Sunan Bonang

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.  Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. 

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.

Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad. Berbicara tentang Sunan Bonang yang namanya didepannya tercantum kata-kata Maulana Makdum, mengingatkan kita kembali kepada cerita di dalam sejarah Melayu. Konon kabarnya dalam sejarah Melayu pun dahulu ada pula tersebut tentang cendekiawan islam yang memakai gelar Makdum, yaitu gelar yang lazim dipakai di India. kata atau gelar Makdum ini merupakan sinonim kata Maula atau Malauy gelar kepada orang besar agama berasal dari kata Khodama Yakhdamu dan infinitifnya (masdarnya) khidmat. Maf'ulnya dikatakan makhdum artinya orang yang harus dikhidmati atau dihormati karena kedudukannya dalam agama atau pemerintahan Islam di waktu itu.

Salam, seorang besar yang mengepalai suatu departemen ketika terjadi pembentukan adat yang berdasarkan Islam, tatkala agama Islam memasuki lingkungan Minangkabau, juga berpangkat Makdum. Rupanya Makhdum atau Mubaligh Islam yang berpangkat atau bergelar Makhdum itu datang ke Malaka dalam abad ke XV, ketika Malaka mencapai puncak kejayaannya.

Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

Ketika R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan. Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.

Oleh Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari, akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut.

R. Ibrahim mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama Khidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.

Empat hari kemudian Nabi Khidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R. Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning, beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada Allah SWT).

Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.

R. Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur inilah satu-satunya santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

Raden Makdum Ibrahim adalah anak keempat dari Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati binti Brawijaya.

Beliau disebut dengan Sunan Bonang karena cara berdakwahnya dengan memakai Bonang yaitu alat musik dari lempengan besi yang ditonjolkan. Bila tonjolan itu dipukul dengan kayu linak timbulah suara yang merdu. membunyikan Bonang itu di dalam Masjid, sehingga banyak orang ingin mendengar suara bonang yang merdu itu dari dekat. Masjid diatur hanya punya satu pintu. Orang berkerumun didepan pintu. Disamping pintu diberi kolam. Mereka diperbolehkan masuk dengan membasuh kaki terlebih dulu. Sesampai mereka di dalam Masjid, mereka diajari pelajaran Islam dengan melagukan dan memakai buni musik bonang. Mereka di rumah sering mengulang pelajaran Sunan Bonan sambul mengamalkan.

Begitulah Agama Islam tersebar di Tuban, Bawean, Madua dan Jepara lewat lagu dan kesenian.

Yang dapat diketahui isteri Sunan Bonang ada dua yaitu anak Adipati Tuban (isteri Adipati Tuban adalah bibinya) dan Dewi Hiroh dari Madura.

Sunan Bonang wafat di Bawean. Lalu murid-muridnya yang di Tuban meminta supaya dikubur di Tuban. Tetapi murid-murid yang di Bawean mempertahankan agar mayat Sunan Bonang dimakamkan di Bawean. Lalu santri-santri Sunan Bonang yang dari Tuban menyirep penjaga mayat gurunya. Setelah penjaganya tertidur, mayat Sunan Bonang yang dikafsni itu dibawa dan dinaikan ke perahu, lalu dibawa ke Tuban. Anehnya di Bawean mayat Sunan Bonang masih ada hanya kafannya tinggal satu. Sedang mayat Sunan Bonang yang dibawa ke Tuban kafannya juga tinggal satu. Sehingga mayat Sunan Bonang terkubur di dua tempat:

Sunan Bonang mulai menjadi anggota Wali Sanga pada tahun 1463 M. Menggantikan Maulana Hasanuddin yang wafat di Banten tahun 1462 M.

artikel ini dikutip dari terjemahan kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthoh, yang tulisannya dilanjutkan oleh Syeikh Maulana Al-Maghrobi

Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Kanjeng Nabi Muhammad:

Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin

Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin

Maulana Malik Ibrahim bin

Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Husain al-Akbar Khan) bin

Ahmad Jalaludin Khan bin

Abdullah Azhamat Khan bin

Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin

Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin

Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin

Ali Kholi' Qosam bin

Alawi Ats-Tsani bin

Muhammad Sohibus Saumi'ah bin

Alawi Awwal bin

Ubaidullah bin

Ahmad al-Muhajir bin

Isa ar-Rumi bin 

Muhammad an-Naqib bin

Ali al-Uraidhi bin

Ja'far ash-Shadiq bin

Muhammad al-Baqir bin

Ali Zainal 'Abidin bin

Hussain bin

Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)

Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.

Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.

Bijak dalam Berdakwah

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri,juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri .

Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah :

“Tamba ati iku sak warnane,

Maca Qur’an angen-angen sak maknane,

Kaping pindho shalat sunah lakonona,

Kaping telu wong kang saleh kancanana,

Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,

Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,

Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.

Artinya :

Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.

Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,

Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),

Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),

Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),

Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,

Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Karya Sastra

Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa.

Dakwah Perjuangannya

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.

Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.

Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.

Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.

Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.

Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.

Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.

“Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.

“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”

“Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.

“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.

“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”

“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”

“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.

“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”

Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

Seorang Brahmana dari India ingin menjajal kesaktian ulama besar tanah Jawa yang bernama Sunan Bonang. Rasa penasaran yang menggebu, hingga berlayar sampai ke tanah Tuban hanya untuk beradu tanding dengan Sunan Bonang.

Agama Islam telah menyebar luas di tanah Jawa hingga sampailah berita ini kepada para pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana tersebut adalah Sakyakirti.

Maka, bersama beberapa orang muridnya, ia berlayar menuju Pulau Jawa. Tak lupa, dibawanya juga kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan adu debat dengan para penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.

"Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian," sumpah Brahmana sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar.

"Jika dia kalah, maka akan aku tebas batang lehernya. Jika dia yang menang akau akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan aku serahkan jiwa ragaku kepadanya," lanjut sumpah Brahmana.

Murid-muridnya yang setia berdiri dan mengikutinya dari belakang untuk menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera.

Badai Datang.

Namun ketika kapal yang ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul menjadi satu, menghantam air laut sehingga menimbulkan badai setinggi bukit.

Dengan kesaktiannya, Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu kali, dua kali hingga empat kali Brahmana ini dapat menghalau terjangan badai. Namun kali ke lima, dia sudah mulai kehabisan tenaga hingga membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dicabutnya beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.

Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah kut tenggelam ke dasar laut.

Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah dan cara mempelajarinya pun juga tidak mudah. Ia harus belajar Bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah di telan air laut.

Meski demikian, niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut.

Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh ke sana kemari namun tak seorang pun yang lewat di daerah itu.

Bertemu Lelaki Berjubah Putih.

Pada saat hampir dalam keputusasaan, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan langkah orang itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkahnya dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

"Kisanak, kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah kisanak memberitahu di mana kami bisa bertemu dengannya?" tanya sang Brahmana.

"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?" tanya lelaki itu.

"Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan," jawab sang Brahmana.

"Tapi sayang, kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan," imbuh sang Brahmana.

Tanpa banyak bicara, lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya. Mendadak saja tersembur air dari bekas tongkat tersebut dan air itu membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

"Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut?" tanya lelaki itu.

Sang Brahmana dan pengikutnya kemudian memeriksa kitab-kitab itu, dan tenyata benar milik sang Brahmana. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapakah sebenarnya lelaki berjubah putih itu.

Murid-murid sang Brahmana yang kehausan sejak tadi segera saja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa kuatir, jangan-jangan murid-muridnya itu akan segera mabuk karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.

"Segar...Aduuh...segarnya..." seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya.

Brahmana Sakyakirti termenung.Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit dan ternyata memang segar rasanya. 

Rasa herannya menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu yang mampu menciptakan lubang air yang memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang tenggelam ke dasar laut.

Sang Brahmana berpikir bahwa lelaki berjubah putih itu bukanlah lelaki sembarangan.

Dia mengira bahwa lelaki itu telah mengeluarkan ilmu sihir, akhirnya dia mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu benar hanya sihir. Namun setelah dikerahkan segala kemampuannya, ternyata bukan, bukan ilmu sihir, tapi kenyataan.

Sang Brahmana Jatuh Tersungkur. 

Seribu Brahmana yang ada di India pun tak akan mampu melakukan hal itu, pikir Brahmana dalam hati.

Dengan perasaan takut dan was-was, ia menatap wajah lelaki berjubah itu.

"Mungkinkah lelaki ini adalah Sunan Bonang yang termasyhur itu?" gumannya dalam hati.

Akhirnya sang Brahmana memberanikan diri untuk bertanya kepada lelaki itu.

"Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?" tanya Brahmana dengan hati yang berkebat-kebit.

"Tuan berada di pantai Tuban," jawab lelaki berjubah putih itu.

Begitu mendengar jawaban lelaki itu, jatuh tersungkurlah sang Brahmana beserta murid-muridnya. 

Mereka menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah yakin sekali bahwa lelaki inilah yang bernama Sunang Bonang yang terkenal sampai ke Negeri India itu.

"Bangunlah, untuk apa kalian berlutut kepadaku? Bukankah sudah kalian ketahui dari kitab-kitab yang kalian pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung," kata lelaki berjubah putih itu yang tak lain memang benar Sunan Bonang.

"Ampun...Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya...," rintih sang Brahmana meminta dikasihani.

"Bukankah Tuan ingin berdebat denganku dan mengadu kesaktian?" tukas Sunan Bonang.

"Mana saya berani melawan paduka, tentulah ombak dan badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan paduka, kesaktian paduka tak terukur tingginya. Ilmu paduka tak terukur dalamnya," kata Brahmana Sakyakirti.

"Engkau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai, hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepada-Nya dari segala macam bahaya dan niat jahat seseorang," ujar Sunan Bonang.

Sang Brahmana merasa malu.

Memang kedatangannya bermaksud jahat ingin membunuh Sunan Bonag melalui adu kepandaian dan kesaktian.

Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari telah terbukti. 

Bahwa Barang siapa yang memusuhi para wali-Nya, maka Allah akan megumumkan perang kepadanya. Menantang Sunan Bonang sama saja dengan menantang Allah SWT yang mengasihi Sunan Bonang sendiri

Hatinya ketakutan, bagaimana jadinya bilamana niatnya kesampaian.

Bukan Sunan Bonang yang akan dibunuh, malah bisa sebaliknya dia sendiri yang akan binasa karena murka Tuhan.

Setelah kejadian tersebut, akhirnya sang Brahmana dan murid-muridnya rela memeluk agama islam atas kemauannya sendiri tanpa paksaan.

Sang Brahmana dan pengikutnya telah menjadi murid dari Sunan Bonang.

Sunan Bonang dengan Santrinya

Kisah Hikmah untuk memahami syukur nikmat dari Allah

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk menyebarkan agama. Sering kali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam dan mendatangi dusun terpencil di kaki bukit berhutan lebat.

 Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa bekal nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah selesai shalat Dzuhur, di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.

Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya dengan lahap karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.

Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, "Hai, santri. Jorok kamu." 

"Mengapa guru?" tanya santri heran. 

"Orang Islam tidak boleh jorok. Kebersihan adalah sebagian dari iman." 

"Apa saya jorok?" 

"Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal," jawab Sunan Bonang sambil menuding dengan telunjuknya.

Maka, dengan kemalu-maluan ia segera mengusap bibirnya dan membuang nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik : 

"Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?" 

Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, "Bukankah Guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buanglah nasi itu. Apa harus saya makan?"

"Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung-ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan, meskipun cuma sedikit." 

"Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?" 

"Tidak." 

"Jadi mengapa Guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?" 

"Karena kamu memang bodoh."

"Maksud Guru?"

"Kau boleh membuang sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi tersebut tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat agar bisa dimakan oleh mahluk-mahluk Allah yang lain, seperti semut,dan sebangsanya. Sebab kalau kamu tidak dengan niat begitu, berarti kamu membuat mubazir rezeki Allah, kurnia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudaranya setan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke tempat sampah, berniatlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga mahluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis "Mughaladzah", tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya. Mereka juga harus diperhatikan nasibnya."

AJIAN COKRO JOYO WARISAN SUNAN BONANG

Ajian cokro joyo ini merupakan sebuah doa atau hizib bagi umat islam. hizib ini merupakan warisan dari Sunan Bonang dan diwariskan ke Sunan Kalijogo.

Kegunaan ajian cokro joyo adalah untuk menghancurkan hal-hal negatif yang bersifat gaib. Konon, zaman dahulu kejahatan gaib tengah merajalela di masyarakat.

Ajian cokro joyo dari riwayat, salah satunya digunakan untuk mengubah pohon aren menjadi emas oleh Sunan Bonang, yang pada waktu itu, Sunan Kalijaga sangat kagum dengan ilmu itu. 

Kemudian oleh Sunan Kalijaga, ajian cokro joyo diturunkan ke Sunan Geseng.

hizib ini isinya diambil dari 114 surat dan 28 huruf dalam Al Qur'an.

Di zaman penjajahan Belanda, ternyata Sultan Agung dan Bung Karno serta HOS Cokroaminoto.

Syarat untuk menguasai ajian cokro joyo adalah:

1. Tidak pernah berzina.

2. Mampu shalat 5 waktu secara berjamaah selama 41 hari dalam keadaan puasa.

Pada akhir zaman nanti, hizib cokro joyo digunakan oleh Imam Mahdi untuk menghancurkan Dajjal dan pengikutnya. Cuma, hizib dari Imam Mahdi lebih lengkap.

Sejarah singkat munculnya ilmu wali dan ilmu hitam

Ketika Sunan Bonang membaiat Sunan Kalijaga di atas perahu tiba-tiba perahu tersebut bocor lalu sunan Bonang menghentikan pembaiatan dan mengambil tanah dari daratan untuk menambal kebocoran perahu ternyata di dalam tanah tersebut terdapat cacing, kemudian pembaiatan terhadap Sunan Kalijaga dilanjutkan, karena terlalu dahsyatnya pembaiatan Sunan Bonang maka cacing tersebut dapat mendengarkan dan mengikuti proses pembaiatan dan pada akhirnya cacing tersebut mampu berubah menjadi manusia. Karena belum sempurnanya ilmu yang dikuasai oleh sunan Kalijaga, beliau tidak mengetahui kalau ada orang yang ikut menguping wejangan sunan Bonang, setelah sempurna menerima ilmu dari Sunan Bonang akhirnya sunan Kalijaga tahu ada orang yang juga mencuri ilmu tersebut secara sembunyi maka orang tersebut diusir oleh sunan Kalijaga. Orang tersebut lari ke daratan dan menyebarkan ilmu yang tidak sempurna tersebut kepada masyarakat hingga terkenal dimana-mana. Setelah Sunan Kalijaga telah menela’ah dan menyempurnakan ilmu dari Sunan Bonang dan siap menyiarkan di daratan. Betapa kagetnya Sunan Kalijaga ternyata ilmu tersebut sudah tersebar luas. Sunan Kalijaga teringat akan kejadian di atas kapal bersama Sunan Bonang ketika menerima ilmu ada orang yang berasal dari cacing yang ikut mendengarkan wejangan tersebut oleh Sunan Kalijaga dinamakan Siti Jenar. Karena ilmu yang tanpa izin dari guru (sunan Bonang) dapat menyimpang/ menyesatkan/ merusak ilmu Tauhid. Hal ini menyebabkan munculnya ilmu hitam. Sampai sekarang ilmu tersebut menjadi pegangan dan keyakinan masyarakat luas karena dianggap sebagai ilmu yang benar. Hal tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa ilmu yang tidak sempurna (tidak dilandasi dengan tauhid yang murni) dan tidak kita ketahui asal mulanya, walaupun luarnya sangat bagus dan sangat indah tetapi di dalamnya sangat kotor dan menyesatkan bagi kita, na’udzubillah.Maka dari itu karena ilmu kewalian/tauhid yang telah begitu lama tidak muncul,yang tersebar selama ini hanya ilmu syari’at dan syari’at dari haqiqat. Alhamdulilah,dengan sifat Rohman dari Allah S.W.T ilmu tersebut sekarang telah muncul/beredar dengan perantara para guru mursyid yang tersebut dalam silsilah mursyid yang sahih.

Maulana Makhdum Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. sebagaimana halnya ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk agama Islam.

Di masa hidupnya, beliau juga termasuk penyokong dari kerajaan Islam Demak. serta ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.

Adapun mengenai filsafat Ketuhanannya, adalah :

“Adapun pendirian saya adalah, bahwa imam tauhid dan makrifat itu terdiri dari pengetahuan yang sempurna, sekiranya orang hanya mengenal makrifat saja, maka belumlah cukup, sebab ia masih insaf akan itu. Maksud saya adalah bahwa kesempurnaan barulah akan tercapai hanya dengan terus menerus mengabdi kepada Tuhan. Seseorang itu tiada mempunyai gerakan sendiri, begitu pula tidak mempunyai kemauan sendiri. dan seseorang itu adalah seumpama buta, tuli dan bisu. Segala gerakannya itu datang dari Allah.”

Suluk Jebeng

Ditulis dalam tembang Dhandhanggula dan dimulai dengan perbincangan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan bahawasanya manusia itu dicipta menyerupai gambaran-Nya (mehjumbh dinulu). Hakekat diri yang sejati ini mesti dikenal supaya perilaku dan amal perubuatan seseorang di dunia mencerminkan kebenaran. Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui. Ujar Sunan Bonang:

Puncak ilmu yang sempurna

Seperti api berkobar

Hanya bara dan nyalanya

Hanya kilatan cahaya

Hanya asapnya kelihatan

Ketauilah wujud sebelum api menyala

Dan sesudah api padam

Karena serba diliputi rahasia

Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?

Jangan tinggikan diri melampaui ukuran

Berlindunglah semata kepada-Nya

Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh

Jangan bertanya

Jangan memuja nabi dan wali-wali

Jangan mengaku Tuhan

Jangan mengira tidak ada padahal ada

Sebaiknya diam

Jangan sampai digoncang

Oleh kebingungan

Pencapaian sempurna

Bagaikan orang yang sedang tidur

Dengan seorang perempuan, kala bercinta

Mereka karam dalam asyik, terlena

Hanyut dalam berahi

Anakku, terimalah

Dan pahami dengan baik

Ilmu ini memang sukar dicerna

Satu-satunya karangan prosa Sunan Bonang yang dapat diidentifikasi sampai sekarang ialah Pitutur Seh Bari. Salah satu naskah yang memuat teks karangan prosa Sunan Bonang ini ialah MS Leiden Cod. Or. 1928. Naskah teks ini telah ditransliterasi ke dalam tulisan Latin, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Schrieke dalam disertasi doktornya Het Boek van Bonang (1911). Hoesein Djajadiningrat juga pernah meneliti dan mengulasnya dalam tulisannya ”Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten” (1913). Terakhir naskah teks ini ditransliterasi dan disunting oleh Drewes, dalam bukunya The Admonotions of Seh Bari (1978), disertai ulasan dan terjemahannya dalam bahasa Inggris.

Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog atau tanya-jawab antara seorang penuntut ilmu suluk, Syaful Rijal, dan gurunya Syekh Bari. Nama Syaiful Rijal, yang artinya pedang yang tajam, biasa dipakai sebagai julukan kepada seorang murid yang tekun mempelajari tasawuf (al-Attas 1972). Mungkin ini adalah sebutan untuk Sunan Bonang sendiri ketika menjadi seorang penuntut ilmu suluk. Syekh Bari diduga adalah guru Sunan Bonang di Pasai dan berasal dari Bar, Khurasan, Persia Timur Daya (Drewes 1968:12). Secara umum ajaran tasawuf yang dikemukakan dekat dengan ajaran dua tokoh tasawuf besar dari Persia, Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M). Nama-nama ahli tasawuf lain dari Persia yang disebut ialah Syekh Sufi (mungkin Harits al-Muhasibi), Nuri (mungkin Hasan al-Nuri) dan Jaddin (mungkin Junaid al-Baghdadi). Ajaran ketiga tokoh tersebut merupakan sumber utama ajaran Imam al-Ghazali (al-Taftazani 1985:6). Istilah yang digunakan dalam kitab ini, yaitu ”wirasaning ilmu suluk” (jiwa atau inti ajaran tasawuf) mengingatkan pada pernyataan Imam al-Ghazali bahwa tasawuf merupakan jiwa ilmu-ilmu agama.

Suluk Wujil

Di antara suluk karya Sunan Bonang yang paling dikenal dan relevan bagi kajian ini ialah Suluk Wujil (SW). Dari segi bahasa dan puitika yang digunakan, serta konteks sejarahnya dengan perkembangan awal sastra Pesisir, SW benar-benar mencerminkan zaman peralihan Hindu ke Islam (abad ke-15 dan 16 M) yang sangat penting dalam sejarah Jawa Timur. Teks SW dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya ”De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh Suyadi Pratomo (1985), tetapi karena tidak memuaskan, maka untuk kajian ini kami berusaha menerjemahkan sendiri teks hasil transliterasi Poerbatjaraka.

Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam hal-hal seperti berikut: Pertama, dalam SW tergambar suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai denga runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V daripada perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah. 

Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Kegiatan pendidikan pula mula beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir. Dari segi bahasa suluk ini memperlihatkan “keanehan-keanehan bahasa Jawa Kuna zaman Hindu” (Purbatjaraka: 1938) karena memang ditulis pada zaman permulaan munculnya bahasa Jawa Madya. Dari segi puitika pula, cermin zaman peralihan begitu ketara. Penulisnya menggunakan tembang Aswalalita yang agak menyimpang, selain tembang Dhandhanggula. Aswalalita adalah metrum Jawa Kuna yang dicipta berdasarkan puitika Sanskerta. Setelah wafatnya Sunan Bonang tembang ini tidak lagi digunakan oleh para penulis tembang di Jawa.

Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatra. Yang terakhir sudah sejak awal kegiatan kreatifnya menggunakan huruf Jawi atau Arab Melayu, sedangkan Sunan Bonang dan penulis-penulis Muslim Jawa yang awal masih menggunakan huruf Jawa, dan baru ketika agama Islam telah tersebar luas huruf Arab digunakan untuk menulis teks-teks berbahasa Jawa. Dalam penulisan puisinya, Sunan Bonang juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu. Misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa. Selain itu dia juga masih mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta. Dengan cara demikian, kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Kedua, pentingnya Suluk Wujil karena renungan-renungannya tentang masalah hakiki di sekitar wujud dan rahasia terdalam ajaran agama, memuaskan dahaga kaum terpelajar Jawa yang pada umumnya menyukai mistisisme atau metafisika, dan seluk beluk ajaran keruhanian. SW dimulai dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman, di Timur maupun Barat:

1

Dan warnanen sira ta Pun Wujil

Matur sira ing sang Adinira

Ratu Wahdat

Ratu Wahdat Panenggrane

Samungkem ameng Lebu?

Talapakan sang Mahamuni

Sang Adhekeh in Benang,

mangke atur Bendu

Sawetnya nedo jinarwan

Saprapating kahing agama kang sinelit

Teka ing rahsya purba

2

Sadasa warsa sira pun Wujil

Angastupada sang Adinira

Tan antuk warandikane

Ri kawijilanipun

Sira wujil ing Maospait

Ameng amenganira

Nateng Majalanggu

Telas sandining aksara

Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti

Anuhun pangatpada

3

Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih

Ing talapakan sang Jati Wenang

Pejah gesang katur mangke

Sampun manuh pamuruh

Sastra Arab paduka warti

Wekasane angladrang

Anggeng among kayun

Sabran dina raraketan

Malah bosen kawula kang aludrugi

Ginawe alan-alan

4

Ya pangeran ing sang Adigusti

Jarwaning aksara tunggal

Pengiwa lan panengene

Nora na bedanipun

Dening maksih atata gendhing

Maksih ucap-ucapan

Karone puniku

Datan polih anggeng mendra-mendra

Atilar tresna saka ring Majapait

Nora antuk usada

5

Ya marma lunganging kis ing wengi

Angulati sarasyaning tunggal

Sampurnaning lampah kabeh

Sing pandhita sundhuning

Angulati sarining urip

Wekasing jati wenang

Wekasing lor kidul

Suruping radya wulan

Reming netra lalawa suruping pati

Wekasing ana ora

Artinya, lebih kurang:

1

Inilah ceritera si Wujil

Berkata pada guru yang diabdinya

Ratu Wahdat

Ratu Wahdat nama gurunya

Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung

Yang tinggal di desa Bonang

Ia minta maaf

Ingin tahu hakikat

Dan seluk beluk ajaran agama

Sampai rahasia terdalam

2

Sepuluh tahun lamanya Sudah 

Wujil Berguru kepada Sang Wali

Namun belum mendapat ajaran utama

Ia berasal dari Majapahit

Bekerja sebagai abdi raja

Sastra Arab telah ia pelajari

Ia menyembah di depan gurunya

Kemudian berkata

Seraya menghormat

Minta maaf

3

“Dengan tulus saya mohon

Di telapak kaki tuan Guru

Mati hidup hamba serahkan

Sastra Arab telah tuan ajarkan

Dan saya telah menguasainya

Namun tetap saja saya bingung

Mengembara kesana-kemari

Tak berketentuan.

Dulu hamba berlakon sebagai pelawak

Bosan sudah saya

Menjadi bahan tertawaan orang

4

Ya Syekh al-Mukaram!

Uraian kesatuan huruf

Dulu dan sekarang

Yang saya pelajari tidak berbeda

Tidak beranjak dari tatanan lahir

Tetap saja tentang bentuk luarnya

Saya meninggalkan Majapahit

Meninggalkan semua yang dicintai

Namun tak menemukan sesuatu apa

Sebagai penawar

5

Diam-diam saya pergi malam-malam

Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna

Semua pendeta dan ulama hamba temui

Agar terjumpa hakikat hidup

Akhir kuasa sejati

Ujung utara selatan

Tempat matahari dan bulan terbenam

Akhir mata tertutup dan hakikat maut

Akhir ada dan tiada

Pertanyaan-pertanyaan Wujil kepada gurunya merupakan pertanyaan universal dan eksistensial, serta menukik hingga masalah paling inti, yang tidak bisa dijawab oleh ilmu-ilmu lahir. Terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi. Kapan mata tertutup berkenaan dengan pancaindra dan gerak tubuh kita. Sadar dan tidak sadar, bingung dan gelisah, adalah persoalan psikologi. Ada dan tiada merupakan persoalan metafisika. Setiap jawaban yang diberikan sepanjang zaman di tempat yang berbeda-beda, selalu unik, sebagaimana pertanyaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Lantas apakah dalam hidupnya manusia benar-benar menguasai dirinya dan menentukan hidupnya sendiri? Siapa kuasa sejati itu? Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain.

Tampaknya pertanyaan itu memang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itu dia dapat menyingkap rahasia ilmu tasawuf dan relevansinya, kepada Wujil. Maka Sunan Bonang pun menjawab:

6

Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi

Heh ra Wujil kapo kamangkara

Tan samanya pangucape

Lewih anuhun bendu

Atunira taha managih

Dening geng ing sakarya

Kang sampun alebu

Tan padhitane dunya

Yen adol warta tuku warta ning tulis

Angur aja wahdat

7

Kang adol warta tuhu warti

Kumisum kaya-kaya weruha

Mangke ki andhe-andhene

Awarna kadi kuntul

Ana tapa sajroning warih

Meneng tan kena obah

Tinggalipun terus

Ambek sadu anon mangsa

Lirhantelu outihe putih ing jawi

Ing jro kaworan rakta

8

Suruping arka aganti wengi

Pun Wujil anuntu maken wraksa

Badhi yang aneng dagane

Patapane sang Wiku

Ujung tepining wahudadi

Aran dhekeh ing Benang

Saha-saha sunya samun

Anggaryang tan ana pala boga

Ang ing ryaking sagara nempuki

Parang rong asiluman

9

Sang Ratu Wahdat lingira aris

Heh ra Wujil marangke den enggal

Tur den shekel kukuncire

Sarwi den elus-elus

Tiniban sih ing sabda wadi

Ra Wujil rungokna

Sasmita katenggun

Lamun sira kalebua

Ing naraka isung dhewek angleboni

Aja kang kaya sira

… 11

Pangestisun ing sira ra Wujil

Den yatna uripira neng dunya

Ywa sumambar angeng gawe

Kawruhana den estu

Sariranta pon tutujati

Kang jati dudu sira

Sing sapa puniku

Weruh rekeh ing sariri

Mangka saksat wruh sira

Maring Hyang Widi

Iku marga utama 

Artinya lebih kurang:

6

Ratu Wahdat tersenyum lembut

“Hai Wujil sungguh lancang kau

Tuturmu tak lazim

Berani menagih imbalan tinggi

Demi pengabdianmu padaku

Tak patut aku disebut Sang Arif

Andai hanya uang yang diharapkan

Dari jerih payah mengajarkan ilmu

Jika itu yang kulakukan

Tak perlu aku menjalankan tirakat

7

Siapa mengharap imbalan uang

Demi ilmu yang ditulisnya

Ia hanya memuaskan diri sendiri

Dan berpura-pura tahu segala hal

Seperti bangau di sungai

Diam, bermenung tanpa gerak.

Pandangnya tajam, pura-pura suci

Di hadapan mangsanya ikan-ikan

Ibarat telur, dari luar kelihatan putih

Namun isinya berwarna kuning

8

Matahari terbenam, malam tiba

Wujil menumpuk potongan kayu

Membuat perapian, memanaskan

Tempat pesujudan Sang Zahid

Di tepi pantai sunyi di Bonang

Desa itu gersang

Bahan makanan tak banyak

Hanya gelombang laut

Memukul batu karang

Dan menakutkan

9

Sang Arif berkata lembut

“Hai Wujil, kemarilah!”

Dipegangnya kucir rambut Wujil

Seraya dielus-elus

Tanda kasihsayangnya

“Wujil, dengar sekarang

Jika kau harus masuk neraka

Karena kata-kataku

Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11

“Ingatlah Wujil, waspadalah!

Hidup di dunia ini

Jangan ceroboh dan gegabah

Sadarilah dirimu

Bukan yang Haqq

Dan Yang Haqq bukan dirimu

Orang yang mengenal dirinya

Akan mengenal Tuhan

Asal usul semua kejadian

Inilah jalan makrifat sejati”

Dalam bait-bait yang telah dikutip dapat kita lihat bahwa pada permulaan suluknya Sunan Bonang menekankan bahwa Tuhan dan manusia itu berbeda. Tetapi karena manusia adalah gambaran Tuhan, maka ’pengetahuan diri’ dapat membawa seseorang mengenal Tuhannya. ’Pengetahuan diri’ di sini terangkum dalam pertanyaan: Apa dan siapa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati? Pertama-tama, ‘diri’ yang dimaksud penulis sufi ialah ‘diri ruhani’, bukan ‘diri jasmani’, karena ruhlah yang merupakan esensi kehidupan manusia, bukan jasmaninya. Kedua kali, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, manusia dicipta oleh Allah sebagai ‘khalifah-Nya di atas bumi’ dan sekaligus sebagai ‘hamba-Nya’. Itulah hakikat kedudukan manusia di muka bumi. Ketiga, persoalan dari mana berasal dan kemana perginya tersimpul dari ucapan ”Inna li Allah wa inna li Allahi raji’un” (Dari Allah kembali ke Allah).

Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.