Syaikh Muhammad Nafis Al Banjari

Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhidnya, Junaidi jalan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. 

Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, ia lahir sekitar tahun 1148 H.11735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ia dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.

Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. 

Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

Tidak ada catatan tahun yang pasti kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci Makkah sejak usia dini dan sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian diketahui ia belajar dan menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” (….. dia yang menulis risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di Banjar dan hidup di Makkah).

Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Syaikh Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Syaikh Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya.

Kesimpulannya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari besar kemungkinan mereka belajar bersama pada satu masa atau masa yang Iain. Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) abad ke 17 dan ke 18, ia belajar dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama yang terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid dan tasauf.

Di antara guru-gurunya yang tercatat dalam bidang ilmu tasauf di Haramain adalah:

Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari.

Syeikh Shiddiq bin Umar Khan.

Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Madani.

Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.

Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jawhari.

Syeikh Yusuf Abu Dzarrah al-Mishri.

Syeikh Abdullah bin Syeikh Ibrahim al-Mirghani

Syeikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammad ar-Ra’is az-Zamzami al-Makki.

Karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis akhirnya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.

Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman ia hanya sempat mengarang sedikit kitab. Yang sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu:

Kanzus Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasauf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.

Ad-Durrun Nafis. Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan.

Kitab ad-Durrun Nafis yang pada mulanya dikarang hanya untuk memenuhi permintaan kawan-kawan, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Menurut seorang yang kasyaf mengatakan bahwa kitab ad-Durrun Nafis berisi bagian dari ilmu para wali Allah, barangsiapa mempelajarinya, maka ia akan dicatat oleh para wali sebagai bagian dari mereka. Ini merupakan salah satu karamah dari penyusunnya yaitu Syeikh Muhammad Nafis.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, seperti kebanyakan ulama Melayu-Indonesia lainnya, mengikut Madzhab Syafi’i pada bidang fikih dan Asy’ariyyah pada ilmu tauhid ia juga menggabungkan diri dengan Tarekat Qadiriyyah, Syattariyyah, Samaniyyah, Naqsyabandyyah dan Khalwatiyyah.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan.

karena keluasan  dan ketinggian ilmu beliau serta kegigihannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar 'MAULANA AL-ALLAMAH AL-FAHHAMAH AL-MURSYID ILAA THARIQ AL-SALAMAH AS-SYEKH  MUHAMMAD NAFIS  IBN IDRIS IBN HUEIN AL-BANJARI 

 (Tuan Guru yang sangat alim yang menunjukkan kejalan keselamatan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari)

Berbeda dengan syekh Muhammad Arsyad yang sepulang dari Makkah terus mengembangkan ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat Desa Dalam Pagar dan banyak mempunyai kesempatan menulis sejumlah kitab,Datu Nafis atau Syekh Muhammad Nafis ini berkelana dari suatu daerah kedaerah lainnya sehingga beliau hanya sempat mengarang satu buah kitab yaitu Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) kitab Ad durrun Nafis tersebut pada ,mulanya dikarang beliau karena permintaan dari teman temannya namun akhirnya banyak diminati dan tersebar keseluruh dunia dan membuat nama beliau menjadi harum,kitab Ad-Durun Nafis tersebut tidak saja dicetak atau diterbitkan didalam negeri,tetapi juga dicetak diluar negeri seperti ditemukan menurut urutan tahun adalah:

1.Terbitan thn 1313 H oleh Mathba'ah Al-Karimul Islamiah di Mekkah

2.Terbitan thn 1323 H oleh Mathba'ah Al-Miriah di Mekkah yang terbuat sebagai hamisy (tepi) Kitab Hidayatus Salikin Karya Syekh Abdus Shamad Al-Palembani

3.Terbitan thn1343 H oleh percetakan Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladihi

4.Terbitan thn 1347 H oleh Darut Thaba'ah Al-Mishriyah Mesir

5.Terbitan Kedai Sulaiman Mar'i,Bashrah Sreet Singapore tanpa tahun

6 Terbitan Maktabah Sulaiman Mar'i wa Syirkahu Surabaya indonesia tanpa tahun

7.Terbitan Maktabah As-Saqafah tanpa tahun

8.Terbitan Maktabah Haramain Singapore tanpa tahun

9.Terbitan Ahmad Sa'ad bin Nabhan Surabaya tanpa tahun

10.Terbitan Maktabah salim Nabhan Surabaya tanpa tahun

Kitab yang berbahasa melayu ini merupakan kitab kecil dan tipis tetapi isinya sangat padat yaitu berisi ajaran Tauhid yang tinggi yang menjelaskan tentang ke ESA an ALLAH dari segi ZAT,SIFAT ASMA dan AF'AL tujuannya untuk melepaskan segala macam penyakit hati,tetapi kitab ini tidak bisa dipelajari oleh sembarangan orang,kecuali orang yang sudah mantap fiqih,tauhid dan ma'rifatnya,untuk menulis kitab ini Datu Nafis disamping menggunakan bahan yang diperolehnya dari guru guru beliau juga menggunakan literatur sebagai pengambilan antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:

1.Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli Syarah Dalailul Khairat

2.Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi Al-Mishri Syarah Wirdu Syahrin

3.Abdul Wahab Asy-Sya'rani Al-Jawahir wad Durar

4.Muhibbudin ibnu Arabi Futuhal Makiyyah Fushushul Hikam

5.Abdul ghani An-Nabulusi Syarah Jawahirun Nushushu fi Halli Kalimatil fushush

6.Ibnu ' Athaillah al-Iskandari Al-Hikam

7.Ibnu Raslan Syarah Hikam

8.Ibnu 'Abbad Syarah Hikam

9.Abdul Karim Al-Jili' Insanul kamil

10.Siddiq Ibnu 'Umar Syarah Qashidah 'ainiyyah

11.Sayyid Musthfa Ibnu Qamaruddin Al-Bakri Wirdi Syahrin

12.Syekh Muhammad bin Abdul karim As-samani Al-manhah Al-Muhammadiyah,Iqhatsatul Lahfan,'Anwanul jaluwwah fii Sya'nil Khalwah

13.Abu Hamid Al-Ghazali Ihya 'Ulumid Din ,Minhajul Abidin

14.abdullah bin Ibarahim Mirghani Mukhlish Mukhtasar Tuhfah al Mursalah

15.Abdul karim Al-Qusyairi Risalah Qusayriah

Dalam kitab tersebut beliau menyatakan bahwa beliau pengikut Mazhab Syafi'i dalam Fiqih,Imam Asy'ari dalam hal Tauhid ,Imam Junaidi dalam Tasawuf,Qadiriyah Tarekatnya ,syattariyah pakaiannya,naqsabandiyah amalannya,Khalwatiyah makanannya dan Sammaniyah minumannya.

salah satu karamah dari Datu syekh Muhammad nafis Al-Banjari,selain itu kubur beliau pernah berpindah dengan sendirinya empat kali dari Kotabaru,Pelaihari lalu Martapura dan terakhir diKelua  dan inilah yang sering di ziarahi orang sampai sekarang.... tepatnya di Mahar Kuning Desa Binturu Kecamatan Kelua Kabupaten Tabalong Tanjung,beliau wafat sekitar tahun 1200 H atau 1780 M...

Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di pihak lain ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam huruf latin kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki serta diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari

Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.

Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.

Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.

Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.

Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.

Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam menilai permasalahan mengenai keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis.

Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut.

Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalah Wahdatul Wujud yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.

Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam memahami ilmu tasawuf ketika itu ––bahkan sekarangpun di beberapa daerah negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara lisan serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun walaupun menjadi rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai daerah, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang, berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan isu bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram hukumnya.

Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung (Datu Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Ma’rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).

Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa keberadaan atau sejarah hidup dan perjuangan, karya tulis dan corak pemikiran, pengaruh dan penyebarluasan ajaran tasawuf dari Syekh Muhammad Nafis dan kitabnya Al-Durr al-Nafis urgen untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Wallahua’lam.

Islamisasi di Kalimantan

Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Daya Spiritual dan Kewajiban Syari’at

Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/1928) dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.

Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.

Kitab itu membicarakan sufisme dan tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.

Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.

Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan Muhammad Nafis al-Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.

Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.