Imam Hanafi

Imam Abu HanifahNu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū Ḥanīfah, (bahasa Arab: بو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab fiqih Islam Hanafi.

Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta sahabat lainnya.

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.

Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia. Dalam empat mazhab yang terkenal tersebut hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa Ajam. Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, iaitu sama-sama menegakkan Al-Quran dan sunnah Nabi SAW.

 

Kemasyhuran nama Abu Hanifah menurut para ahli sejarah ada beberapa sebab:

1.  Kerana ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu Hanifah.

2.  Kerana semenjak kecilnya sangat tekun belajar dan menghayati setiap yang dipelajarinya, maka ia dianggap seorang  yang hanif (kecenderungan/condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.

3.  Menurut bahasa Persia, Hanifah bererti tinta. Imam Hanafi sangat rajin menulis hadith-hadith, ke mana, ia pergi selalu membawa tinta. Kerana itu ia dinamakan Abu Hanifah.

 

Waktu ia dilahirkan, pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan, dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Hanafi tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadith. Di samping itu beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah.

 

Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.

lahir dan keturunan

Abu Hanifah ( 699-767 M / 80-148 AH ) lahir di Kufah , Irak selama pemerintahan yang kuat Umayyah khalifah Abd al-Malik ( Abdul Malik bin Marwan ). Diklaim sebagai Al-Imam al-A'zam, atau Al-A'dham (Agung Imam ), Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mah itu lebih dikenal dengan Kunya Abu Hanifah. Bukan Kunya benar, karena ia tidak punya anak bernama Hanifah, tapi satu epithetical makna murni monoteis keyakinan. His father, Ayahnya, Tsabit bin Zuta, seorang pedagang dari Kabul , bagian dari Khorasan di Persia (ibukota modern Afganistan ), berumur 40 tahun pada saat kelahiran Abu Hanifah.

leluhur-Nya berlaku umum sebagai non- Arab asal seperti yang disarankan oleh etimologi kemudian nama kakeknya (Zuta) dan besar-kakek (Mah). sejarawan, Al-Khatib al-Baghdadi , catatan pernyataan dari cucu Abu Hanifah, Ismail bin Hammad, yang memberi garis keturunan Abu Hanifah sebagai Tsabit bin Nu'man bin Marzban dan mengaku berasal dari Persia. Kesenjangan dalam nama, sebagaimana diberikan oleh Ismail dari Hanifah kakek Abu dan besar-kakek dianggap karena itu adopsi Zuta dari nama Arab (Nu'man) setelah diterima-Nya dari Islam dan bahwa Mah dan Marzban adalah gelar atau sebutan resmi di Persia. Perbedaan pendapat lebih lanjut ada pada nenek moyangnya. Abu Muti, misalnya, menggambarkan Abu Hanifah sebagai keturunan Arab mengutip sebagai Numan bin Tsabit bin Yahya bin Zuta bin Zaid bin Asad . Menerima pendapat secara luas, bagaimanapun, adalah bahwa ia berasal dari keturunan Persia.

sebagai Tabi'in

Abu Hanifah lahir 67 tahun setelah kematian nabi Islam , Muhammad , namun pada masa para Sahabat Muhammad, beberapa di antaranya hidup sampai pemuda Abu Hanifah. Anas bin Malik, pembantu pribadi Muhammad, meninggal pada 93 H dan teman lain, Abul Tufail Amir bin Wathilah, meninggal pada 100 H., ketika Abu Hanifah berusia 20 tahun. Tidak ada bukti Namun, untuk menunjukkan Abu Hanifah telah meriwayatkan hadits apa pun dari para sahabat meskipun tidak ada keraguan bahwa dia adalah seorang tabi'in " ( seorang yang telah bertemu dengan seorang sahabat Muhammad ) dan telah bertemu Anas bin Malik.

Penulis al-Khairat informasi yang dikumpulkan al-Hisan dari buku-buku biografi dan menyebutkan nama-nama Sahabat yang dilaporkan bahwa Imam telah ditransmisikan dari hadits. Dia menghitung mereka sebagai enam belas para Sahabat. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Anis al-pernah ditemui, al-Zabidi bin Abdullah al-Harits bin Juz ', Abdullah bin Jabir, Abdullah bin Abi Awfa, Wa'ila bin al-Asqa `, Ma` qal bin Yasar, Abu Tufail Amir bin Wa'ila `,` Aisha binti Hajrad, Sahl bin Sa `d, al-Tha'ib Khallad bin Suwaid bin, al-Tha'ib bin Yazid bin Sa` id, Abdullah bin Samra, Mahmud bin al-Rabi `, Abdullah bin Ja` jauh, dan Abu Umama. Hadis Diriwayatkan oleh Abu Hanifah atas otoritas Anas bin Malik "Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim". 

Hal ini dirasakan ini disebabkan oleh persyaratan usia yang ketat untuk mempelajari disiplin hadis yang ada pada waktu di Kufah di mana tidak ada satu di bawah usia 20 tahun dimasukkan ke sekolah hadits. Para ulama waktu itu terasa ada orang di bawah usia ini tidak akan mencapai kematangan yang diperlukan untuk dapat memahami arti dari narasi.

Awal kehidupan dan pendidikan

Abu Hanifah tumbuh di masa penindasan selama kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Al-Walid I (Al-Walid bin Abd al-Malik). Gubernur Irak berada di bawah kontrol Al-Hajjaj bin Yusuf , seorang pengikut setia Abdul Malik. Selama pemimpin gubernur di agama dan belajar secara khusus ditargetkan oleh Hajjaj karena mereka terbukti menjadi hambatan bagi Malik Abdul pembentukan pemerintahannya di Saudi dan Irak. Akibatnya, Abu Hanifah tidak tertarik atau kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pun di masa kecilnya. Dia hanya puas dengan mengikuti jejak ayahnya sebagai pedagang sutra.

Dia mendirikan sutra tenun bisnis di mana ia menunjukkan kejujuran dan keadilan teliti. Setelah agennya di negara lain, menjual sebagian kain sutra atas namanya tapi lupa untuk menunjukkan cacat sedikit ke pembeli. Ketika Abu Hanifah mengetahui hal ini, ia sangat sedih karena dia tidak cara pendanaan uang mereka. Dia segera memerintahkan seluruh hasil penjualan konsinyasi sutra untuk didistribusikan kepada masyarakat miskin.

Menyusul kematian Hajjaj di 95 AH dan Walid dalam 96 AH, keadilan dan administrasi yang baik mulai membuat cerdas dengan kekhalifahan dari Sulaiman bin Abdul Malik dan sesudahnya Umar bin Abdul Aziz . Umar mendorong pendidikan untuk sedemikian rupa sehingga setiap rumah menjadi madrasah . Abu Hanifah juga mulai menaruh minat pada pendidikan yang lebih tinggi melalui nasihat tak terduga sebagai-Sha'bi (w. 722), salah satu ulama Kufah yang paling terkenal.

Sementara menjalankan tugas untuk ibunya, ia kebetulan lewat rumah sebagai-Sha'bi. Sha'bi, salah dia untuk mahasiswa, bertanya kepadanya yang ia menghadiri kelas. Ketika Abu Hanifah menjawab bahwa ia tidak menghadiri kelas, Sha'bi berkata, "Aku melihat tanda-tanda kecerdasan dalam Anda Anda harus duduk di perusahaan orang terpelajar.."  Mengambil nasihat Sha'bi, Abu Hanifah memulai sebuah pencarian pengetahuan yang subur untuk pada waktunya akan memiliki dampak mendalam terhadap sejarah Islam. pendidikan awal adalah dicapai melalui madāris dan di sini bahwa ia belajar Alquran dan Hadis, melakukan sangat baik dalam studinya. Dia menghabiskan banyak waktu dalam pengawasan Hammad bin Abi Sulaiman, seorang ahli hukum besar Kufah.

Abu Hanifah adalah salah satu mahasiswa terkemuka dari Imam Ja'far ash-Shadiq (besar cucu's Muhammad; 6 Imam Syiah Islam ), sebagaimana telah dikonfirmasi oleh Ibnu Hajar Al-Haytami dalam bukunya Al-Sawa'iq al-Muhriqah , Allamah Shiblinji dalam al Nur nya Absar, Abdul Halim Abu Jindi dan Mohaqiq Muhadatheen Zohra dan berbagai lainnya (ulama hadis) dan Ulama telah menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah adalah murid dari Imam Ja'far Shadiq. Imam Ja'far telah membuka sebuah universitas yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi ilmu pengetahuan dan matematika. Islam alkimiawan , Jabir bin Hayyan , Imam belajar di 'universitas. Dalam kondisi seperti ini Abu Hanifah belajar dan memperoleh pengetahuan. di awal rantai Abu Hanifah pengetahuan bersama Muhammad al-Baqir (besar cucu itu Muhammad; Imam 5 Syiah Islam ) dan dia kemudian memperluas rantai pengetahuan dengan Imam Ja'far ash-Shadiq.

dewasa dan kematian

Pada 763 M, al-Mansur , para Abbasiyah raja yang ditawarkan Abu Hanifah jabatan Ketua Hakim Negara, tetapi ia menolak untuk menerima tawaran itu, memilih untuk tetap independen. Muridnya Abu Yusuf diangkat menjadi Qadhi Al-Qadat (Ketua Hakim Negara) dari rezim al-Mansur, bukan dirinya sendiri.

Dalam jawaban-Nya terhadap al-Mansur, Abu Hanifah cermat akan dirinya dengan mengatakan bahwa ia tidak menganggap dirinya cocok untuk jabatan tersebut. Al-Mansur, yang memiliki gagasan sendiri dan alasan untuk menawarkan amanat, marah dan menuduh Abu Hanifah dari berbohong.

"Jika saya berbohong," kata Abu Hanifah, "maka pernyataan saya adalah benar ganda. Bagaimana Anda bisa menunjuk pembohong ke jabatan agung Kepala Qadhi (Hakim)?"

Marah dengan membalas ini, penguasa itu Abu Hanifah ditangkap, dikurung dalam penjara dan disiksa. Dia tidak pernah makan tidak peduli. Bahkan di sana, para ahli hukum gigih terus mengajar mereka yang diizinkan datang kepadanya.

Masjid Abu Hanifah

Pada 767 M, Abu Hanifah meninggal di penjara. Dikatakan bahwa begitu banyak orang menghadiri pemakamannya bahwa layanan pemakaman diulang enam kali lebih dari 50.000 orang yang telah mengumpulkan sebelum dia benar-benar terkubur. Kemudian, setelah bertahun-tahun, sebuah masjid , yang Abu Hanifah Masjid di Adhamiyah sekitar Baghdad , dibangun untuk menghormati dia.

Beberapa Abu Hanifah Karya Sastra

    * Kitaab-ul-Aathaar diriwayatkan oleh Imam Muhammad al-Shaybani - kompilasi dari total 70.000 hadits

    * Kitabul Aathaar diriwayatkan oleh Imam Abu Yusuf

    * Aalim wa'l-muta'allim

    * Fiqh Al-Akbar

    * Musnad Imam ul A'zam

    * Kitaabul Rad alal Qaadiriyah

 

Diantara sifat Imam Hanafi yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Ia menolak pangkat jabatan dan menolak uang yang dibelikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya.

 

Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Hanafi akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharan negara (Baitul mal), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Ia tidak mahu menerima kedudukan tinggi tersebut. Sampai berulang kali Gubernur Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya, namun tetap ditolaknya.

 

Pada waktu yang lain Gubernur Yazid menawarkan pangkat Qadhi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Hanafi tersebut. Seolah-olah Imam Hanafi memusuhi pemerintah, kerana itu timbul rasa curiganya. Oleh kerana itu ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukum dera. Ketika Imam Hanafi mendengar kata ancaman hukum dera itu Imam Hanafi menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Hanafi dalam menegakkan pendirian hidupnya.

 

Pada suatu hari Gubernur Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan resmi oleh Gubernur.

 

Ketika itu Gubernur menetapkan Imam Hanafi menjadi Ketua jabatan Sekretaris Gubernur. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk uang negara. Gubernur dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu nescaya ia akan dihukum dengan pukulan.”

 

Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Hanafi tetap menolak jabatan itu, bahkan ia tetap tegas, bahawa ia tidak mau menjadi pegawai kerajaan dan tidak mau campur tangan dalam urusan negara.

 

Kerana sikapnya itu, akhirnya ditangkap oleh Gubernur. Kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu Gubernur menawarkan menjadi Qadhi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian Imam Hanafi tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah cukup 110 kali cambukan.

 

Walaupun demikian ketika Imam Hanafi disiksa ia sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.” Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Hanafi juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H sesudah dua tahun dari hukuman tadi terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas as Saffah.

 

Pada tahun 132 H sesudah Abu Abbas meninggal dunia diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Ja’afar Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas as Saffah. Ketika itu Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani. Ahli fikir yang cepat dapat menyelesaikan sesuatu persoalan.

 

Suatu hari Imam Hanafi mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke istana. Sesampainya ia di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi qadhi (hakim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Hanafi “Amirul mukminin lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”

 

Kerana ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak pemerintahan Abu Abbas as Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Kerana sikap Imam Hanafi itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.

 

Pada suatu hari Imam Hanafi dikeluarkan dari penjara kerana mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?”

 

Dijawab oleh Imam Hanafi: “Wahai Amirul Mukminin semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jabatan itu.”

 

Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jabatan itu.” Dijawab oleh Imam Hanafi: “Amirul Mukminin, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahawa saya tidak patut memegang jabatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”

 

Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan ats Tauri dan Imam Syarik an Nakhaei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut.

 

Imam Sufyan ats Tauri diangkat menjadi qadhi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi qadhi di ibu kota. Adapun Imam Hanafi tidak mau menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan. Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahawa siapa saja yang tidak mahu menerima jabatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan.

 

Imam Syarik menerima jabatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak mahu menerimanya, kemudian ia melarikan diri ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak mahu menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri.

 

Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat.

 

Suatu kali Imam Hanafi dipanggil baginda untuk mengadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum air yang beracun itu Imam Hanafi kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Hanafi wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

 

Imam Hanafi menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umaiyyah dan Abbasiyah adalah kerana beliau tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengajak Imam Hanafi untuk bekerjasama mengikut gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka siksa hingga meninggal, kerana Imam Hanafi menolak semua tawaran yang mereka berikan.

 

Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam banyak mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, yang merupakan guru dari Imam Syafi’iy.

 

Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.

 

Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok :

1. Al Quran sebagai sumber dari segala sumber hukum.

2. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al Quran.

3. Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.

4. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah.

5. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.

6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.

7. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.

 

Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.

Sepanjang riwayat hidupnya, beliau tidak dikenal dalam mengarang kitab. Tetapi madzab beliau Imam Abu Hanifah atau madzab Hanafi disebar luaskan oleh murid-murid beliau. Demikian juga fatwa-fatwa beliau dituliskan dalam kitab-kitab fikih oleh para murid dan pengikut beliau sehingga madzab Hanafi menjadi terkenal dan sampai saat ini dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani,yang merupakan guru dari Imam Syafi'i.rhm