Habib Al-’Ajami ra

Sang Sufi dari Persia

Habib bin Muhammad al-’Ajami al-Bashri, seorang Persia yang menetap di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang merawikan hadits-badits dari Imam Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertaubatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Imam Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib al-’Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Imam Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.

KISAH HABIB Sl ORANG PARSI

Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. la tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berhutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang tersebut.

“Suamiku tak ada di rumah”, isteri sedang yang berhutang itu berkata kepadanya, “Aku tak mempunyai sesuatupun untuk diberikan kepadamu tetapi kami ada menyembelih seekor domba dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu”.

“Bolehlah!” si lintah darat menjawab. Ia berfikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher domba tersebut dan membawanya

pulang. “Masaklah! “.

“Aku tak mempunyai roti dan minyak”, si wanita menjawab.

“Baiklah”, si lintah darat menjawab, “aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula”. Lalu ia pun pergi mengambil minyak dan roti.

Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.

“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu”, Habib mendamprat si pengemis, “Engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin”.

Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera

membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pucat pasi. Segera ia

mendapatkan Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya.

“Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!”. Si wanita menangis, “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti”.

Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah mereda seumur hidupnya.

“Wahai wanita! Aku menyesali segala perbuatan yang telah kulakukan!”.

Keesokan harinya Habib berangkat pula untuk menemui orang-orang yang berhutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari Jum’at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak: “Lihat, Habib lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalau tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”

Seruan-seruan ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan yang bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.

Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Syaikh Hasan al-Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu seseorang yang berhutang kepadanya melihatnya, dan mencoba untuk menghindari dirinya.

“Jangan lari” Habib berkata, “Di waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu”.

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak:

“Lihat Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari. Ayolah kita lari! jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel

di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah”.

“Ya Allah ya Tuhanku”, seru Habib. “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, maka Engkau telah menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman”.

Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi: “Kepada siapa saja yang menginginkan harta benda milik Habib, datanglah dan ambillah!”

Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Dan ia lalu pergi menyepi ke sebuah tempat di pinggir sungai Euphrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Imam Hasan Al-Bashri namun betapa pun juga ia tidak dapat menghapal al-Qur’an, dan karena itulah ia dijuluki  ’ajami atau si orang Barbar. ‘

Waktu berlalu, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat uzlahnya untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.

”Di mana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatupun yang engkau bawa pulang?” isterinya mendesak.

”Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah”, jawab Habib.

 “Sedemikian Pemurahnya Ia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi,

karena seperti katanya sendiri: ’Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu’ “.

Demikianlah setiap hari Habib pergi ke tempat uzlahnya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur di hari yang kesepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya. “Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?”.

Lama ia termenung di dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan gandum sepemikulan keledai, yang iain membawa seekor domba yang telah dikuliti, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantong berisi 300 dirham perak.

Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu.

“Apakah maksud kalian datang kemari?”, tanya istri Habib setelah membukakan pintu.

“Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini”, pemuda gagah itu menjawab, “sampaikanlah kepada Habib: ’Biia engkau melipatgandakan jerihpayahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu’ “’. Setelah berkata demikian merekapun berlalu.

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya di waktu yang sudah-sudah.

“Wahai suamiku”, si isteri berkata, “majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: ’Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu` ”.

Habib terheran-heran.

“Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”

Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata.

KARAMAH-KARAMAH HABIB

Pada suatu hari seorang wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati.

“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah daripada-

nya, berdoalah kepada Allah”, mohonnya kepada Habib. “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku”.

“Adakah engkau memiliki uang?”,tanya Habib kepada wanitatua itu.

“Aku mempunyai dua dirham”, jawabnya.

“Berikanlah uang tersebut kepada orang-orang miskin!”.

Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu: “Pulanglah, puteramu telah kembali”. ·

Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang putera telah ada dan sedang menantikannya.

“Wahai! Anakku telah kembali!”,wanita itu berseru. Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.

“Apakah yang telah engkau alami?”, tanya Habib kepada putera wanita itu.

“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membelidaging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke

guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar olehku sebuah suara yang berkata: 

’Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang·orang miskin, pulangkanlah ia ke rumahnya sendiri’ “.

ooo

Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokan harinya di Padang Arafah. Di waktu yang lain,

bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berhutang Habib membeli banyak bahan-bahan pangan dan membagi

bagikannya kapada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantong uangnya dan menaruhnya di bawah lantai. Apabila

para pedagang datang untuk menagih hutang, barulah kantong itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantong itu sudah penuh

dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua hutang-hutangnya.

ooo

Rumah Habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota Bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya

baik di musim panas maupun di musim dingin. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan

seenaknya dilemparkannya ke atas tanah.

Tidak barapa lama kemudian  Imam   Hasan al-Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan, ia bergumam:

“Dasar Habib seorang Barbar, tak perduli berapa harga mantel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini,

bisa-bisa hilang nanti”.

Imam  Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga mantel tersebut.

Tidak lama kemudian Habib pun kembali.

“Wahai, imam kaum Muslimin”, Habib menegur Imam Hasan setelah memberi salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”

“Tahukah engkau bahwa mantel separti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakan, kepada siapa-

kah engkau menitipkan mantel ini?”

“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu”, jawab Habib.

Pada suatu hari Imam Hasan berkunjung ke rumah Habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam.

Imam Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti

beserta garam itu kepadanya.

Imam Hasan terheran-heran lalu berkata: “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya

engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan

semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu”.

Habib tidak memberikan jawaban.

Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan tersebut ada daging domba pang-

gang, penganan yang manis-manis dan uang lima ratus dirham perak.

Si budak menyerahkan nampan tersebut ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang

miskin dan menempatkan nampan tersebut di samping Imam Hasan.

Ketika  Imam  Hasan mengenyam daging panggang itu, Habib berkata kepadanya: “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi

alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan.

Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan”.

ooo

Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari  Imam  Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.

“Apakah engkau telah melihat Imam Hasan pada hari ini?” tanya mereka kepada Habib.

“Ya, aku telah melihatnya”, jawab Habib.

“Di manakah Imam Hasan pada saat ini?”

“Di dalam pertapaan ini”,

Para perwira tersebut memasuki pertapaan Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Imam Hasan.

“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka”. Imam Hasan mengisahkan, “namun mereka tidak melihat diriku”.

Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Imam Hasan mencela Habib: “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti

kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku”.

”Guru, karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap”.

“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?”, tanya Imam  Hasan.

“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan Katakanlah, Alah itu Esa sepuluh kali. Setelah itu aku ber-

kata: ’Ya Allah, telah kutitipkan Imam Hasan kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia’ “.

oooo

Suatu ketika Imam Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir sungai Tigris sambil merenung-renung. 

Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.

“Imam, mengapakah engkau berada di sini?”, Habib bertanya.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga tiba”, jawab Imam Hasan.

“Guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu, Buanglah rasa

iri kepada orang-orang lain dari dalam dadamu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan

adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turun-

lah dan berjalanlah di atas air”.

Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Imam Hasan

merasa pusing dan jatuh pingsan. Ketika ia siuman orang-orang bertanya kepadanya: “Wahai imam kaum Muslimin, apakah yang telah

terjadi terhadap dirimu?”

“Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah itu ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat

apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan: ’Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala’ sedang hatiku

masih lemah seperti sekarang ini, apalah dayaku?”

Di kemudian hari Imam Hasan bertanya kepada Habib: “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan kesaktian-kesaktianmu itu?”

Habib menjawab: “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas”.

Imam Hasan berkata: “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain”.[]

BIBLIOGRAFI

Abu Nu’aim, op.cit., 6, 149-155.

Ibnu Hajar, op.cit., 2, 189.

CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT

“Kisah Habib”; T.A., I, 19-52. Tampaknya bersumber dari kisah per-

taubatan Habib di dalam karya Abu Nu’aim, 6, 149-150, di mana banyak dikutip

ucapan-ucapan Persia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Habib tidak sang-

gup mempeiajari al-Qur’an, hal ini oIeh Attar digunakan untuk menerangkan

mengapa Habib dijuluki sebagai al-’Ajani (orang Barbar atau orang yang tak

dapat berbahasa Arab). Abu Nu’aim mengatakan bahwa nama keluarga Habib

adalah al-Farisi (orang Persia).

”Keajaiban-keajaiban Habib”: T.A., I, 52-54, menyatakan bahwa dengan

cara yang sangat ajaib, Habib telah berjaIan dari Bashrah ke Arafat (dekat kota

Mekkah) dalam sehari (berdasarkan karya Abu Nu’aim, 6, 154, Kisah mengenai

“bencana keIaparan” juga berdasarkan karya Abu Nu’aim, 6, 150; bandingkan

dengan karya aI—Qusha.ri halaman 198. Hajjaj adalah seorang gubernur Irak yang

terkenal kekejamannya, meninggal tahun 95 H/714 M. ”Ayat Kursi” adalah ayat

al-Qur’an, 2: 255. ”Rasul Beriman” adalah ayat al-Qur’an, 2:285. “Katakan, Dia

adalah Allah Yang Esa” adalah ayat al-Qur’an, 112: 1. [].

Sumber Tulisan:

Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.