KH Cholil Bisri

KH Muhammad Cholil Bisri (12 Agustus 1942-23 Agustus 2004) merupakan seorang sosiolog dan politikus Indonesia. Dia merupakan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia ikut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa.

Sosok

Ayahnya KH. Bisri Mustofa adalah seorang Kyai yang disegani di Jawa pada masa 1960-1978. Ayahnya, sebagai menantu Kyai Kholil bin Harun Kasingan yang terkenal di tanah Jawa sebagai ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan ilmu Manthiq (seni logika), memiliki kewajiban melanjutkan perjuangan mertuanya.

Masa kecil Cholil Bisri dihabiskan di pengungsian. Bergaul dengan Laskar Hisbullah karena saat itu Ayahnya turut serta mengangkat senjata bersama santri-santri dengan mengajak anak istrinya.

Ia tamat Sekolah Rakyat 6 Kartioso, hanya 5 tahun. Sebab ia langsung diterima di kelas dua, karena ia tidak mau satu kelas dengan adiknya (Mustofa), yang pada saat bersamaan masuk kelas satu.

Ketika itu terjadi peristiwa PKI di Madiun 1948. Ayahnya termasuk orang yang diburu oleh PKI saat itu. Sehingga mereka harus mengungsi ke arah timur, tepatnya ke Pare, sekitar Kediri. Pada masa pegungsian itu, ayahnya punya usaha kecil, membuat kertas daur ulang. Dari kertas bekas koran diolah menjadi bubur, dibentuk dan dijemur menjadi kertas. Kemudian dipotong untuk dibuat kertas buku-buku catatan kecil (notes). Lalu dijual. Cholil Bisri sendiri sering ikut menjualnya. Di sini jiwa wirausahanya mulai terbangun.

Setahun setelah itu, ketika keamanan sudah pulih, mereka kembali lagi ke Rembang. Tahun 1950 ia melanjutkan sekolah SR dan tamat tahun 1954. Tahun 1956 ia diminta ayahnya pergi ke Krapyak, Yogyakarta, tinggal di Pesantren Ali Mas'shum. Selama satu tahun tinggal di Krapyak, ia merasakan betapa demokratisnya Kyai Ali Mas'shum. Ia pun merasa cukup dimanjakan oleh Kyai Ali. Kemudian, ia kembali ke Rembang, bertepatan kedatangan Kyai Mahrus yang masih satu generasi dengan ayahnya. Teman ngaji ayahnya ketika masih kecil. Kyai Ma’rus berbicara dengan ayahnya dan meminta agar ia ikut bersamanya ke Kediri. Akhirnya 1957 ia berangkat ke Kediri. Tapi hanya satu tahun. Kemudian ia kembali lagi dibawa oleh Kyai Ali ke Krapyak.

Pada Pemilu 1982, ia diminta untuk menjadi anggota DPRD tingkat I. Tetapi ia tolak. Karena ia mempuyai pesantren yang harus diurus. Waktu itu ia hanya mau di DPRD tingkat II, seumur hidup. Tawaran menjadi anggota DPRD Tingkat I itu diserahkan kepada adiknya, Mustofa. Adiknya menerima tawaran itu setelah didorong dengan berbagai penjelasan.

Pada tahun 1992, ia mulai merasa jenuh di DPRD tingkat II. Sementara ia ditawarkan oleh ketua wilayah untuk masuk ke tingkat I. Tapi ia malah berpikir untuk masuk ke DPR RI. Dan pada tahun itu ia menjadi anggota DPR RI dari PPP.

Kiai Cholil Kiai NU dari Jawa Tengah yang sangat disegani. Dalam dirinya terdapat sosok seorang yang bukan hanya benar-benar kiai, tetapi juga penulis, politisi, dan sekaligus seorang sufi. Keluarga besarnya adalah kiai-kiai besar dan para penulis hebat. 

Ayahnya bernama KH Bisri Mustofa, penulis produktif dan pengarang tafsir terkenal, al-Ibriz, dalam bahasa Jawa. Adiknya bernama KH Mustofa Bisri, seorang penyair, budayawan, kyai, dan penulis produktif.

Cholil Bisri adalah anak sulung yang lahir dari pasangan Kiai Bisri Mustofa dan Ma’rufah binti KH Cholil Kasingan. Ia lahir pada Oktober 1941. Pendidikannya waktu kecil adalah di Sekolah Rakyat 6 Kartioso yang ditempuh dalam waktu lima tahun, karena  ia langsung diterima di kelas dua dan tidak mau satu kelas dengan adiknya, Mustofa, yang pada saat bersamaan masuk kelas satu.

Selain menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1954), Cholil juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (1954), kemudian melanjutkan di SMP Taman Siswa (1956) bersamaan dengan sekolah di Perguruan Islam (1956). Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, (1957), Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta (1960), Aliyah Darul Ulum Mekah (1962), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kiai Bisri Mustofa tidak memaksakan anaknya harus menempuh pendidikan di pesantren tertentu. Oleh karena itu, ketika Cholil diminta oleh KH Machrus Ali dari Lirboyo dan KH Ali Maksum Krapyak untuk nyantri di pesantrennya, ia diminta memilih sendiri. Ia kemudian memilih nyantri di kedua tempat itu. Di tangan Kiai Ali Maksum, ia terasah tradisi menulisnya, karena setiap membuat kesalahan ia diberi ganjaran. Salah satu ganjarannya, ia disuruh menulis kitab tertentu dua kuras beserta artinya. Tradisi ini ikut membentuk tradisi menulis Cholil ketika dewasa.

Dalam organisasi, Cholil berkiprah di lingkungan NU. Dimulai ketika ia aktif sebagai Ketua GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP). Ia juga pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP Jawa Tengah.

Pada awalnya Cholil tidak berkecimpung di partai politik. Sampai suatu ketika Kiai Ali Maksum menegurnya di Munas Alim Ulama Kaliurang Yogyakarta, “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu, Mustofa, kenapa?” 

Pada akhirnya Cholil tertarik juga di politik, dan ia memiliki parodi yang sangat mendalam tentang NU dalam politik. Parodinya yang sering dikutip berbunyi, “NU itu sering diidoni (diludahi).”

Karena keterlibatannya dalam PPP, pada 1982 ia diminta untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I, tetapi ia menolak, karena ia berprinsip harus mengurus pesantren. Waktu itu, ia hanya mau di DPRD Tingkat II, seumur hidup. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada 1977, ia memegang tanggung jawab untuk menjadi pengasuh di Pesantren Raudhatut Thalibin sehingga ia hanya tertarik dalam politik lokal. 

Di pesantren, ia mengajar bandongan Alfiyah, Syarah Fath al-Muin, Jam’ul Jawami’, dan Ihya’ Ulumuddin. 

Pada masa NU berfusi ke dalam PPP, di Muktamar 1994, faksi NU membentuk Kelompok Rembang, merujuk nama tempat Cholil Bisri menjadi motor pentingnya. Kelompok ini semula bermaksud mengajukan tokoh NU untuk bersaing dengan Buya Ismail Metareum dari unsur Muslimin Indonesia (MI). 

Bersama Matori Abdul Djalil, Imam Churmen, dan lain-lain, mereka mengoordinasi faksi NU di PPP. Tetapi, ketika pertarungan itu belum terlaksana Kelompok Rembang justru buyar karena sebelum Muktamar PPP sudah terjadi perpecahan dengan keluarnya kelompok Hamzah Haz dari Kelompok Rembang. Meski demikian, nama Cholil Bisri sangat dihormati sebagai sosok kiai politisi yang gigih membela NU.

Ketika NU kembali ke Khittah pada 1984, Kiai Cholil ikut terlibat dalam pemulihan Khittah NU. Dalam Muktamar NU ke-27 (1984), yang merumuskan Khittah NU, Kiai Cholil Bisri menjadi Ketua Panitia Perumus di Komisi Program dengan Sekretaris H. Tan Gatot dan anggota-anggota: H. Dahlan Ch, H.M. Husaini Tiway, H.M. Utsman Limbong, H.M. Asy’ari Sanak, H. Asnawi Lathif, H. Muhammadiyah, dan H. Syafrudin Syah.

Sebelum PKB didirikan, Kiai Cholil Bisri tampak tertarik untuk berkiprah di PPP lagi, yaitu pada 1992 saat ia masuk DPR RI dari PPP. Tetapi, ketika PKB didirikan, kiprahnya juga besar di partai ini. Sebelum PKB didirikan oleh Tim Kerja PBNU, inisiatif awal untuk membentuk sebuah partai terjadi pada 30 Mei 1998 ketika diadakan istighatsah kubro di Jawa Timur, dan banyak kiai yang berkumpul di Kantor PWNU Jawa Timur. 

Setelah acara itu, banyak kiai mendesak Kiai Cholil Bisri supaya menggagas dan membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. Pada 6 Juni 1998, ia mengundang 20 kiai untuk membicarakan hal tersebut, dan tidak kurang 200 orang kiai datang. Dari pertemuan di rumahnya inilah gagasan tersebut mengkristal sampai proses pendirian PKB oleh Tim Kerja PBNU.

Ketika PKB dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil Bisri menjadi salah satu tokoh penting. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB, dengan Ketua Dewan Syuro KH Ma’ruf Amien dan Ketua Dewan Tanfdiziyah Matori Abdul Djalil. Keterlibatannya dalam PKB mengantarkannya menjadi anggota DPR dari PKB, bahkan sampai menjadi Wakil Ketua MPR.

Meskipun menjadi politisi, kekiaian Kiai Cholil Bisri tidak luntur. Ia di Rembang tetap mengajar ngaji dan menjadi pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin sampai ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 23 Agustus 2004. Bahkan, ia sangat menyukai kalimat-kalimat hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam, yang terkenal itu. 

Ia juga seorang penulis, bukunya yang telah diterbitkan adalah Kami Bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru Langit. Ia meninggalkan seorang istri bernama Hj. Muhsinah, delapan anak, dan sejumlah cucu. (Sumber: Ensiklopedia NU)

SANTRI MBELING DI LIRBOYO

Sewaktu mondok di Lirboyo, partner mbeling terdekat Kyai Kholil adalah Gus Mik (Kyai Hamim Jazuli). Pernah, ditengah pelajaran Madrasah, Santri Kholil yang tempat duduknya didekat jendela, disapa Gus Mik dari luar.

 

"Keluar, Gus!" kata Gus Mik, setengah berbisik.

 

"Ada apa?"

 

"Nonton bioskop... ada filem bagus!"

 

Santri Kholil ragu,

 

"Masih pelajaran ini..."

 

"Lompat saja!"

 

Ketika guru menghadap papan tulis, Santri Kholil melompat keluar dari jendela. Santri-santri lain tak berani menegur tingkah gus-gus itu.

 

Jauh di belakang hari, ketika Gus Mik sudah melejit reputasinya sebagai seorang wali keramat yang khoriqul 'aadah, ditengah-tengah Konbes NU di Pondok Pesantren Ihya 'Ulumuddin, Kesugihan, Cilacap, seorang kyai Kediri yang dulunya juga anggota geng santri mbeling di Lirboyo mendatangi Kyai Kholil di penginapan.

 

"Dapat salam dari Gus Mik, Gus".

 

"Lhah, dia nggak ikut Konbes?"

 

"Datang sih..."

 

"Mana orangnya? Kok nggak nemuin aku?"

 

"Nggak mau. Sampeyan tukang nggasak (tukang meledek) sih... kalau sampeyan ledek, bisa-bisa badar (gagal) kewaliannya..."

 

 

***

WALI ANYAR (WALI BARU)

 

 

Suatu kali, Mbah Lim (Kyai Muslim Rifa'i Imam Puro, Klaten) yang terkenal wali, datang mengunjungi Gus Mus. Seorang pendhereknya (santri yang mengikutinya) diutus untuk memberi tahu Kyai Kholil.

 

"Mbah Lim ada di rumah Gus Mus, 'Yai", kata si pendherek, "panjenengan dimohon menemui..."

 

"Nggak mau! Sama-sama walinya kok!"

 

Setelah dilapori, Mbah Lim segera beranjak menemui Kyai Kholil. "Sesama wali" berangkulan sambil tertawa-tawa.

 

"Wali anyar... wali anyar...", kata Mbah Lim, "bodong 'ki... bodong 'ki..."

 

 

***

VOTING

 

Konbes NU di Bandarlampung kebingungan memilih Rais 'Aam baru. Kyai Achmad Shiddiq telah wafat, Kyai Ali Yafie mengundurkan diri. Kyai Yusuf Hasyim, calon terkuat, didelegitimasi keponakannya sendiri.

 

"Pak Ud itu bukan ulama, tapi zu'ama", kata Gus Dur, "beliau termasuk santri korban revolusi... ngajinya kocar-kacir!"

 

Konbes pun kehilangan arah.

 

Dikerumuni wartawan, Kyai Kholil melontarkan statement,

 

"Istikhoroh saja!"

 

"Bagaimana caranya?" wartawan bertanya.

 

"Pilih 40 orang kyai ahli riyadloh (tirakat). Beri kesempatan mereka beristikhoroh. Sesudah itu, saling mecocokkan isyaroh yang didapat masing-masing..."

 

Wartawan tak puas,

 

"Kalau diantara 40 kyai itu hasil istikhorohnya berbeda-beda bagaimana?"

 

Jawaban Kyai Kholil mantap:

 

"Ya divoting!"

***

“Kalau Suap, Ya Jelas Neraka”

Merebaknya rumor ruswah (suap) pada pemilihan gubernur (Pligub) Jawa Timur, agaknya menarik perhatian Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah, KH. Cholil Bisri. Kakak kandung Gus Mus (sapaan akrab KH Mustofa Bisri, red.) yang juga wakil Ketua MPR ini tampak begitu antusias menanggapi Tabloid Susara Santri saat mempertanyakan rumor ruswah di sekitar Pilgub Jatim ini pada acara “Silaturrahim PCNU se-Jawa Timur” di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, awal Juli lalu. Berikut petikan lengkap komentarnya:

Jika ada Cagub atau Cawagub memberikan uang kepada anggota dewan, apakah itu bisa dinamakan ruswah?

Ya……… terserah, orang mau dikatakan ruswah juga boleh, bukan ruswah ya……..ya itu …….(disambut tawa orang-orang di sekeliling Mbah Kholil). Pada dasarnya semua tergantung dari niatnya. Kalau orang tersebut niatnya memberi uang untuk nyuap, ya jelas itu neraka. Kalau niatnya bukan untuk nyuap, ya bukan ruswah namanya.

Menurut Anda, apa pengertian ruswah itu ?

Ya………. jangan tanya ke saya. Tanya saja pada kiai-kiai lain, ini disebelah saya banyak kiai-kiai (sambil menunjuk beberapa kiai yang duduk disampingnya). Masak saya pakai baju begini seperti kiai……….????? (sambil tertawa).

Untuk menjadi Cagub atau Cawagub seseorang harus mendapatkan rekomendasi dari partai, misalkan ada Cagub - cawagub memberikan sejumlah uang ke partai, apakah ini bisa disebut ruswah?

Rekomendasi dari partai itu, maksudnya adalah bahwa partai menyetujui dan menganggap orang atau calon yang diajukan itu layak menjadi Cagub atau Cawagub. Kalau kemudian orang tersebut memberi uang ke partai untuk tujuan tertentu, misalnya untuk mendapatkan pekerjaan, ya……….jelas itu ruswah!. Arrasi wal murtasi, semua suap itu neraka, baik itu yang memberi atau yang menerima.

Lalu bagaimana jika ada Cagub atau Cawagub yang sowan ke Kiai untuk meminta restu dan memberikan sejumlah uang, apakah ini bisa disebut ruswah?

Ya bukan……, orang datang kepada Kiai untuk minta restu dan memberikan sesuatu atau uang misalnya, itu tidak bisa dikatakan ruswah, tapi hadiah. Orang memberi itu ‘kan macam-macam. Kalau niatnya shodaqoh, ya ……..itu shodaqoh. Kalau niatnya memberi itu hadiah, ya…..jelas itu hadiah, dan kalau niatnya memberi itu untuk mendapatkan sesuatu, jelas ini ruswah, dan ini neraka. Jadi semua tergantung dari niatnya.

Sementara itu, KH. Masduqi Mahfudh Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur yang ditemui terpisah di acara yang sama mengatakan, bahwa pemberian yang diberikan oleh seorang calon semisal gubernur adalah suap hukumnya haram. Kemudian ketua MUI Jatim menceritakan tentang datangnya salah seorang calon gubernur jatim kepadanya untuk minta dukungan. “Saya nggak punya biting untuk mendukung, yang berhak anggota DPRD”, katanya kepada sang tamu. Ketika akan pulang tak ketinggalan tamu tadi memberikan amplop yang berisi uang kepada kiai yang dikenal sangat tegas dalam masalah hukum ini. Untuk kedua kalinya sang tamu harus kecewa, sebab Kiai Masduqi tidak mau menerimanya walaupun sudah dikatakan uang itu adalah hadiah. “Hadiah itu kalau sudah jadi”, katanya dengan suara tegas. 

***