Gus Miek (KH Hamim Djazuli)

Kekasih Allah Yang ‘Nyleneh’

KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940, beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri). 

Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas).

Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Sebagai salah satu wali di Jawa adalah Gus Miek. Membicarakan beliau seperti tak ada habis-habisnya. Tokoh sentral semaan Al Qur'an dan Mujahadah Dzikrul Ghofilin ini memang banyak sekali kiprahnya di dunia dakwah, baik di kelompok rakyat kecil maupun kalangan diskotik dan club malam. Mari kita simak bersama kisah-kisah Gus Miek semasa hidupnya :

Sejak kecil Gus Miek, panggilan akrab beliau, sudah memiliki keanehan-keanehan. Beliau sering pergi dari rumah sampai Kyai Jazuli, ayah beliau, menganggap putranya hilang. Pada waktu di pesantren ayahnya, Gus Miek jarang sekali mengikuti pengajian di madrasah tetapi anehnya itu semua tidak membuat Gus Miek ketinggalan pemahaman tentang agama (kitab kuning) dengan santri-santri ayah beliau. Ketika diuji kemampuan Gus Miek dalam memahami agama malahan jauh melebihi santri-santri ayahnya yang setiap hari masuk dan mengaji di madrasah. Beliau kemudian berguru pada Kyai Dalhar Watucongol, Kyai Hamid Pasuruan, dll. Semua guru dari gus miek tersebut telah dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh agama yang paling berpengaruh di daerahnya.

Pada zaman beliau terdapat suatu ketetapan di organisasi Nahdhatul Ulama (NU) tentang thoriqoh. Organisasi NU menetapkan bahwa thoriqoh yang resmi dan diakui keberadaannya hanyalah thoriqoh yang mu’tabaroh artinya silsilah dari thoriqoh itu jelas sampai ke Nabi Muhammad SAW sedangkan thoriqoh yang tidak mu’tabaroh seperti thoriqohnya Sunan Kalijogo, Syaikh Siti Jenar itu tidak diakui keberadaannya. Sungguh tindakan yang sangat bijaksana menurut saya karena pada saat itu Gus Miek tidak memihak salah satu thoriqoh seperti yang dilakukan oleh kebanyakan kyai, tetapi gus miek malahan membuat suatu jama’ah dimana jama’ah tersebut berkumpul melakukan dzikir bersama tanpa harus diembel-embeli thoriqoh mu’tabaroh atau ghoiru mu’tabaroh yang diberi nama jama’ah Dzikrul Ghofilin. Ini merupakan suatu solusi yang bijaksana di mana beliau mampu mengakomodir segala kepentingan. Setiap orang bisa masuk ke jama’ah yang beliau dirikan baik dari kelompok mu’tabaroh atau ghiru mu’tabaroh bahkan orang bukan thoriqohpun bisa masuk pokoknya syarat utama untuk masuk jama’ah Dzikrul Ghofilin adalah islam.

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh. Beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. Hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur, keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas. 

Kebeningan hati seorang Gus Miek

Gus Miek bagi sebagian orang yang pernah dekat dan mengenalnya, akan terkesan bahwa beliau adalah pengayom atau pelindung rakyat jelata, dengan kebeningan hati beliau, mampu menembus batas kelas dan agama.

Beberapa kisah berikut adalah salah satu yang mewakili dari kisah beliau. Semoga bermanfaat bagi Sami’in setia yang belum pernah mengenal beliau secara dekat dan para pemerhati yang ingin lebih banyak mengetahui tentang Gus Miek.

Kota Surabaya, salah satu kota yang menjadi favourite Gus Miek, dan salah satu tempat yang paling sering beliau singgahi adalah kafe di Hotel Elmi. Suasana malam khas kafe yang gaduh, dimana entakan musik menggebrak malam, dan disudut-sudut ruangan penuh kepulan asap rokok yang menyesakkan dada, berbaur bau alkohol yang menusuk hidung. Disalah satu sudut pojok ruangan kafe terlihat seorang lelaki berwajah teduh sedang mengobrol dikelilingi beberapa orang. Tubuhnya sedang, rambutnya ikal dan diantara jemari tangannya terselip sebatang rokok.

Terdengar kalimat-kalimat yang menyejukkan dan sesekali terdengar tawa segar. Menurut orang-orang yang ada disekelilingnya tersebut, lelaki itu selain ada di kafe ini juga dikenal di beberapa diskotik di Surabaya. Dan mereka semua memberikan julukan “Kyai Nyentrik”.

Itulah dunia K.H. Khamim Jazuli alias Gus Miek. Ia adalah tokoh sentral sema’an Al-Qur’an yang pengikutnya ribuan orang. Sema’an adalah kegiatan membaca dan mendengarkan Al-Qur’an berjama’ah atau bersama-sama, dimana dalam sema’an itu juga selain mendengarkan Al-Qur’an, yang hadir ( sami’in) juga bersama-sama melakukan ibadah sholat wajib secara berjama’ah juga sholat-sholat sunnah yang lain, dari ba’da Subuh hingga khatamnya Al-Qur’an. Gus Miek memiliki seorang istri dan lima orang anak. Beliau dikenang sebagai Kiai yang mengayomi umat, terutama rakyat jelata. Ke khasan gayanya dalam menyebarkan kebenaran sangat langka dan tidak seperti ulama pada umumnya. Lahan garapannya adalah orang-orang pinggiran dan para ”manusia malam”.

Majelis Sema’an mula-mula didirikan dikampung Burengan Kediri sekitar tahun 1986. Mula-mula pengikutnya hanya 10-15 orang. Lama kelamaan berkembang menjadi ribuan. Tempatnya pun tidak hanya di masjid atau dari rumah ke rumah, tetapi sudah memasuki wilayah pendopo kabupaten, Kodam bahkan sampai ke Keraton Yogya.

Dari berkelana timbullah gagasan sema’an Al-Qur’an. Saya ingin benar dan tidak terlalu banyak salah. Maka saya ambil langkah silang dengan menganjurkan pada para santri untuk berkumpul sebulan sekali, mengobrol, guyonan santai, diiringi hiburan. Syukur-syukur jika hiburan itu berbau ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah. Kebetulan saya menemukan pakem bahwa pertemuan seperti itu jika dibarengi membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, syukur-syukur bisa dari awal sampai khatam, Allah akan memberikan rahmat dan nikmatNYA.

Jadi menurut Gus Miek, secara batiniah sema’an Al-Qur’an adalah hiburan yang hasanah, hiburan yang baik. Selain juga merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, dan sebagai tabungan di hari akhir. Itu yang harus bener-benar diyakini oleh jema’ah sema’an Al-Qur’an. Orang yang mendengarkan dan membaca Al-Qur’an mendapat pahala yang sama. Malah dalam sebuah ulasan seorang ulama dikatakan bahwa orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an pahalanya lebih besar daripada yang membacanya, sebab pendengar lebih bisa menata hati, pikiran dan telinga serta lebih fokus pada pendekatan diri kepada Allah.

Satu-satunya upaya untuk mengutarakan sesuatu kepada Allah menurut beliau ialah lewat Majelis sema’an Al-Qur’an ini. Karena berdasarkan sebuah hadis, ”barang siapa ingin berkomunikasi dengan Allah, maka beradalah ditengah-tengah suatu majelis yang didalamnya mengalun Al-Qur’an.”

Gus Miek memang memiliki kelebihan yang unik. Beliau lebih suka memakai pakaian trendi ketimbang sorban, jubah maupun sarung. Pergaulannya pun sangat luas. ” Saya merasa dituntut menguasai bahasa kata, bahasa gaul, dan bahasa hati,” tutur beliau.

Pada saat saya masuk diskotik, kafe atau karaoke, saya hanya bisa tertawa. Saya senang tapi saya lebih tertarik pada pendapat seorang ulama dulu, kalau nggak salah namanya Imam Ahmad bin Hanbal. Kalau masuk ke tempat hiburan yang diharamkan oleh Islam, justru Imam Ahmad bin Hanbal malah bergabung dan berdoa, pada saat beliau dipintu masuk pertama. Doa beliau ” Ya Allah, seperti halnya Kau buat orang-orang ini berpesta pora ditempat seperti ini, semoga Engkau jadikan pula mereka berpesta pora di akherat nanti”.

Semasa hidup Gus Miek selalu diburu, bahkan tidak sedikit yang merelakan waktunya berjam-jam dan berhari-hari untuk bertemu walaupun sekedar bersalaman. Tamunya datang dari berbagai golongan, mulai tukang becak, para banci, santri, artis, politikus, pejabat sampai Jendral. Mereka percaya bertemu dengan Gus Miek akan membawa berkah tersendiri. Mereka kebanyakan meminta nasehat tentang berbagai persoalan hidup. Saat beliau berumur 10 tahun sudah banyak didekati orang. ”Bahasa yang datang kepada saya ya itu-itu saja, minta restu, mengungkapkan kekurangan, minta doa mudah mencari rezeki, bahkan orang yang mau melahirkan juga datang kepada saya, dikira saya ini bidan,” tutur beliau seraya terkekeh.

Gus Miek benar-benar rendah hati. ” Saya ini bukan kiai, juga bukan ulama. Saya ini orang yang dipaksa untuk dipanggil kiai. Saya ini hanya orang yang ingin melakukan kebenaran dan tak ingin terlalu banyak salah”, kata beliau. ” Kita ini jangan sekali kali sok suci atau super bersih, sebab didunia ini ada dua penampilan. Pertama, penampilan sebagai manusia satu-satunya dibumi yang paling top, paling suci , paling bersih. Kedua, kebalikannya, sebagai manusia penghuni bumi yang bukan apa-apa. Saya ini hanyalah, insyaAllah kalau dalam jiwa kita sudah tertanam perasaan sebagai hamba Allah, akan tertanam pula rasa dosa, rasa salah, rasa kekurangan, sehingga untuk memohon pengampunan kepada Allah akan lebih besar dan meningkat. Dan itu sulit, termasuk saya sendiri”, tutur beliauSelain rendah hati beliau juga pribadi yang sangat sederhana. Meski keluarganya di Kediri, namun tak seorangpun tahu keberadaannya. Jika beliau berada di Surabaya lebih sering berada dirumah salah satu sahabat beliau yaitu Bapak Syafi’i, di dekat Masjid Ampel, beliau tak segan-segan tidur di kursi plastik jebol ditemani sebuah teko kuningan berisi teh kental dan dua gelasnya. Tak lupa asbak penuh puntung rokok kretek, karena ia memang dikenal perokok berat.

Karena kerendahan hati serta tak segan-segan membantu orang yang kesusahan tersebut, bisa dimaklumi jika tamunya berjubel, bahkan pernah sampai 18 hari 18 malam tidak tidur karena sibuk menerima tamu. Karena beliau tak kuasa menolak tamu. Bahkan pernah pada saat hadir disema’an, Gus Miek langsung dikerubuti ribuan jama’ah, sampai-sampai harus diselundupkan ke jamaah wanita untuk menghindari serbuan sami’in.

Disamping sema’an Al-Qur’an, beliau juga mendirikan majelis dzikir ”Dzikrul Ghofilin”. Maksudnya adalah dzikirnya orang-orang yang lupa kepada Allah. Seperti halnya sema’an, majelis dzikir yang lazim disebut muzahadah inipun diikuti ribuan jama’ah dengan khusuk. Baik majelis sema’an Al-Qur’an dan Dzikrul Ghofilin ini sangat diminati oleh ribuan muslimin terutama daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Gus Miek sejak kecil memang terlihat aneh. Beliau mengaku sering dianggap aneh bahkan tidak jarang ada yang mengatakan tidak waras. ” Dari umur 11 tahun saya seperti orang sakit, orang-orang menganggap saya tidak waras. Lha wong kerjaan saya hanya disungai, memancing terus menerus,” tuturnya

Gus Miek sejak kecil suka mengembara, bahkan orang tuanya pun tidak tahu dimana keberadaan Khamim kecil. Dan oleh Ayahnya ia sudah dianggap anak hilang. Bahkan kebiasaan Gus Miek tersebut berlanjut hingga masa tuanya. Bukan rahasia lagi jika orang sulit mencarinya. Untuk bertemu beliau itu ”jodoh-jodohan” atau ”nasib- nasiban”, kalau jodoh gampang ditemui, tidak dicaripun beliau muncul, tetapi kalau tidak jodoh, dicari-cari kemanapun bahkan sampai satu bulanpun, belum tentu ketemu, kata beberapa sami’in.

Banyak cerita tentang karomah atau kemuliaan yang muncul disekitar kehidupan Gus Miek, yang oleh orang awam dianggap aneh. Diantaranya kemampuan Gus Miek menyembuhkan penyakit hanya dengan air putih. Banyak pula yang bercerita bahwa Gus Miek bisa hadir di dua tempat. Salah satu contoh cerita yaitu saat Kiai Musta’in Romli, pendiri Pondok Pesantren Darul ’Ulum Jombang, dan salah satu seorang mursyid sebuah tarekat meninggal. Ketika itu sang ayahanda Gus Miek yaitu Kiai Ahmad Jazuli akan berangkat takziah. Gus Miek saat itu diajak ikut, tapi beliau menolak, dan memilih tinggal dirumah saja.

Berangkatlah rombongan Kiai Ahmad Jazuli ke Jombang tanpa Gus Miek kecil. Tiba dirumah duka, betapa kagetnya beliau karena melihat Gus Miek sudah berada disana. Bertanyalah beliau kepada kerabat Kiai Mustain, dan jawaban kerabat kiai Musta’in membuat Kiai Ahmad Jazuli tercengang. ” Gus Miek sudah menemani Kiai Musta’in sejak seminggu sebelum almarhum wafat, Kiai ..,”tutur kerabat tersebut.

Cerita unik yang lain ketika pada saat sholat jamaah Jum’at, tiba-tiba Gus Miek hilang. Orang-orang disekitar beliau bingung dibuatnya. Mereka sudah berusaha mencari Gus Miek kesana kemari usai sholat jum’at, namun tetap tidak ketemu. Dengan tiba-tiba Gus Miek muncul dengan membawa seonggok kurma yang ranting-rantingnya masih meneteskan getah segar. Dan mereka yakini bahwa Gus Miek tadi pasti habis sholat jum’at di Mekah.

Pada suatu saat Gus Miek juga terlihat lagi dikelilingi fakir miskin, Gus Miek memberikan uang kepada mereka semuanya. Anehnya uang tersebut diberikan setelah beliau secepat kilat menggerakkan tangan kanannya ke udara, dan mendadak ditangan beliau sudah tergenggam uang segepok.

Kiai kharismatik dan sederhana, kaya dengan karomah serta sangat dekat dengan orang kebanyakan, pembela serta pelindung kaum papa dan miskin ini, tak ayal dianggap seorang Wali ( Orang Suci).

Pidato Gus Miek

Ulama’ Sesepuh – sesepuh sing di-fatechahi kalih tiyang-tiyang sing tertera tercantum dalam Dzikrul Ghofilin niku sing badhe kulo panjengan derek’I fil Akheroh (1998).

(Ulama Para Sesepuh yang mendapat kiriman Fatechah bersama orang-orang yang tertera dan tercantum dalam Dzikrul Ghofilin itu yang akan saya dan Anda semua ikuti hingga di Akherat (1998).)

*****

Hadirin kolowau wonten ingkang tanglet, “ Gus Miek, Sami’in Qur’an niku menawi Ba’da Sholat Fardhu aqibah kulli maktubalin, sing sae maos menopo ?”. Damel wiridan!! kejawi panjenengan ingkang sampun nderek Ba’dit Thoriqoh Al-Muktabaroh.

Meniko ugi dados simbolipun Dzikrul Ghofilin. Resepipun nderek As-Syaikhul Imam Abi Hamid Muhammad Al-Ghozali, ingkang ugi dipun ijazahaken kaliyan rayinipun Syaikh Ahmad Al-Ghozali (1988).

( Para Hadirin, tadi ada yang bertanya, ‘Gus Miek, Sami’in Qur’an setelah Selesai Sholat Fardhu aqibah kulli maktubalin, sebaiknya membaca apa ?”. Untuk Wiridan !! selain Anda yang sudah mengikuti Ba’iat Thoriqoh Al-Muktabaroh, Ini juga menjadi simbolnya Dzikrul Ghofilin. Resepnya mengikuti amalan As-Syaikhul Imam Abi Hamid Muhammad Al-Ghozali, yang juga di ijazahkan oleh Adiknya Syaikh Ahmad Al-Ghozali (1988).)

*****

Jadi ini sebuah pembangunan yang harus diwujudkan oleh penderek, pimpinan Dzikrul Ghofilin ataupun sema’an Al-Qur’an. Sebab antarane Sema’an Al-Qur’an kaliyan Dzikrul Ghofilin, ingkang sampun dipun simboli kaliyan Fatichah mi’ata marroh ba’da kuli sholah, meniko berkaitan manunggal (1988).

(Jadi ini sebuah pembangunan yang harus diwujudkan oleh pengamal, pimpinan Dzikrul Ghofilin ataupun sema’an Al-Qur’an. Sebab antara Sema’an al-Qur’an dengan Dzikrul Ghofilin, yang sudah diberi simbol dengan Fatichah mi’ata marroh ba’da kuli sholah 100 kali, ini berkaitan dan menyatu (1988)).

*****

Kulo Panjenengan, anggota Sami’in, Dzikrul Ghofilin khususipun, ayo podo ramah tamah, apik lahir batin karo liyan, karo sesomo, Podo-podo menungso, senajan seje wiridan, seje aliran. Kulo Panjenengan kedah ndukung kawontenan sing pun kadung mantep Fin Naqshabandiyah, Fil Qodiriyah au Fi Asatidz Thoriqoh Muktabaroh. Sampun ngantos terpancing mboten ngurmati dateng salah satunggale aliran wirit ingkang tegas muktabar dengan pakem-pakem ingkang sampun mu’ayyan, khasshoh, lan tegas (1990).

(Saya dan Anda anggota Sami’in & Dzikrul Ghofilin khususnya, Ayo saling ramah tamah, baik secara lahir batin dengan yang lain, dengan sesama. Sama-sama Manusia meskipun berlainan wirid, berlainan aliran. Saya dan anda sekalian harus mendukung keberadaan yang sudah mantap Fin Naqsabandiyah Fil Qodiriyah au Fi Asatidz Thoriqoh Muktabaroh. Jangan sampai terpancing tidak saling menghormati dengan salah satu aliran wirid yang denga tegas muktabar dengan pakem-pakem yang sudah mu’ayyan, khassoh, dan tegas (1990) ).

*****

Demi Allah, manah kulo namung nangis teng Allah, mugo-mugo Sami’in setia pengamal Dzikrul Ghofilin niki kabeh masalah-masalahe tuntas, digateni karo Allah (1991).

(Demi Allah, batin Saya hanya bisa menangis kepada Allah, semoga para Sami’in setia pengamal Dzikrul Ghofilin semuanya, segala masalahnya bisa tuntas, sangat diperhatikan oleh Allah (1991)).

*****

“Gus Miek, kulo teng kampung niku sareng-sareng tiyang kathah ?”.

Sing penting imut teng Allah, mboten rumaos langkung suci ketimbang liyane, ora sempat nglirik maksiate wong liyo, kaleh sinten-sinten nggadah manah sing sae. Nggih niku ciri khase pengamal Dzikrul Ghofilin (1991).

( “ Gus Miek, Saya di kampung itu sering berkumpul dengan orang banyak ?”.

Nasehat Gus Miek, yang penting ingat akan Allah, tidak merasa yang paling suci dari yang lain, tidak usah mengurusi perbuatan maksiatnya orang lain, dengan siapapun harus lebih menonjolkan perilaku yang baik. Itulah ciri khas pengamal Dzikrul Ghofilin (1991)).

*****

Mugi-mugi termasuk Dzikrul Ghofilin sing pun dados ketahanan batiniyah, mangke dados penyangga kulo panjenengan wonten ing sidang-sidang yaumal chisab. Niku sing penting.

Ditengah-tengah kulo panjenengan angel noto bojo, noto rumah tangga, sulitnya menciptakan sesuatu yang indah, tanda-tanda musibah badhe dugi, berarti kulo panjenengan dituntut nyusun ketahanan batiniyah, nyentuh dos pundi supados Allah niku sayang, gati teng kulo panjenengan. Niki mawon (1991).

( Moga-moga wirid Dzikrul Ghofilin bisa menjadi ketahanan batiniyah, menjadi penyangga Saya dan Anda sekalian pada hari sidang Yaumal Chisab. Ini yang sangat penting.

Ditengah-tengah Saya dan Anda sekalian kesulitan menata istri/suami, menata rumah tangga, kesulitan menciptakan sesuatu yang indah. Dan menunggu tanda –tanda musibah yang akan datang, berarti Saya dan Anda sekalian dituntut menyusun ketahanan batiniyah hingga menyentuh bagaimana supaya Allah itu sayang, perhatian dengan Saya dan anda sekalian. Itu saja (1991)).

*****

Pramilo kulo crios dateng lare-lare, ngomongke Dzikrul Ghofilin ojo pisan-pisan diiklan-ne, dipromosi’ne minongko senjata katrol sukses duniawiyah (1991).

( Untuk itu Saya berharap pada anak-anak, berkaitan dengan Dzikrul Ghofilin jangan sekali-kali di-iklankan, dipromosikan sebagai alat atau senjata untuk mengkatrol sukses duniawiyah (1991)).

Kisah-kisah Seputar Cara Beliau Da’wah

Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu ke laut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “Sampeyan semua nggak percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Allah SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Allah kepada Gus Miek.

Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.

Suatu ketika beliau berda’wah di Semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan. Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan.

Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus Miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus Miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang di jalan atau tamu aku diberi pengetahuan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “ jawab Gus Miek

Pertemuan dengan KH Achmad Siddiq

Selain cerita sebagaimana yang telah diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu mneyerang Gus Miek sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.

Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar: “Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato! Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”

KH. Ahmad Siddiq saat berada di Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah  dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”

Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk membela Gus Miek.

“Benar,” jawab Amar.

“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.

”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri. Bukan kiai, “jawab Amar.

KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh besar.

Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus Miek.

Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya. Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan (yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek, sebagaimana yang telah diceritakan di muka.

Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib.

“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.

“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahamad Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya.

“Aku hanya ingin bertanya apakah yang telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.

Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam dan tidak memberi jawaban.

KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib saja yang bias menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan membunuh Amar.

Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masi itu, KH. Mahrus Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras) dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggab menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali. Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu. Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya, bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri lirboyo agar tak ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan sampai sekarang.

Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga ploso yang awalnya mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah.

Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi gap di antara mereka.

Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU disebabkan ia bukan bagian dair jajaran pengurus NU. Gus Miek juga memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU, terutama dalam hal politik.

Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat pembicaraan empat mata yang sangat srius selama hamper tujuh jam. Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq; walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintk keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi.

Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung. 

“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq. “Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.

“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.

Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat pembicaraan serius  mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984, pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo.

Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya dengan para wali, lalu membaca bacaan itu.

KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisnya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya. Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”

Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, yang punya Fiat, bersama sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai Mujib, hanya mengiyakan saja.

Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada Muhyidin dan Ambar (putrid Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari, yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan, Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah dengan Hadi bin Ismail.

Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.

Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam KH. Abdurrhman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim (Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.

Di pinggir sungai, Gus Miek berkata kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah.

Gus Miek Bertemu KH. Dalhar, Watucongol

Setelah menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.

KH. Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Fawa Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.

Awal kedatangannya di Watucongol pada 1954, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakean, membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya dating dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.

“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.

“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.

“Saya ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.

KH. Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijsah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH. Dalhar, terutama dalam hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.

Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al Fatehah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya mengamalkan Al Fatehah.

Barangkali karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al Fatehah kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al Fatehah saja. Dan, bias jadi inilah yang mengilhami Gus Miek (di samping ijasah yang diberikan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada 1973..

KH. Dalhar,bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek dengan telaten selalu membersihkan terompah KH. Dalhar, dan menatanya untuk lebih mudah dipakai ketika KH. Dalhar naik ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah. Sebab istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah. Oleh karena itu, dalam rangka melatih keistiqamahannya, Gus Miek memulai dengan istiqamah membersihkan dan menata terompah KH. Dalhar gurunya.

Pernah, di suatu hari, Gus Miek menemukan trompah KH. Dalhar yang biasanya ada di depan kamar ada dua buah yang sama persis baik ukuran maupun bentuknya sehingga ia tidak bias membedakannya. Bungkul (tangkai tempat menjepit antara jari kaki) terompah KH. Dalhar terbuat dari emas, terompah yang satu juga sama. Akhirnya, ia membersihkan dan menata keduanya sambil menunggu siapakah tamu gurunya itu. Sekian lama ia menunggu sampai terkantuk-kantuk, tetapi terompah itu tetap dua buah jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena, terompah itu tinggal satu. Ia terkejut, kemudian berlari jauh keluar pondok untuk melihat tamu tersebut sepanjang jalan sehingga nafasnya tersengal-sengal. Tetapi, jalan tampak sepi dan tidak ada seorang pun terlihat melintas. Padahal, menurut perkiraan Gus Miek, orang tua yang berjalan memakai terompah itu pasti belum jauh dan seharusnya sudah terkejar atau justru berada jauh di belakangnya.

Esok harinya, Gus Miek menemui KH. Dalhar yang baru turun dari masjid memimpin jama’ah shalat Zuhur, sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya: “Maaf, Guru, tamu Guru tadi malam itu siapa?”

KH. Dalhar tidak menjawab, sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum mendapatkan jawaban. Gus Miek tatap duduk menunggu jawaban dari KH. Dalhar. Ketika KH. Dalhar beranjak ke masjid untuk mengimami shalat Ashar, ia mengikutinya untuk menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH. Dalhar kembali ke kamar, Gus Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di depan kamar untuk menunggu jawaban. Demikian juga ketika saat tiba waktu shalat Maghrib dan Isya. Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH. Dalhar menyuruh pembantunya memberi tahu bahwa tamunya semalam adalah Nabi Khidir. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah ia mau beranjak dari tempat duduknya. Menurut keterangan Nyai Dalhar, dari sekian banyak santri KH. Dalhar, hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan masuk ke kamar KH. Dalhar.

Kegiatan Gus Miek di Watucongol selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga tetap sering bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dn mengadu ayam jago. Kebiasaan ini membuat Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus Mad, putra KH. Dalhar, yang kebetulan saat itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok karena Gus Miek dianggap sering tidak disiplin. Sedangkan santri yang sering menemani Gus Miek saat di Watucongol adalah Bakri (KH.Bakri), kini pengasuh Pesantren Al Qur’an, Jampiroso, Kacangan, Boyolali.

Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di tempat KH. Dalhar karena dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat KH. Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan meninggal sekitar 23 Ramadhan 1959, begitu semua datang ke Watucongol, ternyata KH. Dalhar masih sehat. Tercatat di antara orang-orang yang pergi ke Watucongol adalah KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus Miek).

Pernah KH. Djazuli menugaskan Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol mewakili KH. Djzuli untuk menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke Watucongol. Di Watucongol, Gus Huda di samping menyerahkan adik-adiknya kepada KH. Dalhar sebagaimana amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila bila adiknya, Gus Miek, banyak melakukan kekeliruan di Watucongol. Tetapi, jawab KH. Dalhar waktu itu justru sangat mengejutkan Gus Huda, “Gus Miek itu difatihahi mental,” jawab KH. Dalhar. Gus Huda hanya tersenyum karena dia sudah paham akan adiknya yang satu itu.

Dalam versi yang lain diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan Gus Miek, tetapi kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh KH. Djazuli agar mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek masih duduk di teras dengan hanya memakai celana pendek.

“Mau ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.

“Aku disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.

Keduanya kemudian berangkat dengan naik kereta api. Sesampainya di Watucongol, ternyata Gus Miek sudah berada di teras pondok dengan pakaian masih seperti tadi pagi ketika di kediri.

“Kenapa di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.

“Mengantar kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.

“Aku tidak mau kalau pakaianmu seperti itu,” jawab Gus Huda sambil memberikan pakaiannya ke pada Gus Miek untuk berganti pakaian.

Mereka bertiga kemudian sowan. Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan memilih kamar dan setelah itu hilang entah ke mana dengan meninggalkan pakaian Gus Huda.

Akhirnya, semua memburu Gus Miek karena dianggap telah berbohong perihal kematian KH. Dalhar. Tetapi semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan 1959, KH. Dalhar benar-benar meninggal dunia.

Gus Miek Bertemu KH. Hamid Kajoran

Awal pertemuan Gus Miek dengan KH. Hamid Kajoran bisa dikatakan berawal dari rumah KH. Ashari, Lempuyangan karena saat itu KH. Hamid Kajoran aktif mengikuti kegiatan mujahadah yang diadakan oleh KH. Ashari, dan Gus Miek sangat dekat dengan keluarga KH. Ashari. Apalagi pada waktu-waktu selanjutnya, KH. Hamid Kajoran menjadi besan dari KH. Ashari.

Dalam dakwahnya di Semarang, Gus Miek mengalami berbagai hambatan sehingga dakwahnya tersebut belum bias maksimal. Di antara hambatan itu adalah besarnya pengaruh trio wali Jawa Tengah, yakni KH. Dalhar Watucongol, KH. Muslih Mranggen, Demak, dan KH. Hamid Kajoran, Magelang. Melihat kenyataan ini, hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat Islam di Jawa Tengah tentu tidak akan mudah menerima keberadaan Gus Miek dengan gaya dakwahnya.

Suatu hari, di Semarang, rombongan KH. Hamid Kajoran dan Khozin Abdullah usai menghadiri acara mauludan di rumah Gus Mad Watucongol, berusaha mengejar Gus Miek yang tengah berada di masjid Kauman, Semarang. Tetapi, Gus Miek yang tinggal di rumah Jauhari sedang keluar bersama Muntad. Karena lama menunggu Gus Miek belum juga datang, KH. Hamid berpamitan dan meninggalkan pesan untuk Gus Miek pada para Huffazh yang berada di situ. Esok harinya, mereka tetap tidak bisa bertemu Gus Miek karena Gus Miek telah berangkat ke Jawa Timur.

Hujan masih turun dengan derasnya di malam itu ketika Gus Miek beserta rombongan pulang dari pasar malam di Bondowoso. Tiba di depan pasar malam Arjasa, Gus Miek berhenti mampir di sebuah warung kopi dengan pelayan seorang perempuan tua. Setelah beberapa saat, Gus Miek berkata: “Aku tertarik dengan orang itu karena dua hal; pertama, orang itu ganteng dan simpatik; kedua, aku kasihan sama orang itu.”

Rombongan KH. Hamid Kajoran, yang beberapa bulan sebelumnya gagal bertemu dengan Gus Miek di Semarang, berusaha mencari Gus Miek lagi. Kali ini dengan rombongan dari Yogyakarta untuk mencari Gus Miek ke Pasuruan. Dalam rombongan itu ada Hadi Mustadi, KH. Daldiri beserta istri, dan Nyai Hamid Kajoran. Rombongan tersebut akhirnya bertemu dengan Gus Miek di perempatan Mojoagung, Jombang.

Gus Miek mengajak rombongan KH. Hamid ke salah satu warung. Setelah beberapa lama mengobrol, Gus  Miek menyuruh KH. Hamid dan KH. Daldiri beserta istri mengunjungi salah seorang habib di Panggul, sementara Gus Miek, Nyai Hamid, dan Hadi Mustadi langsung ke Setonogedong untuk ziarah.

Karena di Setonogedong belum ada listrik, ziarah terpaksa memakai senter. Dari Setonogedong dilanjutkan ke makam KH. Zaenudin, Mojosari. Sebelum pulang, Hadi Mustadi yang menderita gula, mengadukan penyakitnya kepada Gus Miek. Gus Miek kemudian memberi dia obat.

Beberapa minggu kemudian, Gus Miek datang ke Yogyakarta dan menginap di Hotel Utara selama beberapa hari untuk mengkoordinir para jama’ah yang semakin bertambah di Kota Gudeg tersebut. Setelah di Yogyakarta, Gus Miek melanjutkan perjalanannya ke Semarang. Ada satu cerita yang berkenaan dengan KH. Hamid Kajoran saat di Semarang ini. Suatu hari, saat Khozin (pengikut Gus Miek yang rumahnya dijadikan mangkal Gus Miek dan jama’ahnya di Semarang) sedang bekerja sebagai tukang jahit. Tiba-tiba ada tamu memakai baju Eropa (Belanda) berwarna putih lengkap dengan topi klopnya, masuk begitu saja tanpa permisi. Khozin membiarkan saja karena mengira tamu itu orang yang hendak memesan baju.

”Mas Khozin, minta es. Aku haus,” kata tamu itu.

Khozin terkejut karena tamunya ternyata KH. Hamid Kajoran. Khozin pun segera mengambilkan minum.

“Dari mana Kiai?” Tanya Khozin sambil sambil memberikan minum.

“Gus Miek itu payah, aku “digarap.” Aku bertemu Gus Miek di jalan, lalu disuruh melepas sarung dan berganti baju Belanda dan diajak main (berjudi) ke THR. Menang banyak, tapi ia bagikan semuanya kepada tukang becak di sepanjang jalan. Di jalan, bertemu mobil pickup yang isinya penuh cewek artis. Semuanya memanggil Gus Miek, Papi. Gus Miek menyuruhku langsung ke kauman, sementara dia langsung naik mobil berbaur cewek-cewek itu. Payah, kalau aku bertemu jama’ahku dengan pakaian seperti ini, mau aku taruh di mana mukaku,” jawab KH. Hamid Kajoran berapi-api. Khozin hanya tertawa mendengarnya.

Selanjudnya, Gus Miek meninggalkan Semarang dan meminta bantuan KH. Hamid Kajoran untuk “menggarap” wilayah Semarang dengan pusat gerakan di Kauman. Hal ini dilakukan karena KH. Hamid Kajoran sangat dihormati dan disegani, dan yang pasti bisa diterima di wilayah Jawa Tengah.

Gus Miek dengan Mbah Kyai Hamid Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek talah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenak kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel tergangu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjudkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.

“Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.

“Ah, masak?” tanya KH. Ahamd Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.

“Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid.

KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan.

“Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.

Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.

Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahamad Siddik juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.

“Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.

“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”

Amar mengangguk.

“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu ruamh,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.

Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.

“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.

Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”

“Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.

“Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.

Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”

Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Syakaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as Syakat. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.

Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.

Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.

“Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .

Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.

“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.

Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.

Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-syakaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-syakaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.

“Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Syakaf.

“Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek.

“Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Syakaf.

Habib Muhamad as-Syakaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Syakaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Syakaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Syakaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dn sisuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Syakaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak mersakan apa-apa. Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Syakaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.

Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.

Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memhami saksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).

“Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid.

“Ploso,” jawab Maskur.

“Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.

“Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.

“Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid .

Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul.

Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu.

“Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup.

KH. Hamid kemudian membukakan jendela.

“Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid.

Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga.

“Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.

Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.

Gus Miek Bertemu KH. Mas’ud, Pagerwojo

Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud jugauntuk mengharapkan doa dan dibacakan Al-fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.

KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.

“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Di sekitar tahun 1950-an, kamu dating ke rumahku meminta doa. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bias berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendpatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.

Begitu GusUd selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.

Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’I dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’I tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).

Ketika Syafi’I iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalanya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.

Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.

“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.

Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud dating dengan dipapah dua orang santri.

“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan kea rah Gus Miek.

Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di ruamh, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan  dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud kepada Gus miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’I di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.

Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Gus Miek Bertemu Mbah Jogoreso

Pada masa itu, Mbah Jogoreso terkenal sebagai seorang wali yang nyentrik. Bila menemui tamu yang dating ke rumahnya, selalu berpakaian sedapatnya, terkadang tidak memakai baju, bahkan kain sarungnya pun tidak jarang tersingkap menampakkan auratnya. Ketika Gus Miek yang sowan, Mbah Jogoreso berpakaian sangat rapi bahkan duduk dan bertutur kata pun sangat sopan.

Bila ada orang yang akan dekat dengan Allah, atau orang itu akan menjadi orang yang besar, tamu itu akan diuji dengan sesuatu yang tidak menyenangkan oleh Mbah Jogoreso. Tetapi, bila akan mengalami keburukan atau menjadi orang durhaka akan diuji dengan sesuatu yang menyenangkan.

Suatu hari, Gus Miek bersama Hamim Hasyim, Kemayan, Kediri, menemui Mbah Jogoreso, Gus Miek ditempeleng dengan sangat keras oleh Mbah Jogoreso sehingga pipinya tampak memerah. Gus Miek kemudian mundur agak menjauh dari Mbah Jogoreso. Tetapi, Nyai Jogoreso yang saat itu berada di samping pintu justru menyuruh Gus Miek maju.

“Gus, sampean maju lagi,” kata Nyai Jogoreso.

Gus Miek pun maju lagi lebih dekat, tetapi kembali ditempeleng lebih keras lagi sehingga matanya tampak berkaca-kaca menahan sakit. Gus Miek mundur, tetapi Nyai Jogoreso kembali menyuruhnya maju, bahkan lebih dekat lagi. Kembali Mbah Jogoreso menempeleng Gus Miek untuk yang ketiga kali, sehingga wajahnya tampak semakin merah. Setelah ditempeleng untuk yang ketiga kalinya, dan Gus Miek berniat maju lagi, Nyai Jogoreso mencegahnya.

”Sudah, Gus. Sudah cukup,” kata Nyai Jogoreso.

Ketika akan berpamitan pulang, Mbah Jogoreso memeluk  Gus Miek cukup lama.

Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama KH. Hamid Kajoran berkunjung ke Watucongol.

“Mbah, mari ke Gunungpring!” ajak Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.

“Mari,” jawab KH. Hamid.

Tiba di Gunungpring waktu hampir Ashar. Menaiki tangga jalan menuju makam yang panjang dan mendaki, Gus Miek menyuruh Sunyoto memapah KH. Hamid Kajoran. Di makam KH. Dalhar, Gus Miek memimpin tawasulan dan doa.

“Mbah, mari ke Mbah Jogo,” ajak Gus Miek kepada KH. Hamid Kajoran.

KH. Hamid pun mengiyakan. Tiba di ruamh Mbah Jogoreso, Gus Miek tiba-tiba menyelinap entah kemana, sementara KH. Hamid Kajoran dan Mulyadi sudah telanjur masuk, sementara Sunyoto hanya ada di luar menunggu Gus Miek. Tampak KH. Hamid duduk berbincang dengan Nyai Jogoreso dengan menunduk penuh hormat, sementara Mulyadi hanya diam saja.

Tiba-tiba Gus Miek masuk tanpa memakai peci, menepuk lutut Nyai Jogoreso yang saat itu duduk di kursi di seberang KH. Hamid.

“Mbah, saya akan berdoa, diamini ya?” kata Gus Miek, lalu berdoa sambil tetap berdiri. Nyai Jogoreso mengamini doa Gus Miek dan menjerit-jerit menyebut nama Allah, membuat Mulyadi dan Sunyoto merinding mendengarnya.

Gus Miek Bertemu KH. Mubasyir Mundzir

Bias dikatakan bahwa KH. Munbasyir Mundzir adalah orang nomor satu yang berdiri di belakang Gus Miek. Ia tokoh yang tak pernah meragukan kebenaran langkah Gus Miek, membela Gus Miek ketika orang tua Gus Miek sendiri masih meragukannya, dan selalu mendukung perjuangan Gus Miek apa pun bentuknya. Di samping itu, ia juga tokoh yang menjadi saksi hidup Jam’iyah Lailiyah dan Dzikrul Ghofilin.

Suatu ketika, KH. Djazuli yang telah mengenal KH. Mundzir sebagai seorang yang alim dan luas pandangannya serta termasyhur sebagai seorang wali yang memiliki kemampuan melihat tanda-tanda kelahiran wali kemudian bertanya kepada KH. Mundzir: “Kiai, bagaimana dengan anak saya itu?”

“Yang mana, Kiai?” KH. Mundzir balik bertanya.

“Amiek itu lho, Kiai,” jawab KH. Djazuli.

“Oh itu, biarkan. Barkan saja dia. Tinggi, tinggi derajatnya nanti,” KH. Mundzir menjawab dengan serius.

Di luar pengajiannya, Gus Miek bersama KH. Mubasyir Mundzir aktif di Bandar untuk membantu perjuangan Wahidiyah milik KH. Abdul Madjid. Ketiga kiai ini saat itu terkenal sebagai trio auliya Kediri yang sangat akrab dan saling membantu satu sama lain. Mereka sering mengadakan pertemuan untuk membahas berbagai permasalahan umat. Ketika KH. Abdul Madjid mendapatkan penentangan yang luar biasa dari KH. Mahrus Ali, KH. Mundzir dan Gus Miek selalu membela dan mendukung perjuangannya. Dalam setiap acara pertemuan, baik yang hanya terdiri dari beberapa orang maupun ratusan orang, Gus Miek selalu mendapatkan bagian memimpin doa, sementara yang lain mengamini.

Seiring dengan berjalannya waktu, KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Miek merasa bahwa perjuangan KH. Abdul Madjid dengan Wahidiyahnya telah bias berjalan tanpa bantuan dan dukungan keduanya lagi. Keduanya merasa bahwa sudah waktunya untuk menentukan wilayah perjuangan masing-masing. Dalam perbincangannya dengan Gus Miek, akhirnya KH. Mubasyir Mundzir berniat mendirikan pondok pesantren sendiri di Bandar, Kediri, sementara Gus Miek masih mencari tempat dan waktu yang cocok untuk memulai.

Di samping alasan di atas, hal yang paling mendasar yang menjadi alas an pecahnya trio wali dalam tataran wilayah perjuangan itu disebabkan munculnya ketidaksepahaman antara kubu KH. Abdul Madjid dengan kubu KH. Mubasyir Mundzir dan Gus Miek. Perlu dicatat bahwa ketidaksepahaman ini hanya sebatas pada “metode perjuangan dan sasaran perjuangan” dan tidak sampai pada permusuhan pribadi. Hal ini terlihat dari hubungan di antara kedua kubu itu masih tetap terjalin di mana KH. Abdul Madjid masih sering menghadiri kegiatan yang diadakan Gus Miek. Sementara KH. Mubasyir Mundzir dengan Gus Miek telah sedemikian mesra seperti kakak dan adik.

Amar dan Katsir Siroj pernah menemani Gus Miek ke Setonogedong. Keduanya duduk-duduk di serambi masjid, sedang Gus Miek berada di rumah mertunaya. Tiba-tiba KH. Mubasyr Mundzir datang menemui keduanya.

“Ini anak ploso ya? Masya Allah, Gus Miek itu jadzab seumur hidup. Gus MIek, kalau menyuruh tidak shalat, kamu tetap shalat. Itu nanti yang akan dihisab. Gus Miek itu kalau menjalankan shalat, justru tidak sah sebab Gus Miek gila kepada Allah. Kamu kalau diajak ke tempat orang nakal, jangan ikut menjadi nakal. Sebab Gus Miek di tempat orang nakal itu yang terlihat hanya Allah,” kata KH. Mubasyir Mundzir.

Amar dan Katsir Siroj hanya terdiam. KH. Mubsyir Mundzir pun kemudian berlalu. Tidak lama kemudian, amar hanya tersenyum-senyum karena ia yang paling sering diajak ke tempat orang nakal. Berbeda dengan Katsir Siroj yang belum pernah diajak ke tempat seperti itu.

Adanya sistem Da’wah yang dilakukan Gus Miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wah seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal KH.Abdul Hamid juga seorang waliyallah.

Dawuh-Dawuh Gus Miek (Text Lengkap)

Dhawuh 1

Saya adalah mursyid tunggal Dzikrul Ghofilin.

“Lho, Gus kok berkata begitu bagaimana dengan farid dan syauki..?” tanya Gus Ali sidoarjo.”mereka hanya meramaikan saja” , jawab Gus Miek

Dhawuh 2

Demi Allah, saya hanya bisa menangis kepada Allah, semoga sami’in yang setia, pengamal Dzikrul Ghofilin, semua maslah-masalahnya tuntas diperhatikan oleh Allah.

Dhawuh 3

Bila mengikuti Dzikrul Ghofilin, kalau tidak tahu artinya yang penting hatinya yakin.

Dhawuh 4

Barusan ada orang bertanya: Gus, Dzikrul Ghofilin itu apa..? saya jawab: “Jamu”.

Dhawuh 5

Dzikrul Ghofilin itu senjata pamungkas, khususnya menghadapi tahun 2000 ke atas

Dhawuh 6

Ulama sesepuh yang dikirimi fatihah oleh orang-orang yang tertera atau tercantum dalam Dzikrul Ghofilin itu yang akan saya dan kalian ikuti di akhirat nanti.

Dhawuh 7

Dekatlan kepada Allah..! kalau tidak bisa, dekatlah dengan orang yang dekat denganNya.

Dhawuh 8

Kemanunggalan sema’an Al Qur’an dan Dzikrul Ghofilin adalah sesuatu yang harus di wujudkan oleh pendherek, pimpinan Dzikrul Ghofilin, dan jama’ah sema’an Al Qur’an. Sebab antara sema’an Al Qur’an kaliyan Dzikrul Ghofilin ingkang sampun dipun simboli kaliyan fatihah miata marroh ba’da kulli shalatin, meniko berkaitan manunggal.

Dhawuh 9

Semoga Dzikrul Ghofilin ini menjadi ketahanan batiniah kita, sekaligus penyangga kita di hari Hisab (hari perhitungan amal). Itulah yang paling penting..!

Dhawuh 10

Nuzulul Qur’an yang bersamaan dengan turunnya hujan ini, semoga menjadi isyarat turunnya petunjuk kepada saya dan kalian semua, seperti firman Allah: “Ulaika ‘ala  hudan min rabbihim wa ulaika hum al-muflihun” (Mereka telah berada di jalan petunjuk , dan mereka adalah orang-orang yang beruntung).

Dhawuh 11

Barusan ada orang yang bertanya: Gus, bagaimana saya ini, saya tidak bisa membaca Al Qur’an..? saya jawab: “Paham atau tidak, yang penting sampean datang ke acara sema’an, karena mendengarkan saja besar pahalanya”.

Dhawuh 12

Sejak sekarang, yang kecil harus berpikir: kelak kalau besar, aku besar seperti apa, yang besar harus berpikir, kalau tua kelak, aku tua seperti apa, yang tua juga harus berpikir, kelak kalau mati, aku mati dalam keadaan seperti apa.

Dhawuh 13

Dalam sema’an ada seorang pembaca Al Qur’an, huffazhul Qur’an dan sami’in. Seperti ditegaskan oleh sebuah hadits: Baik pembaca maupun pendengar setia Al Qur’an pahalanya sama. Malah di dalam ulasan tokoh lain dikatakan: pendengar itu pahalanya lebih besar daripada pembacanya. Sebab pendengar lebih main hati, pikiran, dan telinganya. Pendengar dituntut untuk lebih menata hati dan pikirannya dan lebih memfokuskan pendekatan diri kepada Allah.

Dhawuh 14

Satu-satunya tempat yang baik untuk mengutarakan sesuatu kepada Allah adalah majelis sema’an Al Qur’an. Hal ini tertera di dalam (kalau tidak salah) tiga hadits. Antara lain Man arada an yatakallam ma’a Allah falyaqra’ Al Qur’an (siapa ingin berkomunikasi dengan Allah, hendaknya ia membaca Al Qur’an).

Dhawuh 15

Seorang yang ikut sema’an berturut-turut 20 kali saya jamin apa pun masalah yang sedang dihadapinya pasti akan beres/tuntas.

Dhawuh16

Ada seorang datang kepada saya: “Gus, problem saya bertumpuk-tumpuk, saya sudah mengikuti sema’an 19 kali, tinggal 1 kali lagi, kira-kira masalah saya nanti tuntas atau tidak..?” saya jawab: “yang sial itu saya, kok bertemu dengan orang yang mempunyai masalah seperti itu.”

Dhawuh 17

Saya sendiri  sebagai pencetus sema’an Al Qur’an ternyata kurang konsekuen, sementara sami’in datang dari jauh, bahkan hadir sejak subuh, mulai surat Al fatihah dibaca sampai berakhir setelah doa khotmil Qur’an malam berikutnya baru mereka pulang. Sedang saya ini, baru datang kalau sema’an Al Qur’an akan diakhiri. Itu pun tidak pasti. Terkadang saya berpikir, saya ini seorang yang dipaksakan untuk siap dipanggil kiai.

Dhawuh 18

Berapa yang hadir setiap sema’an? Jangan  lebih lima persen. Nanti bila sami’innya terlalu banyak, saya hanya menangis dan membaca Al Fatihah, lalu pulang. Saya sadar, saya tidak mampu berbuat apa-apa. Jangankan untuk orang banyak, untuk satu orang  saja saya tidak bisa.

Dhawuh 19

Kalau saya nongol, mungkin tak cukup semalaman. Satu persatu harus dilayani. Saya besok ke mana? Apa yang harus saya lakukan? Kami tidak punya modal? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, Dan, saya dituntut untuk memberikan keterangan yang bisa mereka terima, setidaknya agak menghibur, dengan lelucon atau dengan pengarahan yang pas.

Dhawuh 20

Semoga sema’an dan Dzikrul Ghofilin ini kelak menjadi tempat duduk-duduk dan hiburan anak cucu kita semua.

Dhawuh 21

Alhamdulillah, saya adalah yang pertama memberitahukan kepada “anak-anak” tentang makna dan kegunaan sema’an Al Qur’an. Di tengah maraknya Al Qur’an diseminarkan dan didiskusikan, Alhamdulillah masih ada kelompok kecil yang menyakini bahwa Al Qur’an itu mengandung berkah.

Dhawuh 22

Saya mengambil langkah silang dengan mengatakan kepada anak-anak yang berkumpu agar sebulan sekali mengadakan pertemuan, ngobrol-ngobrol, guyon-guyon santai, syukur bisa menghibur diri dengan hiburan yang berbau ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah. Kebetulan saya menemukan satu  pakem bahwa pertemuan yang dibarengi dengan alunan Al Qur’an, membaca dan mendengarkannya, syukur-syukur dari awal sampai akhir, Allah akan memberikan rahmat dan nikmatNya. Jadi, secara batiniah, sema’an Al Qur’an ini menurut saya adalah hiburan yang bersifat hasnah (bernilai baik). Juga, pendekat diri kita kepada Allah dan tabungan di hari akhir. Itu pula yang benar-benar diyakini para pengikut sema’an Al Qur’an.

Dhawuh 23

Di bukit ini terdapat 3 tiang kokoh (panutan), yaitu (1) Syaikh Abdul Qodir Khoiri, seorang wali yang penuh kasih, (2) Abdul Sholih As-Saliki, seorang wali yang terus menjaga wudhunya demi menempuh jalan berkah, (3) Muhammad Herman, ia adalah wali penutup, orang-orang terbaik berbaur dengannya. Wahai tuhanku, berilah manfaat dan berkah mereka. Kumpulkan aku bersama mereka.

Dhawuh 24

Mengenai tata krama ziarah kubur, selayaknya lahir batin ditata dengan baik. Saya juga berpesan, kalau seseorang berceramah, hendaknya ia tidak meneliti siapa yang dimakamkan, juga riwayat hidupnya. Setidaknya hal demikian ini hukumnya makruh.

Dhawuh 25

Tiga orang yang tidur ini hidup sebelum Wali songo. Orang-orang banyak datang kesini. Demikian juga orang-orang yang sakit, mereka kalau datang ke sini sembuh.

Dhawuh 26

Kelak, bila aku sudah tiada, yang saya tempati ini (makam tambak) bertambah ramai (makmur)

Dhawuh 27

Saya disini hanya ittiba’(mengikuti) kiai sepuh, seperti kiai Fattah dan kiai Mundzir. Di sini, dulu pernah dibuat pertemuan kiai-kiai pondok besar.

Dhawuh 28

Makam ini yang menemukan keturunan Pangeran Diponegaoro. Dulu, desa ini pernah dibuat istirahat oleh pangeran Diponegoro. Di desa ini tidak ada shalat dan tidak ada apapun. Keturunan Diponegoro ini ada dua, yang satu menjadi dukun sunat tetapi kalau berdandan nyentrik, sedang adiknya jadi pemimpin seni jaranan.

Dhawuh 29

Berbaik sangka itu sulit. Jangankan berbaik sangka kepada Allah, kepada para wali dan para kiai sepuh saja sulit.

Dhawuh 30

Di tambak itu, kalau bisa bersabar, akan terasa seperti lautan, dan kalau bisa memanfaatkan, akan banyak sekali manfaatnya. Tapi kalau tidak bisa memanfaatkan, ia akan bisa menenggelamkan.

Dhawuh 31

Huruf hijaiyah itu ada banyak ada ba’, jim, dhot, sampai ya’. Demikian juga dengan taraf ilmu seseorang. Ada orang yang ilmunya cuma sampai ba’, ada orang yang ilmunya sampai jim, ada orang yang ilmunya sampai dhot saja. Nah, orang yang ilmunya seperti itu tidak paham kalau di omongi huruf tha’, apalagi huruf hamzah dan ya’.

Dhawuh 32

Saya bukan kiai, saya ini orang yang terpaksa siap dipanggil kiai. Saya juga bukan ulama. Ulama dan kiai itu beda. Kiai dituntut untuk punya santri dan pesantren. Ulama itu kata jamak yang artinya beberapa ilmuwan. Ketepatan saja saya punya bapak yang bisa ngaji dan punya pesantren. Itu pun tidak ada hubungannya dengan saya yang lebih banyak berkelana. Dari berkelana itu lahirlah sema’an Al Qur’an. Jadi, hiburan “anak-anak” dan saya datang bukan atas nama apa-apa. Hanya salah satu pengikut sama’an Al Qur’an, yang bukan sami’in setia bukan pengikut  yang aktif.

Dhawuh 33

Nanti, kalau suamimu berani menjadi kiai harus sanggup hidup melarat.

Dhawuh 34

Akhirnya (maaf), kita menyadari bahwa kaum ulama, lebih-lebih seperti saya, dituntut untuk menggali dana yang lebih baik, dana yang benar-benar halal, kalau kita memang mendambakan ridho Allah.

Dhawuh 35

Di era globalisasi ini kita dituntut untuk lebih praktis, tidak terlalu teoretis. Semua kiai dan ulama sekarang ini dituntut mengerti bahwa dirinya punya satu tugas dari Allah, yakni membawa misi manusiawi.

Dhawuh 36

Kalau ingin pondok pesantrennya besar, itu harus kaya terlebih dahulu. Nah, kaya inilah yang sulit.

Dhawuh 37

Pondok pesantren ini, walaupun kecil, mbok ya biarkan hidup, yang luar biar di luar, yang dalam biar di dalam.

Dhawuh 38

Saya punya pertanyaan buat diri saya sendiri: mampukah saya mengatarkan “anak-anak?” Sedang ulama saja banyak yang kurang mampu mengantarkan anak-anak untuk saleh dan sukses. Suksenya diraih, salehnya meleset. Di dalam pesantren sama sekali tidak diajarkan keterampilan. Timbul pertanyaan: Bagaimana anak-anak kami nanti di masa mendatang, bisnisnya, ekonominya, nafkahnya hariannya? Mungkinkah mereka berumah tangga dengan kondisi seperti ini?.

Dhawuh 39

Mbah, manusia itu kalau punya keinginan, hambatannya Cuma dua. Godaan dan hawa nafsu. Kuat cobaan apa tidak, kuat dicoba apa tidak.

Dhawuh 40

Para santri itu lemah pendidikan keterampilannya. Sudah terlanjur sejak awalnya begitu. Tapi Alhamdulillah, di pesantren-pesantren seperti Gontor dan pondok pabelan diajarkan keterampilan-keterampilan. Di sana, keterampilannya ada, tapi wiridannya tidak ada. Saya senang pesantren yang ada wiridannya.

Dhawuh 41

Sukses dalam studi belum menjamin sukses dalam hidup. Pokoknya, di luar buku, di luar bangku, di luar kampus, masih ada kampus yang lebih besar, yakni kampus Allah. Kita harus banyak belajar. Antara lain belajar dangdut Jawa, belajar tolak berhala, dan belajar tolak berhala itu sulit sekali! Sulit sekali.

Dhawuh 42

Hidup ini sejak lahir hingga mati, adalah kuliah tanpa bangku.

Dhawuh 43

Mbah, kamu itu ketika mengaji, jika dipanggil ayah, ibu atau putra-putra ayah, siapa saja itu, jangan menunggu selesai mengaji, langsung saja ditaruh kitabnya, lalu menghadap dengan niat mengaji.

Dhawuh 44

Seorang (santri) yang tak kuat menahan lapar, bahayanya orang (santri) itu di pondok bisa berani banyak utang.

Dhawuh 45

Mbah, kalau kamu menggantungkan kiriman dari rumah, kalau belum dikirim jangan mengharap-harap dikirim, semua sudah diatur oleh Allah.

Dhawuh 46

Sekarang, mencari orang bodah itu sulit, sebab orang bodoh kini mengaku pintar. Kelak, kalau kamu sekolah, berlaku bodah saja. Bagaimana caranya? Pura-pura saja, dan harus bisa pura-pura bodoh. Maksudnya, kamu harus pintar membedakan antara orang bodoh dengan orang yang pura-pura bodoh.

Dhawuh 47

Dunia itu memang sedikit, tapi tanpa dunia, seseorang bisa mecicil (blingsatan).

Dhawuh 48

Jadi orang itu harus mencari yang halal, jangan sampai jadi tukang cukur merangkap jagal.

Dhawuh 49

Miskin dunia sedikitnya berapa, tak ada batasannya demikian juga kaya dunia. Seorang yang kaya pasti ada yang di atasnya, seorang yang melarat banyak temannya. Orang kaya pasti ada kurangnya. Ini adalah ilmu Jawa, tidak perlu muluk-muluk mengkaji kitab kuning.

Dhawuh 50

Kamu memilih kaya-sengsara atau melarat-terlunta? Maksudnya, kaya-sengsara itu adalah di dunia diganggu hartanya, sedang di akhirat banyak pertanyaannya.

Dhawuh 51

Gus, tolong saya didoakan kaya. “kaya buat apa?”, tanya Gus Miek. Buat membiayai anak saya. Royan, kamu tak usah khawatir, saya berdoa kepada tuhan agar orang selalu baik dan membantu kamu. Adapun orang yang berbuat buruk atau berniat buruk kepadamu akan saya potong tangannya. Kelak, dirimu saya carikan tempat yang lebih baik dari dunia ini.

Dhawuh 52

Royan, kamu ingin kaya ya? Kalau sudah kaya, nanti kamu repot lho.

Dhawuh 53

Orang kaya yang masuk surga itu syaratnya harus baik dengan tetangganya yang fakir.

Dhawuh 54

Seorang fakir yang tahan uji, yang tetap bisa tertawa dan periang. Sedang hatinya terus mensyukuri keadaan-keadaannya, masih lebih terhormat dan lebih unggul melebihi siapa pun, termasuk orang dermawan yang 99% hak milinya diberikan karena Allah, tetap saja masih unggul fakir yang saleh tadi.

Dhawuh 55

Saat memimpin doa pada acara haul KH. Djazuli Ustman, Gus Miek membaca Ayyuha ad-dunya thallaqtuka fa’anta thaliqah.(Wahai dunia, aku telah menalak kamu, sungguh aku telah mentalak kamu). Gus Miek lalu berhenti dan berkomentar:

Doa-doa seperti ini jangan sampai kalian ikut mengamini, belum mengamini saja sudah senin kemis, apalagi mengamini, bertambah dalam (terperosok) lagi.

Dhawuh 56

Maaf, kalau saya harus mengatakan: Anda sebaiknya punya keterampilan. Jangan malu mengerjakan yang kecil, asal halal. Karena banyak sekali rekanan saya yang malu, misalnya jualan kopi di ujung sana, di sektor informal. Kok jualan kopi sih? Padahal saya mendambakan menjadi karyawan bank, biar terdengar keren dengan gaji tinggi. Kok ini? Kata mereka. Padahal ini halal menurut Allah dan sangat mulia. Sayang, mereka salah menempatkan, menjaga gengsi di hadapan manusia. Nah, ini tidak konsekuen, ini terlanjur salah kaprah. Kalau saya mengatakannya secara salah, saya yang terjepit.

Dhawuh 57

Saya ini kan lain. Walau income resmi enggak ada, tanah tak punya, tapi ada rekanan yang lucu-lucu. Hingga rasa tasyakurlah yang lebih berkobar. Bukan rasa kurang atau yang lain.

Dhawuh 58

Ada satu kios kecil yang isi dengan kebutuhan kampung seperti lombok, beras dan gula, di tempat yang sami’in tidak tahu. Kios itu saya percayakan pada seseorang. Terserah dia! Dan, tidak harus untung. Mungkin dia sendiri harus belajar untuk menerima kenyataan. Termasuk untuk tidak untung.

Dhawuh 59

Jadilah seburuk-buruk manusia di mata manusia tetapi luhur di mata Allah.

Dhawuh 60

Tidak apa-apa dianggap seperti PKI tetapi kelak masuk surga.

Dhawuh 61

Hidup itu yang penting satu, keteladanan.

Dhawuh 62

Kunci sukses adalah bergaul, dan di dalam bergaul kita harus ramah terhadap siapa saja. Sedang prinsipnya adalah bahwa pergaulan harus menjadikan cita-cita dan idaman kita tercapai, jangan sebaliknya.

Dhawuh 63

Segala langkah, ucapan, dan perbuatan itu yang penting ikhlas, hatinya ditata yang benar, tidak pamrih apa-apa.

Dhawuh 64

Kalau ada orang yang menggunjing aku, aku enggak usah kamu bela. Kalau masih kuat, silakan dengarkan, tapi kalau sudah tidak kuat, menyingkirlah.

Dhawuh 65

Kalau ada orang yang menjelek-jelekkan, temani saja, jangan menjelek-jelekkan orang yang menjelek-jelekkan. Kalau memang senang mengikuti sunnah nabi, ya jangan dijauhi mereka itu karena nabi itu rahmatan lil alamin.

Dhawuh 66

Kita anggota sami’in Dzikrul Ghofilin khususnya, ayo ramah tamah secara lahir dan batin dengan orang lain, dengan sesame, kita sama-sama manusia, walaupun berbeda wirid dan aliran. Kita harus mendukung kanan dan kiri yang sudah terlanjur mantab dalam Naqsabandiyah, Qodiriyah, atau ustadz-ustadz Tarekat Mu’tabarah. Jangan sampai terpancing untuk tidak suka, tidak menghormati pada salah satu wirid yang jelas muktabar dengan pedoman-pedoman yang sudah terang, khusus dan tegas

Dhawuh 67

Tadi ada orang bertanya: Gus, saya ini di kampung bersama orang banyak. Jawab saya: Yang penting ingat pada Allah, tidak merasa lebih suci dari yang lain, tidak sempat melirik maksiat orang lain, dengan siapa saja mempunyai hati yang baik, itulah ciri khas pengamal Dzikrul Ghofilin.

Dhawuh 68

Era sekarang, orang yang selamat itu adalah orang yang apa adanya, lugu dan menyisihkan diri.

Dhawuh 69

“Miftah, kamu masih tetap suka bertarung pencak silat?” Tanya Gus Miek. Lha bagaimana Gus, saya ikut, jawab Miftah. “Kalau kamu masih suka (bertarung) pencak, jangan mengharap baunya surga.”

Dhawuh 70

Saya lebih tertarik pada salah seorang ulama terdahulu, contohnya Ahmad bin Hambal. Kalau masuk tempat hiburan yang diharamkan Islam, dia justru berdoa: “Ya Allah, seperti halnya Kau buat orang-orang ini berpesta pora di tempat seperti ini, semoga berpesta poralah mereka di akhirat nanti. Seperti halnya orang-orang di sini bahagia, semoga berbahagia pula mereka di akhirat nanti.” Ini kan doa yang mahal sekali dan sangat halus. Tampak bahwa Ahmad bin Hambal tidak suka model unjuk rasa, demonstrasi anti ini anti itu. Apalagi seperti saya yang seorang musafir, saya dituntut untuk lebih menguasai bahasa kata, bahasa gaul, dan bahasa hati.

Dhawuh 71

Seorang yang diolok-olok atau dicela orang lain, apa itu termasuk sabar? Badanya sakit, anaknya juga sakit, istrinya meninggal, apa itu juga termasuk sabar? Hartanya hancur, istrinya mati, anaknya juga mati, apa itu termasuk orang yang sudah sabar? Seperti  itu tidak bisa disebut sebagai orang sabar, entah sabar itu bagaimana, aku sendiri tidak mengerti.

Dhawuh 72

Tadi, ada orang yang bertanya: periuk terguling, anak-istri rewel, hati sumpek, pikiran ruwet, apa perlu pikulan ini (tanggung jawab keluarga) saya lepaskan untuk mencari sungai yang dalam (buat bunuh diri). Saya jawab: Jangan kecil hati, siapa ingin berbincng-bincang dengan Allah, bacalah Al Qur’an.

Dhawuh 73

Tadi ada yang bertanya: Gus, bagaimana ya, ibadah saya sudah bagus, shalat saya juga bagus, tetapi musibah kok datang dan pergi? Saya jawab: mungkin masih banyak dosanya, mungkin juga bakal diangkat derajat akhiratnya oleh Allah; janganlah berkecil hati.

Dhawuh 74

Orang-orang membacakan Al-Fatehah untukku, katanya aku ini sakit. Aku ini tidak sakit, hanya fisikku saja yang tidak kuat karena aktivitasku ini hanya dari mobil ke mobil, dan tidak pernah libur.

Dhawuh 75

Ada empat macam perempuan yan diidam-idamkan semua orang (lelaki). Perempuan yang kaya, perempuan bangsawan, dan perempuan yang cantik. Tapi ada satu kelebihan yan tidak dimiliki oleh ketiga perempuan itu, yaitu perempuan yang berbudi.

Dhawuh 76

Anaknya orang biasa itu ada yang baik dan ada yang jelek. Demikian juga anaknya kiai, ada yang baik dan ada yang jelek. Jangankan anaknya orang biasa atau anaknya kiai, anaknya nabi pun ada yang berisi dan ada yang kosong. Kalau sudah begini, yang paling baik bagi kita adalah berdoa.

Dhawuh 77

Di tengah-tengah sulitnya kita mengarahkan istri, menata rumah tangga, dan sulitnya menciptakan sesuatu yang indah, sedang tanda-tanda musibah pun tampak di depan mata, semua itu menuntut kita menyusun ketahanan batiniah, berusaha bagaimana agar Allah sayang dan perhatian kepada kita semua.

Dhawuh 78

Tadi, ada orang yang bertanya: anak saya nakal, ditekan justru menjadi-jadi, bagaimana Gus? Nasehat orang tua terhadap anaknya janganlah menggunakan bahasa militer, pakailah bahasa kata, bahasa gaul, dan bahasa hati.

Dhawuh 79

Gus, kenapa Anda menamakan anak Anda dengan bahasa Arab dan non Arab? Begini, alas an saya menamakan dengan dua bahasa itu karena mbahnya dua; mbahnya di sini santri, mbahnya di sana bukan. Mbahnya di sini biar memanggil Tajud karena santri, mbahnya di sana yang bukan santri biar memanggil Herucokro; mbanya di sini biar memanggil sabuth, mbahnya di sana biar memanggil panotoprojo.

Dhawuh 80

Menurut Anda, bagaimana sebaik-baiknya busana muslim itu? Jilbab kan banyak dipertentangkan akhir-akhir ini? Pada akhirnya, seperti penggabungan Indonesia, Siangapura, Malaysia, Thailand, Brunei, dan Filipina menjadi ASEAN, tidak menutup kemungkinan, ada bahasa dan busana ASEAN. Sehingga siapa pun dengan terpaksa untuk ikut dan patuh. Ya, kita sebagai orang tua harus diam kalau itu nanti terjadi, dan kalau ingin selamat, ya mulai sekarang kita harus berbenah.

Dhawuh 81

Saya kira-kira dituntut untuk lebih menggalakkan ibadatul qalbi (ibadah dalam hati). Mungkin begitu. Sebetulnya putrid rekan-rekan ulama juga sudah banya yang terbawa arus; ya sebagian ada yang masih mengikuti aturan, tetap berjilbab, misalnya. Tetapi ada juga yang tetap berjilbab karena sungkan lantaran orang tuanya mubaligh. Secara umum, sudah banyak yang terbawa arus.

Dhawuh 82

Dunia ini semakin lama semakin gelap, banyak hamba Allah yang bingung, dan sebagian sudah gila. Sahabat Muazd bin Jabbal berkata: “siapa yang ingat Allah di tengah-tengah dunia yang ramainya seperti pasar ini, dia sama dengan menyinari alam ini.”

Dhawuh 83

Memiliki lidah atau mulut itu jangan dibirkan saja, lebih baik dibuat zikir pada Allah, dilanggengkan membaca lafal Allah.

Dhawuh 84

Hadirin tadi ada orang yang bertanya: Gus, pendengar Al Qur’an ini kalau usai shalat fardhu, yang terbaik membaca apa ya? Saya jawab: Untuk wiridan, kecuali kalian yang sudah mengikuti sebagian tarekat mu’tabarah, baik membaca Al Fatehah 100 kali. Ini juga menjadi simbolnya Dzikrul Ghofilin. Resepnya, mengikuti imam Abu Hamid Al Ghazali, yang juga diijasahnya oleh adiknya, Syaikh Ahmad Al Ghazali.

Dhawuh 85

Trimah, kamu pasti mau bertanya: Kiai, wiridannya apa, mau bertanya begitu kan? Tidak sulit-sulit, baca shalawat sekali, pahalanya 10 kali lipat; jangan repot-repot, baca shallallah ‘ala Muhammad, itu saja, yang penting benar.

Dhawuh 86

Saya punya penyakit yang orang lain tidak tahu. Saya ini terus terang tamak, takabur yang terselubung, dan diam-diam ingin kaya. Padahal saya punya persoalan khusu dengan Allah. Artinya, saya adalah hamba yang diceramahkan, sedang Allah yang sudah saya yakini adalah sutradara.

Dhawuh 87

Persoalan mengenai hakikat hidup di dunia masih sering kita anggap remeh. Olih karena itu, sangat perlu dilakukan sebentuk muhasabah. Sejauh mana tauhid kita, misalnya. Dan, ternyata kita belum apa-apa. Kita belum menjadi mukmin dan muslim yang kuat.

Dhawuh 88

Taqarrub (pendekatan) kita kepada Allah seharusnya menjadi obat penawar bagi kita. Apa pun yang terjadi, apa pun yang diberikan Allah, syukuri saja. Sayang, terkadang kita belum bisa menciptakan keadaan yang demikian. Kita seharusnya bangga menjadi orang yang fakir. Sebab sebagian penghuni surga itu adalah orang –orang fakir yang baik.

Dhawuh 89

Dahulu, pada usia sekitar 10 tahun, saya sering didekati orang,dikira saya itu siapa. Ungkapan orang yang datang kepada saya itu-itu saja: minta restu atau mengungkapkan kekurangan, terutama yang berhubungan dengan materi. Perempuan yang mau melahirkan juga datang. Dikira saya ini bidan. Karena makin banyak orang berdatangan, lalu saya menyimpulkan: jangan-jangan saya ini senang dihormati orang, jangan-jangan saya ini dianggap dukun tiban juru penolong atau orang sakti.

Dhawuh 90

Surga itu miliknya orang-orang yang sembahyang tepat pada waktunya.

Dhawuh 91

Shalat itu, yang paling baik, di tengah-tengah Al-Fatehah harus jernih pikiran dan hati.

Dhawuh 92

Shalat itu, yang paling baik adalah berpikir di tengah-tengah membaca Al-Fatehah.

 Dhawuh 93

Coro pethek bodon. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat baik satu itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat baik dua itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk  satu, berbuat baik tiga itu baru untung.

Dhawuh 94

Kalau kamu ingin meningkat satu strip, barang yang kamu sayangi ketika diminta orang, berikan saja. Itu naik 1 strip, lebih-lebih sebelum diminta, tentu akan naik 1 strip lagi.

 Dhawuh 95

Seorang yang berani melakukan dosa, harus berani pula bertobat.

 Dhawuh 96

Kalau kamu mengerjakan kebaikan, sebaiknya kau simpan rapat-rapat; kalau melakukan keburukan, terserah kamu saja: mau kau simpan atau kau siarkan.

Dhawuh 97

Kowe arep nandi Sir? Tanya Gus Miek. Badhe tumut ujian, jawab Siroj. Kapan?  tanya Gus miek . sak niki, jawab Siroj. Golek opo?, Tanya Gus Miek lagi. “Ijasah,” jawab Siroj juga. Lho kowe ntukmu melu ujian ki mung golek ijasah, e mbok sepuluh tak gaekne. Yoh, dolan melu aku.

Artinya:

Kalau kamu ikut ujian hanya untuk ijasah, sini, mau 10 saya buatkan, ayo ikut saya.

Dhawuh 98

“Kamu mau kemana sir?” Mau ngaji. “Biar dapat apa?” Biar masuk surga. “jadi, alasan kamu mengaji itu hanya untuk mencari surga? Jadi, surga bisa kamu peroleh dengan mengaji? Kalau begitu, sudah kitabmu ditaruh saja, ayo ikut bersama saya ke Malang.

Dhawuh 99

Saya katakana kepada anak-anak, Dzikrul Ghofilin jangan sampai diiklankan atau dipromosikan sebagai senjata pengatrol kesuksesan duniawi.

Dhawuh 100

Saya imbau, jangan sampai ada yang berjaga lailatul Qodar, itu ibarat memikat burung perkutut.

Dhawuh 101

Belum tahun 2000 saja sudah begini; bagaimana kelak di atas tahun 2000? Dunia ini semakin lama semakin panas, semakin lama semakin panas, semakin lama semakin panas.

Dhawuh 102

Saya senang orang-orang Nganjuk karena orangnya kecil-kecil. Ini sesuai sabda nabi: “Orang itu yang baik berat badannya 50.” Juga, ada sabda lain yang menguatkan : “Orang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling sedikit makannya.” Ini sesuai firman Allah: Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan rasa lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut (QS. Quraiys: 4).

Lapar adalah syarat untuk menghasilkan tujuan. Maka, siapa tidak senang lapar, ia bukan bagian dari ahli khalwat (menyendiri).

Dhawuh 103

Miftah, kalau kamu nanti sudah pulang dari mondok, jangan suka menjadi orang terdepan.

 Dhawuh 104

Biarkan dunia ini maju. Akan tetapi, bagi kita umat Islam, akan lebih baik kalau kemajuan di bidang lahiriah dan umumiyah ini dibarengi dengan iman, ubudiyah, serta sejumlah keterampilan positif. Jadi, memasuki era globalisasi menuntut kita untuk lebih meyakini bahwa shalat lima waktu itu, misalnya, adalah senam atau olah raga yang paling baik. Setidak-tidaknya, bagi orang Jawa bangun pagi itu tentu baik. Apalagi kita yang mukmin. Dengan bangun pagi dan menyakini bahwa kegiatan shalat Subuh adalah senam olah raga yang paling baik, otomatis kita tersentuh untuk bergegas selakukan itu.

Dhawuh 105

Sir, kalau kamu mau bertemu aku, bacalah Al-Fatehah 100 kali.

Dhawuh 106

Kalau mau mencari aku, di mana dan kapan saja, silakan baca surah Al-Fatehah.

 Dhawuh 107

Mbah, kalau kamu mau bertemu aku, sedang kamu masih repot, kirimi saja aku Al-Fatehah, 41kali.

Dhawuh 108

Mencari aku itu sulit; kalau mau bertemu dengan aku, akrablah dengan keluargaku, itu sama saja dengan bertemu aku.

 

Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.

Inna lillahi wa inna ilahi roji’un...

Catatan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) mengenai Gus Miek

Gus Miek, panggilan akrab tokoh semaan Al Quran, Kyai Haji Hamim Jazuli, Sabtu 5 Juni lalu meninggal di RS Budi Mulya, Surabaya dalam usia 53 tahun, karena mengidap kanker paru-paru dan ginjal akut. Jenazahnya dimakamkan tanggal 6 Juni di Pemakaman Aulia Tambak, Kecamatan Mojo, Kediri, bersebelahan dengan KH Anis Ibrahim dan KH Achmad Sidiq. Teman dekatnya, KH Abdurrahman Wahid — Ketua PBNU, menuliskan obituari khusus untuk Kompas berikut ini.

Tiga tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, Desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek di sebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju ke arah selatan dan hanya dapat kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju ke surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, “Di situ nanti Kiyai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan”. Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal Al Quran. Saya katakan kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al Quran. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika KH Ahmad Sidiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiyai Ahmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah KH Ahmad Sidiq.

Hal-hal seperti inilah yang seringkali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa KH Hamim Jazuli alias Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan super natural. Sesuai dengan “tradisi” penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan super natural Kiyai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan estakologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul’adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimilikinya, Gus Miek lalu memperoleh status orang keramat. Banyak “kesaktian” ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema’an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Quran oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan Al Quran, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan Al Quran secara utuh, biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau’izah hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kharismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema’an, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop dan “arena persinggahan perkampungan” orang-orang tuna susila.

Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperanan sama. Memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema’an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.

***

DUA tahun yang lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, agar saya teruskan perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak “merugikan” kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua tahun yang lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih tetap efektif.

Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa dengan “menggendong” beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar ranting.

Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan hidup dunia gebyar. Untuk beberapa bulan hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya.

Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara dan berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.

Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syafi’i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua buah gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.

Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiyai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.

Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat “kesalahan” keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai sema’an.

Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek super natural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena dia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyleneh (khariqul’adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk di mata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh?

Sumber:

http://www.gusdur.net/Thoughts/Detail/?id=49/hl=id/Gus_Miek_Wajah_Sebuah_Kerinduan

Sekilas Tentang Dzikrul Ghofilin

Oleh : Arif Billah KH. Achmad Shiddiq

Disampaikan pada tanggal 25 Oktober 1986 dalam acara pertemuan rutin khusus keluarga setiap malam minggu legi.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohiim.

Pertemuan malam ini adalah pertemuan rutin tiap malam ahad legi bersamaan dengan hari kelahiranku, semua anak-anakku, mantuku yang ada di Jember sama berkumpul perlu mendengarkan atau berembug segala sesuatu yang menjadi kemaslahatan keluarga. Keluarga itu kalau menurut bahasa arabnya adalah Usro’, seperti Usro’ Ali Shiddiq atau Usro’ Bani Shiddiq. Keluarga yaitu anak cucunya Mbah Shiddiq.

Gus Miek pernah dawuh besok kalau Bapak Achmad Shiddiq sudah wafat yang jadi peninggalannya cuma satu yaitu “Dzikrul Ghofilin”, saya mendengar yang begitu itu hatiku sumendal, hatiku terharu, ya gembira, ya campur susah sebab saya sendiri merasa tidak ada yang dapat diwariskan terhadap anak-anakku, dunia tidak ilmu ya tidak. Sebab saya merasa bahwa ilmu agama saya sedikit sekali, kesempatan anak-anak saya belajar agama dari saya tidak banyak dan saya tidak punya peninggalan yang patut untuk dibuat pusaka atau warisan seperti misalnya amal-amal atau kelakuan atau akhlak atau tinggalan yang berupa kebagusan atau amal sholih, saya merasa tidak punya.

Saya merasa, diantara saudara-saudara aku merasa paling bodoh bab agama. Karena saya tidak katek ( sempurna) mondok. Aku Cuma keluaran sekolah salafiyah, madrasah ibtidaiyah salafiyah / tsanawiyah sampai kelas 6 terus pulang, kitab yang dikaji pada KH. Hasyim Asy’ari terbatas, jadi saya ini kalau bab lika-likunya agama, lebih-lebih bab hukum merasa sangat kekurangan.

Apalagi yang mau saya jadikan peninggalan, wong aku dewe ( saya sendiri) tidak mengerti dan tidak ’alim. Jadi saya merasa tidak ada yang dapat dapat dijadikan peninggalan. Setelah Gus Miek dawuh begitu, terharuku ya bercampur syukur, kalau itu memang dianggap warisan, sebab itu Dzikrul Ghofilin sebenarnya kepunyaan Kyai Hamid Pasuruan dan Gus Miek, saya cuma tukang menulis dan meracik atau mengumpulkan. Untuk diketahui anak-anakku dan ini tidak perlu saya rahasiakan, bahwa sesungguhnya Dzikrul Ghofilin itu garapannya orang ketiga 3 (tiga), ini supaya kamu mengerti yaitu : Gus Miek dan KH. Hamid.Pertama saya ke Kyai setelah diberi ijazah membaca Fatehah 100 kali dan Asmaul Husna lalu saya sowan kepada Gus Miek persis ketika Gus Miek berada di rumah Pak Marliyan (comboran), disana rundingan sampai jam 03.00 pagi, nah.. disana Gus Miek menambah Istighfar 100, Sholawat 300 dan Tahlil 100, itu dari Gus Miek. Ila Hadrati Ila Hadrati itu dari saya, tetapi semua itu kemudian dirangkai dan mendapat restu dari Gus Miek, setelah itu dilain hari saya sowan kepada Kyai Hamid untuk mencocokkan, malahan saya membaca disampingnya dan saya masih ingat betul, saya baca semua dan begitu sampai pada :

”Tsumma ilaa khadroti al quth-bil kabiir sayyidisy-syaikh ’Abdissalam Ibni Masyisy” itu sa’rentet Kyai Hamid ngguguk (menangis) sampai saya yang membaca itu ndredek (gemetar) tapi saya teruskan saja maksud saya mentashehkan (minta diteliti dan dikoreksi) minta ijazah begini ini betul atau tidak, terus do’a yang terakhir itu dari saya. Sholawatnya (Sholawat Munjiyat) dari Gus Miek. Selain itu dari usaha saya mengumpulkan dari berbagai sumber, itulah Dzikrul Ghofilin.

Itu memang ada isyarah (alamate) bahwa garapan orang 3 ( tiga) itu ada alamtnya, malah ada yang menjuluki Tsulatsi (Tritunggal) jadi kamu biar mengerti bahwa itu semua melalui proses perangkaian dan sebagainya itu terjadi pada bulan Sya’ban dan mulai diamalkan pada awal bulan Ramadhan sampai bulan atau tanggal 20 Ramadhan, itu pertama kali diamalkan di Langgar /mushola (tahun 1973 M).

Gus Miek sering kali menanyakan atau mengingatkan, itu Dzikrul Ghofilin apa disebut karangannya Bapak Achmad Shiddiq, ada yang menjawab tidak, disitu Cuma disebut (katabahu dst. ) yang menulis aku memang yang menyuruh (dawuhi) itu Gus Miek , disuruh menerangkan :

Itu lafadlnya lafal dari Gus Miek, memang disuruh begitu ya saya mengikuti, sampai akhirnya dicetak.

Jadi kalau disebut warisanku, yang sebenarnya saya Cuma ngepek jeneng (atas nama) bukan warisanku sendiri. Dzikrul itu warisan Kyai Hamid, Gus Miek dan aku sebagai perangkai, dan ini setelah dicetak, kemudian say bermimpi, oleh (dapat) Sirri (rahasia lewat mimpi tersebut ) :

Pertama dari Kyai Hamid dan dari Isyrat Kang Abdul Chalim Shiddiq, itu orang dua didalam kamar, dan say masuk (perasaan saya begitu), malah Kyai Hamid itu itu tidak pake baju. Terus Kang Chalim kok terus dawuh, Lha.. ini tukang pijatnya sudah datang. Ya saya lalu memijat Kyai Hamid, saya betul-betul melihat Kyai Hamid saya pijat punggungnya, malah ma’af hingga bokongnya / pantatnya yang putih dan kelihatan urat nadinya seperti bayi. Setelah itu Kyai Hamid membuka kitab kecil, ya seperti kitab Dzikrul Ghofilin itu, kemudian dibaca didepanku dengan disaksikan Kang Chalim. Setelah itu begitu saya mau keluar dari kamar, Kyai Hamid sambil bercanda dan menunjuk-nunjuk saya dan berkata : ” He.. jangan diberitahukan kalau dari saya”, saya malah membalas bercanda… ”nggak.. nanti saya beritahukan.

Kedua. Lagi saya bermimpi yang sangat jelas sekali setelah mengamalkan Dzikrul Ghofilin, yaitu Kyai Achmad Qusyairi Shiddiq, kakangku, (didalam mimpi itu) beliau nampak menjemput di pinggir pantai, dan saya sedang naik kapal akan mendarat, lalu saya turun dan dipapak (disambut) oleh Kang Kyai Qusyairi Shiddiq bersama dengan beberapa orang berjubah, semua seperti para Habib-Habib.., terus saya datangi beliau dan kemudian saya diajak berjalan… seperti di Mekkah…,. Kang Kyai Achmad Qusyairi itu berjalan lebih dulu, saya menyusul dibelakangnya. Saya tertinggal.. kemudian saya coba bertanya-tanya kepada orang Arab (dengan Bahasa Arab ). ” Apa sampeyan tahu rumahnya Kyai Achmad Qusyairi ?”. Lho jawabnya kok begini : ” Bagaimana aku tidak akan tahu sedangkan dia selalu mendo’akan kamu setiap waktu”. Kemudian aku ketemu Kang Kyai Ahmad Qusyairi di Masjidil Haram dan Beliau dawuh : ”Pokoknya kamu selagi mimpin wirid Dzikrul Ghofilin, aku mendo’akan kamu di Ka’bah”, dawuhnya begitu, dengan bahasa Arab.

Lha itulah yang menambah saya semakin mantab, kalau Dzikrul Ghofilin ini mendapat izin dan restu dari Sholihin dan terbukti tidak dipromosikan dan tidak di propagandakan atau diberitahukan kepada orang-orang, banyak yang ikut gruduk..gruduk.. dan seterusnya. Sampai hampir-hampir seperti gerakan Thoriqoh, padahal ini bukan thoriqoh tetapi wirid biasa.

Dan yang lucu itu pernah terjadi disini.., dikamar pojok itu.., ada Kyai Hamid kok dawuh begini : ” ini lho..Nafisah (istri Kyai Hamid) kepingin ijazah Dzikrul Gofilin pada sampeyan ?!”. Aku merasa di poyoki ” Wah yak apa… inikan yang punya sampeyan, kok minta ijazahnya kepada saya,,,?!”.

Walhasil Dzikrul Ghofilin ini InsyaALLAH,mudah-mudahan mendapat ridhlo dan pengayoman serta do’anya orang Sholih-sholih.. Amiin. Jadi kalau Gus Miek dawuh bahwa Dzikrul Ghofilin warisanku untuk anak-anak dan kaum. Ya mudah-mudahan ini terus bisa lestari, dan kalau bisa ya.. anak-anakku juga mengamalkan, kalau bisa ya…, tapi ini barang sunnah, kalau cocok ya.. amalkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sumber Tulisan:

1. http://sachrony.wordpress.com/2007/10/30/khhamim-djazuli-gus-miek/