KH. Abdul Wahab Hasbullah

KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. silsilah KH. Abdul Wahab Hasbullah bertemu dengan silsilah KHM. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Shihah.

Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian K.H. Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz Ammah dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu'. Abdul Wahab juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab dalam asuhan langsung ayahnya. Setelah dianggap cukup bekal ilmunya, barulah Abdul Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Kemudian Abdul Wahab belajar di pesantren Bangkalan, Madura yang diasuh oleh K.H. Kholil Waliyullah.

Beliau tidak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, maka pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah. Di tanah suci itu mukim selama 5 tahun, dan belajar pada Syekh Mahfudh At Turmasi dan Syekh Yamany. Setelah pulang ke tanah air, Abdul Wahab langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.

Pendidikan

Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.

Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:

1.      Pesantren Langitan Tuban.

2.      Pesantren Mojosari, Nganjuk.

3.      Pesantren Cempaka.

4.      Pesantren Tawangsari, Sepanjang.

5.      Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.

6.      Pesantren Branggahan, Kediri.

7.      Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.

Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).

Menikah dan Membina Rumah Tangga

Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.

Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.

Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.

Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).

Langkah awal yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, kelak sebagai Bapak Pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan. Nama madrasah sengaja dipilih 'Nahdlatul Wathan' yang berarti: 'Bergeraknya/bangkitnya tanah air', ditambah dgngan gubahan syajr-syair yang penuh dengan pekik perjuangan, kecintaan terhadap tanah tumpah darah serta kebencian terhadap penjajah, adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan. belenggu kolonial Belanda.

Namun demikian, tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kiai Wahab, setelah berhasil mendirikan 'Nahdlatul Wathan'. Ini penting karena dalam diri Kiai 'Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.

Bertolak dari sifat dan sikap Kiai Wahab itulah, maka mudah dipahami apabila kemudian beliau mengadakan pendekatan dengan ulama-ulama terkemuka seperti, K.H. A. Dachlan, pengasuh pondok Kebondalem Surabaya, untuk mendirikan madrasah 'Taswirul Afkar'. Semula 'Taswirul Afkar' yang berarti 'Potret Pemikiran' itu, merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Dan anggotanya juga terdiri atas para ulama dan ulama muda yang mempertahankan sistem bermadzhab. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919, kelompok ini ditingkatkan statusnya menjadi madrasah 'Taswirul Afkar' yang bertugas mendidik anak-anak lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat

elementer.

Bertempat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel Surabaya), madrasah 'Taswirul Afkar' bergerak maju. Puluhan dan bahkan kemudian ratusan anak di Surabaya bagian utara itu menjadi murid 'Taswirul Afkar', yang pada saat itu (tahun-tahun permulaan) dipimpin K.H. A. Dachlan. Namun demikian, bukan berarti meniadakan kelompok diskusi tadi. Kegiatan diskusi tetap berjalan dan bahkan bertambah nampak hasilnya, berupa 'Taswirul Afkar'. Dan madrasah ini hingga sekarang masih ada dan bertambah megah. Hanya tempatnya telah berpindah, tidak lagi di Ampel Suci, tetapi di Jalan Pegirian Surabaya.

Hingga di sini Kiai Wahab telah berada di tiga lingkungan: Syarikat Islam (SI) berhubungan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, Nahdlatul Wathan dengan K.H. Mas Mansur, dan Taswirul Afkar dengan K.H. A. Dachlan. Tiga lingkungan itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Tjokroaminoto lebih condong pada kegiatan politik; K.H. Mas Mansur lebih dekat dengan kelompok anti madzhab sedangkan K.H. A. Dachlan tidak berbeda dengan Kiai Wahab, yakni ulama yang mempertahankan sistem madzhab.

Dalam hubungannya dengan gerakan pembaruan itu, agaknya Kiai Wahab seringkali tidak dapat menghindari serangan-serangan mereka baik yang ada di SI maupun di K.H. Mas Mansur sendiri. Meski tujuan utamanya membangun nasionalisme, serangan-serangan kaum modernis seringkali dilancarkan hingga Kiai Wahab perlu melayaninya. Di sinilah mulai tampak perbedaan pendapat antara Kiai Wahab dengan K.H. Mas Mansur.

Peristiwa ini tampaknya sudah terbayang dalam pikiran Kiai Wahab, sehingga tidak perlu mempengaruhi semangat perjuangannya. Bahkan beliau bertekad untuk mengembangkan Nahdlatul Wathan ke berbagai daerah. Dengan K.H. Mas Alwi, kepala sekolah yang baru, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far'ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabul Wathan di Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.

Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama 'Wathan' yang berarti 'tanah air'. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Dan syair 'Nahdlatul Wathan' berkumandang di berbagai daerah dengan variasi cara menyanyikannya sendiri-sendiri. Misalnya di Tebuireng, hingga tahun 1940-an syair tersebut tetap dinyanyikan para santri setiap kali akan dimulainya kegiatan belajar di sekolah. Dan setiap hendak menyanyikan syair tersebut, para murid santri diminta berdiri tegak sebagaimana layaknya menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'.

Seperti telah disinggung, bahwa selain Kiai Wahab harus memperhatikan Nahdlatu1 Wathan dan juga keterlibatannya di SI, beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus 'masail diniyyah' (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang

mempertahankan madzhab.

Kegiatan kursus ini dipusatkan di madrasah 'Nahdlatul Wathan' tiga kali dalam seminggu. Dan pengikutnya ternyata tidak hanya terbatas dari Jawa Timur saja, melainkan juga ada yang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan beberapa lagi dari Madura. Jumlah peserta kursus sebanyak 65 orang. Karena peserta begitu banyak, maka .Kiai Wahab meminta teman-temannya untuk membantu. Di antara teman-temannya yang bersedia mendampingi ialah KH. Bishri Syansuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwimunding (Cirebon), KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridlwan Abdullah keduanya dari Surabaya, K.H. Maksum dan K.H. Chalil keduanya dari Lasem, Rembang. Sedangkan dari kelompok pemuda yang setia mendampingi Kiai Wahab ialah: Abdullah Ubaid, Kawatan Surabaya, Thahir Bakri, dan Abdul Hakim, Petukangan Surabaya, serta Hasan dan Nawawi, keduanya dari Surabaya.

Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis. Enam puluh lima ulama yang dikursus, agaknya dipersiapkan betul untuk menjadi juru bicara tangguh dalam menghadapi kelompok pembaru, sehingga dalam perkembangan berikutnya, ketika berkobar perdebatan seputar masalah 'khilafiyah' di beberapa daerah, tidak lagi perlu meminta kedatangan Kiai Wahab, tapi cukup dihadapi ulama-ulama muda peserta kursus tersebut.

Pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz lalu membentuk Komite Khilafat, K.H. Abd. Wahab Hasbullah mengusulkan agar delegasi ke Makkah menuntut dilindunginya madzahibul arba' ah di Makkah - Madinah. Dan setelah mengetahui usulnya kurang diperhatikan oleh tokoh-tokoh SI dan Muhammadiyah, lalu KH. Abd. Wahab atas izin KH.Hasyim Asy' ari membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi sendiri ke Makkah - Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan JAM’IYAH NAHDLATUL ULAMA, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abd. Wahab Hasbullah.

Demikianlah selintas pintas riwayat K.H. Abdul Wahab Hasbullah dalam menegakkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia dalam rangka mengusir penjajah di tanah tercinta Indonesia. Di samping itu beliau seorang tokoh besar Islam terutama dalam mempertahankan kebenaran madzhab dari serangan kaum yang menyebut dirinya modernis Islam.

KIAI HAJI WAHAB HASBULLAH adalah seorang tokoh pergerakan dari pesantren. Ia dilahirkan di Tambakberas-Jombang, tahun 1888. Sebagai seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti beraktivitas, apalagi melihat rakyat Indonesia yang terjajah, hidup dalam kesengsaraan, lahir dan batin.

Sepulang dari Mekkah 1914, Wahab, tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan penjajah. 

Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita negeri), tujuannya untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.

Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Kiai Hasyim Asy’ari memimpin organisiasi ini. Sementara Kiai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri.

Mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, maka pada tahun 1919, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar. Di tengah gencarnya usaha melawan penjajahan itu muncul persoalan baru di dunia Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dari Najed, Arab Pedalaman yang menguasai Hijaz tempat suci Mekah dikuasai tahun 1924 dan menaklukkan Madinah 1925. 

Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran, yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah suci itu, tidak diperkenankan lagi diajarkan dan diamalkan di tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju dengan paham Wahabi.

Lantas, Kiai Wahab membuat kepanitiaan beranggotakan para ulama pesantren, dengan nama Komite Hejaz. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung Raja Abdul Aziz.  

Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka dibentuklah organisai yanag diberinama Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926. KH Wahab Hasbullah bersama Syekh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibnu Saud.

Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz. Beberapa hal penting hasil dari Komite Hejaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad dan situs-itus sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.

KIAI WAHAB HASBULLAH dengan segala aktivitasnya adalah untuk menegakkan ajaran ahlussunnah wal jamaah yang sudah dirintis oleh walisongo dan para ulama sesudahnya. 

Ia tidak hanya penerus, tetapi memiliki pertalian darah dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu. Bahkan Kiai Wahab juga mengidentifikasi diri sebagai penerus perjuangan pangeran diponegoro. Karena itu ia selalu memakai sorban yang ia sebut sendiri sebagai sorban Diponegoro. 

Dengan sorban itu, ia makin percaya diri. Dalam upacara keagamaan sampai dengan acara kenegaraan, Kiai Wahab selalu melingkarkan sorban tersebut, hingga pundaknya tertutup. Demikian juga dengan sarung, tidak pernah diganti dengan pantolan. 

Ia telah melampaui segala protokoler kenegaraan yang ada, karena telah memiliki disiplin dan karakter keulamaan sendiri. Selain itu, ia memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi sehingga tidak takut menghadapi musuh sesakti apapun.

Kemenonjolan peran Wahab Hasbullah ini berkat kematangannya dalam menempa dirinya sebagai seorang ulama pergerakan. Sifat keulamaannya digembleng di pesaanatren Langitan  Tuban, Pesantren Tawangsari Surabaya.

Kemudian ia melanjutkan lagi ke Pesantren Bangkalan Madura. Di pesantren asuhan Syaikh Kholil inilah, ia bertemua dengan Kiai Bisri Syansuri, ulama dari Pati yang kelak menjadi sahabat seperjuangannya, juga iparnya. Pertemanannya Kiai Wahab dengan Kiai Bisri ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan NU. Selanjutnya, Kiai Wahab ke Pesantren  Mojosari Nganjuk dan menyempatkan diri nyantri di Tebuireng Jombang. 

Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, ia belajar ke Mekkah untuk belajar pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang. Selain, belajar agama saat di Mekkah itu, ia juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Selama masa pembentukan NU, Kiai Wahab selalu tampil di depan. Di manapun muktamar NU diselenggarakan sejak yang pertama kalinya yaitu di Surabaya, kemudian hingga ke Bandung, Menes Banten, Banjarmasin, kemudian Palembang hingga Medan, ia selalu hadir dan memimpin. Sehingga pengalamannya tentang organiasi ini cukup mendalam. Karena itu, Kiai Wahab selalu cermat dan tegas dalam mengambil keputusan. 

Dalam menghadapi berbagai kesulitan, terutama dalam hubungannya dengan pemerintah kolonial, ia selalu mampu mengatasinya. Misalanya, ia harus berhadap dengan para residen gubernur atau menteri urusan pribumi. Kemampuan lobi dan diplomasi membuat semua urusan bisa lancar, sehingga NU mampu mengatasi berbagai macam jebakan dan hambatan kolonial.

Dan, Kiai Wahab juga memiliki keistimewaan, yang tidak banyak ada pada orang lain, yakni kemampuan melempar humor, khususnya jenis plesetan, sebagai alat diplomasi.

Suatu hari, ketika Nusantara masih dalam cengkraman Belanda, Kiai Wahab berpidato di hadapan kiai-kiai dan ratusan santri.

“Wahai Saudara-saudaraku kaum pesantren, baik yang sudah sepuh, yang disebut Kiai, ataupun yang masih muda-muda, yang dikenal dengan sebutan Santri. Jangan sekali-sekali terbersit, apalagi bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai Belanda)!” Begitu suara Kiai Wahab berapi-api.

“Mengapa kiai dan santri tidak boleh jadi Ambtenaar? 

Jawabannya tiada lain tiada bukan, karena Ambtenaar itu singkatan dari Antum fin Nar. Tidak usah berhujah susah-susah tentang Ambtenaar, artinya ya tadi, ‘kalian di neraka’ tititk,” jelas Kiai Wahab. Para kiai dan santri yang hadir tertawa dan tepuk tangan. 

Lain waktu, semasa penjajahan Jepang, Kiai Wahab menghadapi para kiai yang belum paham cara berpolitik dengan Jepang. Para kiai itu tidak bersedia menjadi anggota Jawa Hokokai, semacam perhimpunan rakyat Jawa untuk mendukung Jepang.

“Para Kiai tidak susah-susah mencari dalil menjadi anggota Jawa Hokokai. Masuk saja dulu. Tenang saja, di dalam badan tersebut ada Bung Karno. Beliau tidak mungkin mencelakakan bangsa sendiri,” Kiai Wahab mulai merayu para kyai.

“Tapi Kiai, apa artinya Jawa Hokokai itu?” Tanya seorang kyai.

“Lho, Sampean belum tahu ya, Jawa Hokokai itu artinya Jawa Haqqu Kiai,” jelas Kiai Wahab singkat.

“Ooo... Jadi Jawa Hokokai itu artinya Jawa milik para kiai. Ya sudah, mari, jangan ragu masuk Jawa Hokokai,” ujar kiai tadi merespon. 

NAMUN DEMIKIAN, salahlah kita jika hanya menilai Kiai Wahab sebagai kiai politisi saja. Salah, karena ia sesungguhnya adalah  seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, itu dengan mudah mampu menerapkan prinsip-prinsip fiqih dalam kehidupan modern secara progresif, termasuk dalam bidang fiqih siyasah. 

Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah Wal Jama'ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah wal jamaah di lingkungan NU.

Dalam tiap bahtsul masail muktamr NU, ia selalu memberikan pandangannya yang mamapu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.

Kiai Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya.

Ia sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya. Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh relevansinya ketika KH Machfudz Siddiq dan KH Wahd Hasyim turut aktif dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.

Demikian juga dalam menghadapi zaman Jepang yang sulit, terutama ketika penjajah itu itu pada tahun 1942 menangkapi para tokoh NU, maka Kiai Wahab dengan segala pikiran dan tenaganya menghadapi penjajah Jepang. Ia gigih menjadi tim pembebasan, mulai dari membebaskan KH Hasyim Asyari, KH Mahfud Shiddiq, juga ulama NU lainnya baik di Jawa Timur hingga ke Jawa Tengah tanpa kenal lelah. 

Masa menjelang kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan aktif di medan tempur dengan memimpin organaisasi Barisan Kiai, organisasai yang secara diam-diam menopang Hisbullah dan Sabilillah. 

Sepeninggal KH Hasyim Asy’ari (Ramadan, 1947), kepepimpinan NU Sepenuhnya berada di pundak Kiai Wahab.

Dalam menghadapi perjanjian dengan Belanda, baik perjanjian Renville, Linggarjati maupun KMB, yang penuh ketidakadilan itu, Kiai Wahab memimpin di depan melawan perjanjian itu. Akhirnya semua perjanjian yang tidak adil itu dibatalkana secara sepihak oleh Indonesia. 

Masa paling menentukan adalah ketika NU mulai dicurangi oleh dalam Masyumi dengan tidak diberi kewenangan apapun. Usaha perbaikan oleh Kiai Wahab tidak pernah digubris oleh dewan partai, padahal NU sebagai anggota Istimewa. 

Selain itu hanya diberi jatah menteri Agama, itu pun kemudian dirampasnya juga. Apalagi Masyumi mulai melakukan tindakan subversif sepert memberi simpati pada Darul Islam (DI) dan bahkan melakukan perjanjian gelap dengan Mutuasl Security Act (MSA) yang menyeret Indoonesia ke Blok Barat Amerika. NU merasa semakin tidak kerasan di Masyumi.

Ketika Kiai Wahab hendak mendirikan partai sendiri, tidak semua kalangan NU menyetujuinya, apalagi kalangan Masyumi menuduh NU berupaya memecah-belah persatuan umat Islam. NU juga diledek bahwa tidak memiliki banyak ahli politik, ekonomi, ahli hukum dan sebagainya. 

Atas semua itu, dengan enteng Kiai Wahab menjawab:

“Kalau saya mau beli mobil, si penjual tidak akan bertanya apakah saudara bisa menyupir. Kalau dia bertanya juga, saya akan membuat pengumuman butuh seorang supir. Saat itu juga, para calon supir akan segera mengantri di depan rumah saya.” 

Ketika kalangan ulama NU yang lain masih ragu, dengan tegas Kiai Wahab mengatakan, ”Silakan Sudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai NU dan hanya butuh seorang sekretaris. Insya Allah NU akan menjadi partai besar.

Melihat kesungguhan itu akhirnya, semua kiai, termasuk Kiai Abdul Wahid Hasyim  sangat terharu, sehingga diputuskan untuk menjadi partai  sendiri. 

Dalam Pemilu 1955, perkiraan Kiai Wahab terbukti, NU menjadi partai terbesar ketiga. Dari situ NU mendapat 45 kursi di DPR dan 91 kursi di Konstituante serta memperoleh delapan kementerian. Berkat kepemimpina Kiai Wahab itu, NU menjadi partai politik yang sangat berpengaruh.

Dalam mempimpin keseluruhan drama pilitik nasional, bagi NU, Kiai Wahab adalah pengambil keputusan yang sangat menentukan. Sebab itu, perintahnya sangat dipatuhi sejak dari pengurus pusat hingga ke daerah. Bukan Karena otoriter. Tapi karena memang sangat menguasi kewilayahan dan menguasasi strategi gerakan. Karena itu pula, para kiai kiai sering kali menyebut tokoh kita ini “panglima tinggi”. 

Tiap hari, Kiai Wahab keliling daerah, bermusyawarah, menyerap dan memberi informasi, mengarahkan hingga menyemangati para ulama dari Jawa hingga Sumatera, dari Madura hingga Kalimantan. Semuanya diongkosi dengan uang sendiri. 

Bila ada di Jombang, tepatnya di Tambakberas, Kiai Wahab tidak pernah absen mengajar di pesantrennya, memberikan pengajian dari kampung ke kampung, dan memberikan brifing politik ada para santri senior, para pengurus NU setempat, hingga memberikan arahan pada pamong desa setempat. Kedekatan dengan rakyat itu yang mendorong militansi Kiai Wahab dalam menyuarakan aspirasi rakyat.  

Banyak yang meriwayatkan pula bahwa Kiai Wahab juga mempunyai kecenderungan hidup zuhud. Dari sekian banyak pesantren yang dikunjungi, tampaknya pengaruh Kiai Zainuddin Mojosari cukup kentara.

Pesantren Mojosari terdapat di pedalaman Nganjuk Jawa Timur. Kiai Zainuddin, pengasuh pesantren tersebut, masyhur sebagai sufi agung di tanah Jawa saat itu. Tradisi sufistik juga membuat pesantren ini menjadi sangat terbuka. Satu contoh, tiap akhir tahun para santri dibiarkan menyelenggarakan pentas seni, ludruk. Para santri main sendiri.

Untuk itu, beberapa bulan sebelum acara, para santri dengan rombongan masing-masing ada yang belajar ludruk ke Jombang, belajar Jatilan ke Tulungagung, belajar Ketoprak ke Madiun dan belajar wayang ke Solo dan sebagainya.   

Wahab muda adalah salah satu di antara mereka itu. Pendidikan keagamaan yang di berikan juga sangat terbuka. Para santri dipersilakan memakai madzhab pemikiran yang disukai, juga diajarkan memecahkan berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan secara lebih luwes dan toleran. 

Sikap keagamaan Kiai Wahab akhirnya juga tumbuh dengan terbuka. Ia lebih maju dibanding para ulama yang lain, terutama dalam menerapkan fiqih, tampak lebih mengutamakan dalil rasional, ketimbang doktrinal. 

Hal itu memungkinkan masa kepemimpinan Kiai Wahab dalam tubuh NU membuka wawasan yang luas bagi pengembangan pemikiran, kelembagaan dan ktangkasan dalam berpolitik. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan karib dan iparnya yang sekaligus menjadi wakilnya (Wakil Rais Am), yaitu KH Bisri Syansuri. Kiai Bisri adalah seorang faqih murni yang ketat dan disiplin, sehingga apapun yang berseberangan dengan prinsip yang dipegangi harus disingkirkan. 

Kalau Kiai Wahab cenderung berpikiran inovasi dan kreasi, sementara Kiai Bisri berpegangan pada fiqih. Dengan latar belakang semacam itu tidak heran kalau Kiai Wahab Hasbullah denngan senang hati menerima kehadiran Lesbumi 1962, apalagi sebelumnya Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari menyetujui penggunaan alat-alat musik dalam acara-acara NU. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mengurangi rasa tenggang rasa dan keduanya tetap saling menghormati.

Karena kharisma dan kepemimpinannya yang belum tergantikan, muktamar NU 20-25 Desember 1971 di Surabaya, Kiai Wahab terpilih lagi sebagai Rais Aam, meski telah udzur. Namun, persis empat hari setelah muktamar, Allah memanggil Kiai Wahab, tepatnya tanggal 29 Desember 1971. 

Kewibawaan Kiai Wahab di hadapan pengurus NU yang lain dan pengabdiannya yang total itu menyebabkan KH Saifudin Zuhri menjulukinya sebagai “NU dalam praktek”. Seluruh sikap dan tindakannya termasuk yang kontroversial sekalipun adalah mencerminkan perilaku NU yang tidak dianggap sebagai penyimpangan. Karena seluruh sikap dan tindakannya dilandasi iman, takwa, ilmu, akhlak serta pengabdian yang tulus.

PERJUANGAN

Perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.

Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.

Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.

Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.

Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.

Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis.

Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH

Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.

Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.

§  Bidang Pendidikan

Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:

1.   Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo

2.   Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik

3.   Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan

4.   Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).

§  Bidang Keagamaan

Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme.

§  Pergerakan

Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?

Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.

§  Demokrasi

Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:

“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).

         Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

Ketika Kiai Wahab dan Kiai Bisri Berdebat Soal Aurat

Beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, para santri putri di pesantren-pesantren berinisiatif mengadakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mengisi kemerdekaan. Mereka tidak mau kalah dengan organisasi-organisasi perempuan terutama dari Partai Komunis Indonesia (Gerwani) yang lebih sering tampil dimuka umum.

Para santri putri ini kemudian merencanakan membuat satu grup drumband. Nah, ternyata Kiai Bisri Syamsuri mendengar geliat ini. Dengan bersemangat beliau melarang kegiatan ini. “Perempuan tidak boleh main drumband. Nanti auratnya kelihatan,” katanya.

Para santri putri lantas melaporkan, peringatan Kiai Bisri ini ke Kiai Abdul Wahab Chasbullah yang adalah kakak ipar Kiai BIsri sendiri. Biasanya, kiai Wahablah satu-satunya kiai yang lebih memahami keinginan mereka. Kiai Wahab lantas menemui Kiai Bisri. “Nggak apa-apa wong masih pakek kerudung koq, nggak seperti Gerwani. Pokoknya, auratnya nggak kelihatan,” katanya kepada Kiai Bisri. Kiai Bisri terdiam, tidak melarang.

Baiklah grup drumband jadi dibentuk. Kiai Wahab berpesan, “Janganlah sampai Kiai Bisri tahu dulu!” Para santri putri yang tergabung di dalamnya langsung mengadakan latihan. Ada yang menenteng drum kecil, ada yang lebih besar sampai seperti bedug kemudian dipukul-pukul. Ada juga yang membawa tongkat kemudian diayun-ayunkan ke atas. Rupaya dia memimpin drumband-nan itu. Tiba-tiba kiai Wahab meminta latihan itu dihentikan. “Jangan pake goyang-goyang, itu namanya aurat,” kata Kiai Wahab kepada salah seorang yang membawa tongkat. Kiai Bisri yang kemudian ikut menyaksikan drumband-nan itu mengetahui hal itu manggut-manggut.

Jauh-jauh hari sebelumnya, pada masa-masa menjelang kemerdekaan, perempuan-perempuan pesantren melakukan demonstrasi menuntut para kiai agar mereka diperkenankan untuk bergabung dalam pasukan non-reguler Hizbullah dan Sabilillah, berjihad mengusir para “kumpeni.” Para kiai menenangkan, “Perempuan juga punya kesempatan untuk berjihad. Jihadnya perempuan itu di rumah tangga.” Namun itu tidak membuat semangat kaum perempuan kendur. Mereka tetap memaksa bergabung dengan pasukan perang.

Kiai Bisri pun bersuara. “Perempuan tidak boleh ikut berperang, karena berbahaya.” Lagi-lagi Kiai Wahab tampil dan ikut bersuara, “Tidak apa-apa asal tetap menutup aurat dan yang menjadi pimpinan tetap laki-laki, perempuan mengikuti komando saja kalau nanti pas nyerang.”

Demikianlah. Ada Kiai Bisri yang sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. “Hukum harus berdasarkan dalil yang paling jelas, dan aturan harus diputuskan dengan sangat hati-hati.” Ada juga kiai Wahab mengedepankan efektifitas dan katakanlah semacam “substansi” hukum, kaitannya dengan pengabdian para santri, warga NU untuk negaranya tercinta, Indonesia. Dan bukan untuk yang lain.

WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH

Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep aswaja.

Namun, sebenarnya  tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:

            “Maulaya shalli wa sallim da’iman abada

                        ‘alal habibika khairil khalqi kullihimi

            Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu

                        Likulli hauli minal ahwali muktahimi”.

PENUTUP

Pepatah menyatakan “tiada gading yang tak retak”, penyusun tuliskan sebagai reflaksi terhadap tokoh Kiai Wahab Hasbullah dalam makalah ini. Beliau memang orang besar, semua orang banyak yang mengakuinya. Namun, Kiai Wahab Hasbullah juga seorang manusia. Manusia tetaplah manusia yang tetap pada sifat kemanusiaannya, bisa marah, bisa lupa ataupun salah. Karena jika tidak demikian ia tentunya adalah malaikat.

Pemakalahpun dalam hal ini melihat sosok beliaupun demikian. Pemakalah tidak meragukan perannya terhadap berbagai pergerakan dan organisasi yang beliau realisasikan didalamnya, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1926 dan telah berkembang menjadi organisasi terbesar dikalangan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Menurut Budiawan, suatu godaan besar senantiasa menghadang para penulis biografi adalah kecenderungan untuk terjebak kedalam personifikasi nilai-nilai pada diri tokoh yang menjadi subyek penulisan. Lebih-lebih bila motivasi itu berada diluar kepentingan akademis, godaan yang lebih besar semakin tak terelakkan.

Jika godaan itu semakin besar, tidak jarang dijumpai sebuah biografi yang mengisahkan seorang tokoh melampaui kapasitasnya sebagai manusia. Biografi semacam ini jelas sudah sudah tidak lagi berbicara tentang kisah manusia, tetapi kisah tentang manusia yang telah dinobatkan sebagai “setengah dewa” atau “dewa”.

Budiawan dalam hal ini sepakat dengan pendapat Ralph Ross, bahwasanya biografi bukan sepenuhnya ilmu, melainkan berada pada perbatasan antara ilmu dan seni. Dalam bahasa Ralph Ross, biografi adalah seni yang semi-ilmiah (Budiawan, 2006:1-4).

DAFTAR PUSTAKA

  

Rifa’i, Muhammad. K.H. Wahab Hasbullah Biografi Singkat 1888-1971. Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.

Tim PW LP Ma’arif Jawa Timur. Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif. Jawa Timur.

Azra, Azyumardi. Islam Reformis. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 1999.

Maschan Moesa, Ali. Kiai Politik. LEPKISS. Surabaya. 1999.

Syafi’i Ma’arif, Ahmad. Islam dan Politik. Insani Press. Jakarta. 1996.