Fiqh Puasa

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

 

Fiqh Puasa

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

 

Di  dalam  mempelajari  cara  puasa  ada beberapa  hal  terpenting yang  harus  kita hadirkan terlebih  dahulu  sebelum  membahas permasalahan di seputar puasa:

1. Definisi Puasa

2. Hukum Puasa

3. Wajib Puasa (Syarat Wajib Puasa)

4. Syarat Puasa

5. Rukun Puasa

6. Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa

7. Orang–Orang  Yang  Boleh Untuk Tidak Berpuasa

8. Hukum Menunda Qadha Puasa

8. Sunah-Sunah Puasa

9. Do’a Di Bulan Puasa

10. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa Ramadhan

11. Hal-Hal Yang Membatalkan Pahala Puasa (Muhbithaat)

 

 

1.  DEFINISI PUASA

Puasa  menurut  bahasa  adalah  menahan diri  dari  sesuatu  baik  dari  makanan  atau berbicara.  Menurut  bahasa  arab    orang  menahan  diri  untuk  tidak  berbicara  juga disebut berpuasa. Adapun  puasa  menurut  agama  adalah menahan  diri  dari  hal-hal  yang  membatalkannya  mulai  dari  terbitnya  fajar  sodiq (masuknya  waktu  subuh)  hingga  terbenamnya matahari (masuknya waktu maghrib)

 

Keterangan (Ta’liq):

Allah berfirman: 

يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ – البقرة ﴿١٨٣﴾

 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, al-Baqarah 183

Ash-shaum dalam bahasa artinya menahan diri dari sesuatu dan dalam ilmu fiqih artinya menahan diri dari makan, minum dan segala yang membatalkan puasa dari mulai fajar menyingsing sampai tenggelamnya matahari.

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun 2 Hijriah.dan merupakan salah satu rukun islam yang kelima sesuai dengan hadits Nabi saw yang dirwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.

Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat. Dalam menyabut bulan yang penuh pengampunan ini, dari Salman ra, Rasulallah saw suatu hari di akhir bulan Sya’ban bersabda:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ: ” يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ،.. ( رواه البيهقي )

 

“Wahai semua manusia, telah datang kepadamu bulan yang agug, penuh keberkahan, didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Diwajibkan padanya puasa dan dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamya. Siapa yang mengerjakan satu kebaikan (sunah) pada bulan ini, seolah-olah ia mengerjakan satu kewajiban (fardhu)  dibulan-bulan lain. Siapa yang mengerjakan ibadah wajib (fardhu) seakan-akan mengerjakan tujuh puluh kali kewajiban di bulan-bulan lain “ (HR. al-Baihaqi)

Selain yang disebut diatas banyak sekali kelebihan dan keberkahan yang Allah berikan kepada hamba-Nya melalui Ramadhan ini. Dan yang paling istimewa adalah satu malam yang diliputi dengan keberkahan, keselamatan, kedamaian dan rahmat. Malam yang istimewa itu lebih mulia dan lebih baik dari seribu bulan, dinamakan malam ”Lailatul Qadr”.

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR Bukhari dan Muslim)

Al Qadr dalam bahasa berarti kemuliaan atau tempat kedudukan yang tinggi, atau dikatakan juga takdir (ketentuan). Ia merupakan tempat menentukan segala urusan dalam setiap tahun

Lailatul qadr itu lebih mulia dari seribu bulan. Coba banyangkan lebih mulia dari 100 bulan artinya lebih mulia dari 83 tahun. Dan melakukan ibadah pada malam itu pahalanya setara dengan melakukan ibadah 83 tahun. Sedang usia manusia saja belum tentu bisa mencapai 83 tahun. Tentu saja itu merupakan kemurahan.

 

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾ تَنَزَّلُ ٱلْمَلاَئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ ﴿٥﴾

Artinya: “Sesungguhnya kami menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajr” (Qs Al Qadr ayat: 1-5).

2.HUKUM PUASA

Hukum puasa terbahagi kepada tiga iaitu :

Wajib – Puasa pada bulan suci Ramadhan.

Sunat – Puasa pada hari-hari tertentu. Hari yang Disunatkan Berpuasa diantaranya;

·          Hari Senin dan Kamis

·          Hari putih (setiap 13, 14, dan 15 hari dalam bulan Islam)

·          Hari Arafah (9 Zulhijjah) bagi orang yang tidak mengerjakan haji

·          Enam hari dalam bulan Syawal

Haram – Puasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa.

·          Hari raya Idul Fitri (1 Syawal)

·          Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah)

·          Hari syak (29 Syaaban)

·          Hari Tasrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

 

 

3. WAJIB PUASA (Syarat Wajib Puasa)

Puasa diwajibkan atas:

1- Muslim. Allah tidak berseru kepada orang kafir untuk berpuasa, Dia berseru kepada orang orang beriman.

2- Berakal

3- Baligh (Dewasa)

Tidak wajib bagi anak kecil dan orang gila sesuai dengan hadist Nabi saw

عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِى حَتَّى يَبْلُغَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ (أبو داود والنسائي بإسناد صحيح)

Dari Ali bin Abi Thalib ra, sesungguhnya Rasulallah saw berkata: ”Terangkat pena (terlepas dari dosa) atas tiga, anak kecil sampai baligh, orang tidur sampai bangun dan orang gila sampai sembuh dari gilanya” (HR Abu Daud dan Nasai dengan isnad shahih).

Anak kecil yang berusia 7 tahun disuruh berpuasa sekuatnya dan dipukul jika tidak berpuasa kalau sudah berusia lebih dari 10 tahun. Hukum ini berkiyas dari hukum shalat untuk anak kecil.

4- Kuasa (kuat berpuasa)

Artinya tidak wajib bagi orang yang sudah lanjut usianya atau berusia udzur, orang sakit dan orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhannya

Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحج ﴿٧٨﴾ 

 ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”, (Qs al-hajj ayat: 78)

 

 

4. SYARAT PUASA

1- Islam

2- Berakal

3- Suci dari haidh dan nifas

Artinya haram bagi wanita yang sedang haidh dan nifas melakukan shalat dan puasa

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ (أحمد ومسلم  وابو داود)

Sesuai dengan hadits Nabi saw dari sa’id al-Khudhri, beliau bersabda ”Aku tidak melihat kekurangan dalam akal dan agama kecuali pada wanita.”. Mereka bertanya: “Apa kekurangan itu ya Rasulallah”. Beliau menjawab: “Saksi dua perempuan sama dengan satu laki-laki itulah kekurangan dalam akal, begitupula bangun malam tapi tidak shalat dan berbuka di bulan Ramadhan, itulah kekurang dalam agama” (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud)

4- Niat

Niat ini dilakukan setiap hari sesuai dengan hadist sebelumya ”segala perbuatan harus disertai dengan niat”. Setiap hari puasa Ramadhan merupakan ibadah tersendiri, maka wajib diniati setiap hari

لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَلا صِيَامَ لَهُ (الترمذي وابو داود والنسائي

Sesuai dengan hadits Nabi saw ”siapa yang tidak meniati puasanya di malam hari, maka tiada puasa baginya” (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai).

Adapun puasa sunah boleh diniati di siang hari sebelum waktu dhuhur

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ : فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ (رواه مسلم)

sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra, suatu hari beliau pernah bersabda ”Apakah kamu punya makanan wahai Aisyah”, Aisyah berkata ”tidak wahai Rasulallah”, maka beliau bersabda ”Aku berpuasa” (HR Muslim)

5- Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari mulai lepas fajar sampai tenggelam matahari. Allah berfriman:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ – البقرة ﴿١٨٧﴾

Artinya: ”dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,” (Qs Al-Baqarah ayat: 187)

 

 

5. RUKUN PUASA

Rukun Pertama: Menahan, (al-Imsak)

 

Yang dimaksud menahan, imsâk di sini adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jimâ') sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Firman Allah: "Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" (QS. 2. al-Baqarah: 187)

 

Maksudnya, setelah matahari terbenam (Maghrib) Allah membolehkan hamba-Nya untuk makan, minum dan bersatu kembali dengan istri-istrinya sampai datang fajar menyingkap kegelapan malam. Allah menyamakan malam dengan benang hitam dan siang dengan benang putih, sehingga jelaslah bahwa benang yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kain, melainkan fajar.

 

Dalam kitab Sahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah Hadis dari Sahl Ibn Sa'd: "Telah diturunkan ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; dan ketika itu kata min al-fajr, fajar belum diturunkan. Maka orang-orang yang hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam pada kedua kakinya. Mereka masih asyik makan sampai benar-benar bisa melihat warna kedua benang tersebut. Kemudian turunlah firman Allah min al-fajr, fajar. Barulah mereka mengerti bahwa yang dimaksud benang hitam dan putih adalah malam dan siang.

 

Juga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 'Addâ Ibn Hatim, ia berkata: "Ketika turun ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; aku mengira, yang dimaksud adalah dua helai benang, satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam. Kemudian kuletakkan benang-benang itu di bawah bantal. Benang-benang itu kujadikan patokan. Jika telah tampak benang putih, maka aku pun mulai menahan diri, puasa. Ketika pagi menjelang, aku pun bergegas menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang telah kuperbuat. Beliau bersabda: 'Wah, jika begitu bantalmu bertambah tebal, dong! Adapun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah terangnya siang dan gelapnya malam'." Maksud ungkapan, "jika begitu bantalmu bertambah tebal" adalah bertambah tebal karena ditambah dua benang, hitam dan putih yang diletakkan di bawah bantal, yang oleh ayat sendiri dimaksudkan terangnya siang dan gelapnya malam.

 

Ketika para ulama memberi definisi puasa dengan menahan, al-imsâk, maka yang dimaksud menahan di sini adalah menahan dari semua perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, dan juga hubungan badan, jimâ. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang belum disebutkan, di antaranya sesuatu yang dimasukkan melalui rongga tubuh meskipun rongga itu bukan merupakan rongga yang biasa digunakan untuk makan atau minum, seperti infus. Maka puasa menjadi batal dengan masuknya hal-hal semacam itu ke dalam lambung dengan disengaja, baik cara memasukkannya melalui mulut, hidung, telinga, anal, maupun infus.

 

Adapun celak dan obat tetes yang digunakan pada mata, jika ditemukan rasanya di tenggorokan maka puasanya rusak, namun jika rasa tersebut tak ditemukan maka puasanya tetap sah (sebagian ulama berpendapat, obat tetes mata dan celak tidak membatalkan puasa meskipun ditemui rasanya di tenggorokan, karena hal itu bukan merupakan hal yang lazim sebagai pengisi perut dan tidak mengeyangkan, penyunting).

 

Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat, pemakaian celak tidak membatalkan puasa. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi saw bercelak di bulan Ramadan sedangkan beliau berpuasa. Juga karena mata bukanlah termasuk lobang yang menerus ke perut, sehingga apa yang masuk melaluinya tidak merusakkan puasa, sama seperti orang yang meminyaki rambut di kepalanya.

 

Adapun sesuatu yang tidak mungkin dihindari masuknya seperti air liur yang tertelan, debu jalanan, atau tepung yang diayak, semuanya tidak membatalkan puasa, dan termasuk ke dalam kategori yang di maafkan, ma'fu 'anh. Seperti juga debu atau lalat yang terbang kemudian masuk secara tidak sengaja ke mulut atau tenggorokan, mani yang keluar tanpa disengaja-sebab mimpi atau karena berpikir seputar seks, atau orang yang tiba-tiba muntah, maka hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa.

 

Apabila terasa ada makanan yang tersisa di tenggorokan dan sulit untuk mengeluarkannya maka hukumnya disamakan dengan air liur di atas, tidak membatalkan puasa.

 

Rukun Kedua: Niat

 

Pengikut mazhab Syafi'i menganggap niat sebagai salah satu rukun puasa, sedangkan pengikut mazhab-mazhab lainnya menganggap niat sebagai salah satu syaratnya.

 

Niat secara bahasa diartikan: maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.

 

Dalil tentang wajibnya niat ini adalah firman Allah: "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS 98. al-Bayyinah : 5), juga sabda Rasul: "Sesungguhnya amal perbuatan disertai dengan niat-niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah mereka niatkan" (HR. Bukhârî).

 

Diriwayatkan dari Hafshah, Ummul Mukminin ra. bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadis ini menunjukkan ketidak-absahan puasa tanpa disertai niat pada malam hari. Waktu niat adalah sepanjang malam. Ia bisa dilaksanakan kapan saja sejak terbenamnya matahari dan sebelum terbitnya fajar, setiap malam bulan Puasa. Dengan niat inilah dibedakan antara ibadah dengan adat, kebiasaan. Dan dengan niat ini pula dibedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunah.

 

Niat tidak wajib dan harus diucapkan dengan lisan, sunnah hukumnya melafadzkannya/mengucapkannya karena niat merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan maksud melaksanakan puasa, maka itu sudah termasuk niat. Niat cukup pula dihadirkan dalam hati di waktu malam bahwa ia akan berpuasa hari esok.

 

Yang  wajib  dihadirkan  di  dalam  niat adalah :

1.  Untuk puasa wajib :

·          Bermaksud berpuasa

·          Meyakini  kefardhuannya  (bahwa puasa  yang  akan  dilakukan  adalah wajib)

·          Menentukan jenis puasanya

Ini  semua  cukup  dilintaskan  di  dalam hati  saja  dan  jika  diucapkan  dengan lidahnya  asal  hatinya  tetap  ingat  akan niat  tersebut    maka  puasanya  juga  sah bahkan  sebagian  ulama  menganjurkan untuk  diucapkan  dengan  lidahnya  dengan    bahasa  apapun  untuk membantu hati mengingat niat tersebut.

 

Contoh  :  “Aku berniat puasa Fadhu Ramadhan”   (nawaitu shouma romadlon fardlon)

 

Aku Berniat Puasa = Bermaksud Puasa Fardhu = Meyakini kefardhuannya Ramadhan = Menentukan jenis puasanya.

 

2.  Untuk puasa sunnah :

1.  Sunnah  rowatib atau puasa  sunnah yang  sudah ditentukan waktunya seperti  puasa  6  syawal atau puasa senin dan kamis. Cara niatnya adalah :

·          Bermaksud berpuasa

·          Menyebut puasa yang akan di lakukan

 

Contoh : “Aku niat Puasa hari  kamis” (nawaitu shouma yaumi…)

Aku niat puasa = Bermaksud Puasa Hari kamis  = Menentukan jenis puasa sunnahnya

 

2.  Puasa  sunnah  mutlaqoh  atau  puasa sunnah di selain hari-hari yang telah ditentukan.  Cara  niatnya  adalah cukup bermaksud untuk berpuasa Contoh : “Aku Niat Puasa” . (nawaitu shoumu)

 

Catatan :

Di  dalam  berniat  tidak  harus menggunakan  bahasa  arab,  akan  tetapi dengan  bahasa  apapun  niatnya  maka  puasa tetap sah.

 

Waktu  niat  di  dalam  berpuasa  ada  dua macam :

1.    Puasa Fardhu

Untuk  puasa  fardhu  (wajib)  maka niatnya  harus  dilakukan  sebelum  terbit fajar  sodik  (fajar  yang  sesungguhnya) atau sebelum masuk waktu subuh.

Catatan:

Semua niat dalam  ibadah adalah dilakukan  di  awal  memulai  pekerjaan  ibadahnya  kecuali  puasa  yang   cara  niatnya adalah bisa di malam hari jauh-jauh sebelum fajar shodiq terbit.

 

2.  Puasa sunnah

Untuk  puasa  sunnah  tidak  diharuskan niat pada malam harinya akan tetapi boleh berniat di pagi hari dengan 2 syarat :

·          Belum tergelincir matahari

·          Belum melakukan sesuatu yang membatalkan  puasa  yang  tersebut  di  atas seperti makan atau minum.

 

Catatan :

Sekilas perbedaan ulama di dalam niat.

Mazhab Syafi’i : 

Satu  kali  niat  untuk  satu  kali  puasa artinya  niat  puasa  harus  dilakukan  setiap malam.

Mazhab Malik : 

Boleh  menggabungkan  niat  di  awal puasa  selama  satu  bulan  penuh  dengan syarat  dalam  sebulan  itu  tidak  terputus dengan batalnya puasa, jika sempat terputus dengan  tidak  berpuasa  maka  ia  harus memulai dengan niat  yang baru lagi seperti terputusnya karena haid.

Mazhab Abu Hanifah : 

Tidak ada perbedaan dalam puasa wajib atau  sunnah  bahwa  menginapkan  niat  di malam hari tidak wajib menurut Imam Abu Hanifah,  jika  berniat  setelah  terbitnya matahari  tetap  sah  asalkan  matahari  belum tergelincir  (masuk  waktu  dzuhur)  dan belum  melakukan  hal-hal  yang  membatalkan puasa.

 

3.  Puasa qodho

Bagi  yang  punya  hutang  puasa,  cara mengqodhonya adalah dengan melakukan puasa  di  hari-hari  yang  di  perkenankan puasa  di  sepanjang  satu  tahun  setelah ramadhan, yaitu selain :

·          Hari raya Idul Fitri

·          Hari raya Idul Adha

·          3 hari tasyrik (11,12,13 Dzul Hijjah)

 

Cara    niat  puasa qodho’  sama  dengan cara  niat  puasa  ramadhan  adapun  menambah  kalimat  qodho’  itu  tidak  harus  akan tetapi sekedar dianjurkan. Jika  mengqodho’  puasa  ramadhan bertepatan  dengan  hari-hari  di  sunnahkan puasa  sunnah.  Maka  cukup  niat  puasa qodho  yang  wajib  saja  tanpa  harus  dibarengi  dengan  niat    puasa  sunnahnya.    Dan orang  tersebut  sudah  mendapatkan  pahala puasa  wajib  dan  puasa  sunnah  sekaligus biarpun tanpa diniatkan puasa sunnah.

 

Menurut Mazhab Mâlikî, niat tidak perlu diucapkan tiap malam, tapi cukup dilakukan sekali saja jika puasa yang dilakukan adalah puasa yang berkelanjutan dan berturut-turut, seperti puasa pada bulan Ramadan, puasa kafarat-kafarat Ramadan, kafarat membunuh, dan kafarat dzihar-, dan lainnya, selama kelanjutan tersebut tidak terputus. Jika kelanjutan puasa terputus-dikarenakan uzur, semisal bepergian, sakit, atau lainnya-, maka niat wajib dihadirkan setiap malam.

 

Adapun puasa yang tidak harus dilakukan berturut-turut, seperti puasa kafarat sumpah, dan puasa untuk mengqadha, mengganti puasa yang ditinggalkan, maka diharuskan berniat setiap malamnya.

 

Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya.

 

Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.

 

Sedangkan Mazhab Mâlikî berpendapat, niat tidak sah dihadirkan pada waktu siang hari, apa pun jenis puasanya, termasuk puasa sunah.

 

Madzhab Hanbalî berpendapat, niat puasa sunah bisa dilakukan pada siang hari, meskipun dilakukan setelah matahari tergelincir-sesudah waktu Dzuhur. Asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan seterusnya.

 

Dalil sahnya puasa sunah dengan niat di siang hari ini adalah Hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. yang mengatakan: "Suatu hari Nabi saw. datang kepadaku dan bertanya, 'Apakah engkau punya makanan?' Saya menjawab, 'Tidak ada'. Beliau saw. pun lantas berkata, 'Kalau begitu aku puasa'. Di hari yang lain beliau datang lagi kepadaku. Aku katakan kepadanya, kita dihadiahi hays. Beliau menjawab, 'Perlihatkanlah kepadaku. Aku sebenarnya puasa sejak pagi'. Kemudian beliau pun memakan hays tersebut" (HR. Muslim).

 

Hays adalah kurma kering berserta mentega dan keju.

 

Sebagian ulama berpendapat, ungkapan Nabi saw di atas bersifat umum. Ada kemungkinan Nabi saw berniat puasa sejak malam, bisa juga tidak. Namun berdasarkan hadis sebelumnya, riwayat dari Hafshah di atas, niat puasa pada dasarnya dilakukan pada malam hari. Puasa ini pun berlaku umum, bisa berupa puasa fardhu, sunah, qadha maupun nazar.

 

 

6. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

Jika  kita  perhatikan  dari  definisi  puasa disitu  disebutkan  hal-hal  yang membatalkan  puasa.  Maka  dari  itu  menjadi sesuatu  yang  amat  penting  dalam  ilmu puasa  adalah  mengetahui  hal-hal  yang membatalkan puasa.

Hal-hal  yang  membatalkan  puasa  ada sembilan (9) yaitu :

1.  Memasukan sesuatu ke dalam salah satu lima (5) lubang, yaitu :

a.  Mulut

Hukum memasukkan sesuatu ke lubang mulut  adalah  membatalkan  puasa.  Untuk memudahkan pemahaman kita maka hukum memasukkan  sesuatu  ke  lubang  mulut  ini ada  empat hukum yaitu :

1)  Membatalkan:  Yaitu  di  saat  kita  memasukkan  sesuatu  ke  dalam  mulut  kita dan  kita  menelannya  dengan  sengaja saat kita sadar bahwa kita sedang puasa. Jadi  yang  menjadikannya  batal  adalah karena  menelan  dengan  sengaja.  Maka dari  itu  jika  ada  orang  memasukkan permen atau es krim ke dalam mulutnya maka  hal  itu  tidak  membatalkan  puasanya asalkan tidak ditelan.  Catatan masalah ludah, Di  dalam  masalah  ini  ada  hal  yang  perlu  kita  perhatikan  yaitu  masalah  ludah.  Ludah  itu  jika  kita  telan  tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :

·    Ludah kita sendiri

·    Tidak  bercampur  dengan  sesuatu yang lainya

·    Ludah  masih  berada  di  tempatnya  (mulut)

Maka  di  saat  syarat-syarat  di  atas terpenuhi  maka  jika  ludah  itu  ditelan,  tidak  membatalkan  puasa.  Bahkan  jika seandainya ada orang yang mengumpulkan  ludah  di dalam  mulutnya  sendiri dan setelah terkumpul lalu ditelan, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

Akan  tetapi  menelan  ludah  akan membatalkan  puasa  jika  salah  satu syarat  di  atas  ada  yang  tidak  terpenuhi, seperti  karena  dia  menelan  ludahnya orang  lain,  atau  menelan  ludah  yang sudah  bercampur  dengan  sesuatu seperti    permen,  es  krim  atau  makanan yang  masih  tersisa  di  dalam  mulut  kita atau  menelan  ludah  yang  sudah dikeluarkan  dari  mulutnya  lalu  diminum  maka  itu  semua  membatalkan puasa.

Catatan :

Masalah  sisa  makanan  di  dalam mulut. Sisa makanan di mulut maka ada dua macam:

·    Jika  sisa  makanan  dimulut  kemudian  bercampur  dengan  ludah  dengan  sendirinya  dan  susah  untuk dipisahkan  maka  jika  ditelan  tidak membatalkan puasa. Misalnya orang yang  sahur  lalu  tidur  dan  tidak sempat  kumur  atau  sikat  gigi  lalu menduga    di  dalam  mulutnya  ada sisa–sisa  makanan.  Maka  jika  sisa makanan  tersebut  sudah  tidak  bisa lagi  dibedakan  dengan  ludah  maka hal itu tidak membatalkan puasa jika ditelan.

·    Jika  ada  sisa  makanan  yang  bisa dipisahkan  dari  ludah  lalu  bercampur  dengan  ludah  dan  bercampurnya  karena  dikunyah  dengan sengaja    atau  digerak-gerakan  agar bercampur  kemudian  ditelan,  maka hal  itu  membatalkan  puasa.  Seperti sisa  makanan  dalam  bentuk  nasi atau  biji-bijian  yang  bisa  dibuang akan  tetapi  justru  dikunyah  lalu ditelan  maka  hal  itu  membatalkan puasa.

2)  Makruh (dilarang, akan tetapi tidak dosa jika  dilanggar):  Dihukumi  makruh  jika kita memasukkan sesuatu   ke dalam mulut  tanpa  kita  telan  hanya  untuk  main-main  saja.  Contohnya  ketika  ada  seseorang  yang  sedang  berpuasa  kemudian dia  dengan  sengaja  memasukkan    permen    atau  es  krim  ke  dalam  mulutnya tanpa menelannya maka  hukumnya makruh  dan  tidak  membatalkan  puasa  dan jika  tiba-tiba  tanpa  disengaja  permen yang  ada  di  mulutnya  tertelan  maka batal,  karena  ia  menelan  dengan  tidak sengaja  yang  disebabkan  sesuatu  yang tidak  dianjurkan  yaitu  telah  bermain-main  dengan  memasukkan  sesuatu  ke dalam mulutnya.

3)  Mubah  (boleh  dilakukan  dan  tidak dilarang) :  Dihukumi  mubah  yaitu  ketika seorang juru masak  mencicipi masakannya  dengan  niat  untuk  membenahi rasa.  Maka  di  samping  hal  itu  tidak membatalkan  puasa,  hal  yang  demilkian itu  juga  bukan  pekerjaan  yang  makruh. Akan  tetapi  hal  itu  boleh-boleh  saja. Dalam  hal  ini  bukan  hanya  juru  masak  saja  yang  diperkenankan  akan  tetapi juga siapapun yang lagi memasak. Akan tetapi  dengan  catatan  tidak  boleh  ditelan.

4)  Sunnah  (dianjurkan  dan  ada  pahalanya):  Dihukumi  sunnah  yaitu  ketika  kita berkumur-kumur  di  dalam  berwudhu. Maka di saat itu  di samping tidak membatalkan  puasa,  berkumur  dalam  wudhu’  tetap  disunnahkan  biarpun  dalam keadaan puasa dengan catatan tidak boleh  ditelan.  Bahkan  jika  tertelan  sekalipun  tanpa  sengaja  maka  tidak  membatalkan puasa. Dengan  catatan  ia  berkumur-kumur  dengan  cara  yang  wajar  saja  dan  tidak berlebihan.

b.  Hidung

Memasukan  sesuatu  ke  dalam  lubang hidung  membatalkan  puasa.  Adapun  batasan  dalam  hidung  adalah  bagian  yang  jika kita  memasukkan  air  akan  terasa  panas (tersengak)  maka  di  situlah  batas  dalam yang  jika  kita  memasukkan  sesuatu  ke tempat  tersebut  akan  membatalkan  puasa yaitu  hidung  bagian  atas  yang  mendekati mata kita. Adapun hidung  di bagian bawah yang lubangnya biasa di jangkau jemari saat membuang  kotoran  hidung,  jika  kita  memasukkan sesuatu ke bagian tersebut hal itu  tidak membatalkan  puasa  asal  tidak sampai  kebagian  atas  seperti  yang  telah kami jelaskan.

c.  Telinga

Menjadi  batal  jika  kita  memasukan sesuatu  ke  dalam  telinga  kita.  Yang  dimaksud  dalam  telinga  adalah  bagian  dalam telinga  yang  tidak    bisa  dijangkau  oleh  jari kelingking  kita  saat  kita  membersihkan telinga. Jadi memasukkan sesuatu ke bagian yang  masih  bisa  dijangkau  oleh  jari kelingking  kita  hal  itu  tidak  membatalkan puasa,  baik  yang  kita  masukkan  itu  adalah jari  tangan  kita  atau  yang  lainya.  Akan tetapi  kalau  kita  memasukkan  sesuatu melebihi dari bagian yang di jangkau jemari kita  seperti  korek  kuping  atau  air  maka  hal itu akan membatalkan puasa. Ini  adalah  pendapat  kebanyakan  para ulama. Dan ada pendapat  yang berbeda  yaitu pendapat yang diambil oleh Imam Malik dan  Imam Ghozali dari madzhab Syafi’i bahwa  “Memasukan  sesuatu  ke  dalam telinga  tidak  membatalkan”  akan  tetapi lebih  baik  dan  lebih  aman  jika  tetap mengikuti pendapat kebanyakan para ulama yaitu  pendapat  yang  mengatakan  memasukkan  sesuatu  ke  lubang  telinga  adalah membatalkan puasa.

d.  Jalan depan (alat buang air kecil)

Memasukan  sesuatu  ke  dalam  lubang kemaluan  adalah  membatalkan  puasa  walaupun  itu  adalah  sesuatu  yang  darurot seperti  dalam  pengobatan  dengan  memasukkan  obat  ke  lubang  kemaluan  atau  pipa untuk mengeluarkan cairan dari dalam bagi orang  yang  sakit.  Termasuk  memasukan jemari  bagi  seorang  wanita  adalah  membatalkan puasa.  Maka  dari  itu  para  wanita  yang  bersuci dari  bekas  buang  air  kecil  harus  hati-hati jangan  sampai  saat  membersihkan  sisa buang  air  kencing  (beristinja)  melakukan sesuatu yang membatalkan puasa. Bagi  wanita  yang  ingin  beristinja  hendaknya  hanya  membasuh  bagian  yang  terbuka di saat ia jongkok saja dengan perut jemari dan  tidak  perlu  memasukan  jemari  ke bagian  yang  lebih  dalam,  karena  hal  itu akan  membatalkan  puasa.  Lebih  dari  itu ditinjau dari sisi kesehatan justru tidak sehat kalau  cara  membersihkan  kemaluan  adalah dengan  cara  membersihkan  bagian  yang tidak  terlihat  di  saat  jongkok  sebab  yang demikian  itu  justru  akan  membuka  kemaluan untuk kemasukan kotoran dari luar.

e.  Jalan Belakang (alat buang air besar)

Memasukkan  sesuatu  ke  lubang  belakang  sama  hukumnya  seperti  memasukkan sesuatu  ke  jalan  depan.  Artinya  jika  ada orang  memasukkan  sesuatu  ke  lubang belakang  biarpun  dalam  keadaan  darurat dalam  pengobatan  adalah  membatalkan puasa  termasuk  memasukkan  jemari  saat istinja  (bersuci  dari  bekas  buang  air  besar). Maka  cara  yang  benar  dalam  istinja  adalah cukup  dengan  membersihkan  bagian  alat buang  air  besar  dengan  perut  jemari  tanpa harus memasukkan jemari kebagian dalam.

 

2.  Muntah dengan sengaja

Muntah  dengan  sengaja  akan  membatalkan  puasa  baik  dilakukan  dengan  wajar atau tidak, baik dalam keadaan darurat atau tidak.  Seperti  dengan  sengaja  mencari  bau yang  busuk  lalu  diciumi  hingga  muntah atau  memasukkan  sesuatu  ke  dalam  mulutnya agar bisa muntah. Berbeda  jika  muntah  yang  terjadi karena  tidak  disengaja  maka  hal  itu  tidak membatalkan puasa kita dengan syarat :

·  Kita  tidak  boleh  menelan  ludah  yang ada  di  mulut  kita  sehabis  muntah  sebelum kita mensucikan mulut kita terlebih dahulu  dengan  cara  berkumur  dengan air  suci.    Jika  di  saat  kita  belum  berkumur  kemudian  kita  langsung  menelan  ludah  kita  maka  puasa  kita menjadi  batal  sebab  muntahan  adalah najis  dan mulut kita telah menjadi najis karena  muntahan  sehingga  ludah  kita telah  bercampur  dengan  najis  yang  jika ditelan akan membatalkan puasa karena yang  ditelan  bukan  lagi  ludah  yang murni akan tetapi ludah yang najis. Jika  ada  orang    menggosok-gosok  gigi kemudian dia itu biasanya tidak muntah maka  di  saat  dia  gosok  gigi  tiba-tiba muntah  maka  tidak  batal,  akan  tetapi jika  dia  tahu  kalau  biasanya  setiap menggosok  gigi  akan  muntah  maka hukum  menggosok  gigi  yang  semula tidak  haram  menjadi  haram  dan  jika ternyata  benar-benar  muntah  maka puasanya menjadi batal. Jika  ada  orang  yang  kemasukan  lalat sampai  melewati  tenggorokannya  kemudian  dia  berusaha  untuk  mengeluarkannya  maka  menjadi  batal  karena sama  saja  seperti  muntah  yang  disengaja.  Berbeda  dengan  dahak,  jika seseorang  berdahak maka hal itu dimaafkan  dan  tidak  membatalkan  puasa, akan  tetapi  dahak  yang  sudah  keluar melewati  tenggorokan  tidak  boleh  ditelan  dan  itu  membatalkan  puasa.  Batas tenggorokan  adalah  tempat  keluarnya huruf “ha” ( makhraj huruf ح).

 

3.  Bersenggama

Melakukan  hubungan  suami  istri  itu membatalkan  puasa.  Yang  dimaksud bersenggama  adalah  jika  seorang  suami telah  memasukkan  semua  bagian  kepala  kemaluanya  ke  lubang  kemaluan  sang  istri dengan sengaja dan sadar kalau dirinya lagi puasa maka saat itu puasanya menjadi batal (dalam  hal  ini  sama  hubungan  yang  halal atau  yang  haram  seperti  zina  atau  melalui lubang  dubur  atau  dengan  binatang). Adapun bagi sang istri biarpun yang masuk belum semua bagian kepala kemaluan sang suami  asal  sudah  ada  yang  masuk  dan melewati  batas  yang  terbuka  saat  jongkok maka  saat  itu  puasa  sang  istri  sudah  batal. Dan  batalnya  bukan  karena  bersenggama tapi masuk dalam pembahasan batal karena masuknya sesuatu ke lubang kemaluan.  Bagi  suami  yang  membatalkan  puasanya  dengan  bersenggama  dengan  istrinya dosanya  amat  besar  dan  dia  harus  membayar karafat dengan syarat berikut ini:

·          Dilakukan  oleh  orang  yang  wajib  baginya berpuasa

·          Dilakukan di siang bulan puasa

·          Dia ingat kalau dia sedang puasa

·          Tidak karena paksaan

·          Mengetahui  keharomannya  atau  dia adalah bukan orang yang bodoh

·          Berbuka karena bersenggama

Dan bagi orang tersebut dikenai hukuman:

1.  Mengqodho puasanya

2.  Membayar kafarat (denda)

Kafarat (denda) bersenggama di siang hari bulan ramadhan adalah:

a. Memerdekakan budak

b. Puasa selama dua bulan berturut-turut

c. Memberikan    makan  kepada  60  fakir miskin  dengan  syarat  makanan  yang bisa digunakan untuk zakat fitrah.

Denda  yang  harus  dibayar  salah  satu saja  dengan  berurutan.  Jika  tidak mampu  bayar  A  maka  bayar  B  jika tidak mampu bayar C.

 

4   Keluar mani dengan sengaja

Maksudnya  adalah  mengeluarkan  mani dengan  sengaja  dengan  mencari  sebab keluarnya  mani.  Contohnnya:  ketika  ada orang  yang  tahu  bahwa  jika  dia  mencium istrinya atau dia dengan sengaja menyentuh kemaluannya dengan tangannya sendiri atau dengan  tangan  istrinya  bakal  keluar  mani maka puasanya menjadi batal karena keluar mani tersebut dengan sengaja.  Akan  tetapi  tidak  menjadi  batal  jika seandainya  keluar  mani  tanpa  disengaja seperti  bermimpi  bersenggama  dan  di saat terbangun benar-benar menemukan air mani di  celananya  maka  yang  seperti  itu  tidak membatalkan puasa.

 

5.   Hilang akal

Hilang akal di bagi menjadi tiga bagian yaitu :

a.  Gila:  Sengaja  atau  tidak  disengaja gila  itu  membatalkan  puasa  walaupun sebentar.

b.  Mabuk dan Pingsan:

Jika  disengaja  maka  mabuk  dan pingsan  membatalkan  puasa  biarpun  sebentar. Seperti  dengan sengaja  mencium  sesuatu  yang  ia tahu  kalau  ia  menciumnya  pasti mabuk atau pingsan. Jika mabuk dan pingsannya adalah tidak  disengaja  maka  akan  membatalkan  puasa  jika  terjadi  seharian  penuh.  Tetapi  jika  dia  masih merasakan  sadar  walau  hanya  sebentar  di  siang  hari  maka  puasanya  tidak  batal.  Misal  mabuk kendaraan  atau  mencium    sesuatu yang  ternyata  menjadikannya  mabuk    atau  pingsan  sementara  ia  tidak  tahu  kalau  hal  itu  akan  memabukkan  atau  menjadikannya pingsan.  Maka  orang  tersebut tetap sah puasanya asalkan sempat tersadar  di  siang  hari  walaupun sebentar.

c.  Tidur: Tidak membatalkan puasa walaupun terjadi seharian penuh.

 

6.   Haid

Membatalkan  puasa  walaupun  hanya sebentar  sebelum  waktu  berbuka.  Misal haid datang 2 menit sebelum masuk  waktu maghrib maka puasanya menjadi batal akan tetapi pahala berpuasanya tetap utuh.

 

7.  Melahirkan

Melahirkan  adalah  membatalkan  puasa baik  itu  mengeluarkan  bayi  atau  mengeluarkan  bakal  bayi  yang  biasa  disebut dengan keguguran. Misal seorang ibu hamil sedang  berpuasa  tiba-tiba  melahirkan  di siang  hari  saat  berpuasa,  maka  puasanya menjadi batal.

 

8.  Nifas

Nifas  juga  membatalkan  puasa. Misalnya  ada  orang  melahirkan  ternyata setelah  melahirkan  tidak  langsung  keluar darah  nifas.  Karena  ia  mengira  tidak  ada nifas  akhirnya  ia  berpuasa  dan  ternyata  disaat  ia  lagi  puasa  darah  nifasnya  datang maka saat itu puasanya batal.

 

9.  Murtad.

Murtad  atau  keluar  dari  Islam membatalkan  puasa.  Misalnya  ada  orang lagi  berpuasa  tiba-tiba  ia  berkata  bahwa  ia tidak  percaya  kalau  Nabi  Muhammad adalah  Nabi  atau  ada  orang  lagi  berpuasa tiba-tiba  menyembah  berhala  maka  puasanya menjadi batal.

 

 

7.  ORANG–ORANG  YANG  BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA

1.  Anak kecil

Maksudnya adalah anak yang belum baligh. Baligh ada 3 tanda yaitu :

a.  Keluar mani (bagi anak laki-laki)  pada    usia  9  tahun hijriah.

b.  Keluar  darah  haid  usia  9  tahun hijriah (bagi anak perempuan)

c.  Jika  tidak  keluar  mani  dan  tidak haid  maka  di  tunggu  hingga  umur 15  tahun.  Dan  jika  sudah  genap  15 tahun  maka  ia  telah  baligh  dengan usia yaitu usia 15 tahun.

2.  Gila

Orang gila tidak wajib berpuasa bahkan seandainya  berpuasa  maka  puasanya pun  tidak  sah.  Namun  dalam  hal  ini ulama  membagi  ada  dua  macam  orang gila yaitu :

a.  Orang  gila  yang  disengaja  jika berpuasa  maka  puasanya  tidak  sah dan wajib mengqodho’. Sebab sebenarnya  ia  wajib  berpuasa  kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya  gila  maka  karena  kesengajaan inilah  ia  wajib  mengqodho’  puasanya setelah sehat akalnya.

b.  Orang  gila  yang  tidak  disengaja, tidak  wajib  berpuasa  bahkan  seandainya  berpuasa  maka  puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqodho’ karena gilanya bukan disengaja.

3.  Sakit

Orang  sakit  boleh  meninggalkan  puasa. Akan  tetapi  di  sini  ada  ketentuan  bagi orang sakit tersebut yaitu: Yaitu  Sakit  parah  yang  memberatkan untuk  berpuasa  yang  berakibat  semakin parahnya  penyakit  atau  lambat  kesembuhannya.  Dan  yang  bisa  menentukan ini adalah:

·          Dokter muslim yang terpercaya.

·          Berdasarakan pengalamannya sendiri.

 

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ – البقرة ﴿١٨٤﴾

Maknanya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, (Qs al-Baqarah ayat:184)

 

 

Catatan: 

Dalam  hal  ini  tidak  terbatas  kepada orang  sakit  saja  akan  tetapi  siapapun yang  lagi  berpuasa  lalu  menemukan dirinya  lemah  dan  tidak  mampu  untuk berpuasa  dengan  kondisi  yang membahayakan  terhadap  dirinya  maka saat  itu  pun  dia  boleh  membatalkan puasanya.  Akan  tetapi  ia  hanya  boleh makan dan minum seperlunya kemudian wajib  menahan  diri  dari  makan  dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Akan  tetapi  khusus  orang  seperti  ini (bukan orang sakit).

 

4.  Orang tua

Orang tua yang lanjut usianya (usia udzur) dan tidak mampu berpuasa maka cukup baginya membayar fidyah setiap hari satu mud (kurang lebih 1 liter beras) dibagikan kepada fakir miskin

Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحج ﴿٧٨﴾

Artinya: ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs al-Hajj ayat: 78)

عَن} عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ { وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيـَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ } (البقرة 184) قال ابن عباس لَيْسَتْ مَنْسُوخَةً ، هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا (رواه الشيخان)

Dari ’Atha ra, ia mendengar Ibnu Abbas ketika membaca ayat ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” al-Baqarah 184. Ia berkata: ayat ini bukan mansukh, tapi ayat ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usianya dan tidak mampu melakukan puasa. (HR Bukhari Muslim).

Hadits Atha’ ini telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Abu Hurairah ra. Mereka tidak bertentangan dengannya. Maka pendapat Ibnu Abbas dianggap ijma’ sukuti (tidak dikomentari)

5.  Bepergian (musafir) 

Orang musafir dengan maksud perjalanan yang mubah

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ حَمْـزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ ، سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَصُمْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ (رواه الشيخان)

Sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami berkata “wahai Rasulallah apakah aku berpuasa jika aku musafir? Rasulallah saw bersabda “jika kamu mau, berpuasalah dan jika kamu mau, berbukalah” (HR Bukhari Muslim)

Dan bagi musafir wajib meng-qadha (membayar) puasanya di lain bulan tanpa membayar fidyah

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ – البقرة ﴿١٨٤﴾

Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”, (Qs al-Baqarah ayat:184)

 

Semua  orang  yang  bepergian  boleh meninggalkan  puasa  dengan  ketentuan sebagai berikut ini :

a.  Tempat  yang  dituju  dari  tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

b.  Di  pagi  (saat  subuh)  hari  yang  ia ingin  tidak  berpuasa  ia  harus  sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan) Misal  seseorang  tinggal  di  Cirebon ingin  pergi  ke  Semarang.  Antara  Cirebon  semarang    adalah  200  km  (tidak kurang dari 84 km). Ia meninggalkan cirebon  jam  2  malam  (sabtu  dini  hari). Subuh  hari  itu  adalah  jam  4  pagi.  Pada jam 4 pagi  (saat subuh)  ia sudah keluar dari  Cirebon  dan  masuk  Brebes.  Maka di pagi hari sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda  jika  berangkatnya  ke semarang  setelah  masuk  waktu  subuh, sabtu  pagi  setelah  masuk  waktu  subuh masih di Cirebon. Maka di pagi hari itu ia  tidak  boleh  meninggalkan  puasa karena sudah masuk subuh ia masih ada di rumah. Tetapi ia boleh meninggalkan puasa  di  hari  ahadnya,  karena  di  subuh hari ahad ia berada di luar wilayahnya.

Catatan: 

Seseorang  dalam  bepergian  akan  di hukumi  mukim  (bukan  musafir  lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari  4  hari.  Misal  orang  yang  pergi  ke semarang  tersebut  dalam  contoh  saat  di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai  di  semarang  juga  tetap  boleh berbuka  asalkan  ia  tidak  bermaksud tinggal di semarang lebih dari 4 hari. Dan  jika  ia  berniat  tinggal  di Semarang  lebih  dari  4  hari  maka semenjak  ia  sampai  semarang  ia  sudah disebut  mukim  dan  tidak  boleh meninggalkan  puasa  dan  juga  tidak boleh  mengqosor  sholat.  Untuk  di hukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari  seperti  kesalah  pahaman  yang terjadi  pada  sebagian  orang  akan  tetapi kapan  ia  sampai  tempat  tujuan  yang  ia niat  akan  tinggal  lebih  dari  4  hari  ia sudah di sebut mukim.

 

6.  Hamil

Orang  hamil  yang  khawatir  akan kondisi :

·          Dirinya, atau

·          Janin (bayinya)

7.  Menyusui 

Orang  menyusui  yang  khawatir  akan kondisi :

·          Dirinya atau

·          Kondisi  bayi  yang  masih  di  bawah umur  2 tahun hijriyah

Bayi  di  sini  tidak  harus  bayinya  sendiri akan tetapi bisa juga bayi orang lain.

 

Ibu yang hamil dan yang sedang menyusui bayinya, jika takut berbahaya atas dirinya saja atau takut berbahaya atas dirinya dan bayinya maka wajib ia meng-qadha (membayar) puasanya tanpa membayar fidyah, dan jika takut berbahaya atas bayinya saja maka wajib ia meng-qadha puasanya dan membayar fidyah

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ – البقرة ﴿١٨٤﴾

 Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, (Qs al-Baqarah ayat: 184)

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَيَة  (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا يَعْنِي عَلَى أَوْلادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. (أبو داود و الطبراني بإسناد صحيح)

Menurut Ibnu abbas ra ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”merupakan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan tidak mampu berpuasa agar berbuka dan sebagi penggantinya memberi makan orang miskin setiap hari, begitu pula ayat tsb merupakan rukhsah bagi wantia hamil dan yang menyusui, jika takut atas bayinya boleh berbuka dan membayar fidyah” (HR Abu Dawud dan at-Thabrani dengan sanad shahih)

 

 

8.  Haid

Wanita  yang  lagi  haid  tidak  wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.

9.  Nifas

Wanita  yang  lagi  nifas  tidak  wajib berpuasa bahkan jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan haram hukumnya.

 

 

Siapa  yang  wajib  mengqodho  atau membayar  fidyah  dari  orang  yang  boleh meninggalkan puasa?

1.  Anak kecil

Anak  kecil  jika  sudah  baligh  maka  ia tidak wajib mengqodho dan tidak wajib membayar  fidyah  atas  puasa  yang ditinggalkannya.

2.  Orang Gila

·          Gila  yang  disengaja  wajib  meng-qodho’  saja  dan  tidak  wajib  membayar fidyah.

·          Gila  yang  tidak  disengaja  tidak wajib  mengqodho  dan  tidak  wajib membayar fidyah

3.  Orang  sakit

a.  Sakit  yang  masih  ada  harapan  sembuh wajib mengqodho’ jika sembuh, dan tidak wajib membayar fidyah.

b.  Sakit  yang  menurut  keterangan dokter  sudah  tidak  ada  harapan sembuh  maka  ia  tidak  wajib  meng-qodho’  akan  tetapi  hanya  wajib membayar fidyah setiap hari yang ia tinggalkan  dengan  1  mud  atu  6,7 ons  diberikan  kepada  fakir  miskin dengan makanan Seperti beras.

4.  Orang tua

Orang  tua  disamakan  dengan  orang sakit  yang  tidak  diharapkan  kesembuhannya.  Karena  orang  tua  tidak  akan kembali  muda.  Maka  baginya  tidak wajib  mengqodho’  dan  hanya  wajib membayar  fidyah  1  mud  atau  6,7  ons  diberikan kepada fakir miskin.

5.  Orang musafir 

Orang  yang  bepergian  hanya  wajib mengqodho  saja  dan  tidak  wajib  membayar fidyah.

6.  dan 7. Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui ada tiga macam :

a. Wajib  mengqodho’  saja  jika  dia khawatir akan dirinya sendiri

b. Wajib  mengqodho’  saja  jika  dia khawatir  akan  dirinya  sendiri sekaligus khawatir keadaan  anaknya

c. Wajib mengqodho’ dan membayar fidyah  jika  dia  khawatir  akan keselamatan  bayinya  dan  tidak khawatir akan dirinya sendiri.

8.  Wanita Haid  

Wanita haid hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah.

9.  Wanita Nifas 

Wanita Nifas hanya wajib mengqodho dan tidak wajib membayar fidyah

 

Orang Yang Wajib Berpuasa

Dari keterangan di atas bisa  disimpulkan bahwa  selain  orang  yang  boleh meninggalkan  puasa  maka  mereka  adalah orang-orang yang wajib berpuasa.

 

 

8.HUKUM MENUNDA QADHA PUASA

Orang yang  menunda qadha puasanya sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, wajib baginya meng-qadha puasanya dan membayar fidyah tiap hari satu mud atau kurang lebih 1 liter beras, 1 mud (6,5 ons) makanan pokok daerah setempat (beras) untuk setiap harinya dan kewajiban ini berulang setiap datang bulan Ramadhan semasih ia belum meng-qhada puasanya

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ لِمَرَضٍ ثُمَّ صَحَّ وَ لَمْ يَقْضِهِ حَتَّى دَخَلَ رَمَضَان آخَر صَامَ الَّذِي أَدْرَكَهُ ثًمَّ يَقْضِي مَا عَلَيْهِ وَ يُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا (الدارقطني بسند ضعيف لكنه اعتضد بإفتاء الصحابة أي لإفتاء ستة من الصحابة بذلك وهم علي والحسين بن علي وابن عباس وابن عمر وأبو هريرة وجابر رضي الله عنهم )

Sesuai dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra “Siapa yang datang baginya Ramadhan dan tidak berpuasa karena sakit, lalu ia tidak meng-qhada’ puasanya sampai datang ramadhan berikutnya, maka wajib berpuasa ramadhan yang baru datang dan meng-qadha’ puasa ramadhan yang lewat dan memberi makan orang miskin setiap hari” (Ad-Darquthni dengan sanad dhaif tapi dikuatkan dari fatwa 6 shahabat Nabi saw yaitu, Ali, Husen bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Jabir Radhiallahu ‘anhum)

Hukum Orang Meninggal Belum Meng-qadha Puasanya

1.     Orang sakit di bulan Ramadhan dan tidak puasa lalu meninggal sebelum mampu untuk membayarnya atau meninggal sebelum sembuh dari sakitnya maka ahli warisnya tidak wajib membayar fidyah dan tidak wajib meng-qadha puasanya

2.     Orang sakit di bulan Ramadhan dan tidak puasa lalu meninggal setelah mampu untuk membayar (mengqadha) puasanya atau meninggal setelah sembuh dari sakitnya dan belum membayar (meng-qadha’) puasanya maka wajib bagi ahli waris membayar fidyah karena puasa adalah ibadah badaniah.yang tidak bisa diwakili semasih hidup atau setelah wafatnya. Tapi boleh diwakili setelah wafatnya atau boleh walinya atau ahli warisnya meng-qadha’ puasanya setelah wafaf dan ini bukan suatu keharusan tapi dibolehkan menurut madzhab syafi’i bagi walinya jika mau.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (أبو داود)

Sesuai dengan hadits Nabi saw dari Aisyah ra, beliau bersabda “Siapa yang meninggal dan punya hutang puasa, maka walinya meng-qadha’nya” (HR Abu Daud)

Sedang menurut Imam Ahmad bin Hambal yang dimaksudkan dengan hutang puasa disini adalah puasa nadzar. Wallahu’alam

 

 

Hukum Orang Yang Batal Puasanya Karena Jima’

 

Orang yang berjima’ di siang hari di bulan puasa hukumnya haram dan batal puasanya, wajib membayar (meng-qadha’) puasanya di hari-hari yang lain dan membayar kaffarah sebagai penebus dosa yang dilakukannya

 

 

Kaffarah

 

Kaffarah adalah suatu denda untuk menebus dosa yang dilakukan seseorang terhadap Allah karena melakukan pelanggaran yaitu berjima di siang hari di bulan ramadhan.

Melakukan kaffarah ada tiga cara

1.     membebaskan seorang budak sahaya. Jika tidak mampu cara ini maka harus melakukan cara kedua,

2.     berpuasa 60 hari secara berturut-turut (tidak terputus-putus). Jika tidak mampu cara ini maka harus melakukan cara ketiga,

3.     memberi makanan kepada 60 orang fakir miskin setiap orang satu mud atau satu liter beras

 

Keterangan:

Orang yang telah membebaskan budak sahaya tidak diwajibkan berpuasa 60 hari berturut-turut, dan yang telah berpuasa 60 hari tidak diwajibkan memberi makanan kepada fakir miskin.

 

 

Hikmah Tentang Kaffarah

Pada hikmah ini kami akan bawakan satu hadist Rasulallah saw yang diriwayatkan oleh Imam besar Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah ra:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا, فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه الشيخان)

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Ada seorang sahabat datang kepada Nabi saw lalu berkata ”Aku telah binasa Ya Rasulallah”. Nabi pun bertanya ”Apa yang membuat kau binasa?”. Ia memjawab ”Aku telah berjima’ dengan istriku di siang hari di bulan Ramadhan”. Maka Rasulallah saw bersabda ”Apakah kau bisa membebaskan budak sahaya?”. Ia menjawab ”Tidak bisa ya Rasulallah”. Lalu Nabi saw bersabda lagi ”Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?”. Ia menjawab ”Tidak bisa Ya Rasulallah”. Lalu beliau bersabda lagi ”Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?”. Ia menjawab ”Tidak bisa Ya Rasulallah”. Lalu beliau mengambil keranjang berisi kurma, seraya bersabda ”Ambillah kurma ini dan bersedakahlah kepada fakir miskin”. Maka sahabat itu berkata ” Ya Rasulallah, apakah bersedekah kepada orang yang lebih miskin dari kami, sedang tidak ada seorangpun di kampung yang lebih miskin dari kami”. Mendengar perkataaan sahabat ini, beliau tertawa sampai terlihat baham beliau yang mulia, lalu bersabda ”Pergilah dan bawalah kurma ini lalu berilah makan keluargamu”. (HR Bukhari Muslim)

Dari hadits ini kita bisa mengambil suatu istimbath atau kesimpulan bahwa agama yang dibawa beliau adalah agama yang mudah dan bisa membuat solusi dalam bentuk apapun

 

 

9. SUNAH-SUNAH PUASA

1- menyegerakan berbuka puasa jika masuk waktu maghrib.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ (رواه البخاري)

Sesuai dengan hadist Nabi saw “manusia terhitung baik semasih ia men-segerakan berbuka puasa” (HR Bukhari Muslim). Maksudnya kedisiplinan umat Rasulallah saw dalam melakaukan sunnahnya termasuk hal yang dianjurkan.

2- Berbuka dengan 3 buah kurma, jika tidak ada kurma berbuka dengan air

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ ، فَتُمَيْرَاتٌ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تُمَيْرَاتٌ ، حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ (حسن أبو داود و الترمذي)

Dari Anas bin Malik ra sesungguhnya Rasulallah saw berbuka puasa sebelum shalat dengan memakan beberapa ruthab (kurma segar/basah), apabila tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan apablia tidak mendapatkannya maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Membaca do’a sewaktu berbuka dengan do’a Rasulallah saw (terlampir di bawah)

3- Memberi makan kepada orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan pahala puasa.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا (الترمذي)

Dari Zed bin Khalid Al-Jihani, Rasulallah saw bersabda: ”siapa yang memberi makan orang berpuasa maka pahalanya sama dengan orang yang berpuasa tidak kurang dari pahalanya sedikitpun” (HR At-Tirmidzi)

4- Melakukan sahur dan menundanya sampai sebelum fajar

عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً (الشيخان)

Dari Anas bin Malik, Rasulallah saw bersabda: Lakukanlah sahur sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan” (HR. Al-Bukhari Muslim)

عَنْ زَيْد بِنْ ثَابِت رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثم قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً (الشيخان)

Dari Anas sesungguhnya Zed bin Stabit ra pernah bersahur bersama Rasulallah saw kemudian shalat bersama sama beliau. Anas bertanya “berapa jarak antara sahur Nabi saw dan shalatnya?” Zed bin Stabit berkata ”jaraknya 50 ayat”, (HR Bukhari Muslim)

5- Menjaga diri dari perbuatan dosa sepanjang hari seperti menjaga lidah dari perbuatan dusta, caci-maki, bohong, ber-ghibah (ceritain orang), bernamimah (mengupat), sombong, nipu, sampai ke usil, nyindir, mau tahu urusan orang, fudhul, suu’ dhon (buruk sangka), ghurur (berbangga diri), dan berbuat perbuatan yang keji.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ (الشيخان)

Sesuai dengan hadist Nabi saw dari Abu Hurairah ”jika seseorang berpuasa janganlah berkata dengan perkataan yang keji dan jangan lalai, jika seseorang menyerangnya atau mencacinya maka katakanlah aku berpuasa” (HR Bukhari Muslim)

6- Memperbanyak ibadah seperti membaca al-Qur’an, berbuat baik dan ihsan terhadap keluarga dan tetangga, dan banyak bersodakah terutama pada hari-hari terakhir puasa dll

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فََرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (مسلم ، النسائي ، أحمد)

Sesuai dengan hadist Nabi saw dari Ibnu Abbas ra berkata, “Rasulullah saw adalah manusia paling baik di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril as, di mana Jibril as sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah saw adalah manusia paling cepat dengan kebaikan dari pada angin yang berhembus.” (HR Muslim, An-Nasai, Ahmad).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ (الشيخان)

Hadist lainya dari Aisyah ra sesungguhnya “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan Rasulullah saw menghidupkan malamnya dan membangunkan Keluarganya dan mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya), (HR Bukhari Muslim).

7- Mandi junub sebelum masuk fajar agar masuk waktu puasa dalam keadaan suci.

8- Tidak memakai wangi-wangian dan segala sesuatu yang menyegarkan tubuh setelah masuk waktu dhuhur

9- Menahan diri dari hawa nafsu di waktu siang hari karena ini merupakan rahasia puasa dan tujuannya

10- Memperbanyak do’a dan istighfar (terlapir di bawah)

 

10. DO’A DI BULAN PUASA

1- Do’a berbuka puasa:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله

Artinya: Ya Allah, aku berpuasa untukmu, dan aku beriman kepadamu, dan dengan rizkimu aku berbuka. Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala akan ditetapkan insya Allah

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ (أبو داود)

Dari Muadz bin Zuhrah ra, sesungguhnya Rasulallah saw jika berbuka, beliau berdo’a: Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizkika afthartu, artinya: ya Allah karena Kamu aku berpuasa dan dengan rizki Kamu aku berbuka (HR Abu Dawud)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إن شَاءَ الله  (حسن أبو داود و النسائي)

Hadits lainya dari Abdullah bin Umar ra, sesungguhnya Rasulallah saw jika berbuka, beliau berdo’a: “Dzahaba adz-dzamau wabtallatil ‘uruku wa stabatal ajru insyaallah”, artinya: Hilang dahaga, basah semua urat-urat dan ditetapkan pahala insyaallah  (HR Abu Dawud dan an-Nasai’, hadist hasan)

2- Niat puasa

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ للهِ تَعَالَى

Artinya: Aku niat besok melakukan puasa fardhu bulan Ramadah karena Allah

1-     Do’a sepanjang bulan puasa

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا

 

 

 

 

11. HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM PUASA RAMADHAN

1.     Mencicipi makanan.

2.     Bekam (mengeluarkan darah).

3.     Banyak tidur dan terlalu kenyang.

4.     Mandi dengan menyelam.

5.     Memakai siwak setelah masuk waktu duhur.

12. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PAHALA PUASA (MUHBITHAAT)

1.     Ghibah (gossip).

2.     Adu domba.

3.     Berbohong.

4.     Memandang hal-hal yang haram atau pun halal, namun dengan syahwat.

5.     Sumpah palsu.

6.     Berkata jorok atau melakukan perbuatan jelek.

Catatan tambahan dan soal-jawab seputar puasa.

Untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan 1 Syawwal (Lebaran Idul Fitri) dianjurkan mengikuti keputusan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini adalah Majlis Ulama Indonesia (MUI), melalui sidang Itsbat, yang anggotanya terdiri dari pakar-pakar Islam yang kredibel dalam ilmu ru’yah maupun hisab. Dengan demikian umat Islam Indonesia dapat bersatu dan tidak terpecah belah.

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!