NU dan Negara Islam

Oleh Alm  KH. Abdurrahman Wahid

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: Apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan  oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya  mengenai NI. Ini juga berarti, keinginn tahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita  jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata  lain, masalah pendapat NU sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan  sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum  bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan  tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses  berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah  keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki  seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh  gagasan NI. Dalam sebuah tesis MA -yang dibuatnya beberapa  tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul,yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal  Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab  sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahtsul al-masa’il (pembahasan masalah).

 

Salah sebuah masalah yang diajukan  kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi  kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan  Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita  waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang  non-muslim?   Muktamar yang dihadiri oleh ribuan  orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya  secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab  pertama, karena kaum muslimin merdeka dan  bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah dan  Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan  dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul  “Bughyah al-Mustarsyidin“. Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn  Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh)  memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti  pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia  Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga  tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi  efektif (syaukah).

 

Konsep ini, yaitu adanya  pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur’an dengan Firman Allah; “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan  kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan  pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka,  seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian(erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan,an janganlah terbelah-belah/saling bertentangan” (wa’tashimu bi habli Allahi jami’an wa la tafarraqu).

 

 

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam -menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang  jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Disini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi  Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat  kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak  organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini  disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di  antara para warga negara, di samping kenyataan  ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak  dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran  formal yang baku tentang negara, yang jelas ada  adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari’ah Islam.

 

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku- sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan  Islam “sebagai” agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian,Islam tidak harus mendirikan negara agama,melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. demikian pula, Firman Allah;“Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan” (Udkhulu fi al-silmi kaffah).Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga,sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu  ungkapan Kitab Suci; “Orang yang tidak  “mengeluarkan” fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain  dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-” (Wa man lam yahkum bima anzala  Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak  ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan  NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada  adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat  memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at, juga tidak karena undang-undang  negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari’at Islam.

 

Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari’ah Islam, tidak lagi  memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama,seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah  setelah Nabi Muhammad SAW wafat.Inilah yang membuat mengapa NU tidak  memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan  (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu  dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang  sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat  yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama  secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat  saja? Orang “berakal sehat” tentu akan  berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau  memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan  tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua  warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

 

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn  Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang  berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu  mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan  sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh bangsa yang  berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan  ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga  dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang  secara de facto melarang orang bermadzhab lain.

 

Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU  bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu  saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena  sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab  non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan  kata lain, pertentangan pendapat antara  “pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto  demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain  itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang  menimbulkan sikap yang sama pada “pihak seberang”. Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak  mau mengalah itu membuat gagasan membentuk  NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah  utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat  meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin  nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu.

 

Jadi  gagasan yanag semula tampak indah itu, pada  akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam- macam sikap para warga negara, yang hanya  sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan  sejarah. Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita,maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian  pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di

negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan  pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin

kita saksikan kembali dalam sejarah modern  bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan?

Ketika berada di Makasar dalam minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio kawasan tersebut, yang di relai oleh studio-studio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam (NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar yang dinyatakan meninggal dalam paruh kedua tahun-tahun 50-an, ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang NI seperti Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orang-orang yang berpikiran seperti itu.

Dalam dialog interaktif tang terjadi setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka di muka umum tentang gagasan tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus dipikirkan, seperti pengaruh dari berbagai kawasan dunia Islam yang juga di dasarkan pada kadar pengetahuan agama yang rendah.

Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar melihat tantangan modernisasi terhadap lembaga/institusi ke-Islam-an, membuat mereka melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu ditekankan pada aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum muslimin. Pihak-pihak lain yang non-Muslim juga mengalami pendangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/ kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya kekhawatiran demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan mereka. Cara hidup, membaca Al-Qur'an dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk "seni Islam" dan lain-lainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri kaum Muslimin.

Salah sebuah pertanyaan dalam dialog interaktif itu adalah kutipan Al-Qur'an "Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir " (Wa Man lam Yahkum Bima Anzala Allah Fa-hula Ika Hum al-Kafirun). Lalu bagaimana mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawabnya, karena ada masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar melaksanakan hukum Allah, maka negara dapat saja ditinggalkan. Untuk memelihara prularitas bangsa, tidak ada kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam dalam soal wajib adanya gagasan mendirikan NI.

Netralitas ini sangat penting untuk di junjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah negara kesatuan Republik Indonesia dapat didirikan. Dengan gagasan mendirikan NI, maka pihak minoritas -baik minoritas agama maupun minoritas lain-lainnya-,  tidak mau berada dalam sebuah negara dan menjadi bagian dari negara tersebut. Dengan demikian, yang dinamakan Republik Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan, karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi. Bengkulu., Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku yang lain-lainnya, berada di luar susunan kenegaraan, karena berdasarkan agama seperti itu.

Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam dalam panitia persiapan kemerdekaan Indonesia untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad, yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang sangat mendasar: pernyataan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum Muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama Jawa -Timoer (MBODT) di Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacam-macam untuk mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara kependudukan Belanda di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.

*****

Perkembangan sejarah setelah itu menunjukakan bahwa agama Islam tidak berkurang peranannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjatan terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.

Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah terbesar kaum Muslimin. Ini berbeda dari bangsa-bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat besar kaum "Muslimin statistik" atau lebih di kenal dengan sebutan "Muslim abangan". Walaupun demikian, kaum muslim yang taat beragama dengan nama "kaum santri" masih merupakan minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.

Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci Al-Qur'an yang di sebutkan diatas?  Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orang-orang non-Muslim. Sebuah diktum mengemukakan, "Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka" (Man sabaha bi Qoimin fahuwa min Hum). Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.

Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum Muslim menegakkan ajaran-ajaran agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. Ini adalah sebuah disiplin intern yang patut di kagumi, mudah kedengarannya tetapi sulit dilaksanakan bukan?

Jakarta, 24 Maret 2003

*Penulis adalah Mustasyar PBNU