14. Larangan Bagi Yang Batal Wudhu dan Junub

(فصل ) من انتقض وضوؤه حرم عليه أربعه أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله.

Larangan Bagi Orang yang Batal Wudhu, Junub, Haid

Man Intaqodho wudhuu-uhu Haruma ‘Alaihi ‘Arba’atu Asyyaaa

: Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu .

Orang yang batal wudhunya haram atasnya 4 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya .

ويحرم على الجنب ستة أشياء: الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن.

Wayahrumu ‘Alal Junubi Sittatu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani .

Dan haram atas orang  yang  junub 6 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh Al-Quran , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca Al Qur-an dengan maksud baca Al Qur-an

ويحرم بالحيض عشرة أشياء : الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في المسجد وقراءة القرآن والصوم والطلاق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه والاستمتاع بما بين السرة والركبة.

Wayahrumu Bilhaidhi ‘Asyarotu Asyyaa-a : Ash-Sholaatu , Wath-Thowaafu , Wamassul Mush-hafi , Wahamluhu , Wallubtsu Fil Masjidi , Waqirooatul Qur-aani Biqoshdil Qur-aani , Wash-Shoumu , Wath-Tholaaqu , Walmuruuru Fil Masjidi In Khoofat Talwiitsahu , Wal Istimnaa’u Bimaa Bainassurroti Warrukbati

Dan haram dengan sebab haid 10 perkara : Sholat , dan Thowaf , dan menyentuh AlQur-an , dan membawanya , dan berdiam diri di Masjid , dan membaca AlQur-an dengan qoshod Qur-an , dan puasa , dan talak , dan berjalan di dalam Masjid jika ia takut menyamarkannya , dan bersedap-sedap dengan sesuatu yang antara pusat dan lutut

Larangan Bagi Yang Tidak Berwudhu

Dilarang bagi yang tidak ada wudhu melakukan empat perkara:

1. Shalat

Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah, sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)

2. Thawaf

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)

3. Menyentuh Al-Qur’an dan 

4. membawa Al-Qur'an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci

 Allah berfirman:  “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77)

Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an.

Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya, sesuai dengan hadist Rasulallah saw dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw., “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)

Larangan Bagi Orang Junub

1. Shalat

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)

2. Thawaf

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Dar quthni)

3. Menyentuh Al-Qur’an, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci.

 Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (alWaqi’ah:77) 

4. Membawa Al-Qur’an. Hal ini dikiyaskan dari menyentuh al-Qur’an

5. Membaca Al-Qur’an

Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulallah saw bersabda “Janganlah orang junub dan wanita haid membaca sesuatu pun dari Al Qur’an (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Baihaqi).

Hadist lainya yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib ra sesungguhnya Rasulallah saw membuang hajatnya kemudian membaca al-Qur’an dan tidak menghalanginya dari pembacaan al-Quran, kemungkinan ia berkata: Bahwasanya menghalangi suatu dari membaca al-Qur’an selain junub (HR Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasai’, hadist hasan shahih)

6. Duduk di Masjid

Allah berfirfman “janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja” an-Nisa’ 43

Larangan Bagi Haid Dan Nifas

Diharam Bagi Wanita Haidh Dan Nifas melakukan:

1. Shalat.

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Jika datang haid maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah pergi maka mandilah dan lakukanlah shalat” (HR Bukhari Muslim).

2. Puasa.

Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih menguasai manusia dari wanita.”.  Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah kekurangan pada agama” (HR Bukhari Muslim).

3. Thawaf

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan haid): “Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari Muslim).

4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan membaca al-Qur’an.

Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-Waqiah 79

Membaca quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih. Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl, takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.

5. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci, “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” alWaqi’ah:77

6. Berdiam (I’tikaf) di masjid.

Rasulallah saw bersabda “Tidak halal masjid bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haid” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Qathan)

7- Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan mengotori masjid tersebut. 

adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja. Hal itu telah ditetapkan Allah SWT di dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.... (QS An-Nisa: 43)

Para ulama mengatakan bahwa makna jangan mendekati shalat adalah mendekati tempat shalat, yaitu masjid. Ayat ini bukan hanya melarang orang yang junub untuk shalat, tetapi menjadi dalil haramnya orang junub masuk ke masjid. Lalu wanita yang haidh diqiyas seperti orang yang junub, sehingga wanita haidh tidak boleh masuk masjid juga.

Di samping itu ada sabda Rasulullah SAW berikut ini.

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh." (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)

8- Cerai, karena itu, dilarang suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh. 

Diharamkan bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya dalam keadaan haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya… .” (At Thalaq : 1)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya membawakan ucapan Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala : “Fathalliquuhunna li ‘iddatihinna”.

“Ibnu Abbas menafsirkan : ((Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya)).” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Ibnu Katsir rahimahullah selanjutnya mengatakan : “Dari sini fuqaha (para ahli fikih) mengambil hukum-hukum talak. Mereka membagi talak itu kepada talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunnah adalah seseorang mentalak istrinya dalam keadaan suci dan belum disetubuhi (ketika suci tersebut) atau dalam keadaan istrinya telah dipastikan hamil. Sedangkan talak bid’ah adalah seseorang mentalak istrinya ketika sedang haid atau ketika suci namun telah disetubuhi, sehingga tidak diketahui apakah si istri hamil dengan sebab hubungan badan tersebut atau tidak hamil… .” (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)

Apabila si istri dicerai dalam hari haidnya maka ia tidak dapat segera menghitung masa ‘iddah-nya karena haid yang sedang ia alami tidak terhitung sebagai ‘iddah. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga quru’ (tiga kali haid atau tiga kali suci).

Allah SWT berfirman :

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’… .” (Al Baqarah : 228)

Demikian pula apabila ia dicerai dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi, maka ia juga tidak dapat menghitung ‘iddah-nya secara pasti karena belum diketahui apakah ia hamil dari hubungan itu hingga ia harus ber-’iddah dengan kehamilannya ataukah ia tidak hamil hingga ia dapat ber-’iddah dengan hitungan masa haidnya. Karena ada perbedaan antara ‘iddah-nya wanita yang hamil dengan wanita yang tidak hamil. ‘Iddah wanita yang hamil disebutkan dalam firman Allah Ta’ala :

“Dan wanita-wanita yang hamil masa ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath Thalaq : 4)

Dengan demikian apabila tidak terdapat keyakinan kapan masa ‘iddah dapat dihitung maka diharamkan menjatuhkan talak kecuali setelah jelas perkaranya.

Apabila seorang suami menceraikan istrinya yang sedang haid, maka si suami berdosa. Ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ia kembalikan si istri dalam perlindungannya (rujuk) untuk ia ceraikan dengan cerai yang syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Setelah ia rujuk, ia biarkan istrinya sampai bersih dari haid tersebut (suci), kemudian ia tahan lagi (jangan dijatuhkan talak) sampai datang haid berikutnya lalu suci. Setelah itu, ia bisa memilih antara menceraikan atau tidak. Namun bila ia ingin menceraikan, maka tidak boleh ia gauli istri tersebut dalam masa sucinya itu (yakni dicerai sebelum digauli).

Dalil dari penjelasan di atas disebutkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya dengan sanad yang beliau bawakan sampai kepada Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda :

“Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).” (HR. Bukhari nomor 5251 dan Muslim nomor 1, 2 Kitab Ath Thalaq)

Dalam riwayat Muslim disebutkan : “Perintahkanlah dia agar merujuk istrinya, kemudian hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau (dipastikan) hamil.”

9. Bersetubuh

Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” al-Baqarah 222

10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).

Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau bersabda: “Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-apa yang diatas kain (di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi)

Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid

Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi Saw yang mengharamkannya.[i] Imam Dawud Azh-Zhahirimembolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid.[ii] Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:

 

Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” [HR. Abu Dawud].[iii]

 

Yang dimaksud berdiam (al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.[iv]

[i] Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 17.

[ii] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92.

[iii] Hadits ini shahih menurut Ibn Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits inihasan, Kifayatul Akhyar, I/80.

[iv] Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80.

 

Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid.[i] Dalilnya, Nabi Saw pernah memerintah A’isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu A’isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” [HR. Muslim][ii] Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata, “Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” [HR. an-Nasâ’i).[iii]

 

Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid. Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut.[iv] Dalam Syarah al-Bajuri (jld. I, hal. 115), dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.[v]

 

Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi Saw hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secarasharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas.

 

Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid. Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh: Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlâqihi mâ lam yarid dalîl at-taqyîd [Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).[vi]

 

Batasan Masjid

Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan sholat jama’ah bagi orang umum.[vii]

 

Yang dimaksud sholat jama’ah, terutama adalah sholat jama’ah lima waktu dan sholat Jum’at. Namun termasuk juga sholat jama’ah sunnah seperti sholat Tarawih dan sholat Idul Fitri atau Idul Adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjama’ah lima waktu tetapi tidak digunakan sholat Jum’at, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami’, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai sholat Jum’at. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan sholat berjama’ah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk sholat jama’ah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk sholat secara sendiri, bukan untuk sholat jama’ah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.

 

Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk sholat (mawadhi’ ash-sholat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud).[viii]

 

Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi’ ash-sholat(tempat-tempat sholat).[ix]

 

Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Jika digunakan sholat jama’ah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk sholat jama’ah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan sholat jama’ah, tidak dinamakan masjid, meskipun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.

 

Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan sholat jama’ah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai sholat jama’ah, atau lebih sering tidak dipakai untuk sholat jama’ah. Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.

Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) —bukanMuzara’ah (akad bagi hasil pertanian) — di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi Saw sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum [HR. Bukhari].[x] Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalahMusaqah, bukan Muzara’ah.

 

Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai sholat dan kadang tidak dipakai sholat jama’ah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai sholat jama’ah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam [M. Shiddiq al-Jawi]

 

Catatan:

1 wasaq = 130,560 kg gandum[xi]

 

[i] Lihat Imam as-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hal. 241, dan “Bab al-Haidh”, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14.

[ii] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44.

[iii] Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77.

[iv] Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78.

[v] KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah: Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51

[vi] Lihat Prof. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208; Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164.

[vii] Lihat Prof. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasith, hal. 416.

[viii] Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152.

[ix] Ibid.

[x] Lihat Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 319.

[xi] Lihat Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 63; Syaikh Abdurahman al-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 92.