Sanad dan Ijazah

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

 

Sanad dan Ijazah

https://sites.google.com/site/pustakapejaten/mutiara-hikmah/hikmatush-shalihin/sanad-dan-ijazah

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

 

 

 

Sanad adalah silsilah atau rantai yang menyambungkan dan menghu­bungkan, sesuatu yang terkait dan ber­tumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amal­an dzikir, dan ketarekat­an adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

 

 

Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Ada-pun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan ilmu qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qira’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.

 

Sanad adalah silsilah atau rantai yang menyambungkan dan menghu­bungkan, sesuatu yang terkait dan ber­tumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amal­an dzikir, dan ketarekat­an adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

 

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ke­tersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada‘ (mengambil dan memberi).

 

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan penge­tahuan yang sempurna, karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otentisitas dan keabsahannya melalui rantaian periwa­yatan setiap perawi (orang yang meriwayatkan sesuatu).

 

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

 

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai suatu yang sangat penting dalam men­jamin keshahihan ilmu yang disampai­kan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengung­kapkan:

 

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu.”

 

Begitu pun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181H/797M), yang menyatakan urgensi  ilmu sanad ini dalam ungkapannya:

 

“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalau bukan karena menjaga sanad, pasti siapa pun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan.”

 

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.”

 

Bahkan Imam Asy-Syafi’i mengingat­kan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengum­pul­kan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu.”

 

 

Ijazah

 

Adapun ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa‘-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan ter­sebut memberi sebuah pedoman bagai­mana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu men­curahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya.

 

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam disiplin ilmu.

 

Menurutnya, seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak menge­tahui penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seorang yang mahir dalam bidang tersebut.

 

Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga men­jadi satu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.

 

Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi, mengatakan, langkah tahammul wal ada‘ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) di­sebut ijazah.

 

Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi.” Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku.” Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab, hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid, dan kumpulan bacaan dzikir lainnya. Yang kemudian sang-murid atau si penerima segera mengatakan, “Qobiltu Ijazah” artinya, “saya terima ijazahnya”.

 

Jumhur ulama membolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al-Kifayah, menyebut­kan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menulis surah Al-Bara`ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan mem­bacanya di hadapan para sahabat.

 

Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiyah yang mengakar kuat dan mem­budaya di kalangan umat Islam, baik kalangan terdahulu maupun kini, khususnya di kalangan penuntut ilmu (santri).

 

Pada bidang keilmuan tertentu, ija­zah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amaliah khusus di kalangan sufi (tarekat).

 

Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits, tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.

 

 

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!