Sejarah Singkat Perjalanan Hidup Nabi Muhammad Rasulullah SAW

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Sejarah Singkat Perjalanan Hidup Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

بسم الله الرحمنِ الرحيم الحمد لله رب العالمين وصلى الله على سيدنا محمد النبي الأمي وآله الطاهرين وصحابته أجمعين

Nabi Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib yang juga dipanggil nama Syaibatul Hamd bin Hasyim bin Abdu Manaf, alias Mughirah bin Quraisy, alias Zaid bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Al-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

Itulah nasab Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang disepakati para ulama. Adapun tentang kelanjutan silsilah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam di atas Adnan, para ulama masih bersilang pendapat. Dari pendapat-pendapat yang ada, tidak ada satu pun yang dapat dianggap paling shahih. Akan tetapi, semua ulama sepakat menyatakan bahwa Adnan memang keturunan langsung dari Nabi Isma’il ‘alaihisalam bin Khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam.

Jadi, terlihat jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sengaja memilih utusan dari kabilah paling bersih dan garis keturunan paling suci yang sama sekali tidak dikotori noda jahiliah.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah diantara anak keturunan Isma’il, dan Dia telah memilih Quraisy diantara Kinanah , dan memilih Hasyim diantara Quraisy, dan memilih aku diantara Hasyim.”

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam dilahirkan pada Tahun Gajah. Disebut demikian karena pada tahun itu Abrahah Al-Asyram berusaha menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Allah subhanahu wa ta’ala mematahkan niat jahat Gubernur Yaman itu dengan salah satu tanda kekuasaanNya. Peristiwa tersebut kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an Al-Karim. Menurut pendapat paling kuat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam  dilahirkan pada hari Senin, malam 12 Rabi’ul Awwal.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam terlahir dalam keadaan yatim. Sang ayah yang bernama ‘Abdullah wafat ketika ibundanya tengah mengandung beliau selama dua bulan. Setelah lahir, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berada di bawah asuhan kakeknya, Abdul Muthalib. Dialah yang mencarikan untuknya seorang ibu susu, sebagaimana umum dilakukan masyarakaat Arab pada masa itu. Abdul Muthalib lalu menyerahkan Muhammad kecil kepada seorang perempuan Bani Sa’d bin Bakr yang bernama Halima binti Abi Dzuaib.

Para perawi sirah sepakat menyatakan bahwa pada saat itu, Bani Sa’d sedang dilanda paceklik. Kemarau panjang melanda daerah tempat tinggal mereka. Akan tetapi, ketika Muhammad kecil tiba di kediaman Halimah dan menetap di sana untuk disusui, lambat laun tanah di sekitar kediaman Halimah kembali subur. Tanaman kembali menghijau sehingga domba-domba yang dipelihara keluarga Halimah dapat merumput dan kembali ke kandang dalam keadaan kenyang dan dipenuhi susu.

Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam tinggal di kediaman Bani Sa’d inilah, terjadi peristiwa yang dikenal dengan “pembelahan dada”. Salah satu hadits yang berbicara tentang peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (Shahih Muslim, 1/ 101 dan 102). Setelah disapih, Muhammad kecil pun dikembalikan kepada ibundanya. Saat itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam baru berusia lima tahun.

Menginjak usia enam tahun, sang ibunda yang bernama Aminah wafat maka pengasuhan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pun berpindah ke tangan sang kakek, Abdul Muthalib. Sang kakek wafat ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berusia 8 tahun. Pengasuhan beliau pun berpindah lagi ke tangan sang paman yang bernama Abu Thalib.

Menginjak usia 12 tahun, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam diajak pamannya, Abu Thalib, melakukan perjalanan niaga ke Syam. Setibanya di Bashra, kafilah Abu Thalib melewati sebuah biara yang didiami seorang rahib yang bernama Buhaira. Sebagai rahib, pengetahuan Buhaira mengenai Injil dan ajaran Nasrani cukup mendalam. Di tempat itulah, Buhaira melihat Muhammad muda yang datang bersama pamannya. Setelah berbincang-bincang dengan Muhammad, Buhaira bertanya kepada Abu Thalib,

“Apa hubungan Anda dengan anak muda ini?”.

Abu Thalib menjawab, “Dia anakku”.

Abu Thalib menyebut Muhammad muda sebagai anaknya karena kasih sayang ayah Sayyidina Ali ini kepada sang keponakan cukup besar.

Mendengar jawaban itu, Buhaira berkata, “Tidak, dia pasti bukan anakmu. Ayah anak ini pasti sudah meninggal dunia.”

“Sebenarnya dia keponakanku”, kata Abu Thalib lirih.

“Lantas, bagaimana nasib ayahnya?”, sambung Buhaira.

Abu Thalib menjawab, “Ayahnya sudah meninggal dunia ketika ia masih dalam kandungan”.

“Engkau benar”, tukas Buhaira. “Kalau begitu, sekarang juga segeralah engkau kembali ke negerimu. Jagalah anak ini baik-baik dari orang Yahudi. Demi Allah, kalau saja orang-orang Yahudi melihat anak ini, mereka pasti menimpakan hal yang sangat buruk kepadanya. Sesungguhnya, keponakanmu ini kelak akan mengemban sebuah perkara yang sangat besar”.

Mendengar penjelasan itu, Abu Thalib langsung membawa Muhammad muda pulang ke Mekah.

Di masa muda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sudah bekerja mencari nafkah dengan mengembala domba. Suatu ketika, setelah diangkat menjadi nabi, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bersabda,

“Dulu aku pernah menggembala domba milik penduduk Mekah untuk mendapatkan imbalan beberapa Qirath”, (Hadits Riwayat Imam Al-Bukhari).

Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga Muhammad muda dari kenakalan yang biasa dilakukan oleh pemuda seusianya kala itu. Berkenaan dengan dirinya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam  pernah bersabda,

“Aku tidak pernah berniat melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa jahiliah, kecuali hanya dua kali. Akan tetapi, pada kedua kesempatan itu pula Allah subhanahu wa ta’ala menghindarkan diriku dari hal buruk. Selanjutnya, aku tidak pernah berniat melakukan hal buruk itu lagi sampai Allah subhanu wa ta’ala memuliakan diriku dengan misi kerasulan. Pada suatu malam, aku berkata kepada seorang anak muda yang menggembala domba bersamaku di dataran tinggi kota Mekah, ‘Bagaimana jika kau menjaga dombaku agar aku dapat memasuki kota Mekah untuk mengobrol sebagaimana layaknya yang dilakukan para pemuda lainnya?’ Temanku itu lalu menjawab, ‘Baik, akan kulakukan’. Aku pun pergi. Setibanya di rumah pertama yang kulewati di Mekah, aku mendengar suara riuh. Aku bertanya, ‘Ada apakah gerangan?’. Orang-orang menjawab, ‘Ada pesta pernikahan’. Aku pun duduk mendengar tetabuhan itu. Sesaat kemudian, rupanya Allah menutup telingaku sehingga aku tertidur. Aku terjaga setelah tertimpa sinar matahari yang terbit keesokan harinya. Aku segera kembali menemui temanku. Dia menanyakan perjalananku. Maka kuceritakan semua yang kualami. Di malam yang lain, aku kembali meminta temanku menjaga dombaku. Kembali aku mengalami hal serupa, seperti yang terjadi malam sebelumnya. Setelah itu, aku tidak pernah lagi berniat melakukan hal buruk”, (Hadits Riwayat Imam Ibnu Atsir dan Imam Hakim).

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala yang langsung membinmbing Muhammad ke jalan cahaya, jauh dari kelamnya kejahilian. Ini merupakan salah satu tanda yang paling jelas yang Allah kehendaki dalam menegaskan kenabian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Misi kenabianlah yang menjadi landasan dalam membentuk kepribadian, pengarahan jiwa, pikiran, dan akhlak Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam .

Sebenarnya, teramat mudah bagi Allah subhanu wa ta’ala untuk menciptakan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam terlahir dalam keadaan suci murni. Dengan jiwa yang sama sekali tidak memiliki dorongan nafsu menjadikan Muhammad tak perlu menitipkan dombanya untuk sekedar menikmati malam di kota Mekah. Ternyata, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam tetap memiliki semua itu. Justru jika tidak memiliki “kenakalan” seperti itu, tidak ada yang membuktikan bahwa beliau memiliki “pelindung tersembunyi” yang mencegahnya dari perbuatan buruk. Rupanya Allah subhanu wa ta’ala Yang Maha Bijaksana ingin menunjukan kepada manusia bahwa selalu ada pertolongan Ilahi bagi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang mulia, membuat manusia semakin mudah untuk mengimani risalahnya, sekaligus menyingkirkan segala bentuk keraguan terhadap kebenaran Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam.

Selain menggembalakan domba, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pernah berdagang untuk mencari nafkah. Saat itu, salah seorang wanita yang kaya raya dan terpandang  yang bernama Khadijah radhiyallahu’anha mendengar kejujuran dan keluhuran akhlak Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Khadijah pun langsung mengirim pembantunya untuk meminta Muhammad berdagang ke Syam. Dengan senang hati, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menerima tawaran Khadijah.

Dengan ditemani salah seorang pembantu Khadijah yang bernama Maisarah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berangkat ke Syam untuk memperdagangkan harta Khadijah. Seperti yang sudah diduga, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berhasil menjual harta dagangan Khadijah dengan baik dan kembali ke Mekah membawa keuntungan yang berlipat ganda. Setibanya di Mekah, Maisarah menceritakan semua kelebihan Muhammad di hadapan majikannya, Khadijah.

Tak perlu waktu lama bagi Khadijah untuk mengagumi pribadi Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang sangat terpercaya itu. Apalagi Khadijah merasa Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam membawa berkah bagi dirinya. Khadijah lalu mengutus Nafisah binti Maniyyah untuk menyampaikan pesan kepada keluarga Muhammad Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bahwa ia menawarkan diri untuk diperistri olehnya. Gayung pun bersambut, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam ternyata menerima tawaran itu. Kesediaannya memperistri Khadijah beliau sampaikan kepada paman-pamannya. Merekalah yang meminang Khadijah untuknya. Dalam kesempatan berbahagia itu, paman Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang bernama Amr bin Asad tampil sebagai pembicara. Tidak lama kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam yang baru berusia 25 tahun menikah dengan Khadijah yang sudah menginjak usia 40 tahun.

Sebelum dinikahi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam, Khadijah sudah menikah dua kali. Kedua suaminya pun sudah meninggal dunia. Suami pertamanya bernama Atiq bin Aidz Al-Tamimi. Setelah wafat, Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah Al-Tamimi alias Hind bin Zararah.

Pada saat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berusia 35 tahun terjadi peristiwa penting perbaikan Ka’bah. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pun ikut aktif dalam perbaikan itu bahkan beliau ikut memanggul batu di atas pundaknya dengan beralaskan sehelai kain.

Dalam Al-Shahih, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu yang berkata,

‘Ketika Ka’bah diperbaiki, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bersama Abbas ikut mengangkut batu. Abbas berkata kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam, ‘Letakkanlah kain milikmu di atas pundakmu’. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pun membungkukkan tubuhnya ke tanah, sedangkan kedua matanya menengadah ke langit seraya bersabda, ‘Tolong perlihatkan kain milikku’. Maka, kain itu pun diikatkan ke tubuh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam “.

Dalam peristiwa ini, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam memainkan peranan yang sangat penting dalam memecahkan masalah pelik yang menyebabkan semua kabilah bertengkar sengit. Beliau sangat pandai menengahi suku-suku yang sedang bertikai hingga mereka berdamai. Pertikain ini terjadi terkait siapakah yang paling berhak untuk mendapatkan kehormatan mengembalikan Hajar Aswad di tempat semula. Konflik memanas hingga nyaris menimbulkan peperangan. Suatu ketika, Bani Abdud Dar mengeluarkan semangkuk darah dan bersumpah bersama Bani Adi untuk bertempur sampai titik darah penghabisan. Mereka memasukan tangan ke dalam mangkuk itu. Pada saat itu, suku Quraisy tetap menahan diri sampai 4 atau 5 malam. Tidak ada reaksi apapun, tidak menyatakan ikut mendukung, tidak juga menyatakan menolak.

Beruntung, kobaran api fitnah berhasil dipadamkan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Di mata seluruh lapisan dan strata sosial suku Quraisy, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam memiliki kedudukan yang terhormat. Mereka menjuluki Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam dengan sebutan Al-Amin (orang yang terpercaya). Mereka pun sangat mencintainya. Semua kabilah diam menerima keputusan yang diambil Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam.

Menginjak usia 40 tahun, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menjadi suka berkhalwat. Allah subhanahu wa ta’ala rupanya membuat calon nabiNya itu gemar menyendiri di dalam Gua Hira, yang terletak di sebuah gunung di sebelah barat laut kota Mekah. Dalam khalwat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam beribadah selama beberapa malam. Adakalanya 10 malam, tetapi terkadang juga lebih dari sebulan. Setelah berkhalwat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian, ia kembali menyiapkan keberangkatan untuk berkhalwat lagi di Gua Hira. Begitulah kebiasaan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sampai akhirnya menerima wahyu.

Wahyu pertama turun ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sedang berkhalwat di Gua Hira. Saat itu, malaikat datang dan berkata kepadanya,

“Bacalah!”.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menjawab, “Aku bukan orang yang melek huruf”.

Lalu malaikat itu merengkuh tubuh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam kuat-kuat sampai merasakan sesak. Tak lama kemudian malaikat melepaskan rengkuhannya sambil berkata,

“Bacalah!”.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menjawab, “Aku bukan orang yang melek huruf”.

Malaikat itu kembali merengkuh tubuh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam sampai tiga kali, kemudian melepaskannya seraya berkata,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia ketahui”.

Setelah peristiwa itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam pulang. Tubuhnya menggigil. Setelah menemui Khadijah binti Khuwailid, beliau bersabda,

“Selimuti aku…., selimuti aku….”.

Beliau pun diselimuti sampai rasa gemetar itu hilang. Sesaat kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menceritakan peristiwa itu kepada Khadijah, peristiwa yang baru saja dialami. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bersabda,

“Aku mengkhawatirkan (keselamatan) diriku”.

Khadijah berkata,

“Tidak, demi Allah, Dia tidak akan pernah mencelakaimu. Sungguh engkau adalah orang yang suka menyambung tali silaturahmi, selalu siap memangku beban (membantu orang lain), membantu orang yang tak berpunya, menghormati tamu, dan selalu siap menolong orang-orang yang benar”.

Setelah itu, Khadijah pergi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, putra paman (sepupu) Khadijah. Dia adalah seorang pemeluk Nasrani pada masa jahiliah yang pernah menulis sebuah kitab berbahasa Ibrani. Dia juga menulis petikan Injil dalam bahasa Ibrani. Dia adalah seorang yang sudah sangat tua dan matanya buta. Kepada sepupunya itu, Khadijah berkata,

“Hai anak pamanku, dengarkan keponakanmu ini”

Waraqah berkata,

“Hai anak saudaraku, apa yang kau lihat?”

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam menuturkan semua yang dialaminya. Setelah mendengar penuturan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam, Waraqah berkata,

“Yang kau lihat adalah Namus (maksudnya adalah Jibril atau Wahyu) yang dahulu pernah turun kepada Musa. Duhai, seandainya aku masih muda dan masih hidup ketika kau diusir oleh kaummu”.

Pada saat itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam bersabda,

“Apakah mereka akan mengusirku?”.

Waraqah menjawab,

“Ya, karena tidak ada seorang pun yang menerima apa yang kau terima, kecuali ia pasti akan dimusuhi. Jika aku sempat mengalami harimu itu, pasti aku akan membantumu sekuat tenaga”.

Tidak lama kemudian Waraqah memang benar-benar wafat.

Awal turunnya wahyu inilah yang merupakan dasar yang menjadi awal semua rangkaian pengajaran akidah dan syariat Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam mulai saat itu mengemban misi kenabian memenihi perintah Allah subhanu wa ta’ala untuk berdakwah mengajak manusia menghambakan diri dan beribadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta tidak menyekutukanNya.

Mula-mula Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berdakwah mengenalkan Islam secara sembunyi-sembunyi yang berlangsung selama tiga tahun. Kemudian dakwah Islam dilakukan secara terang-terangan yang disampaikannya hanya secara lisan dan terus berlangsung sampai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam hijrah ke kota Yatsrib (Madinah). Setelah itu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam melakukan dakwah Islam secara terang-terangan dengan melibatkan kekuatan bersenjata untuk menghadapi para pembangkang atau orang-orang yang lebih dulu menyerang Islam, dan ini berlangsung sampai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam melakukan perjanjian Hudaibiyah. Yang terakhir Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam melanjutkan misi dakwah Islam yang dilakukannya dengan mengangkat senjata untuk menghadapi orang-orang musyrik, atheis, atau para penyembah berhala yang menghalangi dakwah Islam atau menolak memeluknya setelah dakwah disampaikan kepada mereka. Tahap inilah yang menjadi titik tolak penerapan hukum jihad dalam Islam.

Dengan berbagai rintangan dan hambatan yang sungguh begitu berat, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam terus menerus berdakwah tiada henti mengenalkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Kota Mekah dan Madinah menjadi bukti betapa berat amanah yang diemban Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam. Selama 23 tahun Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam berjuang menyampaikan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan dakwah kepada Tuhannya tanpa kenal capai dan lelah. Berkat perjuangan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam, kini kita pun ikut merasakan curahan rahmat yang dikaruniakan Allah subhanahu wa ta’ala.

Pada hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun kesebelas Hijriah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam wafat di usia 63 tahun. Sekitar 40 tahun beliau habiskan sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, 13 tahun beliau gunakan berdakwah di Mekah, dan 10 tahun beliau habiskan di Madinah setelah Hijrah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Amr bin Al-Harts,

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wa sallam tidak meninggalkan dinar, dirham, hamba sahaya laki-laki maupun perempuan, selain seekor himar putih yang selalu ditungganginya, pedangnya, serta sebidang tanah yagn telah disedekahkan kepada para ibnu sabil (pengembara)”.

(Disarikan dari terjemahan Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah karya asy-Syaikh Said Ramadhan al-Buthy)

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!