Teladan al-Mawardi untuk Pemuka Agama

Bagi para pelajar dan kiai, nama Imam al-Mawardi (364-450H) tak asing lagi, ulama multi talenta (mutafanin) ini dikenal terutama karena kitabnya yang berjudul al-ahkam sulthaniyah (ilmu tata Negara Islam), Hawi Kabir (belasan jilid kitab yang mengulas fiqih), kitab Adab Dunia wa Din, serta kitab lainnya. Menurut para ulama Imam Mawardi adalah mujtahid madzhab dengan predikat ashab al-wujuh, diatas level pangkat kemujatahidan Imam Nawawi dan Imam Rafii, keduanya adalah mujtahid mdzhab dengan predikat mujtahid tarjih. Agak sulit mendekatkan logika masyarakat saat ini untuk memahami kapasitas intelektual yang bernama lengkap Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ini, secara sederhana jika al-Mawardi hidup pada zaman ini, maka gelar Dr. atau kursi ke professor-an tidak memadai untuk menggabarkan kapasitasnya, perlu beberapa gelar doctor barangkali.

Tapi siapa nyana tokoh sekaliber itu tidak mampu menjawab pertanyaan orang pedesaan, yang barang tentu persoalannya tidak serumit orang kota yang biasa dijumpai di kota metro politan; Bashrah tempat al-Mawardi mendedikasikan ilmunya. Dan al-Mawardi mengaku tidak bisa menjawab pertanyaan dari kedua orang desa yang bertanya kepadanya itu, seperti digambarkan dalam teks berikut:

وكان (الامام علي بن محمد بن حبيب الماوردي البصري الشافيعي)  متواضعا حين استفتاه أعرابيان في بيع عقداه فى البادية على شروط خاصة, فلم يعرف لسؤالهما جواب. فانصرفا الى رجل أقل علما من بعض تلاميذ الماوردي, فافتاهما بما اراد مسرعا, ولم تمر الحادثة دون أن يستخرج منها العبرة, والموعظة.

“Imam Mawardi adalah ulama yang rendah hati, suatu ketika beliau ditanya oleh kedua orang desa tentang transaksi jual beli dipelosok kampung dengan criteria yang ‘unik’. Al-Mawarni tidak bisa menjawab. Lalu kedua orang desa itu bertanya pada orang yang lain, orang tersebut tak lebih pandai jika dibandingkan murid-murid al-Mawardi, orang itu menjawab pertanyaan kedua orang tersebut dengan entengnya”.

Kisah ini menunjukan bahwa orang yang dengan mudah menjawab setiap pertanyaan, tak melewatkan satu pertanyaanpun sama sekali tidak menunjukan bahwa orang itu alim. Tak jarang dalam banyak kasus, bahkan menunjukan sempitnya pemahaman orang tersebut, karena tidak mampu melihat kompleksitas dari setiap masalah yang ditanyakan. Maka, seperti yang dicontohkan ulama mujtahid sekaliber al-Mawardi, tak ada salahnya kita menjawab, ‘tidak tahu’.

Maualan Habib Lutfi juga mempunyai cara sendiri menjawab pertanyaan. Beliau tidak suka menjawab pertanyaan dimuka umum, dengan pengeras suara, beliau meminta si penanya maju ke hadapannya dan menjawabnya secara berhadap-hadapan. Menurut beliau, permasalahan setiap orang akan berbeda manakala ditanyakan oleh orang lain. Beliau hawatir jawabannya akan disalah pahami. Seperti saat Rasulullah menjawab pertanyaan; bolehkah bermesraan dengan istri saat melaksanakan ibadah puasa, saat yang bertanya anak muda Rasul menjawab tidak boleh, sedangkan ketika yang bertanya orang yang berusia lanjut, Rasul menjawab boleh. Terkadang, dalam hati penulis (admin) menyayangkan jawaban sebaik itu hanya didengar oleh si penanya seorang, tidak diketahui oleh jamaah yang lain. Ini karena hati beliau ikhlas. Semoga menjadi pelajaran.