as-Sayyid Muhammad Al-Qadhi bin Yahya

Al-Arifbillah Al-Habib Muhammad Al-Qadhi bin Yahya Ba’Alawy

 

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف الانبيآء والمرسلين,

وعلى اله وصحبه أجمعين, امابعد:

 

 

Bismillahirrahmannirrahim, Alhamdulillaahi rabbil ’aalamiin, Wash-shalatu wassalam ‘alaa Rasulillaah SAW.

Amma Ba’du

Ini adalah sebuah biografi seorang atau sejarah riwayat hidup dari seorang Imamnya daripada Ulama dan para Awliya yang mendapat gelar Quthub-nya ahli ilmu, Quthbil ‘Ulum di zamannya, yang membidangi dalam segala hal jurusan bidang ilmu yang tidak bisa diragukan atas kemahirannya dalam membidangi ilmu-ilmu tersebut di atas.

Beliau, al-Quthbil Aqthab serta Ghauts zaman dan Qadhi Qudhat (hakim dari segala para hakim) namanya As-Sayyid Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin Muhammad bin Syekh bin Ahmad bin Yahya Ba’Alawy.

Beliau dilahirkan di Inat, Hadramaut, Yaman 1078 H, 355 tahun yang lalu (2013 M) bertepatan pada tahun 1657 M. Ibu beliau namanya Syarifah Alwiyah putri seorang pembesar para ulama fiqhiyah dan muhaditsin Al-Habib Syaikh Abdurrahman al-Faqih bin Imam Aqil al-Badawi bin Ahmad bin Yahya yang meninggal setelah kelahiran cucunya al-Habib Muhammad al-Qadhi beberapa bulan sebelum meninggal.

 

Masa Kecil 

Dalam keluarga dari Bapak maupun Ibunya dikenal keluarga Baitul Ilmu (Rumah Ilmu) tidak dari paman, dari Abahnya dan bibinya begitu pula dari keluarga ibunya.

Kejeniusan beliau dari semenjak kecil sangat dikenal, dari itu atas kejernihan hati dan akalnya hafal Qur’an dari semenjak umur 5 tahun, sehingga sebelum masa baligh, ribuan hadist yang telah dihafalnya beserta sanad-sanadnya dan beberapa kitab fiqh. Walaupun masih tergolong belum baligh, beliau menjadi tempat untuk bertanya. Beliau dididik langsung oleh kedua orang tuanya.

Proses keilmuan

Beliau mengambil ilmu syari’at, thariqat, tasawuf, tafsir, hadist, fiqhiyah, balaghah, nahwu, syaraf, qiro’at, ushuluddin, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dari pembesar ulama Awliya. Tidak dari kalangan sadah saja di antara para guru beliau adalah :

-          Kedua orang tuanya ialah Quthbil Aqthab al-Imam Thaha bin Muhammad bin Syekh bin Ahmad bin Yahya

-          Syarifah Alwiyah binti Syaikh Al-Faqih bin Abdurrahman Al-Faqih bin Aqil Al Badawi bin Ahmad bin Yahya

Dan dari :

-          Quthbil Irsyad Ghauts Al-Bilad Al-Imam Abdullah bin Alwy Al-Haddad dan dari

-          Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsy dan dari

-          Al-Imam Abdurrahman bin Abdullah bil Faqih dan dari

-          Imam Besar Aqil bin Syekh al-Faqih bin Abdurrahman bin Aqil bin Ahmad bin Yahya yang tinggal di Madinah (paman dari ibu) meninggal di Tarim Waqila di Madinah, dan dari

-          Pamannya (pihak ayah) Al-Habib Abdullah bin Muhammad bin Syekh bin Ahmad bin Yahya. Meninggal di Inat, Hadhramaut.

-          Dan dari beberapa pembesar ulama as-sadaat dan lainnya di Tarim.

 

Perjalanan beliau menuai ilmu, beliau ke Haramain beberapa tahun dan menyambil ilmu dari para pembesar ulama dan Awliya Haramain.

Selanjutnya beliau masuk  ke Mesir, tinggal beberapa bulan. Dari semua para gurunya dari Tarim, Haramain, Mesir, India, Maghrabi mendapatkan ijazah secara sempurna lagi cum laude.

Dan ijazah dari segala bidang ilmu ‘Am dan Khos serta dalam mengajar membaiat thariqah dan berdakwah.

Ketaatan beliau kepada kedua orang tuanya dan kepada para gurunya sangat luar biasa. Nyawa dan hartanya ditaruhkan untuk agama, para guru dan kedua orang tuanya.

Di dalam perilaku beliau dari semenjak kecilnya walaupun ilmunya bagaikan lautan tak bertepian, ketauhidannya, akhlak serta adabnya tidak bisa diragukan serta menjunjung tinggi. Terbuka, tidak membedakan dalam pergaulan, hanya dengan nilai-nilai akhlak di jadikan pakaian Dhahir – bathin-nya, serta ujung tombak dalam keberhasilannya. Beliau sangat dicintai oleh para gurunya, ulama, awliya, juga para Fuqara wal masakin. Beliau pendamai dan peredam perpecahan dan fitnah, serta pemadam permusuhan diantara Qaba’il (suku). Jika dalam keadaan bertempur beliau menggunakan kuda dengan surbannya yang dikibarkan.

Di dalam beliau belajar, disamping beliau mengambil ilmu menitikberatkan berkhidmah kepada gurunya, dan tidak pernah membawa ke-“aku”an-nya. Padahal dari segi nasab dan keluarga beliau dikenal Baitul Ilmu (Rumah Ilmu) dari pihak datuk-datuknya, orang tua, dan paman-pamannya, tidak ada satu pun yang tidak Allamah (sangat alim di dalam ilmu).

 

Keluarga “bin Yahya”, diberi oleh Allah SWT empat keutamaan;

Ta’ashub kepada nasabnya untuk Allah dan Rasul-Nya, serta agamanya, dan para salafuna shalihin. Akan tetapi walaupun demikian fitnah itu selalu menimpa kepada keluarga “bin Yahya”, sebagaimana seperti di zaman Sayidina Ali bin Abi Thalib, Sayidah Fathimah dan Sayidina Hasan wal Husain.

Orang lain melakukan hal yang baik, saadatil bin Yahya pun melakukan apa yang diajarkan oleh para Salafuna Shalaihin, namun sebagian besar al-bin Yahya yang menerima fitnah dan dihasudnya.

 

As-Sayid Muhammad al-Ghodzi, dilahirkan dari keluarga tersebut diatas (al-bin Yahya). Hal demikian itu bagi keluarga al-bin Yahya, sebagian besar sudah terbiasa, sehingga kebal.

 

Quthbil Ulum

Dari sebab keberhasilan dan barokah dari sebab khidmah kepada kedua orangtua dan gurunya. Sehingga menyandang gelar Quthbil Ulum, Quthb-nya orang-orang yang berilmu. Beliau diangkat menjadi Qadhi Qudhat (Kepala Para Hakim) dari semenjak mudanya dan menjadi mufti besar empat madzhab, gelar Qadhi Qudhat tidak di daerah Hadhramiyah saja, karena keadilannya, akan tetapi ketika beliau di jawa, Indonesia, beliau pun diangkat menjadi kepala para Mufti oleh kesultanan Banten, Yogya, dan Cirebon khususnya.

Fatwa-fatwa beliau sangat ditaati dari kalangan para sultan dan orang awam pada umumnya, dari sebab kebijaksanannya, dan dimana beliau berdakwah khususnya yang terjajah oleh pihak penjajah dari Belanda atau pun Inggris.

Beliau sangat gencar di dalam dakwahnya, akan tetapi tidak menyampingkan beliau mengajarkan ilmu dagang dan pertanian. Di samping beliau seorang ulama besar juga seorang ekonom, dan ahli dalam pertanian. Dengan mengajarkan ekonomi dan pertanian tersebut untuk keseimbangan dan mengurangi tekanan-tekanan ekonomi dari pihak penjajah serta tidak mudah dipengaruhi atau terpengaruh dengan mudah menjual rempah-rempah, yang sangat ditekan harganya oleh pihak penjajah atau mudah dibohongi (ditipu)

Ketika beliau hidup di Semarang, khususnya setelah dari Banten dan Cirebon. Ekonomi di daerah Pantura khususnya, sangat maju, serta menguasai pelabuhan-pelabuhan yang potensi pada waktu itu pihak penjajah tidak mampu atau kurang mampu untuk menekan perkembangan ekonomi pribumi. Maka dengan adanya Sayyid Muhammad al-Qadhi di Semarang khususnya, tidak terlepas beliau juga menjadi incaran penjajah untuk menekan atau melumpuhkan gerakan yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad al-Qadhi.

Para penjajah dari hal tersebut berusaha keras untuk menekannya dan berusaha untuk menyingkirkan, akan tetapi tidak berhasil karena kefanatikan publik kepada beliau dan ajarannya sangat mengakar dari sudut agama sampai kebangsaan cinta tanah airnya. Hal yang demikian dilakukan oleh pihak penjajah tidak untuk pribadi sayyid Muhammad al-Qadhi khususnya, tetapi kepada para saadah al-Yahya, dari para ulamanya. Di Jawa, Malaysia, Trenggano, India, Penang dan lain-lainnya.

Ruang geraknya kalau mampu akan dibatasinya serta dengan ketat mengawasi, dibanding dengan sebagian sadah yang lain. Kalau keluarga bin yahya dua kali, kalau yang lain sekali. Karena sadah al bin Yahya paling cepat menasionalisasikan pribadinya, di mana saja, negeri yang dimasukinya dan ditempatinya.

Kebanyakan para sadah al- bin yahya, ulamanya dalam kehidupan dan perjuangannya cobaannya bagaikan Imam Ali bin Abi Thalib.kwj, Sayyidah Fathimah.rha, Sayyidina Hasan.ra dan Sayyidina Husain.ra, dan keluarga Nabi lainnya, di zamannya. Diantaranya yang hasud kepada para beliau (Sayidina Ali) tidak terlepas dari saudara senasab. Seperti sebagian besar Bani Umayyah, satu kakek dengan Sayyidina Ali yang bertemu di datuk/kakek ketiga, yaitu Abdi Manaf. Sehingga yang berdampak bilamana membawakan riwayat Imam Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fathimah, Hasan dan Husain, langsung dituduh Syi’ah. Lambat laun riwayat hidup para beliau semakin kabur, kurang di kenal atau kurang mashyur. Apalagi sampai menceritakan wafatnya Imam Husain, Imam Hasan, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Zaid, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja’far ash-Shadiq, Imam Ali al-Uraidhi, Imam Musa al-Khadzim sampai Imam Mahdi dan Imam Ahmad al-Muhajir, yang sebenarnya para beliau adalah para tokoh ‘Aiimah dan pembesar ahlus sunnah wal jama’ah. Yang melahirkan keturunan-keturunan bagaikan bintang-bintang yang menghiasi langit, seperti Sayyidi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Imam asy-Syadzili, Imam Abu Abdullah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli, keturunan dari Sayidina Imam Hasan al-Sibth, dan banyak lagi dzuriyyah (keturunan) dari Sayyidina Imam Hasan.ra, sebagian besar tokoh-tokoh ahlus-sunnah wal jama’ah. Dan dari keturunan Imam Husain sendiri, khususnya keturunan dari Imam Ja’far ash-Shadiq seperti Sayyidi Syaikh Ahmad ar-Rifa’i, Sayyidi Syaikh Ahmad al-Badawi, Sayyid Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, Sayyidi Syaikh Abdur Rahim al-Auza’i (Tokoh Ulama ahli Hadist)  keturunan dari Sayyidi Musa al-Khadzim bin Ja’far ash-Shadiq.

Begitu pula Sayyid Syaikh Muhammad Baha’uddin an-Naqshabandi keturunan dari Sayyid Muhammad bin Ja’far ash-Shadiq. Begitu pula tokoh saadah di Hadhramiyah. Pemuka ahlus sunnah wal jama’ah seperti al-Imam Ahmad al-Muhajir, dan putranya ; Imam Ubaidullah, dan tiga putera Imam Ubaidullah, yaitu :

1.      Imam Alwy

2.      Imam Bashri

3.      Imam Jadid

Dan seperti Imam Khali’ Qatsam, dan tokoh muhadistin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, al-Imam Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Jadid bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir, dan yang tidak asing lagi al-Ustadz al-Azhom Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, serta para keturunannya di Hadramaut, India, Jawa khususnya menjadi para pembesar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Semuanya keturunan dari Imam Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq.

Sulit rasanya untuk menuduh kepada para datuknya sebagai Imam-Imam Syi’ah, sayangnya fitnah selalu menimpa kepada para Imam tersebut, seperti Imam Ali Zainal Abidin sampai Imam Muhammad al-Mahdi sampai Imam Ahmad al-Muhajir, kalimah Imam Syi’ah menimpa kepada para Beliau. Memang kepentingan politik dari semenjak Bani Umayyah dan sebagian bani Abbas serta kroni-kroninya, dengan kalimah “Syi’ah” tersebut sangat menguntungkan politiknya, untuk memojokkan para tokoh ulama ahli bait Nabi SAW yang sangat dicintai oleh umat dan masyarakat. Maka dengan tuduhan itu, supaya para Beliau tidak bisa berkembang, tidak itu saja yang dilakukan, tekanan-tekanan politik dilancarkan karena bani Ummayyah serta kroninya ketakutan kalau kedudukannya jatuh/terancam oleh Ahli Bait, padahal dikalangan Ahli bait Nabi SAW, al-Mukhlisun, tidak terlintas untuk merebut kekuasaannya. Ahli Bait Nabi hanya terfokus kepada amanat Baginda Nabi SAW sebagai Datuknya, Rasulullah untuknya khususnya, dan umat pada umumnya membawa kitabullah dan sunnah serta akhlak akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana pun ia berada.

 

Perjalanan Dakwahnya

Disamping beliau seorang ulama besar, beliau juga seorang ekonom ulung (ahli ekonomi), pengusaha dan pebisnis. Dari sebab itu, beliau mampu dalam perjalanan berdakwah dengan melalui bisnis tersebut mudah mengenal dan dikenal dari lingkungan ditempatinya, mudah menyapa dan disapa, disamping beliau berpegang teguh pada akhlakul karimah kedermawanan beliau sangat dikenal dan sifat sebagai pengayom sangat nampak sekali dan sebagai pewaris Baginda Nabi SAW.

Setelah beliau mendapat ijin dari orangtuanya dan para gurunya. Dalam dakwahnya pertama kali beliau masuk ke pedalaman Hadhramiyah dan Yaman. Beliau melanjutkan perjalanan ke Afrika, dan beliau sempat belajar dan mengambil ilmu dari ulama-ulama Maghribi dan mendapatkan  ijazah sebagaimana tersebut diatas. Beliau juga masuk ke al-Jazair, Tunis dan lain-lain. Beliau tidak cukup sampai kota saja tapi sampai ke pelosok, yang sehingga ribuan orang masuk Islam di tangan Beliau. Enam ratus (600) masjid yang dibangun oleh beliau di Afrika. Dari Afrika kembali ke Tarim, selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya, masuk ke India dan sekitarnya. Dikenal nama beliau sebagai Sayyid Qadhi yang sangat adil. Pangkat Qadhi Qudhat diangkat ketika Beliau di Tarim, sebelum ke India.

Setelah beberapa tahun di India, beliau kembali ke negerinya Tarim. Setelah beberapa tahun beliau melakukan perjalanan dakwah ke India terus menuju Malaka (Melayu) tinggal di Malaka ke Johor, Kelantan, Tenggrano, Perlis, Kedah dan sekitarnya. Dan beliau menjumpai sahabatnya Sayyid Yasin bin Ahmad bin Aqil bin Ahmad bin Aqil al-Badawi bin Ahmad bin Imam Yahya, yang telah masuk ke Malaka terlebih dahulu di Trenggano, menyiarkan agama Islam di tanah Melayu. Di India al-Habib Muhammad al-Qadhi sempat membangun 300 masjid dan 50 Masjid di daerah Melayu, dan 50 Masjid di Indonesia. Semua yang beliau bangun ada 1000 masjid. Dan sebagian besar yang dibangun dari kantongnya sendiri walaupun masjid yang dibangunnya tidak merupakan masjid-masjid besar, tidaklah menjadi suatu keharusan atas besarnya masjid akan tetapi kebutuhan yang menantangnya.

Beliau tinggal beberapa saat di Penang dan akhirnya beliau masuk ke Palembang lalu Banten. Di Palembang tinggal beberapa tahun dan di Banten bertemu dengan mufti besarnya as-Sayyid Muhammad Yusuf Tajhul Khalwati bin Abdullah bin Abdurrahman bin Aqil al-Badawi bin  Ahmad bin Imam Yahya Ba’Alawy. Umurnya sebaya dengan beliau (sebelum dibuang ke Cape Town, Afrika). Sayyid Muhammad al-Qadhi di Banten mendapat gelar Sunan al-Qadhi (Serang) dan beliau sangat gigih dalam membantu melawan penjajah (Belanda). Oleh Sultan Ageng Tirtayasa bersama Syaikhil Muhammad Yusuf Taj’ul Khalwati setelah dibuang. Sayyid Muhammad al-Qadhi tersebut tahu persis terhadap politik dan kenal watak penjajah. Beliau tetap mengadakan perlawanan terhadap penjajah.

 

Tiga orang yang sangat diperhitungkan oleh penjajah. Beliau tersebut adalah

1.      Sultan Kyai Ageng Tirtayasa

2.      Sayyid Muhammad Yusuf Taj’aul Khalwati

3.      Sayyid Muhammad al-Qadhi

 

Khususnya Sayyid Muhammad  al-Qadhi sulit dipatahkan perjuangannya, perlawanannya menggunakan sistematis atau strategi “bergerilya”, terutama di malam hari menyerang secara serempak, kemudian menghilang secara serempak.

 

Pasukan beliau di mataram Yogja dikenal “Si Peuting”  (pasukan malam), maka ketika terjadi penangkapan pengejaran Belanda terhadap Sayyid Muhammad al-Qadhi tidak mampu, maka walaupun kyai Ageng Tirtayasa dengan kelemahan dan Sayyid Muhammad Yusuf di tangkap. Pergolakan di Banten tidak berhenti, pimpinan Sayyid Muhammad al-Qadhi, bahkan pergolakannya sampai ke pantura dan Sayyid Muhammad al-Qadhi memiliki pasukan laut dan memiliki kapal-kapal tempur. Dan sangat ditakuti kapal-kapal tersebut oleh Belanda juga Bajak Laut.

Ketika beliau di Semarang, semua bajak laut di Pantura tunduk semua dan masuk Islam ditangan Beliau, sehingga masuk menjadi pasukannya. Ketika beliau masuk ke Semarang, pengawal-pengawalnya dan di belakang pasukannya terdiri dari bajak laut – bajak laut yang telah masuk Islam dan menjadi pejuang-pejuang, maka di kenal ketika turun di Semarang di antar oleh ‘buaya’, yang dimaksud adalah bajak laut-bajak laut tersebut. Sehingga dimasa Sayyid Muhammad al-Qadhi turun itu terkenal dengan istilah/julukan “Terboyo”, Kyai Ageng Terboyo. Masyarakat pelaut Semarang terutama nelayan sangat mengagumi kesadaran para bajak laut Islam di tangan Sayyid Muhammad al-Qadhi dan menjadi orang-orang yang sholeh.

Di zaman beliau tinggal di Semarang menjadi kekuatan yang luar biasa atas Mataram sehingga Semarang pada waktu itu tidak mudah terpengaruh provokasi oleh pihak penjajah dan sulit untuk di dudukinya. Begitu pula oleh Inggris dan Portugis. Dakwah Beliau khususnya Jawa, menjadi ajang dakwahnya Beliau.

Karomah beliau banyak sekali dan Beliau dalam meramaikan ekonomi serta penguasaan pelabuhan yang sehingga pada waktu itu ekonomi pada saat itu menjadi makmur.

Beliau sayyid Muhammad al-Qadhi, setiap malamnya tidak terlepas membagi apa yang beliau dapati dari hasil pertaniannya khususnya padi dan jagung. Maka di jaman beliau hidup, di Banten dan Semarang khususnya Pantura jauh dari kelaparan.

 

Anak-anaknya

Beliau mempunyai anak delapan ;

 

Tidak satu pun dari putra putri Sayyid Muhammad Qadhi yang tidak menjadi waliyullah yang sangat alim ‘Allamah dan menjadi para pemuka di zamannya.

Sayyid Muhammad al-Qadhi meninggal pada tahun 1168 H, usia 91 tahun. Di makamkan di Terboyo, Semarang di belakang masjidnya. Walaupun usia beliau mencapai umur 90 tahun, ketuaan umurnya tidak mempengaruhi fisiknya, bagaikan umur 40 tahun, dan kegantengan beliau di zamannya sangat terkenal.

 

Saudara Kakak beradik

Adapun lima lelaki bersaudara beliau ;

Sayyid Abdurrahman bersama Sayyid Abdullah Kanjeng Sunan Panjuman II dan putra Bupati Singaparna bernama Syaikh Janggong Syariddin

Ulama Jogya Raden Tumenggung Widakdo (Kesumo Menggolo), dan Beliau meninggal sebelum pemberangkatan ke Trunojoyo oleh meriam pihak lawan, yang akhirnya bertiga ketempat Trunojoyo untuk menyelamatkan dan memohon tiga putra Sunan Giri Loyo dibebeaskan atas permintaan Ki Ageng Tirtayasa dan melihat tiga pembesar para ulama, maka tiga putera tersebut dibebaskan.

 

 

Beliau masuk ke Yogya tinggal 3 tahun di Yogya pindah ke Karang Anyar, meninggal di Geritan, Pekalongan.

 

 

 

Adapun khususnya keturunan Sayyid Muhammad al-Qadhi, di Jawa hampir 80% rata-rata  menjadi ulama dan Awliya.

Diantara para murid beliau, yang menjadi sultan di jawa, Mangkubumi atau Hamengku Buwono I dan para ulama khususnya di Jawa, dan para habib yang rata-rata menjadi ulama perjuangan di Indonesia.

Murid-murid beliau tersebut di Banten, Caruba, Jawa Timur. Putera beliau ada yang digelari “Muhammad Syarif Hidayatullah”, sayyid Muhammad al-Qadhi Hidayatullah yang tinggal di Giriloyo, Cirebon, meninggal di Gunung Jati.

 

Diantara keturunan Beliau para Ulama dan Awliya-nya ;

1.      Al-Quthb Imam Ali bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya

Beliau adalah seorang lautan ilmu dalam lautan ilmu Tafsir, Hadist, Fiqh. Yang masuk dalam jajaran Ahlil ‘Ifta (Fatwa). Beliau mewarisi ilmu dari ayahnya dan sangat ‘Arifbillah, menduduki pangkat Rijalul Syari’ah (Ksatrianya Syariat) yang tidak mempunya rasa takut kepada siapa pun, terkecuali kepada Allah dan Rasul-Nya.

Beliau dilahirkan di ‘Inat, Hadhramaut, kurang lebih pada tahun 1107 H.

Beliau mengambil ilmu kepada ayahandanya dan kepada para pembesar Awliya-Ulama pada zamannya, seperti ;

1)      Al-Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad,

2)      Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi,

3)      Al-Imam Ahmad bin Umar al-Hinduan,

4)      Al-Habib Abdullah bin Abdurrahman Bil Faqih,

serta dari tokoh ulama saadah dan lainnya. 

Sehingga beliau dari muda ribuan hadist yang dihapal dan sangat mahir dalam ilmu tafsir, serta fiqh-nya. Beliau mulai berdakwah setelah mendapat izin dari para gurunya berdakwah dan mengajar.

Beliau cukup berpengaruh dan disegani. Diwaktu itu perkembangan wahabi sudah mulai berkembang dan dari kaum khawarij garis keras beliau mempertahankan kota ‘Inat dari serbuan kaum tersebut.

Beliau mempertahankan dari beberapa keluarga alawiyyin dan lainnya, beliau dengan gagahnya sulit untuk dikalahkan, yang akhirnya beliau sendiri diserang dari segala penjuru (di keroyok) sehingga beliau menjadi syuhada.

Beliau dimakamkan di ‘inat, dimakamkan di makam syuhada, demikian sejarah yang kita ketahui.

 

2.      Quthb al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya

Gelar Beliau Idha’uddin, seorang ‘Allamah dan Imam Besar dalam ilmu Thariqah, Sejarah dan Tasawuf, hapal beberapa kitab, hadist dan hafizhul Qur’an. Setelah mengambil ilmu kepada orang tuanya dan mengambil ilmu kepada ;

1)      Al-Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad,

2)      Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi,

3)      Al-Imam Ahmad bin Umar al-Hinduan,

4)      Al-Habib Abdullah bin Abdurrahman Bil Faqih,

serta dari tokoh ulama saadah dan lainnya.

 

Beliau kemudian pergi ke Haramain (Mekkah- Madinah), mengambil ilmu kepada seorang Waliyullah dan  Muhadistin as-Sayyid Abdullah bin Salim Bashri, dan mengambil ilmu kepada al-Habib Umar bin Aqil bin Yahya, dan beberapa tokoh-tokoh ulama al-Haramain.

Setelah beliau mendapat ijazah dari para gurunya di dalam mengajar dan berdakwah dan lainnya.

Cukup lama beliau tinggal di India, akhirnya beliau berangkat ke daerah Malaka dan tinggal di Penang. Kemudian beliau masuk ke Palembang terus ke Banten, Cirebon dan Semarang. Ziarah kepada kubur ayahnya serta sanak familinya, adik-adiknya.

Kemudian beliau tinggal di Pekalongan, dan berdakwah di Pekalongan sampai akhir hayatnya.

Beliau menurut Syaikh Thohir, ayah Kyai Abul Fatah Jenggot Pekalongan, Beliau yang menggantikan maqom/kedudukan keawliya’an Syariffuddin al-Maghribi Wonobodro, setelah sekian ratus tahun. Maka orang-orang dahulu seandainya mau berziarah ke Wonobodro, kalau ada halangan maka berziarah ke Sayyid Ahmad Idha’uddin, atau orang yang berziarah ke wonobodro berziarah terlebih dahulu ke Sayyid Ahmad Idha’uddin, Wallahu alam.

Beliau mempunyai dua anak ;

a.      Habib Umar, keduanya merupakan tokoh ulama dan Awliya’, khususnya Sayyid Umar mendapat gelar “Umar Khaththab” karena kekerasannya dan adil serta perilakunya seperti Sayidina Umar bin Khaththab.ra, beliau tidak mempunyai keturunan meninggal di Pekalongan, di makamkan di Nyamplung.

b.      Habib Ali, adiknya sangat terkenal ke-allamahannya, serta kelembutannya. Beliau mempunyai seorang puteri bernama Maryam, Meninggal di Jenggot, di makamkan di Nyamplung dekat orang tuanya.

Beliau dikenal masa hidupnya, ‘Raja’ dari para Ulama dan para Wali.

Beliau wafat tahun 1217 H, pada umur 87 tahun di makamkan di daerah Nyamplungan, Jenggot, Karadenan, Pekalongan.

 

3.      Quthb al-Imam Abdurrahman bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya

Beliau dilahirkan di “inat, Hadhramaut pada tahun 1109 H. Beliau adalah seseorang yang sangat ‘Allamah diantara para Imam (‘Aimah) mahir di dalam ilmu Tafsir dan Fiqih-nya dalam madzhab empat, yang masyhur di zamannya.

Beliau adalah seorang pembesar dari para Wali di zamannya.

Beliau mengambil ilmu dari para awliya seperti ;

1)      Al-Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad,

2)      Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi,

3)      Al-Imam Ahmad bin Umar al-Hinduan,

4)      Al-Habib Abdullah bin Abdurrahman Bil Faqih,

serta dari tokoh ulama saadah dan lainnya.

Beliau keliling ke negeri-negeri ilmu, diantaranya al-Haramain, ke Mesir, Yaman, Zabid dan masuk ke Syam kemudian ke Maghribi lalu ke Baitul Muqaddas. Di samping beliau mencari ilmu tidak terlepas dengan dakwahnya.

Beliau bersama adiknya Sayyid Alwy setelah mendapat izin dalam belajar, berdakwah dan mengajarkan Thariqah, Ijazah Khas & ‘Am. Beliau mulai ke Haramain dan juga mengambil dari beberapa ulama-ulama Haramain dan mendapat ijazah yang sama.

Setelah berziarah kepada Baginda Nabi Rasul SAW, terus beliau pulang ke Hadhramaut. Ziarah kepada ibunya dan guru-gurunya, kemudian beliau ke India beserta al-Habib Alwy adiknya.

Di satu sisi beliau seorang ulama yang besar juga negarawan. Ketika di India beliau namanya sangat disegani dan dihormati tidak hanya oleh orang muslim saja, tetapi orang-orang non muslim pun ikut menghormati dan menghargainya. Dengan melalui dunia perdagangan untuk pertama menjadikan hubungan cepat mengenal kepada lingkungan. Kedua pembekalan dalam dakwah dan juga menjadi sarana dalam menjalani misinya.

Dari India, beliau masuk ke Trenggano, Malaysia bertemu dengan pembesar Waliyullah di Trenggano, Sayyid Yasin bin Ahmad bin Aqil bin Yahya, salah satu murid unggulan Imam Abdullah bin Alwy al-Haddad yang berada di Trenggano, Malaysia.

Sayyid Abdurrahman sangat gigih berdakwah di Trenggano, yang dicintai dan disegani oleh para Sultan, Adipati dan rakyatnya. Beliau melanjutkan perjalanannya ke Penang, Palembang, terus ke Gresik.

Tinggal beberapa waktu dan beliau melanjutkan perjalanan lagi ke Semarang setelah ziarah ke kubur ayahnya. Terus tinggal di Banten sementara waktu dan menetap di Cirebon. Adiknya Habib Alwy tinggal di Palimanan.

Habib Alwy sangat masyhur atas maqam ketinggian ke ‘Awliya-annya serta banyak karomahnya, sehingga kampung dimana beliau tinggal di Palimanan disebut Kampung Keramat.

Habib Abdurrahman akhir hayatnya di Cirebon, di kenal juga sebagai Sunan Qadhi (Jaksa), namun beliau tidak lama mengundurkan diri dari Qadhi secara formal. Karena beda pendapat dengan para pembesar yang mau ditekan oleh kepentingan penjajah, di samping beliau ulama besar yang negarawan dan ahli strategi, juga seorang ahli ekonom yang mahir.

Hampir keluarga anak-anaknya Sayyid Muhammad al-Qadhi, hampir semuanya di samping ulama-ulama yang besar juga negarawan ahli militer, strategi serta ahli ekonomi juga dunia pertanian.

Setiap 2 tahun atau setahun sekali, sering pulang menjenguk kedua orang tuanya, ketika orang tuanya di Jawa, sering sekali bolak balik ke Jawa. Namun ketika itu statusnya dalam studi masih melanjutkan, tidak berarti para beliau puluhan tahun dalam studi dan berdakwah tidak menjenguk orang tuanya. Para beliau sangat perhatian dan diperlukan untuk menjenguk kedua orangtuanya, walaupun menghadapi kesibukan seperti apapun.

Sangat ta’at kepada orang tua dan gurunya.

Ada yang mengatakan al-Habib Abdurrahman meninggal di Banten, ada juga yang mengatakan di Semarang. Wallahu’alam

Atsar (peninggalan) al-Habib Abdurrahman banyak sekali bekas perjuangannya.

 

4.      Quthb al-Habib Alwy bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya

Dimakamkan di Palimanan, Cirebon. Tempat tersebut disebut blok keramat, sedikit jauh dari Palimanan. Makam tersebut berkubah, dan makamnya dibangun dari kayu. (kijingan).

Makam tersebut banyak yang ziarahi,

5.      Al-Quthb al-Imam Umar (Sunan Nyamplungan)

di Surabaya wafat, di makamkan di kaki Kanjeng Sunan Ampel, wa kila di Pekalongan. Yang jelas banyak di Ampel.

6.      Al-Quthb al-Imam Abdullah, di Semarang

Dimakamkan di Terboyo, wa kila meninggal di ‘Inat. Perjuangan beliau diteruskan oleh puteranya yang lahir abahnya sudah tiada; diberi naman al-Habib Abdullah bin Abdullah bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya.

Beliau yang meneruskan perjuangan di jawa, Cirebon, yang sebelumnya banyak berkiprah  di Jateng dalam membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.

Adapun

7.      Al-Quthb Aqthab al-Imam Thoha, semua diatas dilahirkan di ‘Inat-Hadhramaut, sedangkan yang lahir di Semarang-Jawa.

8.      Al-Imam Muhammad atau Kyai Agung/Tuan Haji Agung Semarang, Kyai Muhammad Qadhi Syarif Hidayatullah,

Beliau dilahirkan di Semarang, 3 bulan setelah wafat oleh ayahnya ketika masih di kandungan.

Beliau mengambil ilmu oleh kakak-kakaknya, seorang yang paling allamah khususnya diantara putera-puteri al-Habib Muhammad al-Qadhi, yang bernama Sayyidinal Imam Thaha bin Muhammad bin Yahya.

Setelah mengambil ilmu dari kakak-kakaknya, beliau juga mengambil ilmu dari ulama di Jawa. Lalu berangkat ke Haramain, hadhramaut, masir untuk menambah dan tabaruk kepada ulama di zaman itu.

Karena beliau berangkat sudah menjadi seorang yang allamah, beliau setelah mendapatkan ijazah serta izin dalam ilmu dalam mengajar, berdakwah, dan Thariqah, sehingga menjadi Mursyid. Beliau pulang ke Jateng, pernH TINGGAl di Banten dan Cirebon. Dimana tapak tilas ayahanda dan kakaknya untuk beberapa tahun, yang akhirnya beliau menetap diYogja, sebelumnya di Semarang.

Beliau bukan saja orang yang mahir dalam ilmu agama saja, tapi mahir dalam ilmu pengetahuan umum yang ada  dalam ilmu agama khususnya, dan orang yang mahir dalam ilmu strategi dan pertahanan ketahanan nasional, maka beliau tinggal di Yogya di Gunung Giri Laya, yang sebelumnya tempat tersebut, merupakan tempat riyadhoh/tirakat Kanjeng Sultan Agung dan Panembahan Giri Loyo yang berasal dari Cirebon.

Beliau di yogya sangat diperlukan secara nasehat dan aftwanya olej para sultan. Cara dakwah beliau banyak menitikberatkan kesehatan umat. Maka beliau banyak sekali membuat obat-obatan ramuan untuk umat. Dan juga beliau seorang Senopati, ksatria yang sangat tangguh. Beliau diberi gelar “Sayyid Muhammad Syarif Hidayatullah”. Yang menduduki ke-awliyaan Kanjeng Sunan Gunung Jati di zaman sayyid Muhammad tersebut. GIri Loyo di zaman itu, pesantren dan masjidnya banyak dikunjungi para ulama para awliya dan para pembesar kerajaan atau kesultanan, untuk mendapatkan petunjuk atau fatwa.

Beliau wafat di Giri Loyo dan dimakamkan disana. Beliau anaknya satu, Sayyid Ali yang juga mendapat gelar “Tuan Haji Agung”. Anaknya puteri (Fathimah/Maryam) yang menikah dengan as-Sayyid Husain al-Musawa, Semarang.

 

9.      Syarifah Fathimah Junaidiyyah, wafat di Brebes, Randu Songo,

Beliau dilahirkan di Semarang,