al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith

Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith Ulama Sunni Madinah Kelahiran Jakarta

Selama ini, masyarakat kita dikenal berwatak paternalistik. Maka tak heran jika dalam keseharian mereka, terutama dalam hal amaliah agama,  warga nahdliyin tak bisa lepas dari sosok yang disebut ulama. Sebagai 

panutan, mereka tak hanya berasal dari pribumi, tetapi juga ulama asal Timur Tengah, yang biasa disebut Habib atau Sayyid.

Hubungan antara nahdliyin dengan habaib begitu eratnya, hingga pada sebagian masyarakat penghormatan kepada mereka melebihi penghormatan kepada ulama pribumi. Selain kapasitas keilmuan, ini tak lain karena 

faktor geneologis, bahwa mereka adalah keturunan Rasulullah SAW.

Sepeninggal Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas al-Maliki (Mekah), figur habaib Timur Tengah seakan punah. Tetapi ternyata tidak. Sebut saja Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakr bin Salim asal Hadramaut, yang 

tak jarang datang ke negara kita demi menularkan ilmunya, di samping mengobati kerinduan warga ahlus sunnah wal-jama’ah di Tanah Air kepada ulama besar Timur Tengah.

Selain Habib Umar, terdapat seorang habib yang kini tinggal di Madinah. Habib Zain Ibrahim namanya, bermarga (fam) Sumaith. Siapa sangka ulama 

kesohor di Tanah Haram itu kelahiran Indonesia?

Nama dan Nasabnya

Beliau adalah al-Allamah al-Muhaqqiq al-Faqih al-'Abid az-Zahid al-Murabbi ad-Da'i ilallah, as-Sayyid al-Habib Abu Muhammad Zain bin Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Salim bin Abdullah bin Muhammad Sumaith bin Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwy bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwy ('Ammul al-Faqih al-Muqqadam) bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qatsam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy Ba'Alawy bin 'Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rummi bin Muhammad An-Naqib bin Ali al-'Uraidhi bin Ja'far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein As-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fathimah binti Rasulullah SAW.

Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.

Sejak kecil Habib Zain sudah mengenal agama dengan baik, baik ilmu pengetahuan maupun amaliah sehari-hari. Mengetahui Habib Zain memiliki kelebihan dibanding saudara- saudara lainnya, ayahnya memberikan pendidikan ekstra. Tak hanya ilmu, akhlak pun ditekankan pada diri Habib Zain. 

Belajar dan Guru-gurunya

Mengunjungi para ulama contohnya. Seperti diketahui, mengunjungi (dalam bahasa Jawa: sowan) sudah menjadi tradisi bagi sebagian umat Islam, seperti Jawa dan Arab asal Hadramaut Yaman. Tak sekadar silaturahmi, tapi yang diharapkan adalah berkah doa dari mereka, para ulama. Sowan inilah yang dijadikan salah satu mediasi oleh Habib Ibrahim dalam mendidik Habib Zain. Dari rasa cinta dan hormat (mahabbah dan ta’ dzim), lalu muncul pada diri Habib Zain rasa ingin menjadi seperti mereka, paling tidak meneladani perilaku mereka. Sejak itu, Habib Zain mengais ilmu dari ulama-ulama Betawi. Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke Majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, salah satu pemuka kalangan saddah 'Alawiyyin yang bermukim di Bogor (Beliau dimakamkan di kubah gurunya Al-Habib Abdullah bin Mukhsin al-Aththas, Mesjid An-Nur, Empang Bogor). Beliau menghadiri maulud yang biasa diadakan di rumah Habib Alwy setiap ashar di hari Jum'at. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Selain Habib Alwi, masa kecil Habib Zain banyak dihabiskan untuk menimba ilmu kepada Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi (Kwitang, dekat Pasar Senen Jakarta Pusat). Di sini, Habib Zain paling tidak hadir seminggu sekali, mengikuti majlis rutin yang digelar tiap Ahad pagi. Selanjutnya, pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim.

Guru-gurunya al-habib Zain bin Ibrahim bin Smith diantaranya adalah 

pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.

Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah

lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.

Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada al-'Allamah al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahnya al-Habib Umar bin Hafizh Darul Musthafa-Tarim, di bawah asuhan al-Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri yang beliau hafal sampai bab Jinayat.

Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah

As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.

Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, kepadanya beliau membaca kitab "Mutammimah al-Ajurumiyah", menghapal kitab "Alfiyyah" karya Ibnu Malik, dan mulai mempelajari syarah kitab itu padanya.

Beliau menimba ilmu Fiqih dari al-Allamah asy-Syaikh Mahfuzh bin Salim az-Zubaidi dan dari seorang syaikh yang Faqih Syekh Salim Sa’id

Bukhayyir Baghitsan. Beliau juga membaca kitab "Mulhah al-I'rab" karya al-Hariri dengan Habib Salim bin Alwi Al-Khird. Dalam ilmu ushul, beliau mengambil dari Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl dan al-Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, kepada mereka berdua, beliau juga membaca kitab matan "al-Waraqat". Beliau juga menghadiri majelis-majelis al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin dan rauhah-nya, juga pelajaran-pelajaran  di Ribath, dan majelis Syaikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.

Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, dan sering pulang pergi ke tempatnya. Beliau mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar Attos bin Abdullah Al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca kitab al-Arba'in karya Imam al-Ghazali. Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding lainnya, juga karena adab, perilaku, dan akhlaknya yang baik.

Selain menimba ilmu di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijazah, semisal 

Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan tahun.

al-Habib Muhammad al-Haddar, al-Habib Hasan bin Abdullah asy-Syatiri dan al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith (ki-ka)

Kemudian salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman sebelah selatan, untuk mengajar di rubath sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.

Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri, yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana Habib Zain tinggal beberapa saat. Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat mengajar.

Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’i. Beliau merupakan tangan kanan Habib Muhammad al-Haddar. Selama di rubath Baidha, beliau benar-benar berjuang, beribadah dan menempa diri dengan kesungguhan dan keseriusan dalam Muthala'ah (mengkaji) kitab-kitab tafsir, hadist, fiqih, dan lain-lain, juga membaca kitab-kitab salaf. Beliau memiliki semangat yang tak kenal lelah dan jemu dalam mengajar, mendidik murid-murid, dan membimbing mereka yang kurang pandai.

Beliau memilki kedudukan tersendiri di sisi gurunya al-Habib Muhammad al-Haddar. Sehingga bila suatu persoalan ilmiah diajukan kepada Habib Muhammad dan sudah dijawab oleh Habib Zain maka Habib Muhammad mengatakan, "Jika Habib Zain telah menjawab maka tidak perlu lagi ada komentar". Begitulah penilaian gurunya karena sangat percaya dengan keilmuan al-Habib Zain bin Sumaith.

Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz diminta untuk membuka rubath Sayyid Abdurrahman bin Hasan al-Jufri di Madinah. Beliau berangkat pada bulan Ramadhan tahun 1406 H. , Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim asy-Syatiri menguruskan Rubath di Madinah selama 12 tahun, Setelah itu Habib Salim pindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.

Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar. Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zaidan Asy-Syanqiti Al-Maliki, seorang yang sangat alim dan ahli ushul fiqih. Kepadanya beliau membaca kitab at-Tiryaq an-Nafi' 'ala Masail Jami'ul Jawami karya Imam Abu BAkar bin Syahab, Maraqi as-Su'ud karya Syarif Abdullah al-Alawi asy-Syanqithi yang merupakan kitab matan lanjutan dalam ilmu ushul fiqih. 

Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmaddu bin Muhammad Hamid Al-Hasani asy-Syanqithi dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin. Kepadanya beliau membaca Syarh al-Qath, sebagian Syarh Alfiyyah karya Ibnu 'Aqil, Idha'ah ad-Dujunnah karya Imam al-Maqqari dalam akidah, as-Sullam al-Munauraq karya al-Imam al-Akhdari, Isaghuji karya al-Imam al-Abhari, Itmam ad-Dirayah li Qurra an-nuqayah karya Imam Suyuthi, al-Maqshur wa al-Mamdud dan Lamiyah al-Af'al, keduanya karya Ibnu Malik, jilid pertama kitab Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam, dua kitab ilmu shorof, Jauhar al-Maknun dalam ilmu balaghoh. Syaikh Ahmaddu memuuji Habib Zain karena semangat besar dan kesungguhannya dalam menuntu ilmu. Dan kebanyakan membaca kepadanya di Masjid Nabawi yang mulia.

Selama masa ini Habib Zain sering melakukan perjalanan-perjalanan yang diberkahi ke sejumlah negeri Islam untuk berdakwah serta menjumpai para ulama dan para wali. Beliau mengunjungi Syam, Indonesia, Malaysia, Afrika dan lain-lain.

Allah SWT memberi anugerah kepadanya, yaitu mudah diterima orang dan kewibawaan dalam penampilannya. Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Tasbih hampir tidak pernah berpisah dengan tangannya. Selalu mengenakan sorban putih, dan mengenakan sarung dan pakaian sebagaimana kebiasaan para salaf di Hadramaut.

al-Habib Zain memilki pengaturan khusus dalam wirid, zikir dan ibadahnya. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah digelar setelah asar hingga waktu maghrib tiba. Lalu beliau melanjutkan mengajar hingga menjelang Isya. Setelah itu, pergi ke Masjid Nabawi untuk melakukan shalat Isya dan berziarah ke makam datuknya yang mulia dan agung, Rasulullah SAW.

Di antara hasil karya tulis beliau :

Semoga menjadi keberkahan bagi kita semua di dunia dan akhirat berkumpul dengan ulama-ulama Allah dan menjadi penegak panji-panji Sayyiduna wa Maulana Muhammad S.A.W. dan kelak mendapat syafa'at dari Nabi kita termulia dan dari Ulama-Ulama Allah SWT.

Amiin Amiin Yaa Robbal Alamiin…..

Rauhah adalah majelis di mana seorang Syaikh berkumpul dengan murid-muridnya di luar waktu belajar, biasanya diadakan sore hari. Dalam kesempatan ini, mereka membaca kitab-kitab akhlak, manaqib atau adab. Tujuannya adalah bersantai dan bersenang-senang dengan sesuatu yang bermanfaat. Majelis rauhah biasanya diakhiri dengan pembacaan Nasyid yang indah, kemudian ditutup dengan doa dan pembacaan Surah al-Fatihah.

Nama dan nasab beliau: Beliau adalah al-‘Allamah al-Muhaqqiq al-Faqih al-‘Abid az-Zahid al-Murabbi ad-Da`ie ilaLlah as-Sayyid al-Habib Zein bin Ibrahim bin Zein bin Muhammad bin Zein bin ‘Abdur Rahman bin Ahmad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Ali bin Saalim bin `Abdillah bin Muhammad Sumaith bin ‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin Ahmad bin ‘Alwi bin Ahmad bin ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi (‘Ammul Faqih al-Muqaddam) bin Muhammad Shahib al-Mirbath bin ‘Ali bin ‘Alwi bin Muhammad bin ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir Ilallah bin ‘Isa ar-Rumi. Bin Muhammad an-Naqib bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin asy-Syahid Hussin as-Sibth, putera Sayyidina ‘Ali dan Sayyidatina Fathimah az-Zahra’ bin Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Beliau dilahirkan pada tahun 1357H (1936M) di Jakarta, Indonesia. Beliau lahir dari keluarga yang sholeh. Ayahanda beliau, al-Habib Ibrahim bin Zein pernah menjadi imam di Masjid Habib ‘Abdullah bin Muhsin di Bogor ketika di akhir umur beliau. Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Sumaith mendapat didikan awal agamanya oleh ayahandanya sendiri dan juga dengan para ulama dan pemuka habaib di Jawa. Sedari kecil beliau telah dibawa oleh ayahandanya untuk hadir ke halaqah ilmu, rohah dan mawlid yang dianjurkan oleh Habib ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad di Bogor yang merupakan naqib para saadah di Tanah Jawa. Habib ‘Alwi ini adalah seorang ulama dan waliyUllah yang terkemuka pada masanya. Beliau wafat pada tahun 1373H dan dimakamkan di Empang, Bogor di mana hingga saat ini makamnya diziarahi dan terkenal sebagai Keramat Empang Bogor. Beliau inilah di antara guru awal Habib Zein. Selain itu, Habib Zein juga sering dibawa ayahandanya untuk meneguk ilmu dan hikmah di majlis seorang lagi ulama dan waliyUllah iaitu Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman al-Habsyi (Habib ‘Ali Kwitang). 

 (Foto Guru-guru Habib Zein) Pada tahun 1371H (1950M), ketika usianya lebih kurang 14 tahun, Habib Zein telah dibawa oleh ayahandanya ke Tarim al-Ghanna, tempat asal keturunannya. Di sana, Habib Zein tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan. beliau berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya beliau belajar di rubath Tarim

 (Foto Guru-guru Habib Zein) Di antara guru-guru beliau di Tarim adalah:- Al-‘Allamah al-Habib Muhammad bin Saalim Bin Hafidz – dengan guru beliau ini, al-Habib Zein bin Ibrahim BinSumaith belajar dan menghafal kitab Sofwah az-Zubad karya Imam Ibn Ruslan, kitab al-Irsyad karya Ibn Muqri (sehingga bab Jinayat) dan Nadzam Hadiyyah ash-Shaadiq karya al-Habib ‘Abdullah bin Hussin bin Thohir. Selain itu beliau belajar kitab-kitab karangan al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz dalam ilmu faraidh dan munakahat, sebahagian dari kitab Minhaj, kitab-kitab tasawwuf dan ilmu falak; Habib ‘Umar bin ‘Alwi al-Kaaf – beliau belajar ilmu Nahwu, Ma’ani dan Bayan. Dengan guru beliau ini juga beliau mempelajari kitab Mutammimah al-Ajrumiyyah dan Alfiyyah serta syarah-syarahnya. Beliau juga menghafal matan Alfiyyah; Habib ‘Alwi bin ‘Abdullah Bin Syihaabuddin – beliau mengikuti majlis-majlis pengajian al-Habib ‘Alwi di Rubath Tarim, juga mengikuti rohah yang diadakan di kediamannya dan majelis Syeikh ‘Ali bin Abu Bakar as-Sakran; Habib Ja’far bin Ahmad al-‘Aydrus – beliau sering berulang-alik ke tempatnya dan beliau memperolehi banyak ijazah daripadanya; Habib Ibrahim bin ‘Umar bin ‘Aqil; Habib Abu Bakar ‘Atthas bin ‘Abdullah al-Habsyi – beliau membaca kitab al-Arbain al-Ushul karya Imam al-Ghazali; Habib Salim bin ‘Alwi al-Khird – beliau membaca kitab Mulhaq al-‘Irab karya Abu Muhammad al-Qaasim bin ‘Ali al-Hariri al-Bashri; Habib ‘Abdur Rahman bin Haamid as-Sariy – beliau mempelajari ilmu ushul, mempelajari matan Waraqat; ‘Allaamah Syaikh Mahfuz bin Saalim az-Zubaidi – beliau mempelajari ilmu fiqih; Syaikh Saalim bin Sa`id Bukayyir BaGhitsaan al-Mufti – beliau belajar fiqih; Syaikh Fadhl bin Muhammad BaFadhl – beliau mempelajari ilmu ushul, mempelajari matan Waraqat; Berangkat ke Baidho’: Setelah kira-kira 8 tahun menuntut di Tarim, Habib Zein telah disuruh oleh guru beliau Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk pindah ke Kota Baidha` untuk mengajar dan berdakwah di samping meneruskan pengajian dengan para ulama di sana antaranya kepada mufti Baidha`, Habib Muhammad bin ‘Abdullah al-Haddar. Kedatangannya ke Baidha` disambut dengan penuh kegembiraan oleh Habib Muhammad bin ‘Abdullah al-Haddar. Habib Zein telah ditugaskan oleh Habib Muhammad al-Haddar untuk mengajar dan membantu beliau dalam berdakwah. Kagum dengan beliau, akhirnya Habib Muhammad al-Haddar telah menikahkan beliau dengan puterinya. Habib Zein juga diijazahkan pelbagai riwayat oleh Habib Muhammad bin ‘Abdullah al-Haddar. Habib Zein terus menetap di Baidha` dan meneruskan pengabdiannya terhadap ilmu dan dakwah di mana beliau menjadi tempat rujuk dan mufti. Ketinggian ilmunya diakui oleh para ulama sehingga Habib Muhammad al-Haddar menyatakan bahawa apabila sesuatu permasalahan itu telah dijawab oleh Habib Zein, maka tidaklah perlu untuk membuat rujukan lain. Selain itu beliau juga mendapat ijazah daripada kalangan Saadah Ba’alawi dan para ulama’ dunia Islam, seperti: Al-‘Allamah al-Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf, al-‘Allamah al-Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, al-‘Allamah al-Muhaddits Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas bin ‘Abdul Aziz al-Maliki al-Makki al-Hasani, al-‘Allamah al-Habib ‘Umar bin Ahmad Bin Sumaith, al-‘Allamah al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha al-Haddad, al-‘Allamah al-Habib ‘Abdul Qaadir bin Ahmad as-Saqqaf, al-‘Allamah al-Habib Hasan bin ‘Abdullah bin ‘Umar asy-Syathiri, asy-Syaikh Umar al-Haddad, al-‘Allamah al-Habib Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri, al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id al-Lahji al-Hadhrami dan Sayyid Yusuf ar-Rifai al-Kuwaiti. Berhijrah ke Madinah: Setelah kira-kira 21 tahun menetap di Baidho` menyumbang ilmu dan berdakwah, maka pada bulan Ramadhan 1406, Habib Zein telah berhijrah ke kota kakek beliau al-Mustafa, Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi pengasuh Rubath Habib ‘Abdur Rahman bin Hasan al-Jufri. Beliau bersama-sama dengan Habib Salim bin ‘Abdullah bin Umar asy-Syaathiri untuk mengasuh Rubath al-Jufri tersebut. Setelah Habib Salim pulang ke Tarim untuk mengasuh Rubath Tarim, maka tanggungjawab di Rubath al-Jufri dipikul sepenuhnya oleh Habib Zein sehingga kini. Walaupun beliau sudah mempunyai murid-murid di Madinah, beliau masih mengambil peluang untuk menimba ilmu dari ulama ulama Madinah seperti:- Syaikh Muhammad Zaidan asy-Syanqiti al-Maliki – beliau mempelajari ilmu ushul, membaca kitab at-Tiryaq an-Nafi’ ‘ala Masail Jam’ul Jawami’ karya al-Imam Abu Bakar bin Syahab dan kitab Maraqi as-Su’ud karya Syarif ‘Abdullah al-‘Alawi asy-Syanqitiy; al-‘Allamah an-Nihrir Ahmaddu bin Muhammad Hamid al-Hasani asy-Syanqiti – beliau membaca kitab Syarah al-Qathr, sebahagian daripada kitab Ibnu ‘Aqil, Idha’ah al-Dujunnah karya Imam al-Maqqari, as-Sullam al-Munauraq karya al-Akhdhari, Isadguji karya Imam al-Abhari, Itmam ad-Dirayah li Qurra an-Naqayah karya as-Sayuthi, al-Maqsyur wa al-Mamdud dan Lamiyah al-Af’al karya Ibnu Malik, Mughni Labib karya Ibnu Hisyam, Jauhar al-Maknun dan kitab ilmu shorof. Guru beliau ini memuji al-Habib Zein kerana semangat dan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu. Selain melahirkan banyak murid, beliau juga telah menghasilkan beberapa karya ilmiah berupa kitab-kitab, di antaranya: 

 al-Manhaj as-Sawi syarhu Ushul Thoriiqah as-Saadah Ali Baa’Alawi – karya beliau yang unggul dalam mensyarahkan ushul thariqah aal Ba’Alawi. Pokok utama kitab ini mensyarahkan kata-kata al-Imam al-Muhaqqiq al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi (wafat 1145H, murid dari al-Imam ‘Abdullah al-Haddad) iaitu: “Thariqah Saadah Aal Ba’alawi adalah ilmu, ‘amal, wara`, khauf (takut kepada Allah) dan ikhlas kepadaNya”. al-Ajwibah al-Ghaliyyah fi ‘Aqidah al-Firqah an-Naajiyyah – kitab ini di dalam bentuk soal-jawab (buku telah al-Fagir dan teman-teman terjemahkan, insyAllah akan berada di pasaran sedikit masa lagi ini). Kitab ini mengulas tentang aqidah ahlussunah wal jamaah, yang berisi tentang jawaban atas amaliyah golongan ahlussunah wal jamaah yang selama ini dianggap oleh sekelompok kecil umat islam (bahasa mudahnya Wahabi) sebagai amalan yang menyimpang dari ajaran Islam, sedangkan amaliyah tersebut telah dilakukan oleh generasi terdahulu, yaitu generasi sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan terus menerus hingga sekarang. al-Fuyudhat ar-Rabbaniyyah min Anfas as-Sadah al-‘Alawiyyah – kitab ini menghimpunkan tafsir isyari kepada beberapa ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabawi yang beliau himpunkan daripada kalam Saadah ‘Alawiyyin. al-Futuhat al-‘Aliyyah fi al-Khutbah al-Minbariyyah (5 jilid) – merupakan himpunan khutbah-khutbah beliau. Hidayah ath-Thalibin fi Bayan Muhimmat ad-Din – kitab ini merupakan syarah kepada hadits Jibril iaitu mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan. Hidayah az-Zairin ila Ad’iyyah az-Ziyarah an-Nabawiyyah wa Masyahid ash-Shalihin – merupakan kumpulan doa para salaf (ulama-ulama Saadah ‘Alawiyyin terdahulu) yang diucapkan ketika menziarahi Nabi صلى الله عليه وآله وسلم dan makam-makam yang terletak di Haramain (Makkah dan Madinah) dan Hadramaut. an-Nujum az-Zahirah li Saliki Thariqi al-Akhirah – merupakan kumpulan ‘amalan-‘amalan para Saadah Ba’alawi beserta dengan faedahnya.Kitab Tsabat (Sanad-sanad dan masyaikh beliau) Dan yang paling baru, kitab Bahjah at-Thalibin – Kitab yang membahas dengan aqidah – masih di dalam bentuk manuskrip dan lain-lain yang belum dibukukan. Beliau seorang yang sangat ‘alim, faqih dan ‘arif billah. Pakar dalam persoalan-persoalan di dalam madzhab Syafie. Oleh kerana itulah banyak yang menyebut beliau sebagai syafie shaghir di zaman ini. Ketika di usia mudanya, beliau seorang yang bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu. Guru-guru beliau sering memuji beliau karena kelebihan beliau dibanding rekan-rekannya, juga kerana adab, suluk dan akhlaq beliau yang baik. Beliau juga seorang yang tawadhu’. Terkenal khumul yang tidak senang dengan kemasyhuran dan tinggi sebutan. Pada suatu saat ketika beliau bertamu di rumah salah satu Ulama’ Besar Mekkah al-Habib Umar al-Jaelani, ketika itu beliau sedang dalam ujian berat disebabkan perlakuan pemerintah setempat yang membatasi gerak dakwah dan pengajarannya. Habib Umar menyinggung tentang hal itu, beliau hanya menjawab: “Mungkin ini terjadi karena banyaknya dosa saya”. Kemudian Habib Umar menyanggah dengan berkata bahwa bukan karena itu, tapi ujian Allah datang bagi hamba-hamba Allah yang akan diangkat derajatnya di sisi Allah SWT. Insyaallah al-Habib Zein termasuk ulama’ yang akan diangkat derajatnya oleh Allah Ta’ala. Demikianlah salah satu sifat tawadhu’ beliau, tanpa menyalahkan siapapun dan memaki pihak-pihak yang sudah berbuat dzalim kepadanya, bahkan menganggap semuanya adalah kesalahan yang harus beliau tanggung. Subhanallah…. Semoga kita bisa mengambil teladan dari beliau, dan kelak di akhirat dikumpulkan bersama beliau dan ulama’-ulama’ sholihin. Rabbi fanfa’na bibarkatihim…