Kriteria Murid

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

 

الوجيز في بيان

مراتب السالكين الى رب العالمين

 

Sebuah Ringkasan

Pada Menjelaskan Peringkat-peringkat Salikin

Menuju Allah Rabbul 'Alamin

 

 

Murid:

 

Seseorang yang ingin berjalan di atas perjalanan menuju Allah s.w.t. dengan mengambil seorang mursyid yang kamil (sempurna) untuk membimbingnya menuju Allah s.w.t.. Golongan ini juga dikenal sebagai salik  yaitu: orang yang berjalan menuju Allah s.w.t..

 

Ada dua peringkat murid yaitu:

 

1)      Murid li ajli Al-Jannah

2)      Murid li liLlah

 

1) Murid li ajli al-jannah

 

Adapun murid li ajli Al-Jannah bermaksud, seseorang murid yang memulaikan perjalanannya menuju Allah s.w.t. di bawah tarbiah seorang mursyid yang kamil, dengan niat karena ingin mendapat syurga Allah s.w.t. dan terselamatkan dari pada neraka.

 

          Ini merupakan peringkat permulaan bagi seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah s.w.t.). Ada empat jenis murid li ajli al-jannah ini yaitu:

 

1.1: Khodim

1.2: Abid

1.3: Faqir

1.4: Zahid

 

          1.1: Khodim (orang yang berkhidmat)

 

          Murid pada jenis ini akan diberi tarbiah oleh seorang mursyid yang kamil untuk berkhidmat kepada ikhwan (sesama murid yang lain) dan mursyid tersebut. Ini suatu peringkat terawal dan terpenting bagi seorang salik, dalam membentuk persiapan seseorang untuk seterusnya berkhidmat kepada umat Islam seluruhnya, dan menjadikan seluruh kehidupannya untuk berkhidmat di jalan Allah s.w.t., karena Allah s.w.t..

 

          Khidmat ini juga membentuk sifat tawadhuk dalam diri seseorang murid, yang mana, sifat tersebut amat penting bagi seseorang murid, untuk terus mengambil manfaat daripada sebuah tarbiah.

 

          Telah tersebut dalam banyak hadist-hadist dan dalam lembaran sirah (sejarah) para sahabat r.a., di mana, mereka senantiasa berkhidmat kepada Rasulullah s.a.w. dan kepada sesama mereka.

 

1.2: 'Abid (Orang yang Banyak Beribadah)

 

          Ada juga dalam kalangan murid yang seterusnya mencapai tahap abid', di mana dia senantiasa memperbanyakkan amal ibadah karena sudah mampu merasakan kelezatan ibadah itu sendiri. Pada tahap ini, seseorang murid akan terhibur dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunat setelah ibadah-ibadah fardhu, senantiasa memperbanyakkan zikir-zikir, senantiasa mengikuti majlis-majlis zikir dan majlis-majlis shalawat, ilmu dsb, gemar melazimi bacaan-bacaan qasidah dan sebagainya.

 

          Pada peringkat ini, mursyid yang kamil yang membimbing murid tersebut akan membantu murid tersebut dalam memotivasikannya sekiranya murid tersebut dihinggapi hal-hal seperti malal (kebosanan), futur (putus asa) dan sebagainya.

 

          Pada ketika ini juga, mursyid akan senantiasa memberi semangat kepada murid tersebut untuk memperbanyak amalan-amalan sunat agar murid tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan nawafil (ibadah-ibadah yang sunat) setelah ibadah-ibadah fardhu (seperti yang disarankan dalam hadist riwayat Imam Al-Bukhari.rhm).

 

1.3: Faqir (Tidak Memiliki Harta)

 

          Ada juga dalam kalangan murid yang memilih untuk menjalani hidup dalam kefaqiran, sesuai dengan jalan hidup Sayidina Rasulullah s.a.w. yang memilih untuk menjalani kehidupan dalam bentuk yang tersebut.

 

          Mereka hidup ibarat pemulung pagi makan pagi dan pemulung petang makan petang. Dalam tarbiah, seseorang murid selalunya menjalani kehidupan seperti ini dalam usaha untuk membasmi perasaan cinta dunia dari pada dirinya. Tetapi, manhaj tarbiah kebanyakkan para sufi zaman ini tidak lagi melalui peringkat ini, karena demi kemaslahatan (kebaikan untuk) murid-murid zaman ini juga.

 

          Tetapi, murid-murid memang seyogyanya terbiasa tumbuh dalam keadaan kefaqiran, dalam pengertian makna ‘kefaqiran’. Kefaqiran dalam makna sangat amat membutuhkan limpahan karunia rahmat-Nya, walau dari sisi lahiriah segalanya telah tercukupi. Jadi walau ia kaya harta dsb, ia tetap merasa faqir di hadapan-Nya. Inilah maksud dari ajaran ‘kefaqiran’ tersebut. Maka mereka inilah yang akan terus dibimbing oleh mursyid agar lebih menghayati makna sebuah kehidupan secara lebih luas. Ini karena, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, seperti sabda Nabi s.a.w. dalam Hadist riwayat Imam Bukhari.rhm dan Imam Muslim.rhm.

 

1.4: Zahid (Orang yang Zuhud)

 

          Peringkat tertinggi dalam jenis murid li ajli al-jannah ini adalah golongan zuhhad (orang-orang zuhud), yang mana, mereka mengosongkan hati mereka daripada kecintaan kepada dunia, walaupun mereka memiliki dunia di tangan mereka ataupun tidak.

 

          Zuhud itu sendiri dalam pandangan kaum sufi adalah, suatu sifat membuang kecintaan terhadap dunia daripada hati, bukan membuang dunia daripada tangan (yaitu: bukan menolak usaha untuk mencari harta keduniaan secara mutlak). Boleh jadi, seseorang itu miskin harta, terlihat seperti zuhud, tetapi hatinya penuh kecintaan kepada dunia, maka dia juga bukan seorang yang zuhud seperti yang dimaksudkan oleh kaum sufi.

 

          Pada peringkat ini, seseorang mursyid atau murobbi (orang yang menuntun kehadirat Rabbi-Allah s.w.t) akan membimbing murid tersebut dalam usaha untuk melepaskan hatinya daripada kecintaan kepada dunia. Faktor membawa kepada zuhud ini adalah, di mana murid tersebut lebih mengutamakan nikmat dan kesenangan yang dijanjikan di syurga dibandingkan di dunia yang  fana (sementara) ini.

 

2) Murid liLlah

 

          Murid jenis kedua adalah murid yang berjalan menuju Allah s.w.t. di bawah bimbingan seorang mursyid yang kamil, hanya semata-mata mengharapkan Allah s.w.t., keridhaan dan kasih sayangNya. Murid jenis kedua ini lebih tinggi martabatnya daripada murid jenis pertama yang hanya sekadar mengharapkan syurga Allah s.w.t..

 

          Murid peringkat kedua ini terbagi dari dua jenis yaitu:

 

2.1: Malamatiyyah

2.2. Mutasawwifah

 

          2.1: Malamatiyyah

 

          Malamatiyyah adalah seorang murid yang senantiasa menyembunyikan kebaikan dan ketaatannya karena ingin menjaga niat dan keikhlasannya dalam beramal, karena yang dia harapkan hanyalah Allah s.w.t.. Dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali dia berusaha dengan sepenuhnya untuk meraih adanya ikhlas dan tulus dalam dirinya terhadap ketaatan tersebut. Jadi, dia senantiasa berusaha untuk menutup pintu-pintu riya’, ujub dsb, dengan menyembunyikan amalan-amalannya sebaik mungkin, demi menjaga keikhlasannya kepada Allah s.w.t.. Menjadi puncak kegembiraannya adalah apabila sesuatu amalan tersebut berjaya atau berhasil dilakukannya secara sembunyi tanpa di ketahui oleh makhluk yang lain.

 

          Ini adalah peringkat pertengahan dalam perjalanan seseorang salik menuju Allah s.w.t., karena sudah sampai tahap permulaan ikhlas kepada Allah s.w.t.. Dia sudah merasakan kelezatan iman (bukan kelezatan ibadah lagi sudah naik peringkatnya), menghayati cinta dan keridhaan Allah s.w.t. dalam dirinya serta tidak lagi tergantung hatinya kepada selain Allah s.w.t..

 

          2.2: Mutasawwifah

 

          Mutasawwifah adalah orang yang sudah menguasai lapangan ilmu tasawwuf, sudah mewarisi zauq-zauq (perasaan) dari pada mursyid-nya yang kamil, sudah mulai mengenal Allah s.w.t. melalui af'al­-af'al-Nya, ataupun sifat-sifatNya, dan sudah pun memiliki pengalaman yang luas dalam pentarbiyahan (metoda pengajaran/pelajaran dalam mencapai jalan menujuNya). Yang dia inginkan dalam segenap hidup maupun matinya hanyalah ALLAH s.w.t.. Mereka sudah diberi futuhat oleh Allah s.w.t. untuk memahami berbagai hakikat-hakikatNya.

 

Mutasawwifah adalah murid mutaqoddim (murid yang hampir dengan sheikh) yang mana, para khalifah seseorang mursyid selalunya adalah dari kalangan mereka. Hanya mereka yang sudah sampai kepada peringkat ini yang selalunya akan mengganti tempat seseorang mursyid dalam memberi tarbiah kepada para ahbab (pecinta/murid/salik), ketika ketiadaan sheikh tersebut.  Dia sudah mempunyai keserasian kehendak dengan mursyidnya, khususnya dalam melibatkan urusan dakwahnya. Inilah peringkat terakhir murid dan peringkat awal bagi seseorang yang sampai kepada Allah s.w.t..

 

Washil (Orang yang Sampai kepada Allah s.w.t. dengan AnugerahNya)

 

          Washil ialah seseorang yang telah sampai kepada Allah s.w.t. dengan bantuan dan kemurahanNya. Makna sampai kepada Allah s.w.t. adalah, seseorang mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benarnya “kenal”, yang mana, makrifat tersebut tidak ada penghujungnya karena tiada penghujung bagi hakikat-Nya. Setiap orang mengenal Allah s.w.t. sekedar akan, kadar yang diizinkan oleh Allah s.w.t., dan tiada siapa pun yang dapat menjangkau keseluruhan hakikat Allah s.w.t..

 

          Adapun maksud mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benar kenal adalah derajat yang kita kenal dengan derajat al-ihsan, yang kita kenal dalam Hadist Baginda Nabi SAW baik riwayat Imam Bukhari.rhm dan Imam Muslim.rhm, seseorang itu mengenal Allah s.w.t. dengan tahaqquq (perealisasian) terhadap apa yang difahami tentang Allah s.w.t. dalam bentuk penghayatan dan pengamalan seluruh kehidupannya, baik gerak maupun diamnya, yaitu dengan kehadiran hati yang senantiasa tertuju kepada Allah s.w.t., dan menyaksikan (musyahadah) Allah s.w.t. dengan mata hatinya (bashirah). Adapun wahsil ini ada dua jenis yaitu:

 

1)      Mursyid Kamil/ Sheikh/ Waris Muhammadi/Murobbi/ Sufi/ Wali

 

Mursyid atau Sheikh adalah seseorang yang sudah melalui perjalanan menuju Allah s.w.t. (sair ila Allah) dan sudah berada di puncak perjalanan kepada Allah s.w.t. (as sair fi Llah) di mana, dia sudah fana' makhluk dan basyariah, dan sudah baqo' (abdai/berkesinambungan tetap) denganNya (kekal dalam musyahadah Allah s.w.t.).

 

          Para mursyid adalah golongan yang telah tenggelam (istighroq) dalam lautan tauhid, sehingga menyaksikan wujud Allah s.w.t. tanpa kaifiat dan tanpa tamsil, tasybih dan tanpa bentuk, karena penyaksian (musyahadah) ini adalah pada mata hati (bashiroh). Mereka telah sampai pada hal tamkin (mantap) dalam meraih dua thorof (sudut), yaitu sudut musyahadahnya (yang melihat tiada wujud hakiki kecuali Allah s.w.t.) dan sudut kewujudannya dari seluruh makhluk denganNya (dalam kekuasaanNya). Dengan meraih sudut musyahadahnya, maka dia senantiasa tahaquq (merealisasikan) dan menjaga hak-hak ketuhanan Allah s.w.t. dan beradab di hadrah-Nya. Adapun dengan mencapai/meraih sudut menyaksikan seluruh makhluk denganNya, maka dia terus melakukan peng-hamba-an dan ketaatan kepada-Nya.

 

          Mereka diberi izin oleh mursyid-mursyid mereka yang kamil, akan izin-izin untuk memberi tarbiah, irsyad (bimbingan kerohanian), menyebarkan aurad (zikir-zikir sesuatu madrasah tarbiah) dan memberi bai'ah kepada para murid yang baru ingin memulaikan perjalanan menuju Allah s.w.t..

 

          Tugas mereka adalah untuk memimpin ahbab (pencinta/salik/ murid/pengikut) sheikhnya terdahulu atau mencari ahbab-ahbab baru dalam memperluaskan lagi manhaj tarbiah dan dakwah madrasah tarbiah mereka demi berkhidmat kepada umat Islam.

 

          Mereka juga terkenal dengan waris muhammadi karena mereka adalah pewaris-pewaris Rasulullah s.a.w. secara zahir maupun batin (ilmu zauqi), sesuai dengan hadist Nabi s.a.w. yang berbunyi: "Ulama' pewaris nabi". Mereka mewarisi tugas Rasulullah s.a.w. dalam memberi tarbiah kepada umat Islam dan menyucikan jiwa mereka (tazkiyah an-nafs) daripada belenggu syahwat dan hasutan syaitan serta kecintaan kepada dunia.

 

          Ciri-ciri seorang mursyid yang kamil adalah diantaranya :

 

Pertama: Mengetahui ilmu-ilmu fardu 'ain atau ilmu-ilmu agama (alim dalam ilmu syariat).

 

Kedua: Mengenal Allah s.w.t., sifat-sifatNya dan nama-namaNya bersesuaian dengan aqidah mazhab ahlus-sunnah wal jamaah.

 

Ketiga: Berpengalaman dalam tarbiah (pernah mengambil tarbiah dari seorang mursyid yang kamil), mengetahui seluk-beluk nafsu, tipu dayanya serta cara-cara untuk mentarbiahnya.

 

Keempat: Mendapat izin irsyad (membimbing dalam bab kerohanian) untuk mentarbiah daripada mursyid beliau yang sebelumnya, di mana mursyid tersebut juga mempunyai izin irsyad yang bersambung silsilah izin irsyad tersebut kepada Rasulullah s.a.w..

 

2)      Wali Mastur/ Majzub

 

Mereka juga adalah orang-orang yang sudah mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benar ‘kenal’, tenggelam dalam lautan tauhid dan musyahadah Allah s.w.t. dengan mata hatinya. Cuma, mereka tidak diberi izin untuk memberi tarbiah dan irsyad oleh mursyid mereka yang terdahulu, karena mereka ini adalah suatu kelompok yang dikhususkan oleh Allah s.w.t. untuk menumpukan kehidupan mereka hanya kepada Allah s.w.t. (ahli tajrid) di samping turut memberi nasihat-nasihat umum kepada sesama muslim.

 

          Mereka adalah wali-wali Allah s.w.t. yang tersembunyi di balik pakaian orang-orang awam, sehingga tidak mampu dikenali oleh orang lain kecuali orang tersebut juga merupakan wali yang sepertinya.

 

          Ada juga dalam kalangan mereka yang tenggelam dan terus fana' (lebur) dalam lautan tauhid (bahru at-tauhid), sehingga mereka tidak lagi menyadari kewujudan diri mereka di samping musyahadah mereka kepada Allah s.w.t.. Mereka adalah golongan yang mutalawwin (berubah-ubah), bukan mutamakkin (mantap atau kukuh) hatinya dalam musyahadah dengan baqo' biLlah (kekal musyahadah dengan bantuan Allah s.w.t.).

 

Ilmu Tasawwuf: Riwayah dan Diroyah

 

Seseorang yang ingin mempelajari ilmu tasawwuf, atau melalui jalan para sufi, hendaklah memahami bahwasanya, ilmu tasawwuf itu bukan suatu ilmu yang dapat dipelajari semata-mata melalui buku-buku tasawwuf dan sebagainya, tetapi ia perlu dipelajari secara talaqqi (berjumpa dan mendengar langsung) daripada seorang mursyid yang kamil, yang mewarisi tasawwuf secara riwayah dan diroyah.

 

          Ini karena, ilmu tasawwuf pada hakikatnya, bukan untuk dipelajari sekadar untuk mendapatkan pengetahuan, tetapi ilmu tasawwuf itu dipelajari untuk direalisasikan ke dalam diri melalui proses tarbiah (pendidikan) di bawah bimbingan seorang mursyid yang kamil.

 

          Syeikhuna (guru kami) Sheikh Yusuf Al-Hasani berkata: "Siapa yang menginginkan pengetahuan (tentang tasawwuf) semata-mata, maka silahkan carinya dalam buku-buku tasawwuf. Tetapi, siapa yang menginginkan Allah s.w.t., maka kami menyambut kedatangannya."

 

Syeikhuna (guru kami) Al-Walid al-Allamah al-Arifbillah al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Ba’Alawy berkata: "Bagaimana mungkin orang dapat mengatakan atau merasakan sesuatu tanpa merasakannya langsung, mencicipinya langsung. Seperti manisnya buah jeruk, bagaimana mungkin kita akan menerima-percaya dan meyakini serta membenarkan pendapat orang yang mengatakan bahwa jeruk itu manis rasanya, tanpa ia merasakannya/mencicipinya terlebih dahulu, kupas lalu makan terlebih dahulu baru ia ‘shahih’ perkataannya mengenai buah jeruk tersebut, kalau tidak merasakan terlebih dahulu maka ia tertolak. Seperti halnya tasawuf/thariqah, tasawuf itu ilmu yang diamalkan dan dirasakan bukan ‘katanya’, masuk dahulu terjun langsung kedalam thariqah baru berbicara, bagaimana rasanya."

 

          Tasawwuf itu dipelajari agar seterusnya dapat diterjemahkan (dipraktekkan & diamalkan) dalam kehidupan sehari-hari, karena hal tersebut merupakan ilmu perjalanan menuju Allah s.w.t.. Tiada manfaat bagi orang yang belajar seluk-beluk perjalanan menuju Allah s.w.t tetapi tidak mau melaluinya dengan berbagai amalan lahirah (praktek). Tiada manfaat bagi orang yang mencoba memahami sifat-sifat Allah s.w.t. tanpa berusaha untuk mengenaliNya dengan jalan tarbiah tersebut.

 

          Oleh karena itu, secara ilmiahnya, ilmu tasawwuf itu ada dua bagian yaitu:

 

1)      Riwayah

2)      Diroyah

 

1)      Riwayah

 

Riwayah adalah berkaitan dengan talqin zikir (La ilaha illaLah atau Allahu) dari seorang mursyid kepada muridnya, dengan silsilah talqin yang bersambung sanad silsilahnya kepada Sayidina Ali r.a. atau Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq.ra yang mengambil talqin tersebut dari Rasulullah s.a.w.. Begitu juga dengan zikir-zikir yang mathur (yang dikenal/populer) dari pada Rasulullah s.a.w., yang diwarisi melalui rantaian silsilah zikir tersebut.

 

          Ia selalunya berkaitan mengambil riwayat zikir secara bersanad sehingga sampai kepada Rasulullah s.a.w., dan juga sampai kepada para sahabat r.a., tabi'in, para penghulu tarikat (seperti Hizbul Bahr oleh Imam Abu Al-Hasan As-Syazuli) dan sebagainya. Dalam silsilah tersebut mengandung keberkatan para masyaikh yang terkandung dalam rantai silsilah tersebut bahkan keberkatan Sayidina Rasulullah s.a.w. yang menjadi penghulu bagi silsilah zikir tersebut. Dalam rantai tersebut juga memberi pahala kepada para masyaikh yang terkandung dalam rantai silsilah tersebut seperti yang dimaksudkan dalam hadist: "Sesiapa yang mengadakan sesuatu amalan yang baik, maka baginya pahala terhadap amalannya, dan baginya juga pahala mereka yang mengikutinya sehingga hari Kiamat" (Hadist riwayat Muslim).

 

          Ada orang yang meriwayatkan zikir ini secara umum (seperti meriwayatkan salawat-salawat dan zikir-zikir mathur (dari Rasulullah s.a.w.), hizb an-nawawi, ratib al-haddad, hizbul bahr, dalail khairat dan sebagainya, sedangkan talqin zikir pula diambil secara khusus daripada seorang mursyid yang bersambung silsilah talqin tersebut daripada Sayidina Hasan Al-Basri r.a. yang mengambilnya daripada Sayidina Ali r.a. yang mengambilnya daripada Sayidina Wa Maulana Rasulullah s.a.w..

 

2)      Diroyah

 

Dalam ilmu tasawwuf, diroyah daripada ilmu tasawwuf adalah berkenaan dengan perasaan hati (zauq), akhlak-akhlak terpuji melalui contoh-contoh teladan, yang mana ianya diwarisi dari seseorang guru yang mewarisinya daripada gurunya terdahulu, sehingga bersambung silsilah warisan tersebut kepada para sahabat r.a. yang mewarisinya daripada Rasulullah s.a.w..

 

          Diroyah dalam arti kata lain, dalam ilmu tasawwuf adalah, tarbiah dari seorang guru mursyid kepada muridnya, yang mana silsilah tarbiah tersebut bersambung kepada Rasulullah s.a.w. yang mentarbiah para sahabat Baginda r.a.

 

          Rasulullah s.a.w. bukan sekadar menyampaikan pesanan dan nasihat serta mengajarkan zikir-zikir kepada para sahabat r.a. semata-mata, bahkan Baginda s.a.w. juga mentarbiah (mendidik) para  sahabat dengan memperbaiki akhlak mereka secara individu, menunjukkan contoh akhlak yang terpuji sebagai qudwah kepada mereka, dan memindahkan kefahaman-kefahaman zauqi kepada para sahabat r.a. dengan proses mujahadah tersebut.

 

          Rasulullah s.a.w. adalah suatu simbol akhlak yang terpuji buat para sahabat untuk merealisasikan akhlak tersebut dalam hidup mereka. Rasulullah s.a.w. adalah dokter yang senantiasa tidak pernah jemu memperhatikan penyakit-penyakit hati mereka, lalu memberi penawarnya dengan izin Allah s.w.t.. Rasulullah s.a.w. adalah simbol kemanisan iman yang menghayati segenap makna iman, lalu diterjemahkan dalam kehidupan dengan akhlak-akhlak hati yang tinggi, seperti ridha kepada Allah s.w.t.dan sebagainya.

 

          Seterusnya, para sahabat r.a. yang agung mewarisi manhaj tarbiah Nabawi tersebut, lalu menyebarkannya dengan mentarbiah para tabi'in sehingga warisan manhaj tarbiah itu terus diwarisi sehingga hari ini, oleh mursyid-mursyid yang kamil, dalam sebuah madrasah yang dikenali setelah itu sebagai, madrasah sufiyah.

 

          Mereka ini mewarisi silsilah zikir-zikir dari Rasulullah s.a.w., mewarisi tarbiah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada para sahabat, melalui silsilah tarbiah yang mereka ambil dari guru-guru mursyid mereka terdahulu.

 

          Mereka bukan sekadar mewarisi hadist-hadist Nabi s.a.w. secara riwayat, tetapi juga mewarisi kefahaman-kefahaman yang tinggi dari pada hadist-hadist tersebut melalui jalan tarbiah, mujahadah dan bimbingan daripada para mursyid mereka yang juga turut melalui jalan yang sama, sebagaimana jalan yang pernah dilalui oleh para sahabat r.a., yang mendapat bimbingan daripada Baginda Nabi Rasulullah s.a.w..

 

          Ahli riwayat semata-mata, yang meriwayatkan kisah-kisah para sufi khususnya, yang meriwayatkan ungkapan-ungkapan mereka semata-mata, namun tidak mewarisi kefahaman dan zauq (perasaan) kerohanian mereka, melalui proses mujahadah melawan hawa nafsu dan proses tarbiah, akan menyebabkan pemahaman mereka menghukum ke atas para sufi melalui pemahaman yang salah dan kurang tepat mereka terhadap ungkapan para sufi, atau ada yang akan salah faham lalu mengikut kesesatan kefahamannya yang salah terhadap ungkapan para sufi tersebut.

 

          Ilmu tasawwuf adalah ilmu praktikal, bukan ilmu berbahas. Para ulama' sufi menyusun ilmu tersebut dari sejumlah hadist-hadist Nabi s.a.w. berkenaan dengan akhlak dan tarbiah Nabi s.a.w., untuk seterusnya diamalkan oleh para murid yang ingin sampai kepada Allah s.w.t. dan yang menginginkan keridhaanNya.

 

          Jalan untuk menterjemahkan ilmu tasawwuf ke dalam kehidupan adalah dengan melalui proses tarbiah dan bimbingan seseorang mursyid yang kamil, agar semua teori berkenaan akhlak-akhlak mulia dapat direalisasikan dalam dirinya di dalam kehidupan sehari-hari. Nabi s.a.w. adalah murobbi teragung yang turut mentarbiah para sahabat r.a. dan seterusnya para tabi'in pula mengambil tarbiah daripada para sahabat r.a. dan begitulah kesinambungan silsilah tarbiah sehingga hari ini, terutamanya melalui madrasah sufiyah (ath-Thariqah).

 

          Tarbiah, suhbah (hubungan persahabatan dengan seseorang guru mursyid), mulazamah (senantiasa bersama-sama dengan mursyid), khidmat (berkhidmat kepada para guru dan para ikhwan) dalam ilmu tasawwuf adalah diroyah sedangkan riwayat-riwayat zikir, bai'ah tabarruk, talqin zikir tabarruk (sekedar mengambil berkat), menghadiri majlis-majlis zikir secara umum dan sebagainya, hanyalah sekedar riwayah dalam ilmu tasawwuf.

 

          Orang yang ingin sampai (wushul) kepada Allah s.w.t. perlu mengambil ilmu tasawwuf (akhlak, tarbiah atau tazkiyah an-nufus) secara riwayah dan diroyah sekaligus, dengan mengambil seorang mursyid yang kamil sebagai pembimbing khusus baginya dalam perjalanan menuju Allah s.w.t., karena pada suhbah (bersahabat dengan mursyid) dan khidmah (berkhidmat kepada para guru dan ahbab) inilah rahasia kejayaan pembentukan jiwa mulia para sahabat r.a. yang dahulunya suram dengan noda jahiliyyah.

 

          Di sinilah letaknya kepentingan mendapat bimbingan daripada seseorang mursyid yang kamil, yaitu dalam rangka ingin mempermudahkan jalan untuk sampai kepada Allah s.w.t.. Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita dalam kalangan orang-orang yang menujuNya dengan menyampaikan kita kepada orang-orang yang boleh membawa kita kepadaNya dengan bantuanNya.

 

          Apa yang baik itu dari Allah s.w.t. dan apa yang buruk itu dari kelemahan diri penulis itu sendiri. Semoga Allah s.w.t. mengampuni segala dosa dan kesalahan penulis yang serba kurang lagi faqir ini.

 

Wa minal Allahu taufiq hidayah wal inayah, wal afu minkum, wa bihurmati Habi wa bihurmati al-Fatihah !

 

Wallahu a'lam…

 

Al-Faqir ila Rahmati Rabbihi Al-Jalil

 

23 Shafar 1429 H/ 1 Maret 2008