “al-khulashah min maqashid thariqah as-syahadah”, karya KH. Asy’ari Brebes sudah diterjemahkan oleh penulis dan telah diberikan tambahan penjelasan yang representative. Insya Allah dalam jarak dekat akan dipublikasikan. Mohon doa restu dan dukungannya.

TUNTUNAN KHUSUS

Tuntunan khusus ini dimaksudkan penulis sebagai gambaran tentang ajaran khusus yang hanya ada pada Jama’ah Asy-Syahadatain dan jarang ditemui di tarekat yang lain.

1)      Dua kalimat syahadat dengan shalawat dibaca tiga kali

Sebagaimana yang penulis terangkan pada pembahasan aqidah. Al-habib Umar menekankan tuntunan aqidah pada pemahaman dan penerapan makna syahadat di didalam kehidupan sehari-hari. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan melanggengkan membaca dua kalimat syahadat disertai dengan shalawat dibaca tiga kali. Cara melanggengkan pembacaan kalimat syahadat ini adalah setiap seusai shalat maktubah sesudah salam.

2)      Tahapan menjadi murid al-habib Umar

Ada 5 tahap untuk menjadi murid al-habib Umar, yaitu sebagai berikut:

a)         Bai’at

Bai’at secara bahasa adalah perjanjian. Allah SWT. berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya:  “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (al-Fath: 10)

Bai’at secara hakikat adalah berupa perjanjian setia untuk tetap berisyhadbahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah dan menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua laranganNya. Allah SWT. berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya:  “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)

Pada dasarnya bai’at dibagi menjadi lima:

1-      Bai’at Islam

2-      Bai’at Hijrah

3-      Bai’at Jihad

4-      Bai’at pengangkatan raja

5-      Bai’at Tariqah[1]

Bai’at yang ada dalam jama’ah asy-Syahadatain adalah bai’at seorang guru mursyid kamil dalam hal ini adalah al-habib Umar kepada murid-muridnya untuk melakukan tuntunan seorang guru dalam dzikir, pemikiran dan kepercayaan untuk melakukan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.

Bai’at ini dilakukan dengan cara seorang guru membacakan dua kalimat syahadat, sedangkan murid mengikuti dengan sikap tangan kanan diletakkan di kening dan tangan kiri diletakkan di dada tepat di hati.

b)      Latihan shalat Dhuha dan Tahajud selama 40 hari

Tujuan dari shalat dhuha dan tahajud selama 40 hari adalah sebagai media pelatihan untuk menjalankan sunnah nabi. Selama 40 hari tidak boleh terputus atau tertinggal sama sekali. Jika shalatnya ada yang tertinggal maka harus mengulang mulai dari awal lagi. Al-habib Umar berkata dalam sebuah syair:

Tetepana dhuha tahajud shalat hajat

Pengen sugih selamet dunya akhirat

Artinya: “Jika ingin kaya dan selamat dunia serta akhirat, maka lakukanlah selalu shalat Dhuha, Tahajud dan shalat Hajat.

c)      Membaca shalawat tunjina

Tahap ketiga adalah membaca shalawat tunjina yang redaksinya adalah sebagai berikut:

اللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلى سَيِّدِنَا وَمَوْلنَا مُحَمَّدٍنِ الَّذِيْ تُنْجِيْنَابِه مِنْ جَمِيْعِ اْلأَهْوَالِ وَاْلأَفَاتِ  وَتَقْضِ لَنَابِه جَمِيْعَ الْحَاجَاتِ  وَ تُطَهِّرُنَابِه مِنْ جَمِيْعِ الشَّيِّئَآتِ  وَتَرْفَعُنَابِه اَعْلى الدَّرَجَاتِ  وَتُبَلِّغُنَابِه اَقْصى الْغَايَاتِ  مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ  وَعَلى الِهِ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَّكَ

Tahapan ini juga dilakukan selama 40 hari dan hari terakhir harus jatuh pada hari dan pasaran kelahiran orang yang melakukannya. Jumlah bilangannya biasanya tergantung guru yang memberi.

d)     Modal

Tahap keempat adalah membaca beberapa wirid yang harus rutin dan mempunyai target. Dinamakan modal, karena jumlah bilangan wirid yang dilaksanakan dari murid dan direkomendasikan oleh guru. Jumlah bilangan bisa mencapai jutaan, bahkan ada yang sampai ratusan juta. Membaca wirid dimulai hari selasa ba’da Asar. Bacaan wirid tersebut adalah:

-          يَاكَفِي يَامُبِيْن يَاكَفِي يَامُغْنِي يَافَتَّاح يَارَزَّاق يَارَحْمن يَارَحِيْم

Wirid ini dibaca ba’da Asar sampai dengan terbenamnya matahari. Jumlah bilangannya tergantung kemampuan pembaca.

-           يَاكَفِي يَامُبِيْن يَاكَفِي يَامُغْنِي

Wirid ini dibaca sesudah terbenamnya matahari sampai Subuh. Jumlah bilangannya juga menurut kemampuan pembaca.

-          يَافَتَّاح يَارَزَّاق يَارَحْمن يَارَحِيْم

Wirid ini dibaca sesudah terbitnya matahari sampai waktu Asar. Jumlah bilangannya juga tergantung pembaca.

e)      Karcis

Tahapan yang terakhir adalah karcis. Bacaan wirid karcis adalah bacaan yang tidak terhitung bilangannya dan tidak terbatas masanya. Bacaan tersebut adalah:              اِنَّا فَتَحْنا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنًا dengan jumlah yang terbatas. Setelah dirasa cukup kemudia melanjutkan dengan bacaan:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًا، لِّيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنــْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَ يُتِمَّ نِعْمَتَه‘ عَلَيْكَ وَ يَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًا، وَيَنْصُرَكَ اللهُ نَصْرًا عَزِيْزًا، لَقَدْ جَآءَ كُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتــُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ، فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لآَ اِلهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ،رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ وَيَسِّرْ لِيْ اَمْرِيْ وَ احْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ يَفْقَه‘  قَوْلِيْ 3×

3)      Tawasul

Tawasul secara etimologi adalah mashdar dari kata tawassala – yatawassatu – tawassulan  yang berarti mengambil perantara (wasilah). Sedangkan secara terminologi adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan menggunakan wasilah (perantara).[2] Al-wasilah (perantara) adalah tempat yang dekat di sisi Allah. Rasulullah saw. bersabda:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ  [3]

Allah SWT. memerintahkan untuk bertawasul sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al-Maidah: 35)

Konsep tawasul yang diajarkan oleh al-habib Umar kepada Jama’ah Asy-Syahadatain adalah dengan kita senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara (wasilah).

Perantara yang dimaksud adalah para Rasul, Nabi, Malaikat, Auliya (para wali) dan orang-orang shalih. Orang-orang yang dijadikan perantara di antaranya adalah: para Rasul dan Nabi yang berjumlah 25, para Malaikat yang berjumlah 10, Rasulullah dan ahl al-bait yaitu Siti Khadijah, Siti Fathimah, Sy. Ali, Hasan, dan Husain, para Aulia dan orang shalih seperti al-habib Umar, Siti Qurasyin, Nyai Lodaya, Fathimah Gandasari, Syarif Hidayatullah, Syaikh Dzatul Kahfi, Kuwu Sangkan, Endang Gelis, Rarasantang, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Magelung, Hasanuddin, Sayyid Husain, Sayyid Utsman, Raden Fatah, Syaikh Rumajang, Syaikh Bentong, Syaikh al-Hadi, Syaikh al-Alim, Syaikh al-Khabir, Syaikh al-Mubin, Syaikh al-Wali, Syaikh al-Hamid, Syaikh al-Qawim, Syaikh al-Hafidh.

Praktik bertawasul yang dilakukan oleh jama’ah asy-Syahadatain adalah dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an tertentu, dzikir-dzikir tertentu dan doa-doa tertentu yang telah diajarkan oleh al-habib Umar. Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca adalah al-Fatihah, as-Shaf 13, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, sebagian al-Fath, at-Taubah 128-129, Thaha 25-28, ayat Kursi, al-Qadr, al-Fil, dll. Di antara doa-doa yang dibaca adalah dua kalimat Syahadat, Shalawat, Syahadat payung, shalawat tunjina (munjiyat), doa surat al-Fil, shalawat nuril anwar, dll. Di antara dzikir yang dibaca adalah sebagian istighfar, asma’ul husna, dll.

Pelaksanaan tawasul biasanya dilaksanakan secara berjama’ah dengan keadaan melingkar dan dibentangkan ditengah-tengah kain putih. Sedangkan waktu pelaksanaan tawasul berbeda-beda sesuai dengan tuntunan. Ada yang dilaksanakan setiap pagi hari pada nishfu al-lail, ada yang dilaksanakan seminggu sekali dan ada yang dilaksanakan selapan sekali atau 35 hari.

4)      Sorban dan jubah putih

Dalam menjalankan pekerjaan ubudiyah seperti shalat, dzikir dan lain sebagainya, jama’ah asy-Syahadatain memakai jubah dan sorban yang berwarna putih. Hal ini disandarkan kepada Rasullah saw. bahwa Rasulullah setiap shalat memakai pakaian putih dan bersorbanan. Dan Rasulullah memerintahkan untuk meniru semua hal yang ada dalam shalat Rasulullah baik gerakan, ucapan maupun pakaian. Rasulullah saw. bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى[4]

Oleh karena itu Allah SWT. memerintahkan untuk memakai pakaian yang baik ketika hendak masuk masjid:

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)

Ummu Salamah meriwayatkan bahwa pakaian yang paling disukai oleh Rasulullah adalah gamis.[5] Dalam masalah sorban (al-ama’im) Rasulullah membandingkan perbedaan antara orang Islam dan Musyrik adalah sorban atas qalansuah (peci):

فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ الْعَمَائِمُ عَلَى الْقَلاَنِسِ[6]

Dalam hal pakaian yang serba putih mereka menyandarkan kepada sabda Rasulullah saw:

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ وَإِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمُ الإِثْمِدُ يَجْلُو الْبَصَرَ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ[7]

Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda:

الْبَسُوا ثِيَابَ الْبَيَاضِ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ[8]

5)      Al-aurad harian

Al-aurad adalah jama’ dari kata al-wirdu yang artinya wirid. Wirid ini berupa doa-doa syar’i yang telah diperintahkan oleh Allah melewati Rasulullah. Ini berarti semua wirid yang dibaca dan diajarkan oleh al-habib Umar mempunyai dasar hukum. Aurad ini dibaca setiap kali setelah shalat maktubah, shalat dhuha, shalat tahajud dan shalat sunnah yang lain.

[1] Sa’idur Rahman an-Nayrahi, al-Habl al-Matin fi Ittiba’ as-Salaf as-Shalihin, Ihlas Vakfi, Istambul, tp. Th., hlm. 8

[2] Muhammad bin Mukarram bin Mandhur al-Afriqi, Lisan al-’Arab, Dar aṣ-Sadir, Beirut, t.th, juz 11, hlm. 724

[3] Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, Al-Maktabah As-Salafiyah, Cairo, t.th, juz 1 hlm. 222

[4] Ibid., juz 3 hlm. 69

[5] Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, tp. Th., juz 4 hlm. 76

[6] Ibid, juz 4 hlm. 95

[7] Ibid, juz 4 hlm. 9

[8] Muhammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar al-Fikr, Beirut, tp. Th., juz 2 hlm. 1187

Sejarah Syekhunal Mukarom Atau Abah Umar Bin Isma’il Bin Yahya

Syekhunal Mukarom adalah sebutan bagi al-Habib Abah Umar bin Isma’il bin Yahya, beliau lahir di Arjawinangun pada bulan Rabi’ul Awal 1298 H atau 22 Juni 1888 M.

Ayahnya adalah seorang Da’i asal Hadramaut yang menyebarkan islam di nusantara yang bernama al-Habib Syarif Isma’il bin yahya, sedangkan ibunya adalah siti Suniah binti H. Shidiq asli Arjawinangun. Diceritakan sewaktu beliau lahir sekujur tubuhnya penuh dengan tulisan arab (tulisan aurod dari Syahadat sampai akhir), sehingga sang ayah Syarif Isma’il merasa khawatir akan menjadi fitnah. Maka beliaupun menciuminya terus setiap hari sambil membacakan sholawat hingga akhirnya tulisan-tulisan tersebut pun hilang.

Menginjak ke usia 7 tahunan, al-Habib Umar nyantri ke pondok pesantren Ciwedus, Kuningan. Sebelum Abah Umar berangkat mesantren ke Ciwedus, KH. Ahmad Saubar sebagai pengasuh pesantren Ciwedus mengumumkan kepada para santrinya bahwa pesantrenya akan kedatangan Habib Agung, sehingga para santrinya diperintahkan untuk kerja bakti membersihkan lingkungan pesantren sebagai penyambutan selamat datang bagi Habib yang sebentar lagi tiba. Kiai juga berpesan aga Habib dihormati, dan dimuliakan, dan jangan dipersalahkan. Hingga pada waktu yang ditunggu datanglah al-Habib Abah Umar ke pesantren Ciwedus dalam usianya yang ke 7 tahun, para santripun geger, bingung, dan keder karena ternyata yang datang hanyalah seorang anak kecil.

Diceritakan bahwa Abah Umar di Ciwedus selalu hadir dalam pengajian yang disampaikan oleh KH. Ahmad Saubar baik dalam pengajian kitab kuning maupun tausiyah, namun di sana Abah Umar hanya tidur-tiduran bahkan pulas di samping kiai, sehingga para santripun mencibir dan mencemooh. Abah Umar menunjukkan khawariqnya dengan mengingatkan KH. Ahmad Saubar ketika dalam membaca kitabnya ada kesalahan, begitupun para santri yang deres di kamarpun selalu diluruskan oleh Abah Umar, dengan kejadian tersebut para santri hormat dan memuliakan. Setelah beberapa waktu mesantren di Ciwedus KH. Ahmad Saubar memohon kepada Abah Umar untuk diajarkan Ilmu Syahadat sesuai dengan pesan dari gurunya Mbah Kholil Bangkalan-Madura. Akhirnya KH. Ahmad Saubar yang di dalamnya hadir K. Soheh Bondan Indramayu sebagai santri dewasa yang ikut bai’at syahadat.

Selang beberapa waktu sekitar dua tahunan Abah Umar pindah ke pesantren Bobos di bawah asuhan KH. Syuja’i dari pondok Bobos selanjutnya pindah ke pondok Buntet di bawah asuhan KH. Abbas. Di Buntet Abah Umar bertingkahnya sama seperti waktu di Ciwedus, tidak mengaji hanya bermain-main di bawah meja kiai yang sedang mengajar ngaji sesekali apabila kiainya ada kesalahan maka dipukulah meja kiaitersebut dari bawah meja sehingga kiainya sadar bahwa yang diajarkannya ada yang salah, tidak berselang lama kiai pun meminta untuk diajarkan syahadat.

Setelah dari pondok Buntet Abah Umar berpindah lagi ke pesantren Majalengka di bawah asuhan KH. Anwar dan KH. Abdul Halim, di pesantren inilah Abah Umar menghabiskan waktu selama 5 tahun. Sesampai Abah Umar di rumah, beliau menghimpun sebuah pengajian di Panguragan yang dikenal dengan sebutan “Pengajian Abah Umar” atas dalam wacana para santrinya lebih dikenal dengan sebutan “Buka Syahadat atau Ngaji Syahadat”, sebab beliau menyampaikan Hakekat Syahadat dari Syarif Hidayatullah. Ngaji Syahadatnya Abah Umar pun terdengar ke seluruh plosok negeri bahkan sampai ke Malaysia, sehingga banyak orang yang datang untuk mencari selamet dunya akherat dengan Itba’ dan Bai’at kepada Abah Umar. Karena di saat itu sudah banyak yang menunggu pembukaan syahadat tersebut, mereka yang menunggu adalah orang-orang yang mendapat pesan dari para guru dan orangtua yang ma’rifat.

Dengan demikian, dalam waktu yang singkat semakin ramailah pengajian Abah Umar tersebut baik itu yang kalong maupun yang mukim. Setiap malam Jum’at, Panguragan dihadiri oleh para jama’ah yang ingin mengaji syahadat. Bahkan menurut berita dari orang tua dulu ketika belanda melewati Panguragan mereka berkumandang “Maulana ya maulana….” Dengan khidmatnya (terpengaruh oleh karomahnya Abah Umar). Pada tahun 1947 Abah Umar membentuk pengajiannya menjadi sebuah nama organisasi Asy-Syahadatain dengan mendapatkan izin dari presiden Soekarno, karena di saat itu setiap perkumpulan dengan banyak orang tanpa adanya organisasi yang jelas maka dapat dikategorikan sebagai usaha pemberontakan dan dapat mengganggu ketahanan nasional. Setelah itu Asy-Syahadatain semakin besar dan ramai yang para jamaahnya menyebar sampai mancanegara.

Karena semakin ramai, maka para kiai jawa (yang tidak senang) mendengar kepesatan Asy-Syahadatain, sehingga mereka khawatir para santrinya akan terbawa oleh Abah Umar, sehingga para kiai tersebut berkumpul untuk menyatakan bahwa ajaran Abah Umar adalah sesat. Akhirnya Abah Umar disidang di pengadilan Agama yang dikuasai para kiai tersebut pada saat itu, dalam pengadilan pun Abah Umar ditetapkan bersalah dengan tidak ada pembelaan dan penjelasan apapun. Akhirnya Abah Umar pun dipenjara bersama beberapa murid-muridnya termasuk KH. Idris Anwar selama 3 bulan, namun belum genap 3 bulan Abah Umar sudah dibebaskan karena sipirnya banyak yang bai’at syahadat kepada Abah Umar.

Pada tahun 1950 pertama kalinya Abah Umar menyelenggarakan tawasulan, dan pada malam itu pula Abah Umar kedatangan beberapa tamu agung, hal inipun dengan izin Allah dapat disaksikan secara batin oleh beberapa santri sahabat yang diantaranya adalah KH. Soleh bin KH. Zaenal Asyiqin. Para tamu tersebut adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau hadir dalam acara tawasul tersebut secara bathiniyah dan memberikan title/gelar/derajat kepada Abah Umar yaitu Syekh Hadi, diiringi pula oleh malaikat Jibril dan memberinya gelar Syekh Alim. Kemudian disusul Siti Khodijah memberikan gelar Syekh Khobir, Siti Fatimah Azzahra memberi gelar Syekh Mubin, Sayyidina Ali memberi gelar Syekh Wali, Syekh Abdul Qodir memberi gelar Syekh Hamid, Syarif Hidayatullah Gunung Jati memberi gelar Syekh Qowim, dan yang terakhir Nyi Mas Ayu Gandasari datang dengan memberi gelar Abah Umar sebagai Syekh Hafidz.

Dengan kejadian tersebut, menurut KH. Soleh sebagai malam pelantikan dinobatkannya al-Habib Abah Umar sebagai Wali Kholifaturrosul Shohibuzzaman. Sehingga perkembangan wiridnya pun semakin hari semakin bertambah sesuai dengan yang diwahyukan oleh Allah. Pada tahun 1953 pertama kalinya Abah Umar mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. di panguragan, dengan dihadiri oleh jama’ah Asy-Syahadatain sampai mancanegara. Sebagai seorang guru Syahadat Abah Umar banyak menuntun para murid/santrinya untuk beribadah dan berdzikir (wirid) dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Disamping beribadah, wirid, dan tafakur (ngaji rasa), Abah Umarpun tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaniyah. Beliau bertani, berkebun, dan beternak kambing.

Pada tahun 1960 an Jamaah Asy-Syahadatain dibekukan pemerintah karena dianggap meresahkan masyarakat, alasan pembekuan tersebut hanya didasarkan pada dugaan dan laporan seseorang yang menjabat bahwa tuntunan tawasul Abah Umar dianggap menyesatkan. Dan setelah adanya perundingan antara para ulama se-nusantara dengan para ulama jama’ah Asy-Syahadatain, akhirnya disepakati untuk membuka kembali jama’ah Asy-syahadatain karena menurut kesepakatan para ulama di saat itu tidak ada satu tuntunan pun yang dianggap sesat dari semua tuntunan Abah Umar tersebut. Dan pada tahun 1971 jama’ah Asy-Syahadatain bergabung dengan Golkar melalui GUPPI dalam rangka ikut membangun kesejahteraan Negara. Pada tahun 1973 an masjid Abah Umar kedatangan khodim baru yang bernama Mari’i, ia yang menjadi pelayanan di dalam lotengnya Abah. Pada pada suatu hari ia mengambil pentungan kentong masjid dan memukulannya kepada sirah Abah Umar sehingga Abah Umar pun pingsan dan dibawa kerumah sakit di Bandung untuk dirawat. Di rumah sakit Abah Umar dawuh dengan membaca ayat Al-Qur’an “Innalladzii farra ‘alaika al-Qurana laraa-ddaka ilaa ma’aad”. 

Dengan dawuhnya Abah Umar tersebut, para kiai yang menyaksikannya pada bersedih, karena itu merupakan pertanda Abah Umar akan kesah (pergi/wafat). Akhirnya tidak berselang lama Abah Umar kesah-wafat pada tanggal 13 Rajab 1393 H atau 20 Agustus 1973 M.