Sunan Muria

Sunan Muria adalah Wali Qutub (Wali Pemimpin Wali) yang lebih memilih mendakwahkan Islam ditempat berbeda dengan wali yang lain yakni di Puncak Gunung Muria. 

Banyak yang mempertanyakan ayahanda Sunan Muria. Sebagian menyebut sebagai keturunan Sunan Kalijaga, yang lainnya berpendapat beliau adalah putera Sunan Ngudung.

Bersumber dari buku Sunan Muria antara Fakta dan Legenda karya Umar Hasyim terbitan Menara Kudus 1985, versi pertama menyebutkan Sunan Muria merupakan putera dari Sunan Kalijaga. Buku tersebut mengungkapkan bahwa di dalam pernikahannya dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, Sunan Kalijaga memperoleh tiga orang putera, yaitu Raden Umar Said alias Sunan Muria, Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah.

Bila silsilah tersebut benar, maka Sunan Muria adalah cucu Maulana Ishaq sekaligus kemenakan dari Sunan Giri.

Versi kedua menyatakan Sunan Muria adalah putera Sunan Ngudung seperti yang disebut dalam buku Pustoko Darah Agung susunan R Darmowasito. Dijelaskan Sunan Muria adalah putera Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Dalam buku disebutkan bahwa Sunan Ngudung dalam pernikahannya dengan Dewi Sarifah mempunyai putera yaitu, Raden Umar Said, Sunan Giri II, Raden Amir Haji alias Sunan Kudus dan Sunan Giri II.

"Pernah di seminarkan di Pekalongan dari yayasan kami bersama Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang, yang dulu adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang belum juga ditemukan bukti-bukti dan data yang kuat. Tidak ada referensi atau catatan yang otentik. Tapi masih terus berusaha. Sampai sekarang pengurus di dalamnya sedang adakan penelitian untuk buat sejarah sunan Muria," papar Mastur, keturunan ke 15 Sunan Muria di komplek Makam Sunan Muria Desa Colo, Kecamatan Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/7). 

Saat seminar itu, Mastur mengungkapkan banyak yang berkeyakinan bahwa Sunan Muria adalah anak dari Sunan Ngudung bukan anak dari Sunan Kalijaga.

"Yang paling kuat, karena teman-teman adakan penelitian terakhir paling kuat Bin Sunan Ngudung alias Usman Haji di Mondoliko Jepara Habib Luthfi mengatakan Bin Sunan Ngudung. Beliau (Habib Luthfi)secara ilmiah dan geografis mengaku mempunyai bukti," tambahnya.

Sesuai dengan arti kata sunan yang berasal dari istilah sinuhun atau susuhunan yang berarti sangat dihormati. Sunan Muria adalah sosok kharismatik bagi masyarakat pengagumnya. Ia diyakini wali (kekasih Allah) yang memiliki karomah tersendiri. Namanya disebut-sebut dengan penuh kehormatan , Kanjeng Sunan Muria. Kanjeng berasal dari kata Kang Jumenengyang berarti raja/pemimpin, memiliki makna bahwa sosok Sunan Muria dijunjung dan dihormati sebagai tokoh panutan bahkan ajaran-ajarannya mengilhami kehidupan mansyarakat sampai saat ini. Sunan Muria juga dikenal sebagai guru Sufi yang sederhana dan dekat dengan rakyat.

 Selain itu tangga menuju makam Sunan Muria yang berjumlah kurang lebih 432 anak tangga seolah mengajarkan bahwa segala tujuan dan cita-cita tidak akan terwujud jika seseorang tidak pernah berusaha melangkahkan kakinya (mewujudkannya). Menapaki satu demi satu tangga ibarat perjalanan dalam proses kehidupan yang pada akhirnya akan sampai pada tujuan akhir kehidupan. Mungkin seolah-olah kebetulan, jumlah 432 jika masing-masing dijumlahkan , 4+3+2 maka akan diperoleh angka 9, angka keramat yang menjadi simbol Wali Songo.

Sebelum kita membahas mengenai apa saja tradisi yang terdapat di Makam Sunan Muria, yang mana terdapat banyak sekali ritual tertentu. Kita harus tahu dulu apa makna dari kata ritual itu.

Ritual merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan denga tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan primer manusia. Maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang disadari, pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.

            Ritual mengungkapkan perasaan dalam arti logis ketimbang psikologis. Ia bisa memiliki apa yang oleh Aristoteles disebut sebagai ‘nilai cathartic’ tetapi itu bukan merupakan khasnya, ia semata-mata merupakan suatau artikulasi perasaan. Hasil akhir dari ari artikulasi yang demikian itubukan suatu emosi yang sederhana, tetapi suatu sikap yang kompleks dan permanen.

3.    Upacara Tradisi di Makam Sunan Muria

a)      Upacara Ganti Luwur

            Upacara Ganti LuwurSunan Muriasemula dilaksanakan setiap 10 Muharram. Akan tetapi sejak tahun 1960an oleh juru kunci pada waktu itu, dirubah pelaksanaannya pada tanggal 15 Muharram dengan alasan bahwa tanggal 10 Muharram bertepatan dengan haul sunan Kudus dan haulmbah Mutamakin di Kajen Pati.

            Bersamaan dengan kegiatan haul,  diadakan pula upacara ganti luwur yang digunakan untuk mengganti luwur lama dengan luwurbaru. Istilah ganti luwur digunakan pada tahun 1988-an, sebelumnya pengelola dan masyarakat menggunakan istilah “salin luwur”.

b)        Guyang Cekathak

Musim kemarau yang berkepanjangan biasanya menyebabkan bencana kekeringan melanda kawasan Pantura Jawa Tengah. Memasuki puncak kemarau atau orang jawa menyebutnya sebagai mangsa ketiga, warga yang tinggal di lereng Pengunungan Muria, Kabupaten Kudus, menggelar tradisi Guyang Cekathak, yang merupakan ritual memohon agar hujan turun. Menurut perhitungan orang jawa,  mangsa ketiga dimulai pada 25 Agustus sampai dengan 24 September. Upacara tradisi ini biasanya diselenggarakan pada hari Jumuah Wage bulan September, atau yang penting hari Jumuah Wage musim Kemarau atau mangsa ketiga .

Ritual diawali dengan membawa cekathak, atau pelana kuda, peninggalan Sunan Muria dari kompleks Masjid Muria menuju mata air Sendang Rejoso, menurut cerita turun temurun, Sendang Rejoso dahulu adalah tempat wudlunya Sunan Muria. Hal ini masuk akal karena Sendang Rejoso adalah satu-satunya mata air yang letaknya dekat dengan Masjid Sunan Muria. Selama ini disendang Rejoso masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mandi, mengisi gentong peninggalan Sunan Muria.

Tradisi ini semula dilakukan untuk mengajak masyarakat disekitar Gunung Muria untuk melestarikan sumber air yang berada disebelah utara masjid Sunan Muria, tepat di lereng hutan Gunung Muria. Dimata air ini  cekathak kemudian dicuci. Usai dicuci air sendang kemudian dipercik-percikkan kepada warga, sebagai ungkapan kebahagiaan bahwa sendang yang menopang masih tetap memancarkan air. Tradisi Guyang Cekathak merupakan salah satu kearifan lokal, untuk melestarikan alam dilereng Gunung Muria.

Guyangatau ngguyang dalam bahasa Jawa berarti memandikan, dan Cekathakadalah istilah orang Kudus untuk meyebut pelana Kuda yang terbuat dari Kayu. Tradisi  Guyang Cekathaksendiri adalah ritual yang rutin dilakukan warga, pada masa  Sunan Muria.

Usai ritual pencucian pelana, acara dilanjutkan selametandan makan bersama dengan lauk khas desa, yakni sayur-mayur yang dipadu dengan parutan kelapa, opor ayam,  dan gulai kambing. Makanan ditutup dengan minum dawet khas Kudus, yang melambangkan harapan warga agar turun hujan.

c)    Parade Sewu Kupat

Rutinitas masyarakat desa Colo setelah perayaan hari raya Idul Fitri tepatnya pada tanggal 7 syawal selalu menggelar acara parade sewu kupat di Taman Ria. Acara tersebut sudah dimulai pada tahun 2007 lalu, dan masih dilestarikan dan menjadi tradisi setiap tahunnya.

Beberapa gunungan kupat dan juga lepet yang dikumpulkan dari warga sekitar serta hasil pertanian lainnya kemudian diarak mulai dari makam Sunan Muria untuk didoakan terlebih dahulu oleh  para kyai, Ulama’ dan masyarakat. Lalu berangkat menuju Taman Ria Colo dengan berjalan kaki sejauh 800 meter.

Warga masyarakat sekitar saling berebut dan meyakini bahwa kupat dan lepet tersebut memiliki keberkahan tersendiri. Begitu juga penuturan dari Bapak Joni Awang Ristihadi, Kepala Desa Colo yang merupakan Kepala Desa termuda di Kudus bahwasanya acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan paket wisata di Desa Colo yang merupakan kawasan yang ramai dikunjungi para wiasatawan yang hendak berziarah ke Makam Sunan Muria, selain itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya kupatan tersebut, selain itu juga dijadikan moment untuk saling bermaaf-maafan karena masih nuansa lebaran 

Selain beberapa tradisi yang berkembang di masyarakat, ada juga beberapa mitos yang berkembang di masyarakat colo sendiri, namun tidak ada salahnya jika kita sedikit menyinggung  mengenai apa mitos itu sendiri.Mitos berasal dari emosi dan latar belakang emosionalnya mengilhami semua hasilnya dengan warna yang khusus. Manusia primitif bukan kurang memiliki kesanggupan untuk memahami berbagai perbedaan empiris dari sesuatu. Tetapi dalam konsepsinya tentang alam dan kehidupan semua perbedaan ini dihilangkan oleh perasaan yang lebih kuat: keyakinan yang dalam terhadap solidaritas kehidupan yang fundamental dan tidak terelakkan, yang menjembatani keseragaman dan variasi bentuk-bentuk tunggal, kelihatannya merupakan suatu perkiraan umum dari pemikiran mitos.

Cassirer juga menyatakan bahwa mitos adalah dunia yang dramatis, sebuah dunia tindakan, kekuatan, kekuasaan yang saling bertentangan, apapun yang dilihat atau dirasakan dikelilingi oleh suasana khusus, suasana gembira atau suka cita, kesedihan, kegairahan, kegembiraan atau depresi. Disini kita tidak dapat membicarakan “sesuatu” sebagai yang mati atau sebagai bahan yang tidak perlu ditanggapi. Semua obyek bersifat ganda, bersahabat atau bermusuhan, familiar atau tidak, memikat dan menjemukan, menjijikkan dan menakutkan.

            Melalui mitos, manusia tidak hanya “menjelaskan” dunia mereka tetapi secara simbolis juga menampilkannya kembali. Mitos memiliki cara lain dalam melihat dunia, suatu cara yang mengungkapkan kesatuannya bersama dengan keterlibatan emosional manusia dan partisipasi didalamnya. Mitos adalah ungkapan serius tentang pertalian dengan dunia. “Dalam mitos dan dengan menggunakan citra mitos, terdapat eksternalisasi pengarahan “batin” emoi manusia ketika dia melihat dunia., daya penerimaannya terhadap dorongan yang berasal dari “luar”, komunalitas substansi yang meleburnya kedalam totalitas kedirian.

4.      Mitos Buah Pari Joto, Pakis Haji dan Air Gentong Keramat Sunan Muria

A.  Buah Pari Joto

Buah Pari Joto, berukuran sebesar biji kacang tanah yang berwarna merah muda pada saat masih muda dan berwarna kehitaman jika sudah masak, rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia berupa saponin, kardenilin, flavonoid, tanin, nutrisi dan vitamin Bg. Semuanya baik untuk membantu pembentukan otak janin. Mitos tentang Pari Joto tersebar luas ke jagad nusantara. Ia dielu-elukan si sebagai salah satu “warisan” Sunan Muria. Sejarah lisan yang berkembang, konon, pada saat istri beliau. Dewi Sujinah, mengandung putrinya yang kelak diberi nama Dewi Ayu Nawangsih, Nyai Sujinah tiba-tiba ingin memakan buah yang rasanya masam, atau yang hari ini kita mengenalnya dengan istilah “nyidam” atau “ngidam”.

Saat itu, gunung Muria yang kaya keanekaragaman hayati menyajikan berbagai jenis tumbuhan yang sekiranya dapat mengobati ngidam sang istri. Sunan Muria memerintahkan para santrinya untuk mencari buah dihutan pegunungan Muria yang sekiranya buah itu memiliki ciri dan rasa seperti yang dikehendaki sang istri. Para santri berangkat melakukan pencarian ketengah hutan. Tak lama kemudian,  mereka pulang dengan membawa buah Pari Joto.

Kisah lain, masih tentang Pari Joto, konon ia adalah buah mistik yang berasal dari “kompol” gunung Margojembangan, nama salah satu gunung di pegunungan Muria, letaknya disebelah utara puncak gunung Muria.

Buah Pari Joto buahnya orang hamil. Biasanya dimakan oleh ibu yang tengah nyidam. Menurut mitos yang beredar, jika makan buah Pari Joto ini, jika anaknya nantinya laki-laki,  Insya Allah akan ganteng dan sholih, dan jika perempuan, Insya Allah akan cantik dan sholihah 

Buah Pari Joto memang berkhasiat membantu perkembangan janin didalam kandungan. Buah ini dipercaya dapat menjadikan bayi yang dalam kandungan berkembang sempurna, baik fisik maupun psikis. Secara fisik, yang dikatakan oleh Siti Amti’ah memang benar adanya. Dan secara psikis buah ini dipercaya berkhasiat untuk perkembangan otak dan watak calon bayi, sehingga kelak ia terlahir, akan mendewasa sebagai pribadi yang cerdas dan berkarakter saleh ataupun shalehah.

a)    Pari Joto, Komunikasi Budaya dan Makna Spiritual

Mitologi buah Pari Joto begitu populer, merasuk hingga kalangan masyarakat lintas daerah, lintas budaya bahkan lintas ideologi. Kenyataan ini telah menjelaskan bahwa Pari Joto tidak hanya memiliki kekuatan mistik seperti terekam dalam imajinasi masyarakat. Ia juga telah menjadi salah satu media komunikasi budaya sekaligus metode penyampaian muatan dakwah khas sunan Muria.

Pari Joto menjadi tali kesinambungan semangat dakwah sunan Muria, sunan Muria merupakan kelompok Walisongo “aliran” moderat atau “abangan”. Maksudnya sunan Muria adalah dari Walisongo yang mengembangkan metode dakwah aliran Tuban, yang bersemangat moderat, dekat dengan rakyat jelata, dan penuh toleransi.

Titik semangat dakwah yang kultural dan merakyat itu terjadi apik melalui mitos dari buah Pari Joto. Ia terbukti mampu menjadi irisan budaya masyarakat luas, tanpa menuai perdebatan . Di dukung mitos keramat  dan khasiat alamiahnya, buah Pari Joto mampu menjadi “benda multikultural” yang diamini dan bahkan menjadi bagian hidup masyarakat luas selayak air zam-zam bagi masyarakat muslim lintas ideologi.

Sunan Muria, memahami setangkai Pari Joto tidak terbatas benda konsumsi. Pari Joto bagi Sunan Muria ia pahami sebagimana sebagai tanda kuasa cipta kreatif Allah untuk menebar rahmat. Pari Joto adalah rizki sebagaimana potensi alam lainnya. Di dalam Pari Joto tersimpan tanda kekuasaan Allah, sekaligus juga menjelaskan sifat rahmat (kasih sayang Allah).

b)   Pari Joto dan Pesan Ibadah

            Pari Joto, buah keramat ini sejatinya kaya nutrisi semangat kemanusiaan. Kita perlu mengupasnya dengan kerangka ushul fikih untuk mengeluarkan nutrisi yang dikandungnya. Pari Joto dipercaya memiliki khasiat dapat memberi manfaat alam untuk perkembangan dan pembentukan sel otak janin dalam kandungan. Pari Joto secara faktual melampaui sisi mitologisnya sebagai buah keramat. Selain bertuah dapat mendukung kualitas fisik keturunan, pari joto juga mengandung berbagai nutrisi dan vitamin yang dapat membantu pembentukan jaringan otak pada janin. Artinya, pari joto secara alamiah memiliki fungsi-nya menciptakan kualitas keturunan, baik secara fisik maupun psikis. Sedikitnya Pari Joto memuat dua maslahat, yakni hifd al nasl (menjaga dan memperbaiki keturunan) dan hifd al aql (menjaga dan meningkatkan kualitas otak pada janin). Jika demikian, maka Pari Joto adalah mitologi berwawasan ekorolegi bernuansa fikih.

            Keyakinan Parijoto sebagai buah bernutrisi spiritual diperkukuh oleh kisah Rosul yang menganjurkan mengonsumsi jintan hitam sebagai ikhtiar untuk menyembuhkan segala macam penyakit.[10]

B.       Pakis Haji

Pakis haji merupakan konstruk mitologis Sunan Muria seperti halnya Pari Joto, masyarakat percaya bahwa pakis haji adalah jenis tumbuhan khas Muria yang dipercaya mendapatkan tsawab berkah kealian Sunan Muria. Ia diyakini memilikin keramat mistik-alamiah dapat mengusir tikus.

      Umumnya Pakis Haji digunakan untuk mengusir tikus perumahan. Karena khasiat keramatnya, ia menjadi salah satu komoditas dagang wisata Muria, dijajakkan disepanjang tangga menuju makam Sunan Muria. Untuk layak jual, kayu ini cukup dikupas kulitnya, sehingga tampak motif batik. Umumnya motif batik ini berwarna cokelat berbentuk jajar genjang tak beraturan, dengan motif titik dibagian dalamnya, sementara bagian dasarnya berwarna putih tulang kecoklatan. Jika dilihat dari kejauhan, batang Pakis Haji nampak seperti Ular Pyton. Karena motif batiknya menyerupai motif kulit Ular Pyton.

      Penggunaan Pakis Haji dengan tujuan menguir tikus perlu memerhatikan beberapa hal, diantaranya (1) batangnya harus dikupas, sehingga motif batik yang menyerupai motif kulit Ular Pyton itu nampak. (2) kayu Pakis Haji diletakkan ditemapat tersembunyi, jika diareal pesawahan, baiknya diletakkan ditempat yang sekiranya tidak tampak oleh orang yang lewat, atau jika digunakan di perumahan, sebaiknya diletakkan ditempat tersembunyi.

      Kepercayaan masyarakat pada tuah mistik Pakis Haji terilham atas cerita lisan bahwa konon, suatu ketika mewabah hama tikus yang merusak sawah padi Masyarakat Muria, sehingga mengancam gagal panen. Berbagai cara telah dilakukan untuk membasmi hama tikus ini, namun hasilnya tetap nihil. Tikus-tikus liar itu tetap melahap padi-padi petani. Masyarakat akhirnya mengadukan masalah ini kepada Sunan Muria. Singkat kisah, Sunan Muria memberi ide masyarakat untuk menggunakan pohon Pakis Haji untuk mengusir tikus.[11]     

C.  Air Gentong Keramat

Usai berziarah dari pusara Sunan Muria, pengunjung akan melewati ruangan tertutup dengan desain melingkar. Puncak dari rute ini adalah  ruang khusus tempat pengambilan air gentong keramat. Rute keluar-masuk areal makam sunan Muria sengaja didesain dengan mengarahkan rute perjalanan pengunjung sampai dilokasi gentong keramat disamping pintu keluar. Tujuannya agar pengunjung dapat mengambil air gentong keramat secara leluasa setelah usai ritual ziarah.

Ritual pengambilan air gentong memang didesain pada urutan terakhir, dari sederet ritual sejarah lainnya, agar pengambilan air dilakukan setelah peziarah melakukan ritual. Air keramat ini diposisikan sebagai ritual terakhir peziarah setelah memanjatkan doa, sehingga berkah doa yang dipanjatkan dalam ritual ziarah di makam sunan Muria mengalir ke air yang diambil dari gentong keramat peninggalan beliau.

Pengunjung yang meminum air gentong ini tujuannya untuk ngalap barokahe mbah Sunan Muria, masyarakat juga percaya bahwa air gentong keramat peninggalan sunan Muria bisa dijadikan obat segala macam penyakit, selain itu bisa juga menyehatkan badan, ada juga pengunjung yang membasuh mukanya dengan air ini, mereka percaya bahwa air dari gentong ini bisa memberi aura positif bagi peminumnya.

Beberapa peziarah mengaku menyempatkan diri untuk mengambil air gentong keramat sebagai buah tangan sepulang ziarah. Mereka sengaja membeli botol berukuran besar yang dijual disepanjang jalan menuju Makam sunan Muria.

Mitos air gentong keramat ini berkisah bahwa Sunan Muria yang masa hayatnya selalu menyediakan air untuk konsumsi dan bersuci (thaharah). Sang Sunan menampung air didalam gentong berukuran besar. Gentong ini pada mulanya diletakkan di mbelek (mata air) Rejoso, sekitar 300 meter sebelah timur laut dari makam sunan Muria.

            Konon, ia berasal dari mbelek Laren, letaknya disekitar petilasan Syaikh Syadzali , dekat dengan sebuah makam yang diyakini sebagai makam Mbah Laren. Air dari mbelek Laren ini di usung oleh salah seorang abdi atau pembantu di padepokan Sunan Muria bernama Nyi Ageng Ratu, Konon, pada saat memindahkan air dari mbelek Laren ke Sendang Rejoso, Nyai Ageng Ratu menggunakan kendit (kain panjang untuk menggendong). Pada saat menggendong, kendit itu tersangkut disebuah anak gunung, sehingga gunung tersebut patah (tugel). Hingga sekarang, jejak tersebut masih ditemukan di daerah pegunungan Muria bernama gunung tugel.

            Menurut versi cerita ini, gentong yang sekarang dapat disaksikan dilokasi makam Sunan Muria itu adalah gentong peninggalan Sunan Muria asli. Pengurus makam atau yang biasa disebut YM2SM (Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria) memasang papan informasi bertuliskan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” . Tulisan ini merupakan versi kedua yang telah diganti. Bebarapa tahun sebelumnya, tulisan yang dipasang bukan “Gentong Keramat Peninggalan Sunan Muria” melainkan “AirGentong Keramat Peninggalan Sunan Muria”. Penggantian papan nama ini karena menurut pengurus makam, nilai kekeramatan yang sebenarnya ada pada gentong, bukan airnya. Gentong tersebut dipercaya sebagai peninggalan Sunan Muria. Air yang sekarang dibagikan kepada peziarah adalah air dari mata air dari mata air mbelek Laren yang disalurkan melalui pipa.

            Sedangkan sebagian masyarakat menganggap bahwa gentong ini dapat mengeluarkan air dengan sendirinya dari dindingnya. Namun, karena pada kepengurusan masa silam (tidak diketahui pasti masa kepengurusannya), gentong ini pernah “dijual”, sehingga gentong ini enggan mengeluarkan air. Singkatnya, sebagian masyarakat menduga bahwa faktor hilangnya kekeramatan gentong itu karena praktik komersialisasi air, meskipun praktik yang mereka anggap menjual air keramat itu tidak dalam bentuk jual beli, melainkan uang sedekah yang dianjurkan khusus kepada para peziarah yang ingin mengambil air gentong.

Selain air gentong makam sunan muria, situs air keramat lainnya yang dalam lingkaran mitos makam sunan muria adalah “air tiga rasa”. Situs air ini terletak di kawasan makam Syaikh Syadzili. Lokasi makam ini  berada sekitar 2km di sebelah utara makam sunan muria, di pisahkan dua bukit dan satu sungai besar. Letak situs air ini berada di sebuah lereng terjal, beberapa meter dari tempat yang dipercaya sebagai makam Syaikh Syadzili.

            Air tiga rasa bersumber dari tiga mata air yang saling berdekatan,  hanya berjarak sekitar 20 cm. Tiga sumber mata air ini mengeluarkan air  yang beda rasanya, sehingga disebut air tiga rasa. Tidak jelas rasa yang pasti dari ketiga air ini, karena banyak  orang yang mengaku merasakan air ini dengan rasa yang berbeda. Sebagian mengatakan air  ini terasa seperti soda agak kemasaman, sebagian yang lain mengatakan air ini terasa masam seperti perisa buah asam.  Ada yang mengatakan bahwa rasa dari ketiga sumber air ini berbeda satu sama lain, namun ada juga yang mengatakan rasa ketiga air ini tidak berbeda.

            Selain diminati pengunjung karena rasanya yang unik, mereka juga percaya bahwa air ini mengandung keramat yang dapat mendatangkan manfaat kebaikan bagi yang meminumnya. Seperti halnya  air gentong muria, air tiga rasa juga diambil oleh peziarah  untuk dijadikan buah tangan. Awalnya, datang musafir dari Irak yang ingin berguru dengan Sunan Muria namanya Syaikh Hasan Syadzili. Syaikh Hasan Syadzili diperintah oleh Kangjeng Sunan Muria untuk pergi ke daerah rejenu. Lama kelamaan,  Syaikh Syadzili memiliki banyak santri dan membangun mushola yang dibawahnya terdapat sumber mata air. Beredar kabar, bahwa air tersebut dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal. Karena telah disalahgunakan oleh masyarakat dan dikhawatirkan menjadi musyrik beliau memutuskan untuk menutup sumber mata air tersebut. Lalu muncul tiga mata air yang sampai saat ini disebut  air tiga rasa.

Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuatfisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak diatas gunung . Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai kemakam Sunan Muria (tidak kurang dari750 M).

Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat ,atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria.Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua.Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus ,Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri .Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul DewiRoroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan.

Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu.

Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masingmasing.

Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.

“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.

Tetapi, ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.

“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.

Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu.” Demikian kata Kapa.

“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.

“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang.

Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

“Hai Pathak Warak berhenti kau !”Bentak Sunan Muria.

Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.

“Minggir ! Jangan menghalangi jalanku !” Hardik Pathak Warak.

“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !”

“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri !Kini aku hendak mengejar mereka!” Umpat Pathak Warak.

“Untuk apa kau mengejar mereka?”

“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit .

“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku !”Ujar Sunan Muria sambil pasang kuda -kuda.

Tampabasa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda .Dia merangsak ke Arah Sunan Muria dengan jurus –jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan ,Pathak Warak telah jatuh atau roboh ditanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.

Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu.

Siang malam mereka tak dapat tidur.Wajah wanita itu senantiasa terbayang.Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.

Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru –buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka. (kemaluan).

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.

Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dasyart .Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya dipuncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.

Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk diPulau Seprapat .Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.

Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.

“Memalukan ! benar-benar nista perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu sendiri itu !” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.

“Apa ? Membela perbuatan durjana ?” Bentak Wiku Lodhang Datuk.

“Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya Itu murid kusendiri!”

Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.

Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya sendiri.

“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.

“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.

Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.

Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah yang sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Tempat tinggal beliau terletak di salah satu puncak Gunung Muria yang bernama Colo. Di sana Sunan Muria banyak bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. 

Sunan muria menyebarkan agama islam kepada para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Cara beliau menyebarkan agama islam dengan tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah. Beliau juga yang telah menciptakan berbagai tembang jawa. Salah satu hasil dakwah beliau melalui media seni adalah tembang Sinom dan Kinanti. Tempat dakwahnya berada di sekitar gunung muria, kemudian dakwahnya diperluas meliputi Tayu, Juwana, kudus, dan lereng gunung muria. Ia dikenal dengan sebutan sunan muria karena tinggal di gunung muria.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat.

Sunan Muria sering berperan sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Beliau dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juwana hingga sekitar Kudus dan Pati.

Tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Dengan gayanya yang moderat, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.  Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Sunan muria adalah wali yang terkenal memiliki kesaktian. Ia memiliki fisik yang kuat karena sering naik turun gunung muria yang tingginya sekitar 750 meter. Bayangkan, jika ia dan istrinya atau muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa fisik yang kuat.