Fiqh Puasa
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Fiqh Puasa
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
Di dalam mempelajari cara puasa ada beberapa hal terpenting yang harus kita hadirkan terlebih dahulu sebelum membahas permasalahan di seputar puasa:
1. Definisi Puasa
2. Hukum Puasa
3. Wajib Puasa (Syarat Wajib Puasa)
4. Syarat Puasa
5. Rukun Puasa
6. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
7. Orang–Orang Yang Boleh Untuk Tidak Berpuasa
8. Hukum Menunda Qadha Puasa
8. Sunah-Sunah Puasa
9. Do’a Di Bulan Puasa
10. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa Ramadhan
11. Hal-Hal Yang Membatalkan Pahala Puasa (Muhbithaat)
1. DEFINISI PUASA
Puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari sesuatu baik dari makanan atau berbicara. Menurut bahasa arab orang menahan diri untuk tidak berbicara juga disebut berpuasa. Adapun puasa menurut agama adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya mulai dari terbitnya fajar sodiq (masuknya waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib)
Keterangan (Ta’liq):
Allah berfirman:
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ – البقرة ﴿١٨٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, al-Baqarah 183
Ash-shaum dalam bahasa artinya menahan diri dari sesuatu dan dalam ilmu fiqih artinya menahan diri dari makan, minum dan segala yang membatalkan puasa dari mulai fajar menyingsing sampai tenggelamnya matahari.
Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun 2 Hijriah.dan merupakan salah satu rukun islam yang kelima sesuai dengan hadits Nabi saw yang dirwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.
Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat. Dalam menyabut bulan yang penuh pengampunan ini, dari Salman ra, Rasulallah saw suatu hari di akhir bulan Sya’ban bersabda:
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ: ” يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ،.. ( رواه البيهقي )
“Wahai semua manusia, telah datang kepadamu bulan yang agug, penuh keberkahan, didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Diwajibkan padanya puasa dan dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamya. Siapa yang mengerjakan satu kebaikan (sunah) pada bulan ini, seolah-olah ia mengerjakan satu kewajiban (fardhu) dibulan-bulan lain. Siapa yang mengerjakan ibadah wajib (fardhu) seakan-akan mengerjakan tujuh puluh kali kewajiban di bulan-bulan lain “ (HR. al-Baihaqi)
Selain yang disebut diatas banyak sekali kelebihan dan keberkahan yang Allah berikan kepada hamba-Nya melalui Ramadhan ini. Dan yang paling istimewa adalah satu malam yang diliputi dengan keberkahan, keselamatan, kedamaian dan rahmat. Malam yang istimewa itu lebih mulia dan lebih baik dari seribu bulan, dinamakan malam ”Lailatul Qadr”.
عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR Bukhari dan Muslim)
Al Qadr dalam bahasa berarti kemuliaan atau tempat kedudukan yang tinggi, atau dikatakan juga takdir (ketentuan). Ia merupakan tempat menentukan segala urusan dalam setiap tahun
Lailatul qadr itu lebih mulia dari seribu bulan. Coba banyangkan lebih mulia dari 100 bulan artinya lebih mulia dari 83 tahun. Dan melakukan ibadah pada malam itu pahalanya setara dengan melakukan ibadah 83 tahun. Sedang usia manusia saja belum tentu bisa mencapai 83 tahun. Tentu saja itu merupakan kemurahan.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾ تَنَزَّلُ ٱلْمَلاَئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ ﴿٥﴾
Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajr” (Qs Al Qadr ayat: 1-5).
2.HUKUM PUASA
Hukum puasa terbahagi kepada tiga iaitu :
Wajib – Puasa pada bulan suci Ramadhan.
Sunat – Puasa pada hari-hari tertentu. Hari yang Disunatkan Berpuasa diantaranya;
· Hari Senin dan Kamis
· Hari putih (setiap 13, 14, dan 15 hari dalam bulan Islam)
· Hari Arafah (9 Zulhijjah) bagi orang yang tidak mengerjakan haji
· Enam hari dalam bulan Syawal
Haram – Puasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa.
· Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)
· Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah)
· Hari syak (29 Syaaban)
· Hari Tasrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)
3. WAJIB PUASA (Syarat Wajib Puasa)
Puasa diwajibkan atas:
1- Muslim. Allah tidak berseru kepada orang kafir untuk berpuasa, Dia berseru kepada orang orang beriman.
2- Berakal
3- Baligh (Dewasa)
Tidak wajib bagi anak kecil dan orang gila sesuai dengan hadist Nabi saw
عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِى حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ (أبو داود والنسائي بإسناد صحيح)
Dari Ali bin Abi Thalib ra, sesungguhnya Rasulallah saw berkata: ”Terangkat pena (terlepas dari dosa) atas tiga, anak kecil sampai baligh, orang tidur sampai bangun dan orang gila sampai sembuh dari gilanya” (HR Abu Daud dan Nasai dengan isnad shahih).
Anak kecil yang berusia 7 tahun disuruh berpuasa sekuatnya dan dipukul jika tidak berpuasa kalau sudah berusia lebih dari 10 tahun. Hukum ini berkiyas dari hukum shalat untuk anak kecil.
4- Kuasa (kuat berpuasa)
Artinya tidak wajib bagi orang yang sudah lanjut usianya atau berusia udzur, orang sakit dan orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya
Allah berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحج ﴿٧٨﴾
”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”, (Qs al-hajj ayat: 78)
4. SYARAT PUASA
1- Islam
2- Berakal
3- Suci dari haidh dan nifas
Artinya haram bagi wanita yang sedang haidh dan nifas melakukan shalat dan puasa
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ (أحمد ومسلم وابو داود)
Sesuai dengan hadits Nabi saw dari sa’id al-Khudhri, beliau bersabda ”Aku tidak melihat kekurangan dalam akal dan agama kecuali pada wanita.”. Mereka bertanya: “Apa kekurangan itu ya Rasulallah”. Beliau menjawab: “Saksi dua perempuan sama dengan satu laki-laki itulah kekurangan dalam akal, begitupula bangun malam tapi tidak shalat dan berbuka di bulan Ramadhan, itulah kekurang dalam agama” (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud)
4- Niat
Niat ini dilakukan setiap hari sesuai dengan hadist sebelumya ”segala perbuatan harus disertai dengan niat”. Setiap hari puasa Ramadhan merupakan ibadah tersendiri, maka wajib diniati setiap hari
لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ (الترمذي وابو داود والنسائي
Sesuai dengan hadits Nabi saw ”siapa yang tidak meniati puasanya di malam hari, maka tiada puasa baginya” (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai).
Adapun puasa sunah boleh diniati di siang hari sebelum waktu dhuhur
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ (رواه مسلم)
sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra, suatu hari beliau pernah bersabda ”Apakah kamu punya makanan wahai Aisyah”, Aisyah berkata ”tidak wahai Rasulallah”, maka beliau bersabda ”Aku berpuasa” (HR Muslim)
5- Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari mulai lepas fajar sampai tenggelam matahari. Allah berfriman:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ – البقرة ﴿١٨٧﴾
Artinya: ”dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,” (Qs Al-Baqarah ayat: 187)
5. RUKUN PUASA
Rukun Pertama: Menahan, (al-Imsak)
Yang dimaksud menahan, imsâk di sini adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jimâ') sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. 2. al-Baqarah: 187)
Maksudnya, setelah matahari terbenam (Maghrib) Allah membolehkan hamba-Nya untuk makan, minum dan bersatu kembali dengan istri-istrinya sampai datang fajar menyingkap kegelapan malam. Allah menyamakan malam dengan benang hitam dan siang dengan benang putih, sehingga jelaslah bahwa benang yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kain, melainkan fajar.
Dalam kitab Sahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah Hadis dari Sahl Ibn Sa'd: "Telah diturunkan ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; dan ketika itu kata min al-fajr, fajar belum diturunkan. Maka orang-orang yang hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam pada kedua kakinya. Mereka masih asyik makan sampai benar-benar bisa melihat warna kedua benang tersebut. Kemudian turunlah firman Allah min al-fajr, fajar. Barulah mereka mengerti bahwa yang dimaksud benang hitam dan putih adalah malam dan siang.
Juga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 'Addâ Ibn Hatim, ia berkata: "Ketika turun ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; aku mengira, yang dimaksud adalah dua helai benang, satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam. Kemudian kuletakkan benang-benang itu di bawah bantal. Benang-benang itu kujadikan patokan. Jika telah tampak benang putih, maka aku pun mulai menahan diri, puasa. Ketika pagi menjelang, aku pun bergegas menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang telah kuperbuat. Beliau bersabda: 'Wah, jika begitu bantalmu bertambah tebal, dong! Adapun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah terangnya siang dan gelapnya malam'." Maksud ungkapan, "jika begitu bantalmu bertambah tebal" adalah bertambah tebal karena ditambah dua benang, hitam dan putih yang diletakkan di bawah bantal, yang oleh ayat sendiri dimaksudkan terangnya siang dan gelapnya malam.
Ketika para ulama memberi definisi puasa dengan menahan, al-imsâk, maka yang dimaksud menahan di sini adalah menahan dari semua perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, dan juga hubungan badan, jimâ. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang belum disebutkan, di antaranya sesuatu yang dimasukkan melalui rongga tubuh meskipun rongga itu bukan merupakan rongga yang biasa digunakan untuk makan atau minum, seperti infus. Maka puasa menjadi batal dengan masuknya hal-hal semacam itu ke dalam lambung dengan disengaja, baik cara memasukkannya melalui mulut, hidung, telinga, anal, maupun infus.
Adapun celak dan obat tetes yang digunakan pada mata, jika ditemukan rasanya di tenggorokan maka puasanya rusak, namun jika rasa tersebut tak ditemukan maka puasanya tetap sah (sebagian ulama berpendapat, obat tetes mata dan celak tidak membatalkan puasa meskipun ditemui rasanya di tenggorokan, karena hal itu bukan merupakan hal yang lazim sebagai pengisi perut dan tidak mengeyangkan, penyunting).
Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat, pemakaian celak tidak membatalkan puasa. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi saw bercelak di bulan Ramadan sedangkan beliau berpuasa. Juga karena mata bukanlah termasuk lobang yang menerus ke perut, sehingga apa yang masuk melaluinya tidak merusakkan puasa, sama seperti orang yang meminyaki rambut di kepalanya.
Adapun sesuatu yang tidak mungkin dihindari masuknya seperti air liur yang tertelan, debu jalanan, atau tepung yang diayak, semuanya tidak membatalkan puasa, dan termasuk ke dalam kategori yang di maafkan, ma'fu 'anh. Seperti juga debu atau lalat yang terbang kemudian masuk secara tidak sengaja ke mulut atau tenggorokan, mani yang keluar tanpa disengaja-sebab mimpi atau karena berpikir seputar seks, atau orang yang tiba-tiba muntah, maka hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa.
Apabila terasa ada makanan yang tersisa di tenggorokan dan sulit untuk mengeluarkannya maka hukumnya disamakan dengan air liur di atas, tidak membatalkan puasa.
Rukun Kedua: Niat
Pengikut mazhab Syafi'i menganggap niat sebagai salah satu rukun puasa, sedangkan pengikut mazhab-mazhab lainnya menganggap niat sebagai salah satu syaratnya.
Niat secara bahasa diartikan: maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.
Dalil tentang wajibnya niat ini adalah firman Allah: "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS 98. al-Bayyinah : 5), juga sabda Rasul: "Sesungguhnya amal perbuatan disertai dengan niat-niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah mereka niatkan" (HR. Bukhârî).
Diriwayatkan dari Hafshah, Ummul Mukminin ra. bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadis ini menunjukkan ketidak-absahan puasa tanpa disertai niat pada malam hari. Waktu niat adalah sepanjang malam. Ia bisa dilaksanakan kapan saja sejak terbenamnya matahari dan sebelum terbitnya fajar, setiap malam bulan Puasa. Dengan niat inilah dibedakan antara ibadah dengan adat, kebiasaan. Dan dengan niat ini pula dibedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunah.
Niat tidak wajib dan harus diucapkan dengan lisan, sunnah hukumnya melafadzkannya/mengucapkannya karena niat merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan maksud melaksanakan puasa, maka itu sudah termasuk niat. Niat cukup pula dihadirkan dalam hati di waktu malam bahwa ia akan berpuasa hari esok.
Yang wajib dihadirkan di dalam niat adalah :
1. Untuk puasa wajib :
· Bermaksud berpuasa
· Meyakini kefardhuannya (bahwa puasa yang akan dilakukan adalah wajib)
· Menentukan jenis puasanya
Ini semua cukup dilintaskan di dalam hati saja dan jika diucapkan dengan lidahnya asal hatinya tetap ingat akan niat tersebut maka puasanya juga sah bahkan sebagian ulama menganjurkan untuk diucapkan dengan lidahnya dengan bahasa apapun untuk membantu hati mengingat niat tersebut.
Contoh : “Aku berniat puasa Fadhu Ramadhan” (nawaitu shouma romadlon fardlon)
Aku Berniat Puasa = Bermaksud Puasa Fardhu = Meyakini kefardhuannya Ramadhan = Menentukan jenis puasanya.
2. Untuk puasa sunnah :
1. Sunnah rowatib atau puasa sunnah yang sudah ditentukan waktunya seperti puasa 6 syawal atau puasa senin dan kamis. Cara niatnya adalah :
· Bermaksud berpuasa
· Menyebut puasa yang akan di lakukan
Contoh : “Aku niat Puasa hari kamis” (nawaitu shouma yaumi…)
Aku niat puasa = Bermaksud Puasa Hari kamis = Menentukan jenis puasa sunnahnya
2. Puasa sunnah mutlaqoh atau puasa sunnah di selain hari-hari yang telah ditentukan. Cara niatnya adalah cukup bermaksud untuk berpuasa Contoh : “Aku Niat Puasa” . (nawaitu shoumu)
Catatan :
Di dalam berniat tidak harus menggunakan bahasa arab, akan tetapi dengan bahasa apapun niatnya maka puasa tetap sah.
Waktu niat di dalam berpuasa ada dua macam :
1. Puasa Fardhu
Untuk puasa fardhu (wajib) maka niatnya harus dilakukan sebelum terbit fajar sodik (fajar yang sesungguhnya) atau sebelum masuk waktu subuh.
Catatan:
Semua niat dalam ibadah adalah dilakukan di awal memulai pekerjaan ibadahnya kecuali puasa yang cara niatnya adalah bisa di malam hari jauh-jauh sebelum fajar shodiq terbit.
2. Puasa sunnah
Untuk puasa sunnah tidak diharuskan niat pada malam harinya akan tetapi boleh berniat di pagi hari dengan 2 syarat :
· Belum tergelincir matahari
· Belum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa yang tersebut di atas seperti makan atau minum.
Catatan :
Sekilas perbedaan ulama di dalam niat.
Mazhab Syafi’i :
Satu kali niat untuk satu kali puasa artinya niat puasa harus dilakukan setiap malam.
Mazhab Malik :
Boleh menggabungkan niat di awal puasa selama satu bulan penuh dengan syarat dalam sebulan itu tidak terputus dengan batalnya puasa, jika sempat terputus dengan tidak berpuasa maka ia harus memulai dengan niat yang baru lagi seperti terputusnya karena haid.
Mazhab Abu Hanifah :
Tidak ada perbedaan dalam puasa wajib atau sunnah bahwa menginapkan niat di malam hari tidak wajib menurut Imam Abu Hanifah, jika berniat setelah terbitnya matahari tetap sah asalkan matahari belum tergelincir (masuk waktu dzuhur) dan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
3. Puasa qodho
Bagi yang punya hutang puasa, cara mengqodhonya adalah dengan melakukan puasa di hari-hari yang di perkenankan puasa di sepanjang satu tahun setelah ramadhan, yaitu selain :
· Hari raya Idul Fitri
· Hari raya Idul Adha
· 3 hari tasyrik (11,12,13 Dzul Hijjah)
Cara niat puasa qodho’ sama dengan cara niat puasa ramadhan adapun menambah kalimat qodho’ itu tidak harus akan tetapi sekedar dianjurkan. Jika mengqodho’ puasa ramadhan bertepatan dengan hari-hari di sunnahkan puasa sunnah. Maka cukup niat puasa qodho yang wajib saja tanpa harus dibarengi dengan niat puasa sunnahnya. Dan orang tersebut sudah mendapatkan pahala puasa wajib dan puasa sunnah sekaligus biarpun tanpa diniatkan puasa sunnah.
Menurut Mazhab Mâlikî, niat tidak perlu diucapkan tiap malam, tapi cukup dilakukan sekali saja jika puasa yang dilakukan adalah puasa yang berkelanjutan dan berturut-turut, seperti puasa pada bulan Ramadan, puasa kafarat-kafarat Ramadan, kafarat membunuh, dan kafarat dzihar-, dan lainnya, selama kelanjutan tersebut tidak terputus. Jika kelanjutan puasa terputus-dikarenakan uzur, semisal bepergian, sakit, atau lainnya-, maka niat wajib dihadirkan setiap malam.
Adapun puasa yang tidak harus dilakukan berturut-turut, seperti puasa kafarat sumpah, dan puasa untuk mengqadha, mengganti puasa yang ditinggalkan, maka diharuskan berniat setiap malamnya.
Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya.
Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.
Sedangkan Mazhab Mâlikî berpendapat, niat tidak sah dihadirkan pada waktu siang hari, apa pun jenis puasanya, termasuk puasa sunah.
Madzhab Hanbalî berpendapat, niat puasa sunah bisa dilakukan pada siang hari, meskipun dilakukan setelah matahari tergelincir-sesudah waktu Dzuhur. Asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan seterusnya.
Dalil sahnya puasa sunah dengan niat di siang hari ini adalah Hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. yang mengatakan: "Suatu hari Nabi saw. datang kepadaku dan bertanya, 'Apakah engkau punya makanan?' Saya menjawab, 'Tidak ada'. Beliau saw. pun lantas berkata, 'Kalau begitu aku puasa'. Di hari yang lain beliau datang lagi kepadaku. Aku katakan kepadanya, kita dihadiahi hays. Beliau menjawab, 'Perlihatkanlah kepadaku. Aku sebenarnya puasa sejak pagi'. Kemudian beliau pun memakan hays tersebut" (HR. Muslim).
Hays adalah kurma kering berserta mentega dan keju.
Sebagian ulama berpendapat, ungkapan Nabi saw di atas bersifat umum. Ada kemungkinan Nabi saw berniat puasa sejak malam, bisa juga tidak. Namun berdasarkan hadis sebelumnya, riwayat dari Hafshah di atas, niat puasa pada dasarnya dilakukan pada malam hari. Puasa ini pun berlaku umum, bisa berupa puasa fardhu, sunah, qadha maupun nazar.
6. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Jika kita perhatikan dari definisi puasa disitu disebutkan hal-hal yang membatalkan puasa. Maka dari itu menjadi sesuatu yang amat penting dalam ilmu puasa adalah mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa.
Hal-hal yang membatalkan puasa ada sembilan (9) yaitu :
1. Memasukan sesuatu ke dalam salah satu lima (5) lubang, yaitu :
a. Mulut
Hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut adalah membatalkan puasa. Untuk memudahkan pemahaman kita maka hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut ini ada empat hukum yaitu :
1) Membatalkan: Yaitu di saat kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut kita dan kita menelannya dengan sengaja saat kita sadar bahwa kita sedang puasa. Jadi yang menjadikannya batal adalah karena menelan dengan sengaja. Maka dari itu jika ada orang memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya asalkan tidak ditelan. Catatan masalah ludah, Di dalam masalah ini ada hal yang perlu kita perhatikan yaitu masalah ludah. Ludah itu jika kita telan tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :
· Ludah kita sendiri
· Tidak bercampur dengan sesuatu yang lainya
· Ludah masih berada di tempatnya (mulut)
Maka di saat syarat-syarat di atas terpenuhi maka jika ludah itu ditelan, tidak membatalkan puasa. Bahkan jika seandainya ada orang yang mengumpulkan ludah di dalam mulutnya sendiri dan setelah terkumpul lalu ditelan, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
Akan tetapi menelan ludah akan membatalkan puasa jika salah satu syarat di atas ada yang tidak terpenuhi, seperti karena dia menelan ludahnya orang lain, atau menelan ludah yang sudah bercampur dengan sesuatu seperti permen, es krim atau makanan yang masih tersisa di dalam mulut kita atau menelan ludah yang sudah dikeluarkan dari mulutnya lalu diminum maka itu semua membatalkan puasa.
Catatan :
Masalah sisa makanan di dalam mulut. Sisa makanan di mulut maka ada dua macam:
· Jika sisa makanan dimulut kemudian bercampur dengan ludah dengan sendirinya dan susah untuk dipisahkan maka jika ditelan tidak membatalkan puasa. Misalnya orang yang sahur lalu tidur dan tidak sempat kumur atau sikat gigi lalu menduga di dalam mulutnya ada sisa–sisa makanan. Maka jika sisa makanan tersebut sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan ludah maka hal itu tidak membatalkan puasa jika ditelan.
· Jika ada sisa makanan yang bisa dipisahkan dari ludah lalu bercampur dengan ludah dan bercampurnya karena dikunyah dengan sengaja atau digerak-gerakan agar bercampur kemudian ditelan, maka hal itu membatalkan puasa. Seperti sisa makanan dalam bentuk nasi atau biji-bijian yang bisa dibuang akan tetapi justru dikunyah lalu ditelan maka hal itu membatalkan puasa.
2) Makruh (dilarang, akan tetapi tidak dosa jika dilanggar): Dihukumi makruh jika kita memasukkan sesuatu ke dalam mulut tanpa kita telan hanya untuk main-main saja. Contohnya ketika ada seseorang yang sedang berpuasa kemudian dia dengan sengaja memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya tanpa menelannya maka hukumnya makruh dan tidak membatalkan puasa dan jika tiba-tiba tanpa disengaja permen yang ada di mulutnya tertelan maka batal, karena ia menelan dengan tidak sengaja yang disebabkan sesuatu yang tidak dianjurkan yaitu telah bermain-main dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
3) Mubah (boleh dilakukan dan tidak dilarang) : Dihukumi mubah yaitu ketika seorang juru masak mencicipi masakannya dengan niat untuk membenahi rasa. Maka di samping hal itu tidak membatalkan puasa, hal yang demilkian itu juga bukan pekerjaan yang makruh. Akan tetapi hal itu boleh-boleh saja. Dalam hal ini bukan hanya juru masak saja yang diperkenankan akan tetapi juga siapapun yang lagi memasak. Akan tetapi dengan catatan tidak boleh ditelan.
4) Sunnah (dianjurkan dan ada pahalanya): Dihukumi sunnah yaitu ketika kita berkumur-kumur di dalam berwudhu. Maka di saat itu di samping tidak membatalkan puasa, berkumur dalam wudhu’ tetap disunnahkan biarpun dalam keadaan puasa dengan catatan tidak boleh ditelan. Bahkan jika tertelan sekalipun tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa. Dengan catatan ia berkumur-kumur dengan cara yang wajar saja dan tidak berlebihan.
b. Hidung
Memasukan sesuatu ke dalam lubang hidung membatalkan puasa. Adapun batasan dalam hidung adalah bagian yang jika kita memasukkan air akan terasa panas (tersengak) maka di situlah batas dalam yang jika kita memasukkan sesuatu ke tempat tersebut akan membatalkan puasa yaitu hidung bagian atas yang mendekati mata kita. Adapun hidung di bagian bawah yang lubangnya biasa di jangkau jemari saat membuang kotoran hidung, jika kita memasukkan sesuatu ke bagian tersebut hal itu tidak membatalkan puasa asal tidak sampai kebagian atas seperti yang telah kami jelaskan.
c. Telinga
Menjadi batal jika kita memasukan sesuatu ke dalam telinga kita. Yang dimaksud dalam telinga adalah bagian dalam telinga yang tidak bisa dijangkau oleh jari kelingking kita saat kita membersihkan telinga. Jadi memasukkan sesuatu ke bagian yang masih bisa dijangkau oleh jari kelingking kita hal itu tidak membatalkan puasa, baik yang kita masukkan itu adalah jari tangan kita atau yang lainya. Akan tetapi kalau kita memasukkan sesuatu melebihi dari bagian yang di jangkau jemari kita seperti korek kuping atau air maka hal itu akan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Dan ada pendapat yang berbeda yaitu pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan Imam Ghozali dari madzhab Syafi’i bahwa “Memasukan sesuatu ke dalam telinga tidak membatalkan” akan tetapi lebih baik dan lebih aman jika tetap mengikuti pendapat kebanyakan para ulama yaitu pendapat yang mengatakan memasukkan sesuatu ke lubang telinga adalah membatalkan puasa.
d. Jalan depan (alat buang air kecil)
Memasukan sesuatu ke dalam lubang kemaluan adalah membatalkan puasa walaupun itu adalah sesuatu yang darurot seperti dalam pengobatan dengan memasukkan obat ke lubang kemaluan atau pipa untuk mengeluarkan cairan dari dalam bagi orang yang sakit. Termasuk memasukan jemari bagi seorang wanita adalah membatalkan puasa. Maka dari itu para wanita yang bersuci dari bekas buang air kecil harus hati-hati jangan sampai saat membersihkan sisa buang air kencing (beristinja) melakukan sesuatu yang membatalkan puasa. Bagi wanita yang ingin beristinja hendaknya hanya membasuh bagian yang terbuka di saat ia jongkok saja dengan perut jemari dan tidak perlu memasukan jemari ke bagian yang lebih dalam, karena hal itu akan membatalkan puasa. Lebih dari itu ditinjau dari sisi kesehatan justru tidak sehat kalau cara membersihkan kemaluan adalah dengan cara membersihkan bagian yang tidak terlihat di saat jongkok sebab yang demikian itu justru akan membuka kemaluan untuk kemasukan kotoran dari luar.
e. Jalan Belakang (alat buang air besar)
Memasukkan sesuatu ke lubang belakang sama hukumnya seperti memasukkan sesuatu ke jalan depan. Artinya jika ada orang memasukkan sesuatu ke lubang belakang biarpun dalam keadaan darurat dalam pengobatan adalah membatalkan puasa termasuk memasukkan jemari saat istinja (bersuci dari bekas buang air besar). Maka cara yang benar dalam istinja adalah cukup dengan membersihkan bagian alat buang air besar dengan perut jemari tanpa harus memasukkan jemari kebagian dalam.
2. Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja akan membatalkan puasa baik dilakukan dengan wajar atau tidak, baik dalam keadaan darurat atau tidak. Seperti dengan sengaja mencari bau yang busuk lalu diciumi hingga muntah atau memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya agar bisa muntah. Berbeda jika muntah yang terjadi karena tidak disengaja maka hal itu tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :
· Kita tidak boleh menelan ludah yang ada di mulut kita sehabis muntah sebelum kita mensucikan mulut kita terlebih dahulu dengan cara berkumur dengan air suci. Jika di saat kita belum berkumur kemudian kita langsung menelan ludah kita maka puasa kita menjadi batal sebab muntahan adalah najis dan mulut kita telah menjadi najis karena muntahan sehingga ludah kita telah bercampur dengan najis yang jika ditelan akan membatalkan puasa karena yang ditelan bukan lagi ludah yang murni akan tetapi ludah yang najis. Jika ada orang menggosok-gosok gigi kemudian dia itu biasanya tidak muntah maka di saat dia gosok gigi tiba-tiba muntah maka tidak batal, akan tetapi jika dia tahu kalau biasanya setiap menggosok gigi akan muntah maka hukum menggosok gigi yang semula tidak haram menjadi haram dan jika ternyata benar-benar muntah maka puasanya menjadi batal. Jika ada orang yang kemasukan lalat sampai melewati tenggorokannya kemudian dia berusaha untuk mengeluarkannya maka menjadi batal karena sama saja seperti muntah yang disengaja. Berbeda dengan dahak, jika seseorang berdahak maka hal itu dimaafkan dan tidak membatalkan puasa, akan tetapi dahak yang sudah keluar melewati tenggorokan tidak boleh ditelan dan itu membatalkan puasa. Batas tenggorokan adalah tempat keluarnya huruf “ha” ( makhraj huruf ح).
3. Bersenggama
Melakukan hubungan suami istri itu membatalkan puasa. Yang dimaksud bersenggama adalah jika seorang suami telah memasukkan semua bagian kepala kemaluanya ke lubang kemaluan sang istri dengan sengaja dan sadar kalau dirinya lagi puasa maka saat itu puasanya menjadi batal (dalam hal ini sama hubungan yang halal atau yang haram seperti zina atau melalui lubang dubur atau dengan binatang). Adapun bagi sang istri biarpun yang masuk belum semua bagian kepala kemaluan sang suami asal sudah ada yang masuk dan melewati batas yang terbuka saat jongkok maka saat itu puasa sang istri sudah batal. Dan batalnya bukan karena bersenggama tapi masuk dalam pembahasan batal karena masuknya sesuatu ke lubang kemaluan. Bagi suami yang membatalkan puasanya dengan bersenggama dengan istrinya dosanya amat besar dan dia harus membayar karafat dengan syarat berikut ini:
· Dilakukan oleh orang yang wajib baginya berpuasa
· Dilakukan di siang bulan puasa
· Dia ingat kalau dia sedang puasa
· Tidak karena paksaan
· Mengetahui keharomannya atau dia adalah bukan orang yang bodoh
· Berbuka karena bersenggama
Dan bagi orang tersebut dikenai hukuman:
1. Mengqodho puasanya
2. Membayar kafarat (denda)
Kafarat (denda) bersenggama di siang hari bulan ramadhan adalah:
a. Memerdekakan budak
b. Puasa selama dua bulan berturut-turut
c. Memberikan makan kepada 60 fakir miskin dengan syarat makanan yang bisa digunakan untuk zakat fitrah.
Denda yang harus dibayar salah satu saja dengan berurutan. Jika tidak mampu bayar A maka bayar B jika tidak mampu bayar C.
4 Keluar mani dengan sengaja
Maksudnya adalah mengeluarkan mani dengan sengaja dengan mencari sebab keluarnya mani. Contohnnya: ketika ada orang yang tahu bahwa jika dia mencium istrinya atau dia dengan sengaja menyentuh kemaluannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya bakal keluar mani maka puasanya menjadi batal karena keluar mani tersebut dengan sengaja. Akan tetapi tidak menjadi batal jika seandainya keluar mani tanpa disengaja seperti bermimpi bersenggama dan di saat terbangun benar-benar menemukan air mani di celananya maka yang seperti itu tidak membatalkan puasa.
5. Hilang akal
Hilang akal di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Gila: Sengaja atau tidak disengaja gila itu membatalkan puasa walaupun sebentar.
b. Mabuk dan Pingsan:
Jika disengaja maka mabuk dan pingsan membatalkan puasa biarpun sebentar. Seperti dengan sengaja mencium sesuatu yang ia tahu kalau ia menciumnya pasti mabuk atau pingsan. Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak disengaja maka akan membatalkan puasa jika terjadi seharian penuh. Tetapi jika dia masih merasakan sadar walau hanya sebentar di siang hari maka puasanya tidak batal. Misal mabuk kendaraan atau mencium sesuatu yang ternyata menjadikannya mabuk atau pingsan sementara ia tidak tahu kalau hal itu akan memabukkan atau menjadikannya pingsan. Maka orang tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar di siang hari walaupun sebentar.
c. Tidur: Tidak membatalkan puasa walaupun terjadi seharian penuh.
6. Haid
Membatalkan puasa walaupun hanya sebentar sebelum waktu berbuka. Misal haid datang 2 menit sebelum masuk waktu maghrib maka puasanya menjadi batal akan tetapi pahala berpuasanya tetap utuh.
7. Melahirkan
Melahirkan adalah membatalkan puasa baik itu mengeluarkan bayi atau mengeluarkan bakal bayi yang biasa disebut dengan keguguran. Misal seorang ibu hamil sedang berpuasa tiba-tiba melahirkan di siang hari saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal.
8. Nifas
Nifas juga membatalkan puasa. Misalnya ada orang melahirkan ternyata setelah melahirkan tidak langsung keluar darah nifas. Karena ia mengira tidak ada nifas akhirnya ia berpuasa dan ternyata disaat ia lagi puasa darah nifasnya datang maka saat itu puasanya batal.
9. Murtad.
Murtad atau keluar dari Islam membatalkan puasa. Misalnya ada orang lagi berpuasa tiba-tiba ia berkata bahwa ia tidak percaya kalau Nabi Muhammad adalah Nabi atau ada orang lagi berpuasa tiba-tiba menyembah berhala maka puasanya menjadi batal.
7. ORANG–ORANG YANG BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA
1. Anak kecil
Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki) pada usia 9 tahun hijriah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun.
2. Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya pun tidak sah. Namun dalam hal ini ulama membagi ada dua macam orang gila yaitu :
a. Orang gila yang disengaja jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila maka karena kesengajaan inilah ia wajib mengqodho’ puasanya setelah sehat akalnya.
b. Orang gila yang tidak disengaja, tidak wajib berpuasa bahkan seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqodho’ karena gilanya bukan disengaja.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Akan tetapi di sini ada ketentuan bagi orang sakit tersebut yaitu: Yaitu Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambat kesembuhannya. Dan yang bisa menentukan ini adalah:
· Dokter muslim yang terpercaya.
· Berdasarakan pengalamannya sendiri.
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ – البقرة ﴿١٨٤﴾
Maknanya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, (Qs al-Baqarah ayat:184)
Catatan:
Dalam hal ini tidak terbatas kepada orang sakit saja akan tetapi siapapun yang lagi berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya. Akan tetapi ia hanya boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan tetapi khusus orang seperti ini (bukan orang sakit).
4. Orang tua
Orang tua yang lanjut usianya (usia udzur) dan tidak mampu berpuasa maka cukup baginya membayar fidyah setiap hari satu mud (kurang lebih 1 liter beras) dibagikan kepada fakir miskin
Allah berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحج ﴿٧٨﴾
Artinya: ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs al-Hajj ayat: 78)
عَن} عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ { وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيـَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ } (البقرة 184) قال ابن عباس لَيْسَتْ مَنْسُوخَةً ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا (رواه الشيخان)
Dari ’Atha ra, ia mendengar Ibnu Abbas ketika membaca ayat ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” al-Baqarah 184. Ia berkata: ayat ini bukan mansukh, tapi ayat ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usianya dan tidak mampu melakukan puasa. (HR Bukhari Muslim).
Hadits Atha’ ini telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Abu Hurairah ra. Mereka tidak bertentangan dengannya. Maka pendapat Ibnu Abbas dianggap ijma’ sukuti (tidak dikomentari)
5. Bepergian (musafir)
Orang musafir dengan maksud perjalanan yang mubah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ حَمْـزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ ، سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَصُمْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami berkata “wahai Rasulallah apakah aku berpuasa jika aku musafir? Rasulallah saw bersabda “jika kamu mau, berpuasalah dan jika kamu mau, berbukalah” (HR Bukhari Muslim)
Dan bagi musafir wajib meng-qadha (membayar) puasanya di lain bulan tanpa membayar fidyah
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ – البقرة ﴿١٨٤﴾
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, (Qs al-Baqarah ayat:184)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini :
a. Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
b. Di pagi (saat subuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan) Misal seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Antara Cirebon semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan cirebon jam 2 malam (sabtu dini hari). Subuh hari itu adalah jam 4 pagi. Pada jam 4 pagi (saat subuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.
Berbeda jika berangkatnya ke semarang setelah masuk waktu subuh, sabtu pagi setelah masuk waktu subuh masih di Cirebon. Maka di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk subuh ia masih ada di rumah. Tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari ahadnya, karena di subuh hari ahad ia berada di luar wilayahnya.
Catatan:
Seseorang dalam bepergian akan di hukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari. Misal orang yang pergi ke semarang tersebut dalam contoh saat di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di semarang juga tetap boleh berbuka asalkan ia tidak bermaksud tinggal di semarang lebih dari 4 hari. Dan jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai semarang ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqosor sholat. Untuk di hukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalah pahaman yang terjadi pada sebagian orang akan tetapi kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari ia sudah di sebut mukim.
6. Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi :
· Dirinya, atau
· Janin (bayinya)
7. Menyusui
Orang menyusui yang khawatir akan kondisi :
· Dirinya atau
· Kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun hijriyah
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri akan tetapi bisa juga bayi orang lain.
Ibu yang hamil dan yang sedang menyusui bayinya, jika takut berbahaya atas dirinya saja atau takut berbahaya atas dirinya dan bayinya maka wajib ia meng-qadha (membayar) puasanya tanpa membayar fidyah, dan jika takut berbahaya atas bayinya saja maka wajib ia meng-qadha puasanya dan membayar fidyah
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ – البقرة ﴿١٨٤﴾
Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, (Qs al-Baqarah ayat: 184)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَيَة (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا يَعْنِي عَلَى أَوْلادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. (أبو داود و الطبراني بإسناد صحيح)
Menurut Ibnu abbas ra ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”merupakan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan tidak mampu berpuasa agar berbuka dan sebagi penggantinya memberi makan orang miskin setiap hari, begitu pula ayat tsb merupakan rukhsah bagi wantia hamil dan yang menyusui, jika takut atas bayinya boleh berbuka dan membayar fidyah” (HR Abu Dawud dan at-Thabrani dengan sanad shahih)
8. Haid
Wanita yang lagi haid tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
9. Nifas
Wanita yang lagi nifas tidak wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.
Siapa yang wajib mengqodho atau membayar fidyah dari orang yang boleh meninggalkan puasa?
1. Anak kecil
Anak kecil jika sudah baligh maka ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkannya.
2. Orang Gila
· Gila yang disengaja wajib meng-qodho’ saja dan tidak wajib membayar fidyah.
· Gila yang tidak disengaja tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah
3. Orang sakit
a. Sakit yang masih ada harapan sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh, dan tidak wajib membayar fidyah.
b. Sakit yang menurut keterangan dokter sudah tidak ada harapan sembuh maka ia tidak wajib meng-qodho’ akan tetapi hanya wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan dengan 1 mud atu 6,7 ons diberikan kepada fakir miskin dengan makanan Seperti beras.
4. Orang tua
Orang tua disamakan dengan orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Karena orang tua tidak akan kembali muda. Maka baginya tidak wajib mengqodho’ dan hanya wajib membayar fidyah 1 mud atau 6,7 ons diberikan kepada fakir miskin.
5. Orang musafir
Orang yang bepergian hanya wajib mengqodho saja dan tidak wajib membayar fidyah.
6. dan 7. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada tiga macam :
a. Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri
b. Wajib mengqodho’ saja jika dia khawatir akan dirinya sendiri sekaligus khawatir keadaan anaknya
c. Wajib mengqodho’ dan membayar fidyah jika dia khawatir akan keselamatan bayinya dan tidak khawatir akan dirinya sendiri.
8. Wanita Haid
Wanita haid hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.
9. Wanita Nifas
Wanita Nifas hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah
Orang Yang Wajib Berpuasa
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa selain orang yang boleh meninggalkan puasa maka mereka adalah orang-orang yang wajib berpuasa.
8.HUKUM MENUNDA QADHA PUASA
Orang yang menunda qadha puasanya sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, wajib baginya meng-qadha puasanya dan membayar fidyah tiap hari satu mud atau kurang lebih 1 liter beras, 1 mud (6,5 ons) makanan pokok daerah setempat (beras) untuk setiap harinya dan kewajiban ini berulang setiap datang bulan Ramadhan semasih ia belum meng-qhada puasanya
عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَ لَمْ يَقْضِهِ حَتَّى دَخَلَ رَمَضَان آخَر صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثًمَّ يَقْضِي مَا عَلَيْهِ وَ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا (الدارقطني بسند ضعيف لكنه اعتضد بإفتاء الصحابة أي لإفتاء ستة من الصحابة بذلك وهم علي والحسين بن علي وابن عباس وابن عمر وأبو هريرة وجابر رضي الله عنهم )
Sesuai dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra “Siapa yang datang baginya Ramadhan dan tidak berpuasa karena sakit, lalu ia tidak meng-qhada’ puasanya sampai datang ramadhan berikutnya, maka wajib berpuasa ramadhan yang baru datang dan meng-qadha’ puasa ramadhan yang lewat dan memberi makan orang miskin setiap hari” (Ad-Darquthni dengan sanad dhaif tapi dikuatkan dari fatwa 6 shahabat Nabi saw yaitu, Ali, Husen bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Jabir Radhiallahu ‘anhum)
Hukum Orang Meninggal Belum Meng-qadha Puasanya
1. Orang sakit di bulan Ramadhan dan tidak puasa lalu meninggal sebelum mampu untuk membayarnya atau meninggal sebelum sembuh dari sakitnya maka ahli warisnya tidak wajib membayar fidyah dan tidak wajib meng-qadha puasanya
2. Orang sakit di bulan Ramadhan dan tidak puasa lalu meninggal setelah mampu untuk membayar (mengqadha) puasanya atau meninggal setelah sembuh dari sakitnya dan belum membayar (meng-qadha’) puasanya maka wajib bagi ahli waris membayar fidyah karena puasa adalah ibadah badaniah.yang tidak bisa diwakili semasih hidup atau setelah wafatnya. Tapi boleh diwakili setelah wafatnya atau boleh walinya atau ahli warisnya meng-qadha’ puasanya setelah wafaf dan ini bukan suatu keharusan tapi dibolehkan menurut madzhab syafi’i bagi walinya jika mau.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (أبو داود)
Sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra, beliau bersabda “Siapa yang meninggal dan punya hutang puasa, maka walinya meng-qadha’nya” (HR Abu Daud)
Sedang menurut Imam Ahmad bin Hambal yang dimaksudkan dengan hutang puasa disini adalah puasa nadzar. Wallahu’alam
Hukum Orang Yang Batal Puasanya Karena Jima’
Orang yang berjima’ di siang hari di bulan puasa hukumnya haram dan batal puasanya, wajib membayar (meng-qadha’) puasanya di hari-hari yang lain dan membayar kaffarah sebagai penebus dosa yang dilakukannya
Kaffarah
Kaffarah adalah suatu denda untuk menebus dosa yang dilakukan seseorang terhadap Allah karena melakukan pelanggaran yaitu berjima di siang hari di bulan ramadhan.
Melakukan kaffarah ada tiga cara
1. membebaskan seorang budak sahaya. Jika tidak mampu cara ini maka harus melakukan cara kedua,
2. berpuasa 60 hari secara berturut-turut (tidak terputus-putus). Jika tidak mampu cara ini maka harus melakukan cara ketiga,
3. memberi makanan kepada 60 orang fakir miskin setiap orang satu mud atau satu liter beras
Keterangan:
Orang yang telah membebaskan budak sahaya tidak diwajibkan berpuasa 60 hari berturut-turut, dan yang telah berpuasa 60 hari tidak diwajibkan memberi makanan kepada fakir miskin.
Hikmah Tentang Kaffarah
Pada hikmah ini kami akan bawakan satu hadist Rasulallah saw yang diriwayatkan oleh Imam besar Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah ra:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا, فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Ada seorang sahabat datang kepada Nabi saw lalu berkata ”Aku telah binasa Ya Rasulallah”. Nabi pun bertanya ”Apa yang membuat kau binasa?”. Ia memjawab ”Aku telah berjima’ dengan istriku di siang hari di bulan Ramadhan”. Maka Rasulallah saw bersabda ”Apakah kau bisa membebaskan budak sahaya?”. Ia menjawab ”Tidak bisa ya Rasulallah”. Lalu Nabi saw bersabda lagi ”Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Ia menjawab ”Tidak bisa Ya Rasulallah”. Lalu beliau bersabda lagi ”Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?”. Ia menjawab ”Tidak bisa Ya Rasulallah”. Lalu beliau mengambil keranjang berisi kurma, seraya bersabda ”Ambillah kurma ini dan bersedakahlah kepada fakir miskin”. Maka sahabat itu berkata ” Ya Rasulallah, apakah bersedekah kepada orang yang lebih miskin dari kami, sedang tidak ada seorangpun di kampung yang lebih miskin dari kami”. Mendengar perkataaan sahabat ini, beliau tertawa sampai terlihat baham beliau yang mulia, lalu bersabda ”Pergilah dan bawalah kurma ini lalu berilah makan keluargamu”. (HR Bukhari Muslim)
Dari hadits ini kita bisa mengambil suatu istimbath atau kesimpulan bahwa agama yang dibawa beliau adalah agama yang mudah dan bisa membuat solusi dalam bentuk apapun
9. SUNAH-SUNAH PUASA
1- menyegerakan berbuka puasa jika masuk waktu maghrib.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ (رواه البخاري)
Sesuai dengan hadist Nabi saw “manusia terhitung baik semasih ia men-segerakan berbuka puasa” (HR Bukhari Muslim). Maksudnya kedisiplinan umat Rasulallah saw dalam melakaukan sunnahnya termasuk hal yang dianjurkan.
2- Berbuka dengan 3 buah kurma, jika tidak ada kurma berbuka dengan air
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ ، فَتُمَيْرَاتٌ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تُمَيْرَاتٌ ، حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ (حسن أبو داود و الترمذي)
Dari Anas bin Malik ra sesungguhnya Rasulallah saw berbuka puasa sebelum shalat dengan memakan beberapa ruthab (kurma segar/basah), apabila tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan apablia tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Membaca do’a sewaktu berbuka dengan do’a Rasulallah saw (terlampir di bawah)
3- Memberi makan kepada orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan pahala puasa.
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا (الترمذي)
Dari Zed bin Khalid Al-Jihani, Rasulallah saw bersabda: ”siapa yang memberi makan orang berpuasa maka pahalanya sama dengan orang yang berpuasa tidak kurang dari pahalanya sedikitpun” (HR At-Tirmidzi)
4- Melakukan sahur dan menundanya sampai sebelum fajar
عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً (الشيخان)
Dari Anas bin Malik, Rasulallah saw bersabda: Lakukanlah sahur sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan” (HR. Al-Bukhari Muslim)
عَنْ زَيْد بِنْ ثَابِت رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثم قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً (الشيخان)
Dari Anas sesungguhnya Zed bin Stabit ra pernah bersahur bersama Rasulallah saw kemudian shalat bersama sama beliau. Anas bertanya “berapa jarak antara sahur Nabi saw dan shalatnya?” Zed bin Stabit berkata ”jaraknya 50 ayat”, (HR Bukhari Muslim)
5- Menjaga diri dari perbuatan dosa sepanjang hari seperti menjaga lidah dari perbuatan dusta, caci-maki, bohong, ber-ghibah (ceritain orang), bernamimah (mengupat), sombong, nipu, sampai ke usil, nyindir, mau tahu urusan orang, fudhul, suu’ dhon (buruk sangka), ghurur (berbangga diri), dan berbuat perbuatan yang keji.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ (الشيخان)
Sesuai dengan hadist Nabi saw dari Abu Hurairah ”jika seseorang berpuasa janganlah berkata dengan perkataan yang keji dan jangan lalai, jika seseorang menyerangnya atau mencacinya maka katakanlah aku berpuasa” (HR Bukhari Muslim)
6- Memperbanyak ibadah seperti membaca al-Qur’an, berbuat baik dan ihsan terhadap keluarga dan tetangga, dan banyak bersodakah terutama pada hari-hari terakhir puasa dll
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فََرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (مسلم ، النسائي ، أحمد)
Sesuai dengan hadist Nabi saw dari Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah saw adalah manusia paling baik di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril as, di mana Jibril as sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah saw adalah manusia paling cepat dengan kebaikan dari pada angin yang berhembus.” (HR Muslim, An-Nasai, Ahmad).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ (الشيخان)
Hadist lainya dari Aisyah ra sesungguhnya “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan Rasulullah saw menghidupkan malamnya dan membangunkan Keluarganya dan mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya), (HR Bukhari Muslim).
7- Mandi junub sebelum masuk fajar agar masuk waktu puasa dalam keadaan suci.
8- Tidak memakai wangi-wangian dan segala sesuatu yang menyegarkan tubuh setelah masuk waktu dhuhur
9- Menahan diri dari hawa nafsu di waktu siang hari karena ini merupakan rahasia puasa dan tujuannya
10- Memperbanyak do’a dan istighfar (terlapir di bawah)
10. DO’A DI BULAN PUASA
1- Do’a berbuka puasa:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله
Artinya: Ya Allah, aku berpuasa untukmu, dan aku beriman kepadamu, dan dengan rizkimu aku berbuka. Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala akan ditetapkan insya Allah
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ (أبو داود)
Dari Muadz bin Zuhrah ra, sesungguhnya Rasulallah saw jika berbuka, beliau berdo’a: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu, artinya: ya Allah karena Kamu aku berpuasa dan dengan rizki Kamu aku berbuka (HR Abu Dawud)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إن شَاءَ الله (حسن أبو داود و النسائي)
Hadits lainya dari Abdullah bin Umar ra, sesungguhnya Rasulallah saw jika berbuka, beliau berdo’a: “Dzahaba adz-dzamau wabtallatil ‘uruku wa stabatal ajru insyaallah”, artinya: Hilang dahaga, basah semua urat-urat dan ditetapkan pahala insyaallah (HR Abu Dawud dan an-Nasai’, hadist hasan)
2- Niat puasa
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ للهِ تَعَالَى
Artinya: Aku niat besok melakukan puasa fardhu bulan Ramadah karena Allah
1- Do’a sepanjang bulan puasa
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا
11. HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM PUASA RAMADHAN
1. Mencicipi makanan.
2. Bekam (mengeluarkan darah).
3. Banyak tidur dan terlalu kenyang.
4. Mandi dengan menyelam.
5. Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.
12. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PAHALA PUASA (MUHBITHAAT)
1. Ghibah (gossip).
2. Adu domba.
3. Berbohong.
4. Memandang hal-hal yang haram atau pun halal, namun dengan syahwat.
5. Sumpah palsu.
6. Berkata jorok atau melakukan perbuatan jelek.
Catatan tambahan dan soal-jawab seputar puasa.
Untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan 1 Syawwal (Lebaran Idul Fitri) dianjurkan mengikuti keputusan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Majlis Ulama Indonesia (MUI), melalui sidang Itsbat, yang anggotanya terdiri dari pakar-pakar Islam yang kredibel dalam ilmu ru’yah maupun hisab. Dengan demikian umat Islam Indonesia dapat bersatu dan tidak terpecah belah.
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!