Perbedaan itu indah

Ada kebiasaan menarik yang bisa dipetik dari Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya Pekalongan. Setiap kali Ramadhan datang menjelang, Beliau segera mengubah total jadwal kegiatannya. Waktu yang sebulan penuh itu, khusus dimanfaatkannya untuk beribadah secara total. Waktu tidurpun juga dibatasi, hanya sekitar dua hingga tiga jam sehari.Selebihnya hanya dipergunakan untuk mentadarus Al Quran, sholat, berdzikir  dan berdoa, mengajar santri Ramadhan yang datang dari berbagai daerah serta kegitan ibadah lainnya. Maka jangan heran kalau beliau mampu mengkhatamkan Al Quran dalam waktu sehari semalam.

Itulah pasalnya, setiap kali ada undangan ceramah ke luar kota, tak pernah dihadirinya. Padahal pada bulan-bulan diluar Ramadhan, hal itu kerap sekali dilakukannya. “Dengan menigkatkan ibadah dibulan Ramadhan, akan mencegah hawa nafsu dan membersihkan diri dari dosa-dosa, “ terangnya singkat.

Kalau ditinjau dari sisi kesehatan saja, katanya, puasa itu sebagai proses pembersihan tubuh. Diibarat kannya, tubuh manusia itu bagai sebuah bejana yang tak pernah dicuci. Padahal selama sebelas bulan dipergunakan untuk memasak aneka makanan. Karena tak pernah dibersihkan,

Tentu pencernaan kita tak dapat melakukkan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik.  Padahal darah inilah yang bertugas memasok makanan keotak. “ Jika hanya diberi obat pencuci perut saja, tentu tak akan sampai kedasar pencernaan tempat berkumpulnya virus dan kotoran,” jelasnya. “ Jadi, hanya puasalah yang menjangkaunya, “tandasnya.

Habib Luthfi demikian beliau lebih karap dikenal, dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senen tanggal 27 Rajab 1367 H., bertepatan dengan tanggal 10 November tahun 1947 M.

Setelah mendapatkan bimbingan dari  Ayahandanya al-Habib al-hafidz ’Ali al-Ghalib, dirinya masuk ke sebuah madrasah Salafiyah. Setelah tiga tahun berada disana, lalu melanjutkan studinya kepondok pesantren Bendokerep, Cirebon, Jawa barat. Disamping itu beliau juga pernah nyantri di pondok pesantren Kliwet Indramayu, berguru kepada Kyai Said Tegal, serta belajar kepada Kyai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto.

Disamping memperdalam ilmu-ilmu di bidang syari’ah, juga belajar ilmu thariqat dan tasawuf. Dari para gurunya tersebut, beliau mendapatkan ijazah khusus dan umum. Baik itu berkenaan dengan dakwah dan nasyru syari’ah, thariqat, tasawuf, kitab-kitab hadis, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, maupun kitab-kitab tauhid, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab-nasab, kitab-kitab kedokteran dan lain sebagainya.

Melihat ke’alimannya diberbagai bidang keilmuan tersebut, tak salah jika lantas dipundaknya disematkan beragam amanah. Disamping didapuk sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan sekaligus diminta untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia Jawa Tengan. Bahkan angota syuriah PBNU ini juga dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan, serta dua kali menjabat Rais ‘Am Jam ‘iyyah Ahlith ath- Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah.

Dipilihnya kembali sebagai Ketua organisasi yang merupakan salah satu Badan Otonom NU ini, kiranya tak berlebihan. Sebab sejak kepengurusan organisasi Thariqah itu berada dibawah kendali beliau, banyak sekali perkembangan yang telah ditorehkannya. Sekitar 30-an pengurus Idaroh Wusto telah terbentuk dan 200 lebih pengurus Idaroh Syu’biyah juga telah menyebar di berbagai cabang daerah.

Keberhasilan menata organisasi Thariqat tersebut tercatat menyebar dari Sabang sampai Merauke. Seperti perkembangan yang ada di Sumatra Utara dan Sulawesi  yang sangat menggembirakan. Bahkan dari Papua pun juga mulai memperdalam ilmu-ilmu thariqah berkat kepemimpinannya pula, Hampir seluruh kelompok Thariqat berkembang dengan baik. Seperti thariqat Sadzaliyah, Kholidiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Qodhiriyah, Tijaniyah dan seterusnya.

Termasuk keberhasilannya pula dalam menertibkan silsilah sanad thariaqat.

Yang paling mengembirakan, Mursyid Thariqah Sadzaliyah ini berhasil menebas fanatisme thariqat yang berdampak pada pengerdilan thariqat-thariqat yang lain. Sebab dipelupuk matanya, Perbedaan itu terlihat sebagai sesuatu yang indah.

Ibarat musik, meski ada perbedaan alat dan aliran, musiknya masih tetap indah untuk dinikmati. “Kalau kita mengikuti dinamika musik, itu luar biasa indahnya. Masing-masing gesekan bisa berpadu menjadi alunan music yang indah. Jadi, alat musiknya memang berbeda-beda, tapi ada harmoni, “ ujarnya memisalkan. “

Dalam sebuah orchestra, masing-masing alat music tak menonjolkan dirinya merasa yang paling penting. Dan masing-masing aliran tak bias mengklaim bahwa dirinya lah yang palinga benar, “ tandasnya.

Kakek lima cucu ini, ternyata memang mahir memainkan berbagai alat music, terutama alat music organ bahkan dari tangan beliau sudah lahir beberapa komposisi music. Dirumahnya memang terdapat seperangkat alat music gambus, yang siap dimainkan sewaktu-waktu. Untuk mengaktualisasikan hobinya itulah, Dibentuklah satu group music gambus yang biasa disebut Marawis.

Bersama lentik jemarinya yang memainkan denting piano, puluhan lagu irama padang pasir mengalun menyirami kalbu gersang pada kehidupan yang makin tak menentu.

Baginya, bermusik adalah merupakan sarana pergaulan yang bias menyentuh segala lapisan. Terutama kepada anak-anak muda.

Dengan daya tarik itulah mereka bisamengikutinya. Atas berbagai sepak terjang yang dilakukannya inilah, eksistensi thariqat menjadi lebih terbuka. Terbukti, kini banyak generasi muda yang berminat dan mulai aktif mengikutinya. “ Padahal sebelumnya mereka tak mengenal apa thariqah itu. Ini sekaligus menepis anggapan, bahwa thariqah hanyalah untuk sekelompok orang yang lanjut usia saja, “ ungkapnya bernada gembira.

Fungsi thariqah, menurut suami Syarifah Salmah Maula Khelah  ini adalah untuk mendidik kehidupan manusia agar senantiasa berdekatan dengan Allah dan RasulNya dengan begitu manusia akan lebih mengerti untuk meningkatkan kesadarannya. Sementara buah thariqah, adalah merasa dilihat dan didengar oleh Allah, “Thariqah itu bukanlah ciptaan para syeikh, melinkan ajaran yang bersumber dari Rasulullah.

Itulah sebabnya, thariqah merupakan benteng dari berragam perbuatan syirik,” terang beliau. “Makanya dalam thariqah sering dikumandangkan do’a ; Ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi,” tambahnya  menyontohkan.

Ketika manusia sering merasa menjadi bagian yang di lihat Tuhan, sambungnya, maka akan timbul reaksi dalam dirinya. Di antaranya adalah rasa malu kepada Nya. Perasaan semacam itu adalah merupakan tanda keimanan. Bermula dari merasa malu kepada Nabi, kepada ulama’, para pahlawan kusuma bangsa, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesamannya.

“Hendaknya kita membangun jiwa dengan senantiasa berdzikir menyebut asmaNya. Dengan begitu secara tidak langsung, kita selalu diingatkan bahwa diri kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah,” terangnya bernada harap.

Pada taraf awal, ujarnya, mungkin belum bisa merasakan hasilnya. Namun ketika terus-menerus merasa dilihat dan di dengar Tuhan, tentu akan timbul perubahan dalam diri. Seperti halnya seorang pesilat. Karena kerap berlatih, maka sensor refleksnya menjadi hidup. “Ketika terpeleset, sembilan puluh persen dia akan selamat tanpa cidera. Sementara yang tak pernah latihan, akan lebih banyak cideranya ketimbang selamatnya,”ucapnya membandingkan.

Latihan-latihan semacam itulah, yang akan melahirkan rasa syukur atas segala karunia yang telah diberikanNya. Dan salah satu aplikasi dari rasa syukur itu, adalah dengan menjaga agar indera kita selalu mengerjakan kebaikan dan kebenaran.

Yakni dengan menjaga mata dari pandangan yang buruk, menjaga mulut dari ucapan yang kurang baik, dan seterusnya. “Mata, mulut, telinga dan seluruh anggota tubuh itu bisa dilatih. Demikian pula dengan hati. Cara menjaganya, adalah dengan selalu berprasangka baik terhadap orang lain,” tuturnya memberikan memberikan resep.

Habib Luthfi memang dikenal sebagai sosok yang inklusif dan egaliter. Itulah sebabnya, dirinya menolak tegas sikap tertutup yang kerap melakukan kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Sebab menurutnya, Nabi SAW tak pernah mengislamkan seseorang dengan pedang. Bahkan beliau menjaga hak –hak ekonomi kaum Yahudi.

“Sikap keras itulah yang biasanya membuat orang gampang mengkafirkan sesama agamanya,” keluhnya. “Padahal mengislamkan seorang saja, bukan kepalang susahnya. Lha masak mereka malah mengkafirkan orang yang sudah jelas-jelas Islam dengan seenaknya,” sesalnya.

Itulah sebabnya, Habib Luthfi menegaskan, bahwa menjaga harga diri bangsa adalah merupakan sebuah harga mati. Sebab dulu para pejuang dalam mewujudkan kemerdekaan ditempuhnya dengan darah dan air mata.

“Para pahlawan itu pasti merasa sedih, melihat bangsa dan umatnya begitu mudah dipecah-belah. Maka kita harus merapatkan barisan, agar tak gampang bercerai-berai hanya gara-gara warna kelompok dan kepentingan politik yang cuma sesaat,” tegasnya dengan penuh harap.

(Dimuat Majalah Mimbar JATIM/NO 276/September 20029/Ilung)