Hudhur yang dipaksakan

Hudhur yang Dipaksakan

Ithâfus Sâil Bijawâbil Masâil

Al-Imam Quthb Ghaus Irsyad wal Bilad al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad.ra

Kamu bertanya tentang makna hudhûr yang dipaksakan? 

Ketahuilah bahwa pada awal penciptaannya, manusia memiliki hati yang bersih (kosong).  Hati ini siap menerima berbagai hal yang dapat menyebabkannya menjadi baik dan bersinar, atau sebaliknya rusak dan suram. Yang lebih dahulu masuk ke dalam hati akan lebih melekat dan terukir kuat; untuk menghapusnya diperlukan usaha keras dan mujâhadah. Dan pada umumnya yang lebih dahulu masuk ke dalam hati anak-cucu Adam - selain orang-orang yang dikehendaki Allah - adalah pengetahuan (makrifat) tentang dunia mereka, penopang hidup mereka dan cara-cara untuk menikmatinya. Itulah  yang pertama kali mereka dengar dan lihat dari orang-orang di sekelilingnya. 

Jika hal-hal keduniaan tadi telah melekat kuat dalam hati mereka, maka ma’rifatullôh dan makrifat hak-hak rubûbiyyah sulit menemukan tempat di dalam hati sehingga kedudukannya akan goncang dan tidak kokoh.  Orang yang ingin agar ma’rifatullôh tertanam kokoh dalam hatinya; hudhûr bersama Allah menjadi sifat dan karakternya; menandai semua kebiasaan dan perilakunya, maka ia harus menghapus pengetahuan (makrifat) tentang dunia yang telah lebih dahulu melekat dalam hatinya; yang menyibukkannya dari ber-tajarrud1 dan yang menghalanginya untuk dapat mencapai kesempurnaan.  

Usaha itu tidaklah mudah, diperlukan riyâdhoh (pelatihan jiwa)dan mujâhadah (perjuangan keras menuju Allah), bisa ringan dan kadang-kadang berat, bergantung dari sempurna atau kurang sempurnanya kedudukan makrifat, kuat atau lemahnya tawajjuh (penghadapan diri kepada Allah) dan himmah (semangat), dan kuat atau lemahnya daya rekat keburukan yang lebih dahulu menempel di hatinya. 

      

Yang kusebutkan ini bukan khusus untuk hudhûr saja, tetapi untuk setiap usaha  menciptakan akhlak yang sempurna, yakni sumber segala amal-amal saleh.  Orang yang berhasil memiliki akhlak mulia, pasti telah melakukan banyak kesabaran dan mujâhadah dalam bidâyah(awal perjalanan menuju Allah)-nya. Setelah menghadapi berbagai kesulitan, barulah kemudian akhlak yang mulia ini muncul menghiasi segala perilakunya dengan penuh kenikmatan dan kemudahan.  

Oleh karena itu, ketahuilah bahwa hudhûr bersama Allah adalah ruh dan tujuan ibadah kaum muhaqqiq (ahli Haqq-kebenaran) dan arifin. Kaum muhaqqiq dan arifin memandang amal-amal yang dilakukan dengan hati lalai lebih dekat kepada siksa dan hijab daripada kepada mukâsyafah (terbukanya hijab/pengetahuan ttg Allah-makrifatullah) dan pahala. Untuk dapat hudhûr dalam beribadah, hendaknya ia meneliti hal-hal yang mengganggu konsentrasinya, kemudian mencoba menghilangkannya. 

Ada 2 sumber gangguan konsentrasi: 

Pertama: gangguan inderawi. Gangguan yang berasal dari pendengaran dan penglihatan. Cara mengatasinya dengan ber-kholwat

Kedua:          gangguan kejiwaan (nafs). Gangguan ini menyerang hati dalam bentuk was-was dan bisikan-bisikan hati. Cara mengatasinya adalah dengan berpaling dan tidak mengacuhkannya. 

Ia hendaknya juga berusaha menyibukkan hati dengan memikirkan lafadz Quran, atau dzikir yang disuarakan lisannya, atau berusaha agar hati mendengarkannya.  Dalam keadaan ini yang paling tepat baginya adalah memelihara dan membentengi hati dari gangguan yang datang dari nafsu (nafs) dan indera.

Jika hudhûr telah dipaksakan untuk dilaksanakan dengan sempurna, maka hendaknya ia beralih menuju tingkatan yang lebih tinggi, yaitu hati merasakan dan melaksanakan makna yang diucapkan lisan. Misalnya: mengesakan Allah ketika membaca tahlîl, menyucikan Allah ketika membaca tasbîh dan mengagungkan Allah ketika membaca takbîr. Jika lisan membaca Quran, jiwa harus menerjemahkannya ke dalam makna-makna. Itulah tingkatan hudhûr yang mulia. Setelah tingkatan ini, terdapat tingkatan lain yang lebih mulia, yaitu hati selalu merasa  hadir di hadirat Yang Disembah, Yang Berfirman, dan Yang Disebut ketika membaca Quran, beribadah dan berdzikir.   

   

Rasulullah saw bersabda, “Ihsan adalah kamu menyembah Allah seakan-seakan melihat-Nya.” 

(HR Muslim dari Umar bin Khattab)       

Seorang murîd yang telah mencapai musyâhadah (penyaksian) yang agung ini perlu melaksanakan dengan sempurna tingkatan-tingkatan sebelumnya, yang tadi telah kusebutkan. Ia harus berada pada puncak pensucian Allah dari penyerupaan pada makhluk. Sebab orang yang tidak memiliki bashîroh akan membayangkan hal-hal yang sesungguhnya Allah SWT, Maha Suci dari hal-hal itu.    

Jika seseorang telah berhasil mencapai tingkatan di mana ia dapat menyaksikan Al-Mutakallim (Yang Berbicara) dalam firman-Nya, Al-Madzkûr (Yang Diingat) ketika berdzikir kepada-Nya, maka ia akan lenyap (ghoibah), hanyut (istighrôq), mabuk (sukru), fanâ`2 dan mengalami hal-hal lain yang biasa terjadi pada ahlillâh3.       

Barang siapa ingin mencapai tingkatan ini, ia harus menempuh jalannya, memiliki kesabaran dan kesungguhan, serta berusaha menghadapi berbagai kesulitan dengan segenap kemampuannya. 

Ambillah pelajaran dari Sayidut Thoifah, Imamnya para Ariffin, Al-Imam Abul Qassim Junaid Al-Baghdad rhmt4, ketika beliau ditanya: “Dari mana kau dapatkan ilmu yang tidak dimiliki oleh guru-gurumu?”      

“Dari dudukku bersama Allah di bawah tangga itu selama 30 tahun,”  katanya seraya menunjuk tangga di dalam rumahnya.     (maksudnya, selalu menjaga hatinya hudhur terus-menerus bersama Allah, maka akan mengalirlah llmu Pengetahuan yang langsung dari SisiNYa, sesuai dengan Firman Allah Azza Wa Jalla, di dalam S.Al Baqarah ayat 32, yang artinya:

"Maha Suci Engkau. Tidak adalah Pengetahuan kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana")

 

Asy-Syibli rhmt, pada bidâyah-nya, mengasingkan diri dalam sebuah lobang di dalam tanah dengan berbekal seikat ranting pohon. Setiap kali lalai, ia gunakan ranting itu untuk memukul dirinya. Belum habis waktu sore, ranting itu telah hancur karena terlalu sering digunakan. Tanpa mujahadah sulit untuk dicapai mukâsyafah dan musyâhadah. Kalaupun bisa, hal itu jarang sekali terjadi. 

Apabila seseorang yang telah mencapai tingkat hudhûr dan uns (intim) bersama Allah dituntut oleh keadaan untuk hudhûr bersama makhluk dan terjun dalam urusan-urusan keduniaan, maka ia harus memaksakan dirinya; ia harus mengawalinya dengan usaha keras sebagaimana ketika ia merintis untuk hudhûr bersama Allah.         

Cara yang paling tepat untuk mencapai hudhûr bersama Allah adalah dengan membayangkan dalam hati bahwa Allah melihatnya, mengamati isi hati, tujuan batiniah dan tawajjuh-nya, bukan hanya melihat tubuh dan bentuk lahiriah amalnya. 

     

Kaum arifin berpendapat bahwa di antara hal-hal yang merintangi seseorang untuk memperoleh hudhûr dalam salat adalah, karena ia menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bukan bagian dari salat, meskipun merupakan urusan akhirat. Dan yang dianggap utama oleh kaum arifin adalah keserasian antara lahir dan batin dalam setiap perbuatan yang dapat menyampaikan seseorang kepada Allah.  Karena manusia tidak akan pernah dapat menyelesaikan amalnya dengan sempurna sebelum ia menyerasikan lahir dan batinnya.   

   

Tidak hudhûr-nya hati akan membuat penampilan amal menjadi rusak, terlebih lagi maknanya.  Hudhûr tidak akan pernah bisa dicapai apabila ibadah selalu dilakukan dengan hati lalai dan tanpa usaha untuk hudhûr, meskipun demikian keberkahan amal tetap bisa diperoleh.  Pemaksaan diri untuk hudhûr inilah yang nantinya akan membuat seseorang menjadihudhûr.       

 

Seseorang berkata pada Abu Hafs, “Aku selalu berdzikir kepada Allah, tetapi  tidak pernah dapat hudhûr. Jawab Abu Hafs, “Bersyukurlah kepada Allah yang telah menghias salah satu anggota tubuhmu dengan dzikir kepada-Nya.”

Rahasianya....bersyukurlah atas segala yang telah dikaruniakanNya kepadamu, dalam segala hal, sesungguhnya Allah telah berjanji bahwasanya Ia akan menambah nikmat karunianya kepada hambaNya yang bersyukur atas nikmatNya. Insya Allah, dengan rasa syukur yang sungguh-sungguh itu Allah akan mengaruniakan kepada kita hudhur kepadaNya....Allahumma Amin.

 

wa min Allah at taufiq wal hidayah, wal afu minkum, bihurmati Habib wa bihurmati Al-Fatihah!!

Catatan kaki

1.Tajarrud: mencurahkan seluruh perhatian dan waktu untuk sesuatu yang dianggap lebih penting, seperti ibadah dsb.

2.Fanâ` berasal dari kata kerja faniya yang berarti hancur, hilang, lenyap, punah.  Fanâ` juga berarti penafian diri atau peniadaan diri.  Wujud sang pecinta hilang, lebur dalam wujud Sang Kekasih.

3.Ahlillah adalah orang arif (sangat mengenal Allah).

4.Nama lengkap Al-Junaid adalah Junaid bin Muhammad, lahir di Baghdad, bergelar Sayyidut Thôifah (pemuka aliran), Syeikhul Masyâyikh (imam para sufi).  Beliau adalah seorang sufi yang alim dalam di bidang teologi, fiqih dan hadis.  

Ia meninggal di Baghdad pada Jumat petang 298 H.