KHR As’ad Syamsul Arifin

ada 3 November 2016, berdasarkan Kepres Nomor 90, Bangsa Indonesia memiliki seorang Pahlawan Nasional yakni : KHR As’ad Syamsul Arifin.

Sosok Kyai As’ad dikenal dengan perjuangannya dalam melawan penjajah. Tidak segan, Kiai As’ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah disaat menumpas penjajah (sumber : nu.or.id).

Silsilah KHR As’ad Syamsul Arifin

Kyai As’ad adalah putra pertama dari KH Syamsul Arifin (Raden Ibrahim) yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram.

Garis kerurunannya berasal dari Sunan Kudus, Sunan Ampel dan Sunan Giri. Berikut jalur silsilah beliau (sumber : Bani Abdullah Zakaria) :

Sejak tahun 1938, Kyai  As’ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qur’an dan Ma’had Aly dengan nama Al-Ibrahimy.

Peran Kiai As’ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sangat nampak sekali. Ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan, yang diutus untuk menemui KH Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian NU.

Di usianya ke 93, Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah.

KH As'ad yang lahir di Makkah pada 1897 masih keturunan Wali Songo dan termasuk tokoh pelopor berdirinya Nahdlatul Ulama. KH As'ad masih keturunan Sunan Ampel dari ayahandanya Raden Ibrahim (KH Syamsul Arifin) dan masih keturunan Sunan Kudus dari ibundanya, Siti Maimunah, demikian menurut Wikipedia. 

KH As'ad dilahirkan dekat Masjidil Haram kala kedua orangtuanya menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu keislaman. Masa kecilnya kemudian dihabiskan di Pamekasan, Madura dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Setelah itu KH As'ad diajak ayahandanya pindah ke Asembagus-Situbondo, Jawa Timur dan saat remaja kembali lagi ke Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan untuk belajar. 

Dia memperdalam ilmu agamanya di Madrasah Shalatiyah di Makkah dengan ulama-ulama yang berasal dari Melayu maupun dari Timur Tengah. Ayahanda KH As'ad, KH Syamsul Arifin, sudah membabat alas ke Situbondo dan mendirikan pondok pesantren di Dusun Sukorejo tahun 1908. Pasca KH Syamsul Arifin mangkat tahun 1951, KH As'ad lah yang meneruskan pondok pesantren yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Di bawah kepemimpinan KH As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah dan sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.

Tak hanya sebagai ulama yang menyebarkan ilmu agama dan memimpin pesantren, KH As'ad juga turun gunung bergerilya berjuang mengusir penjajah Jepang dari Jember. Di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Sukowono yang menjadi markas utamanya, KH As'ad menyusun strategi dan melancarkan serangan untuk melumpuhkan penjajah, demikian seperti dikutip dari situs NU. 

Dia memimpin para pejuang lain menyerang serdadu Jepang di Garahan, Kecamatan Silo, dengan bergerilya dari Sumberwringin menyusuri jalan puluhan kilometer, naik turun lembah, menembus hutan belantara dan menyeberang sungai. Gerakannya tercium musuh dan dicegat serdadu Jepang di Sungai Kramat. 

KH As’ad Syamsul Arifin menyaksikan Gusdur dan Soeharto Salaman

Pasukan yang dipimpin KH As'ad berkonfrontasi dan bisa mengatasi, sehingga para serdadu Jepang lari tunggang langgang ke tengah hutan. Gerakan pasukan KH As'ad membuat serdadu Jepang ciut nyali dan akhirnya berhasil diusir tanpa peperangan di Garahan. 

PEJUANG KEMERDEKAAN

Diantara kisah-kisah mengenai bukti kekaromahan KH As’ad semasa hidupnya pun terkuak dari KH Fawaid.

“Pada zaman dulu, murid-murid beliau itu banyak dari kaum bromocorah (preman,red), sehingga beliau pun banyak mendalami ilmu beladiri,” tutur KH Fawaid memulai cerita.

Ilmu-ilmu beladiri yang dimiliki KH As’ad, sambung KH Fawaid, juga diajarkan kepada para muridnya.

Ia menceritakan, saat santrinya dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok, tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka. Sebagian murid yang lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelaa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.

Tidak hanya itu, kemasyhuran kekaromahan KH As’ad juga terbuti pada saat perang kemerdekaan. Kepada Kisah Hikmah, KH fawaid jga mengisahkan jika pada saat perang gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Pasir itu konon adalah pemberian dari KH As’ad kepada para pejuang. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.

“Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Para pejuan pun memungut satu persatu senjata yang ditinggal Belanda, “ kisah KH Fawaid.

BISA MUNCUL DI BANYAK TEMPAT

Lebih jauh, KH Fawaid bahkan menceritakan, ada kisah lain yang mengisyaratkan bahwa KH As’ad memang bukanlah ulama sembarangan. Kisah itu terjadi pada saat Kiai Mujib (teman KH As’ad) diajak KH As’ad menghadiri delapan acara walimah haji yang berada di luar kota.

Keduanya pun berangkat dari rumah, sekitar pukul 20.30 WIB. Namun anehnya, Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Dia kaget lantaran delapan lokasi acara walimah haji yang didatangi oleh KH As’ad ternyata hanya ditempuh dalam waktu dua jam.

“Padahal, perjalanan pulang pergi aja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tempatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu KH As’ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar. Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu, bisa dilakukan hanya dengan dua jam?” ungkap KH Fawaid.

Kiai Mujib pun mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir KH As’ad, H Abdul Aziz.

“Iya..ya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk meyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30 WIB.

“Usut punya usut, seminggu kemudian. Di Sukorejo, Haji Aziz akhirnya memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antar pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya, mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka,” imbuh KH Fawaid.

Peristiwa seperti itu tampaknya juga pernah dialami sendiri oleh KH As’ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, KH As’ad bermakmum saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimmi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Kiai Asadullah menjadi imam masjid di daerahnya.

Hal itu mengingatkan KH As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bahkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak akan dimiliki juga oleh KH As’ad. 

Dikiisahkan pula, ketika Nahdhatul Ulama mengadakan hajatan di Sukorejo, yaitu Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU 1984, bantuan logistik mengalir, bahkan melimpah, dari masyarakat, khususnya warga NU. Tujuh hari sebelum acara, tercatat telah terkumpul 20 ekor sapi, 50 ekor kambing, 200 ekor ayam kampung, 15 ton beras, dan lima truk gula, telur, sayur, dan buah-buahan. Semuanya berdatangan di Sukorejo.

Acara yang melayani 1.500 orang itu, tiap hari rata-rata menghabiskan lima sampai enam kuintal beras, 130 sampai 300 ekor ayam, lima ekor kambing dan sapi, satu sampai tiga truk sayur mayur dan buah kelapa, dan tak terhitung kayu bakar, baik yang diantar dengan truk maupun di antar sendiri secara rombongan dengan sepeda ontel. Juru masaknya pun tak dibayar, mereka mengharapkan barakah dari para kiai.

Saking tingginya minat menyumbang dari warga, panitia sampai menolak ternak-ternak sapi dan kambing lantaran mereka tidak mempunyai tempat penampungan. Namun mereka tak habis pikir, binatang-binatang itu kemudian mereka antar lagi dalam bantuk daging.

Bantuan itu tidak hanya berasal dari warga yang kaya. Ada seseorang warga yang hanya memiliki dua ekor sapi yang satunya sedang hamil. Karena untuk acara keagamaan dia menyumbang salah satunya kepada Kiai As’ad.

Anehnya, beberapa hari kemudian seorang “tamu asing” mendatangi warga tersebut. Padahal saat mmberikan sapi itu, selain tulus ikhlas, warga tersebut juga tidak mencatatkan nama dirinya. Lalu, siapa yang memberitahukan tamu asing itu? Lucunya, tamu asing itu ngotot memberikan sejumlah uang beberapa kali lipat dari harga sapi. Karena ikhlas menyumbang untuk kiai, uang itu ditolak dengan tegas. Tapi, si tamu asing menegaskan tak mau meninggalkan rumah itu bila tetap ditolak. Akhirnya, dengan terpaksa uang itu diterimanya juga.

Siapa orang asing itu? Manusia atau mahkluk alam lain? Wallahu a’lam.

Menundukkan Bandit

Pada masa itu, di daerah Besuki, jemaah salah Jumat sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Setelah diteliti oleh Kiai As’ad, ternyata di sana ada seorang tokoh yang amat disegani masyarakat, seorang bajingan. Tanpa ragu-ragu, kiai mendatangi rumah tokoh tersebut.

Mengetahui bahwa tamunya seorang kiai besar, tuan rumah jadi kikuk dan kelabakan. Mereka menjadi sangat terharu dan hormat, karena sang kiai tidak mempermasalahkan dan melecehkan “profesi”-nya. Hebatnya lagi, kiai yang alim dan memiliki banyak ilmu itu mengaku sanggup tinggal bersamanya di dunia dan akhirat. Kalau dia nyasar ke neraka, kiai akan berusaha menariknya ke surga. Syaratnya, dia harus mampu memenuhi masjid dengan warga sekitar dalam setiap salat Jumat.

Diplomasi Kiai As’ad membuahkan hasil. Selain akhirnya orang-orang berbondong-bondong memenuhi masjid, sang bajingan itu akhirnya insyaf dan rajin ke masjid. Misteri apa yang ada pada diri Kiai As’ad sehingga mampu menundukkan bajingan itu? Inilah kelebihan Allah yang diberikan padanya.

Gebrakan Kiai

Merasa dirinya berada di jalan yang benar, Kiai As’ad berani melakukan apa pun, termasuk melawan dan mengusir serdadu Jepang yang berada di depannya. Entah kekuatan gaib apa yang menyertai kiai asal Pamekasan, Madura, ini sampai meja yang berada di depannya hancur berantakan saat digebraknya dengan sangat keras.

“Negeri ini milik kami!” teriak Kiai As’ad sambil menggebrak meja dengan sangat keras. “Negeri ini bukan milik Jepang. Kalian harus meninggalkan negeri ini. Kalau tidak, saya dan rakyat akan menyerang kalian!”

Para hadirin tercengang. Meja yang kukuh itu retak dan kakinya menembus lantai! Pemimpin Jepang bercucuran keringat dingin. Ketakutan! Wajah kiai merah, tak ada yang berani menatap. Semua diam membisu!

“Kalian harus pulang sekarang juga!” kata Kiai As’ad.

Mau tak mau, pemimpin Jepang itu menyerah dan menandatangani persetujuan pemulangan tentara Jepang dari Desa Curah Damar Garahan, Jember, ke Surabaya, dengan catatan semua senjata harus ditinggalkan.

Itulah hasil perundingan tokoh-tokoh masyarakat Karesidenan Besuki dengan pemimpin Jepang sekitar September-Oktober 1945 yang bertempat di Pondok Pesantren Sukorejo. Tentara Jepang akhirnya diangkut dengan kereta api ke Surabaya dengan kawalan anggota Pelopor, tentara keamanan Rakyat, Hizibullah Sabilillah, dan rakyat pada umumnya.

Suwuk Kiai

Sebagai kiai dan ulama besar, Kiai As’ad tidak hanya menguasai banyak ilmu dari para guru dan kitab-kitab Hikmah, namun juga ilmu-ilmu yang bagi masyarakat masa kini sebagai ilmu-ilmu gaib. Maklum, murid-muridnya banyak dari kaum bromocorah, sehingga dia pun banyak mendalami ilmu kanuragan (kekebalan). Saat sesama mereka dibekali sebilah pedang serta celurit dan disuruh saling membacok. Tapi, tebasan pedang dan celurit itu tidak ada yang mencederai mereka.

Sebagian murid lain, ada yang diuji melompat dari pohon kelapa yang tinggi dan ternyata badannya tetap utuh serta segar bugar. Yang ajaib adalah saat di antara para murid itu mampu menjatuhkan puluhan buah kelapa hanya dengan sekali pandang.

Di balik semua aktivitas itu, kiai sepuh yang sederhana ini terus-menerus membaca amalan-amalan agar tidak terlihat musuh. “Asma ini penting untuk mencuri senjata dan menyerang musuh,” tuturnya.

Para santri yang dulunya bromocorah, dua di antaranya bernama Mabruk dan Abdus Shomad, kemudian tergabung dalam Pasukan Pelopor itu, dan memang telah beberapa hari mendalami ilmu kanuragan serta silat. Mereka juga sudah di-jaza’ atau di-suwuk (ditiup dengan doa, atau disemprot dengan air yang sudah didoakan) oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Keampuhan mereka itu dibuktikan dalam perjalanan di daerah Dabasah, dekat Bondowoso. Kebetulan di daerah tersebut terdapat sebuah gudang senjata Belanda. Pasukan Pelopor ini, dengan izin Allah SWT, berhasil mencuri 24 pucuk senjata dan sejumlah amunisi tanpa mendapat perlawanan. Dengan ilmu gaib khusus, anak buah Kiai As’ad itu berhasil masuk gudang tanpa terlihat oleh pasukan Belanda.

Pasir Jadi Dentuman Senjata

Ketika mengadakan gerilya, beberapa pejuang tampak membawa pasir. Konon, pasir itu adalah pemberian dari Kiai As’ad kepada para pejuang itu. Pasir tersebut kemudian ditaburkan ke kacang hijau di dekat markas tentara Belanda atau di jalan yang akan banyak dilewati tentara Belanda.

Aneh, suatu keajaiban terjadi. Puluhan tentara Belanda yang bersenjata lengkap itu tiba-tiba lari terbirit-birit ketakutan sambil meninggalkan senjatanya. Mungkin mereka mengira suara pasir itu adalah suara dentuman senjata api. Padahal, saat itu para pejuang tidak membawa senjata api. Bagaikan mendapatkan rejeki nomplok, para pejuang itu seakan berpesta pora dan memunguti satu per satu senjata-senjata yang ditinggal Belanda itu.

Dalam kesempatan lain, sebanyak 50 anggota Laskar Sabilillah mohon jaza’ kepada Kiai As’ad ke Sukorejo sebagai bekal untuk berjuang melawan Belanda. Pertama-tama yang ditanyakan oleh Kiai As’ad adalah keteguhan mereka untuk berjuang. “Apakah kalian betul-betul ingin berjuang?” tanya Kiai As’ad.

“Kami memang ingin berjuang, Kiai, asalkan kami diberi azimat,” jawab pemimpin rombongan.

“Oh, itu gampang,” jawab Kiai As’ad. “Be en entar bungkol, moleh bungkol (kamu berangkat perang utuh, pulang pun utuh).”

Lalu Kiai As’ad mengambil air putih dan menyuruh mereka meminumnya sambil membaca sholawat. Setelah itu Kiai As’ad berpesan, “Kalian tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan. Terus maju, jangan mundur. Kalau maju terus dan tertembak mati, kalian akan mati syahid dan masuk surga. Tapi, bila kalian mundur dan tertembak, kalian akan mati dalam keadaan kafir!”

Preman Shalat Jum'at

Salah satu hal yang luar biasa dari sosok kiai adalah kearifannya dalam berdakwah. Sebagaimana yang dicontohkan oleh KHR. As'ad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo, Jawa Timur saat menyuruh para preman di daerah Bondowoso untuk ikut shalat Jumat.

Cerita yang disapaikan oleh salah seorang santrinya, H Ikrom Hasan kepada penulis ini bermula dari kehebatan ilmu kanuragan Kiai As'ad. Tak hanya ilmu agama yang dikuasai oleh kiai yang baru saja ditetapkan sebagai pahlawan Nasional itu, tapi juga ilmu bela diri dan sejenisnya.

Berkat reputasinya dalam dunia persilatan tersebut, banyak preman, jawara, bromocorah wa alaa alihi wa ashabih yang segan kepada Kiai As'ad. Jadi, tidak heran jika apa yang diucapkan oleh Kiai As'ad menjadi semacam perintah yang wajib untuk dipatuhi. Bagi mereka, mematuhi perintah Kiai As'ad adalah suatu kebanggaan tersendiri.

Meski demikian, Kiai As'ad tidak serta merta memaksa mereka untuk melakukan shalat, misalnya. Pemaksaan dalam hal beragama, bagi Kiai As'ad, bukanlah cara yang tepat untuk diterapkan dalam berdakwah. Apalagi bagi kalangan yang awam dari ilmu agama.

Kiai As'ad punya cara tersendiri untuk mendakwahi mereka. Dalam suatu kesempatan, Kiai As'ad mengumpulkan para preman tersebut. Di pertemuan itu, Kiai As'ad minta tolong kepada kepala preman itu untuk menjagakan sandal para jamaah shalat Jumat yang kerap hilang.

"Sandal jamaah di maajid ini sering hilang kalau sholat Jumat, saya bisa minta tolong untuk menjagakannya agar tidak hilang?" pinta Kiai As'ad.

Seketika dedengkot para preman itu, menyanggupinya. "Gampang itu, Kiai. Paling yang mencuri ya anak buah saya. Biar saya yang akan menjaga," tanggapnya dengan bangga.

Pertemuan pun diakhiri dengan kesepakatan sebagaimana di atas. Kiai As'ad berpamitan seraya mengucapkan terima kasih kepada para preman tersebut.

Hari Jumat pun tiba. Si dedengkot preman itu tampak berjaga di dekat masjid. Berkat pengawasannya tersebut, tak ada sepasang sandal pun yang hilang. Begitupun jumat berikutnya.

Hingga pada Jumat keempat, si dedengkot preman yang menjaga sandal itu merasa ada yang aneh. Sebagai sosok yang disegani dan ditakuti banyak orang, ia merasa tidak kelasnya untuk melakukan tugas tersebut. 

"Masak sih saya menjaga sandal tukang becak, penjual kacang dan orang-orang remeh itu," gugatnya. "Seharusnya saya juga sholat dan sandal saya yang dijaga," imbuhnya.

Persoalan itu, lantas ia adukan ke Kiai As'ad. Dengan tenang Kiai As'ad balik bertanya. "Kalau sampean ikut sholat, lantas siapa yang menjaga sandalnya?"

"Tenang, Kiai," jawab si dedengkot preman. "Saya punya banyak anak buah. Biar mereka yang menjaga, saya yang sholat," tegasnya.

Kiai As'ad pun menyetujuinya sembari mengucap syukur dalam hati atas hidayah yang tak langsung diberikan kepada si preman tersebut.

Proses itu pun berlanjut ke preman lainnya. Saat disuruh menjaga sandal, ia pun merasa aneh. "Masak, preman suruh menjagakan sandal preman," gugatnya balik. Akhirnya, mereka satu per satu pun ikut sholat Jumat.

Demikianlah cara Kiai As'ad mendakwahkan ajaran-ajaran Islam. Penuh kearifan, tanpa ada pemaksaan yang terkadang berujung pada pemberontakan.

Namun, lanjut H Ikrom, selama proses dakwah tersebut, Kiai As'ad tak pernah berhenti bertaqarub kepada Allah. Ia bermunajat meminta kepada Sang Kholik untuk memberikan hidayah kepada para preman tersebut. Berkat kekuatan doa Kiai As'ad itulah, para preman mendapatkan hidayah.

Mecah Diri

Pada suatu hari, Kiai Mujib diajak Kiai As’ad menghadiri delapan acara walimah haji di luar kota. Kiai Mujib baru merasakan keajaiban yang dialaminya setelah kembali ke Sukorejo. Mereka berangkat pukul 20.30, dan pukul 22.30 telah berada lagi di Sukorejo. Padahal perjalanan pulang pergi saja memerlukan waktu dua jam, sementara mereka harus mengunjungi delapan kali acara yang tepatnya masing-masing sangat berjauhan. Ini belum lagi dihitung waktu Kiai As’ad memberi ceramah dan jamuan makan, yang tentu saja memakan waktu tidak sebentar.

Ini ajaib. Mana mungkin perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua jam plus semua acara yang tempatnya saling berjauhan dan memakan waktu berjam-jam itu bisa dilakukan hanya dengan dua jam? Kiai Mujib mengemukakan kebingungannya itu kepada sopir kiai, H. Abdul Aziz.

“Iya…iya, kenapa bisa begitu?” katanya sambil berulang kali melihat jam tangannya untuk menyakinkan diri bahwa saat itu memang baru pukul 22.30.

Seminggu kemudian, di Sukorejo, Haji Aziz memperoleh info mengenai keributan yang hampir saja terjadi di antara pemilik delapan acara walimah tersebut karena masing-masing ngotot didatangi kiai pada saat yang bersamaan. Akhirnya mereka sama-sama heran, sebab masing-masing mempunyai bukti berupa foto ketika kiai berada di rumah-rumah mereka.

Peristiwa seperti itu pernah dialami sendiri oleh Kiai As’ad ketika muda. Dia heran, ada kiai yang menjadi imam salat Jumat di tiga masjid dalam waktu yang bersamaan. Menurut kisah, Kiai As’ad bermakmun saat salat Jumat dengan imam Kiai Asadullah di Masjid Besuki. Bupati Situbondo, yang mendengar hal itu, membantah, dan sambil ngotot mengatakan bahwa Kiai Asadullah hari itu mengimammi salat Jumat di Situbondo, bahkan sang Bupati mengaku berdiri tepat di belakangnya. Penghulu Asembagus, yang kebetulan mendengar pertikaian itu, malah menimpali bahwa Asadullah menjadi imam salat di daerahnya.

Hal itu mengingatkan Kiai As’ad pada dawuh (perintah) Habib Hasan Musawa bahwa Kiai Asadullah telah mencapai maqam fana fi adz dzat, bisa menjadi tiga bahkan sepuluh dalam waktu bersamaan. Ilmu yang sama kelak kemudian hari juga dimiliki oleh Kiai As’ad

Kisah Shalat Kiai As'ad

Kiai Zainullah Jauhar, salah seorang khadam (pembantu) Kiai As’ad Syamsul Arifin menceritakan pengalamannya bersama Kiai As’ad: 

Selama bertahun-tahun mengabdi ke Kiai As’ad, saya memang jarang menyaksikan Kiai As’ad shalat. Suatu hari saya dan seorang teman saya diajak bepergian oleh Kiai As’ad. Saat adzan Maghrib, kami berhenti di sebuah masjid. Saya lihat Kiai As’ad pergi ke masjid, maka kami pun mengikuti langkahnya. Anehnya di dalam masjid, tiba-tiba saya tidak melihat Kiai As’ad. Sepertinya Kiai As’ad langsung lenyap. Kami bingung, apakah Kiai As’ad tidak shalat? Pikir saya. 

Kami putuskan untuk pergi lagi ke mobil. Di dalam mobil ternyata sudah ada Kiai As’ad. “Lhoh, Kalian kok ke sini, sudah selesai shalat ya? Ayo shalat dulu!” bentak Kiai As’ad. Maka kami pun langsung lari dan cepat-cepat shalat.

Sebenarnya saya mempunyai banyak pengalaman yang agak aneh dengan Kiai As’ad. Misalnya pada suatu malam di serambi masjid, Kiai As’ad, Ki Jum’at dan saya sedang berbincang-bincang. Lalu Kiai As’ad menyuruh saya mengambil rokok di rumahnya, maka saya pun berangkat.

Ketika saya di ndalem (kediaman) beliau, saya sangat kaget: “Lhoh, Kiai kok sudah berada di rumah. Kok secepat ini Kiai ke sini?” Ya, saya melihat Kiai As’ad lah yang membukakan pintu. 

“Siapa sih yang nyuruh kamu malam-malam begini mengambil rokok?” kata Kiai As’ad agak marah.

Saya tertegun beberapa saat, tak bisa ngomong. Kemudian saya menjawab dengan sedikit keras: “Yang menyuruh saya mengambil rokok Kiai As’ad!”.

“Yah, dulih kalak! (cepat ambil)”, kata Kiai As’ad. Setelah dipersilakan begitu, saya pun lalu masuk mengambil rokok di dalamnya.

Ketika sampai di masjid saya terheran, ternyata Kiai As’ad masih ada di masjid. Lalu saya berbisik ke Ki Jum’at: “Apakah tadi Kiai As’ad pulang atau tidak?”

Ki jum’at mengatakan bahwa Kiai As’ad dari tadi tidak beranjak dari tempat duduknya. Dalam hati saya bertanya-tanya: “Yang mana Kiai As’ad itu? Apakah sekarang yang duduk ini ataukah yang tadi di rumahnya? Kiai As’ad yang asli apakah yang pakai baju ini, ataukah tadi yang pakai kaos di rumah itu?”

KHR As'ad Syamsul Arifin Ternyata Seorang Wali Quthub

Tidak ada yang menyangka, ternyata Mursyid 13 thariqah dan ulama besar NU ini adalah seorang Wali Quthub (pimpinannya para wali). Berikut adalah kesaksian dari Kyai Mujib, putera KH. Ridwan Abdullah pencipta lambang NU.

Kyai As'ad laksana samudera tak bertepi. Beliau semakin didekati kian bertambah tidak kelihatan. Saya sangat berpengalaman. Bahkan saya pernah mencium seluruh tubuhnya, kecuali yang memang tidak boleh.

Setelah saya pijat selama hampir 3 jam, beliau tertidur sangat pulas. Saya ciumi sekujur tubuhnya, dari ujung kepala sampai telapak kaki. Saya tidak mendapatkan bau apa-apa. Sampai hati saya berkata, "beliau ini ada atau tidak ada? Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?"

Hampir 20 tahun saya hidup bersama beliau. Tambah dekat dan tambah lama, semakin tidak kelihatan, sulit ditebak. Saya baru diberi tahu dan mengerti, baru yakin siapa beliau ini, setelah saya sampai di Madinah tahun 1987 saat ditunjuk sebagai petugas haji oleh pemerintah. Sebelum berangkat haji, saya pun minta izin ke beliau.

"Pak Mujib, pergi haji Sampean ini sunnah tapi sampai (datang) ke Haramain tahun ini wajib (fardhu kifayah). Kalau Sampean tahun ini tidak datang ke tanah Haram, dosa Sampean besar," kata Kyai As'ad.

"Kenapa?" tanyaku.

"Jawabnya nanti di sana, bukan di sini," kata Kyai As'ad. "Namun Sampean jangan berkecil hati. Sampean saya pinjami ijazah. Setelah pulang, ijazah tersebut harus dikembalikan. Tidak boleh dipakai terus."

"Kalau saya sudah hafal bagaimana, Kyai?" tanyaku.

"Ya terserah, kalau Sampean jadi bajingan."

Sampai larut malam, saya tidak diperbolehkan pulang. Saya disuruh pulang besok pagi. Tapi ijazah itu, tidak 'dipinjamkan' sampai saya tertidur. Ternyata, dalam tidurku itu saya ditalqin ijazah. Lalu saya ditanya apakah masih punya wudhu. Saya jawab, masih punya. Baru kemudian saya ditalqin.

Menjelang Shubuh saya pun terbangun. Ternyata di bawah bantal ada secarik kertas yang ditulis oleh Kyai As'ad. Bunyinya persis seperti ijazah dalam tidur tadi. Mungkin beliau takut saya lupa.

Setelah saya pulang dari haji, beliau sudah ada di rumah saya ingin mengambil ijazah itu. "Saya tidak minta oleh-olehnya, Pak Mujib. Hanya saja ijazah itu harus dilembalikan," kata Kyai As'ad. Mungkin, ijazah itu takut disalahgunakan.

Alhamdulillah saya berhasil menunaikan ibadah haji. Ada beberapa peristiwa yang saya alami, yang hanya bisa saya ceritakan kepada Kyai As'ad. Semuanya saya ceritakan. Lalu saya bertanya: "Ada satu Kyai, yang menyangkut Panjenengan."

"Lho, sampean ke sana mau ngurus saya juga ya?" Tanya Kyai As'ad dengan nada marah.

Saya pun dimarahi oleh beliau. "Sampean ke sana dengan saya pinjami ijazah segala, jadi ngobyek saya juga ya? Kurang ajar Sampean ini!" katanya agak marah.

"Ya tidak begitu, Kyai. Masa saya sudah ikut Panjenengan hampir 20 tahun, kok tidak tahu siapa sebenarnya Panjenengan?" jawabku.

"Lha iya, Sampean ngobyek, ingin tahu saya. Apa hasilnya?"

"Saya disuruh membacakan ayat di hadapan Panjenengan!"

"Ayat apa?" Tanya Kyai As'ad.

"Ayat al-Quran. Dengan syarat, kalau Panjenengan mau. Kalau tidak mau ya tidak usah!" jawabku.

"Mana ada kyai yang tidak mau dibacakan al-Quran? Gila Sampean ini!" kata Kyai As'ad.

"Lha wong 'Bos' di sana bilang begitu, Kyai," kata saya melucu.

Ceritanya, sewaktu di tanah Haramain saya bertemu 'Bos'. Kata Bos: "Kalau Kyai As'ad tidak mengaku siapa sebenarnya beliau, bacakan ayat ini. Dengan catatan beliau harus mau."

"Kalau tidak mau, ya saya tidak akan pernah tahu siapa Kyai As'ad," jawabku. Karena itu saya pun mendesak 'Bos' itu.

Lalu 'Bos' berkata: "Ya... tidak maunya itu ngakunya!"

Saya lalu membacakan ayat yang dimaksud di hadapan Kyai As'ad:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا 

"Maka bagaimana jika Kami mendatangkan saksi dari setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka?" (QS. an-Nisa ayat 41).

Belum selesai saya membaca ayat tersebut, beliau menangis sejadi-jadinya, menjerit sampai bercucuran air mata. Inilah pengakuan yang tidak bisa dihindari. Saya tembak di tempat dengan resep 'Bos' tadi. Ya, jangan tanya siapa 'Bos' tersebut.

Saya tunggu. Beliau nangis hampir satu jam, itu pun masih terisak-isak seperti anak kecil. Lalu saya diajak salaman. Ketika saya mau mencium tangan beliau, tidak diperbolehkan. "Kali ini Sampean tidak saya izinkan mencium tangan saya," kata Kyai As'ad masih dalam keadaan terisak.

Saya pucat. "Wah, haji saya kali ini mardud (tertolak)," begitu dalam benak saya. Mengapa? Sebab saya telah membuka rahasia besar, yang di dunia ini orangnya hanya satu. Wali Quthub ini, di dunia hanya satu. Itu rahasianya saya buka, walaupun saya disuruh 'Bos'.

"Pak Mujib, apa Sampean tidak keberatan belas kasihan sama saya. Saya minta belas kasihan Sampean. Saya minta belas kasihan Sampean agar jangan sampai ngomong kepada orang lain selama saya masih hidup, siapa diri saya ini!" Pinta Kyai As'ad kepadaku. (Disadur dari buku berjudul "Kharisma Kyai As'ad di Mata Umat").

Maqam Fana

Mengetahui bahwa Kiai As’ad telah tertidur pulas, Kiai Mujib, yang memijit beliau, kemudian mencium badan sang kiai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Namun, dia tidak mencium bau apa-apa. “Beliau ini sebenarnya ada apa-apanya tidak sih?” pikir putra Kiai Ridwan, pencipta lambang NU itu. “Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?”

Tapi ternyata Kiai Mujib terkaget-laget. Tiba-tiba terdengar suara, “Pak Mujib, apa yang sampean cari. Apakah sampean mengira di dalam tubuh saya ini ada apa-apanya?”

Dari pengalaman itu Kiai Mujib tersadar, lebih baik melihat beliau dari jauh. Ajaib! Kalau dilihat dari jauh terlihat agak samar tapi tampak, tapi kalau didekati tidak kelihatan. Sulit ditebak, seperti apa sebenarnya tingkatan maqom manusia yang bernama As’ad Syamsul Arifin itu.

Pendidikan

Sebagai anak seorang ulama, sejak kecil Kiai As'ad sudah mendapat pendidikan agama yang diajarkan langsung oleh ayahnya. Setelah beranjak remaja (usia 13 tahun), ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh K.H. Itsbat Hasan pada tahun 1785. Di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As'ad diasuh oleh K.H. Abdul Majid dan K.H. Abdul Hamid, keturunan dari K.H. Itsbat.

Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar (1910-1913), saat usianya menginjak 16 tahun, ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana. Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.

Guru-guru Kiai As'ad ketika belajar di Mekah:

Pada tahun 1924, setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As'ad kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As'ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai.

Kiai As'ad mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH. Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH. Khazin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH. Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Di Pondok Tebuireng As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pondok yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap menyinggung pesantren Tebuireng, ia tak putus-putusnya menyebut Khadratusy Syekh Hasyim As’ary sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya.

Mengasuh pesantren

Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.

Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.

Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.

Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.

Wasiat kepada para santrinya

Kiai As'ad meninggal pada 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun. Namun meskipun Kiai As'ad telah meninggal, dawuh (nasihat) maupun perkataannya masih melekat dan diikuti oleh para santri dan pecintanya. Di antara wasiat (pesan) Kiai As'ad yang pernah ia sampaikan kepada para santrinya ialah:

Pada awal pendirian Nahdlatul Ulama (NU), Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah murid Kiai Cholil Bangkalan sekaligus keponakan dari Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), di mana Kiai Hasyim adalah murid kesayangan Kiai Cholil. Sudah mafhum diketahui bahwa Kiai Hasyim adalah pendiri jamiyah Nahdlatul Ulama atas restu guru beliau yang diceritakan oleh Kiai As’ad selaku penjembatan atau kurir perintah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim.

Kiai As’ad menceritakan pengalamannya selaku penjembatan atau kurir perintah itu sebagaimana dalam terjemahan transkrip pidato beliau berbahasa Madura seperti di bawah ini seperti dilansir situs Moslemforall.com, Selasa (3/3/2015) seperti berikut:

Yang akan saya sampaikan pada anda tidak bersifat nasihat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU? tentunya mubaligh-mubaligh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus cabang, MWC, ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini. Umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya’, pelopor-pelopor Rasulullah SAW ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat mazhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya’, para pelopor Rasulullah SAW masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahlusunah wal jamaah, syariat Islam dari Rasulullah SAW yang beraliran salah satu empat mazhab. Khususnya mazhab Syafi’i.

Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Mazhab-mazhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlusunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kiai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kiai Muntaha Jengkebuan menantu Kiai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia. Masing-masing ulama melaporkan:

“Bagaimana Kiai Muntaha? Tolong sampaikan kepada Kiai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadlratusy Syaikh. Tidak ada yang berani kalau bukan anda yang menyampaikannya.”

Kiai Muntaha berkata:

“Apa keperluannya?”

“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadis saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo? Hal ini kan sudah berjalan di Indonesia. Rupanya kelompok ini berkembang melalui kekuasaan pemerintah jajahan, Hindia Belanda. tolong disampaikan pada Kiai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kiai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kiai Kholil menyuruh Kiai Nasib:

“Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:

يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾

Artinya: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (at-Taubat: 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta’ala, maka kehendak-Nya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kiai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman.

“Saya puas sekarang,” kata Kiai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini, lanjutnya.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kiai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Hanya ulama tanah Jawa saja. Mereka bermusyawarah dan berdiskusi. Yang ikut termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), Kiai Sidogiri, Kiai Hasan almarhum, Genggong, dari barat Kiai Asnawi Kudus, ulama-ulama Jombang semua, dan Kiai Thohir.

Para kiai berkata… Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.

Sampai tahun 1923, ada kiai berpendapat: “Mendirikan jam’iyah (organisasi).”

Kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.”

Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi.

Kemudian ada satu ulama yang matur kepada kiai:

“Kiai saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini… (Kiai As’ad berkata: Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja)… :

“Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat):

“Islam Ahlisunnah wal Jamaah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Bawa ke Indonesia.”

Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlisunnah wal Jamaah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini. Kesimpulannya mari istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugaskan ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kiai Wahab (Chasbullah: Tambakberas Jombang) , apa Kiai Bisri (Syansuri Denanyar Jombang). Insyaallah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman (Wahid?) dan Gus Yusuf (?) supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan. Tahun 1924, Kiai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil:

“As’ad, ke sini kamu!” Asalnya, saya ini mengaji al-Quran di pagi hari. Karena saya pelat dan tidak bisa mengucapkan huruf ra’, saya dimarahi oleh kiai.

“Arrahman Arrahim… “

Kiai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”.

“Tidak saya sengaja kiai. Saya ini pelat (cadal).”

Kiai kemudian keluar… (Kiai Kholil melakukan sesuatu)… Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan kiai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi:

“Mana yang cadal itu? Sudah sembuh cadalnya?”.

“Sudah kiai”.

“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asyari Jombang. Tahu rumahnya?.”

“Tahu.”

“Kok tahu? Pernah mondok di sana?.”

“Tidak. Pernah sowan.”

“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”

“Ya, kiai.”

“Kamu punya uang?”

“Tidak punya, kiai.”

“Ini.”

Saya diberikan uang ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya mau berangkat, saya dipanggil lagi:

“Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”

“Ada, kiai.”

“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?.”

Saya dikasih lagi 1 ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang.

Kiai keluar:

“Ini (tongkat) kasihkan ya… (Kiai Kholil membaca surat Thaha: 17-21)…

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

Namanya masih muda, masih gagah–sekarang saja sudah sudah keriput–gagah pakai tongkat, dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.” Ada yang lain bilang: “Ini wali.”

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila. Ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu. Saya hanya disuruh kiai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok gila karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak usah diikuti karena bisa rusak semuanya. Yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh kiai. Saya terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kiai Hasyim bertanya):

“Siapa ini?”

“Saya, kiai”

“Anak mana?”

“Dari Madura, kiai”

“Siapa namanya?.”

“As’ad.”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin”

“Anaknya Maimunah kamu?”

“Ya, kiai”.

“Keponakanku kamu, nak”. “Ada apa?”.

“Begini kiai, saya disuruh kiai (Kholil) untuk mengantar tongkat”.

“Tongkat apa?”

“Ini, kiai”.

“Sebentar, sebentar…”

Ini orang yang sadar. Kiai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas).

“Bagaimana ceritanya?”

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat….

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”

“Alhamdulillah, nak. Saya ingin mendirikan jam’iyah Uuama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kiai Kholil kepada saya”

Inilah rencana mendirikan jam’iyah ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya jam’iyah ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang.

“Mau pulang kamu?”

“Ya, kiai”.

“Cukup uang sakunya?”

“Cukup, kiai”

“Saya cukup didoakan saja, kiai”

“Ya, mari… Haturkan sama kiai, bahwa rencana saya untuk mendirikan jam’iyah ulama akan diteruskan”.

Inilah asalnya jam’iyatul ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kiai Kholil.

“As’ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”

“Tidak, kiai”.

“Hasyim Asy’ari?”

“Ya, kiai”

“Di mana rumahnya?”.

“Tebuireng”.

“Dari mana asalnya?”

“Dari Keras (Kediri). Putranya Kiai Asyari Keras”.

“Ya, benar. Di mana Keras?”.

“Di baratnya Seblak”.

“Ya, kok tahu kamu?”

“Ya, kiai”.

“Ini tasbih hantarkan”

“Ya, kiai”.

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari kiai keluar dari langgar (mushalla/surau).

“Ke sini, makan dulu!”

“Tidak, kiai. Sudah minum wedang dan jajan”.

“Dari mana kamu dapat?”

“Saya beli di jalan, kiai”

“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”

“Ya, kiai”.

Saya makan di jalan dimarahi. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya:

“Cukup itu?”

“Cukup, kiai”

“Tidak!”

Diberi lagi oleh kiai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi.

Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya:

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar”.

Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir …

“Ini”

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya.

“Kok leher?”

“Ya, kiai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh”.

“Ya, kalau begitu”.

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu.

“Ini orang yang memegang tongkat itu?”

“Wah.. Hadza majnun”.

Ada yang bilang “wali”, ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu kiai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya kiai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang minta “karcis! karcis!” Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya kiai. Jadi auliya’ itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kiai Hasyim tanya:

“Apa itu?”

“Saya mengantarkan tasbih”

“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”

“Ini, Kiai” (dengan menjulurkan leher).

“Lho?”

“Ini, kiai. Tasbih ini dikalungkan oleh kiai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su’ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik anda”.

Kemudian diambil oleh kiai.

“Apa kata kiai?”.

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar”. Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur”. Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kiai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan jamiyatul Ulama. Ini sudah dibuat. Organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kiai Dahlan dari Nganjuk. Beliau juga yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada gubernur jenderal.

Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan…

Berjuang Mengawal Negeri

Perjuangan Kiai As’ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.

Sosok Kiai As'ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi bagi santri masa kini. Beliau memiliki keilmuan, kemampuan dan visi perjuangan yang lengkap. Kiai As'ad memiliki kedalaman ilmu agama yang tidak diragukan, mengusai ilmu militer dan bela diri, serta berhasil mengomando para bandit agar membantu perjuangan santri dalam mengawal kemerdekaan Indonesia.

Dalam catatan Syamsul A Hasan (2003), salah satu kecerdikan Kiai As'ad adalah kemampuannya dalam mengorganisir bajingan-bajingan, brandal dan jawara yang sebagian besar berasal dari kawasan Tapal Kuda. Para bandit dan jawara dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang dan Pasuruan dikumpulkan untuk diajak berjuang melawan penjajah Belanda. Barisan bandit ini, kemudian dihimpun sebagai dengan satu nama: "Pelopor". Barisan Pelopor ini, sering berpakaian serba hitam, mulai dari baju, celana, hingga tutup kepala. Mereka menggunakan senjata celurit, rotan dan keris. Uniknya, para jawara yang berada di barisan Pelopor ini, tunduk dan setia pada komando Kiai As'ad Syamsul Arifin.

Kiai As'ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Pasukan Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pasukan lain berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung, untuk menyerang pasukan Belanda, lalu mengamankan diri. Mereka menggunakan taktik: "serang dan lari"! Strategi ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam pelbagai laskar, hingga Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, pada Desember 1949.

Kiai As'ad mengutus beberapa anggota pasukan Pelopor dan Sabilillah untuk mengambil senjata milik pasukan Belanda. Di kawasan Situbondo, tugas ini dikomando oleh Mawie dan Hamid, barisan Sabilillah. Menariknya, mereka merekrut para brandal yang siap berjuang untuk negara Indonesia. Pada malam hari, para brandal dan preman ini, mengambil senjata-senjata milik Belanda di beberapa Pabrik Gula (PG) kawasan Situbondo. Pada masa penjajahan, Pabrik Gula memegang peran vital sebagai lumbung ekonomi Belanda, hingga mendapat akses langsung ke birokrasi pusat. Di PG, para pekerja keamanan diberi fasilitas senjata. Setelah senjata terkumpul, kemudian dibagikan kepada anggota Pelopor, Sabilillah, Hizbullah, dan pejuang-pejuang lainnya.

Jaringan pejuang di kawasan Bondowoso dan Jember juga melakukan hal yang sama, merebut senjata dari pasukan Belanda. Para anggota Pelopor mengirim senjata ke markas pejuang Kiai As'ad, dengan melewati hutan belantara. Strategi ini, agar misi ini tidak diketahui oleh pasukan Belanda. Setelah sampai di Sukorejo, senjata-senjata ini dikumpulkan, disimpan di bawah lumbung padi, dipendam di masjid, atau ditanam di kuburan (Hasan, 2003: 131-134).

Salah satu motivasi dan petuah penting Kiai As'ad tentang perjuangan adalah bagaimana niat menjadi utama: "Perang itu harus niat menegakkan agama dan 'arebbuk negere (merebut negara), jangan hanya 'arebbuk negere! Kalau hanya 'arebbuk negere, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!" (Rahman, 2015: 138).

Pemikiran, strategi dan teladan yang diwariskan oleh Kiai As'ad Syamsul Arifin harus menjadi semangat bagi santri masa kini. Apa yang bisa dipetik dari kisah Kiai As'ad? Bahwa santri harus tetap menjaga jalur pengetahuan (sanad) dengan para kiai, mendalami ilmu-ilmu agama yang menjadi benteng kokohnya Islam, merawat Nahdlatul Ulama, serta membela negeri ini kelompok yang ingin merusaknya. Semangat KH. Raden As'ad Syamsul Arifin dapat menjadi pedoman bagi santri untuk menjaga negeri, mengawal kesatuan bangsa ini[].Ketegasan Kiai As’ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai As’ad.

Menerima Pancasila

Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima Pancasila.

Gagasan besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan  KH Ali Ma’shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As’ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau dibunuh.

Itu semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.

KH As'ad adalah penyampai pesan KH Kholil Bangkalan untuk KH Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama. Sampai akhir hayatnya pada 4 Agustus 1990, KH As'ad menjabat sebagai Dewan Penasihat PB NU.