Mendidik Manusia Mencintai Rasul-Nya
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
MENDIDIK MANUSIA MENCINTAI RASUL-NYA
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
قٌلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“31. Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS Ali’Imrân [3]: 31)
Menurut keterangan dari al-Kalbî yang bersumber dari Abî Shalih dan selanjutnya dari Ibn Abbas, ayat 31 tersebut di atas turun berkenaan dengan klaim dari kalangan Yahudi yang mengaku-aku dan membangga-banggakan diri sebagai kekasih Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. dan orang-orang yang mengasihi Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[1] Merekalah para kekasih Allah dan yang paling mencintai Allah, tidak demikian adanya dengan yang selain mereka. Demikian anggapan mereka. Namun klaim tersebut terbentur dengan satu kenyataan bahwa ternyata mencintai Allah Subhânahu wa Ta’âlâ itu hanya mungkin dengan jalan mengikuti jalan utusan-Nya yang terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. Artinya, jika mereka memang mencintai Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebagaimana pengakuan mereka maka ikutilah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Namun jika kalian menolak maka cinta kalian itu tentulah cinta yang tidak benar. Bagaimana mungkin kalian mendapatkan kebenaran jika tidak mengikuti orang yang benar yang membawa kebenaran yang diturunkan oleh Yang Maha Benar dan dengan cara yang benar pula? Kalau kalian memang beriman kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ maka dengarkanlah bagaimana firman Allah tentang Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah dia menyatakan sesuatu berdasarkan kemauan dirinya melainkan berdasar wahyu yang diwahyukan padanya”.[2]
Mentaati Rasul Allah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah syarat mendapatkan cinta dan ampunan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ Yang Maha Pengampun (ghafûr) dan Yang Maha Penyayang (rahîm). Bagaimana cara seseorang mentaati Rasulullah Muhammad s.a.w.? Tidak lain adalah mengikuti jalan-jalan yang telah beliau tetapkan dan beliau tempuh (ittibâ’ al-sunnah). Jalan itu sesuai dengan ayat 31 dari surat Ali Imran seperti tersebut di atas dan Allah tegaskan kembali dengan memberi penjelasan, “Apapun yang dibawanya untuk kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tahanlah untuk tidak melakukannya!”.[3] Ketaatan kepada Rasulullah Muhammad dengan cara ittibâ’ itu hendaknya diiringi dengan keimanan bahwa apapun yang beliau ajarkan dan lakukan adalah contoh yang paling baik.[4] Sedangkan taat kepada Rasulullah adalah bukti seseorang taat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.[5]
Di ayat 31 tersebut jelas didapatkan satu keterangan bahwa ketaatan seseorang kepada Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah jalan atau sebab yang menyebabkan seseorang mendapatkan cinta dan ampunan Allah. “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Dengan mengikuti Rasulullah s.a.w. seseorang menjadi tahu jalan mana saja yang menyebabkan dirinya mendapatkan cinta dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Dengan mengikutinya seseorang tahu jalan yang menimbulkan kemurkaan-Nya. Dengan mengikutinya pula seseorang yang berdosa dapat mengetahui cara menghapus dosanya.
Dari ayat tersebut di atas setiap Mu’min hendaknya mendapat pelajaran berharga dari pengalaman hidup orang-orang Yahudi bahwa mencintai Allah dan rasul-Nya ternyata tidak cukup hanya dengan perkataan saja. Namun lebih dari itu adalah dengan bukti nyata berupa tindakan mentaati beliau. Itulah iman yang benar. Iman yang benar-benar tertanam dan menghunjam dalam hati, bukan sekedar klaim-klaim semata. “Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, “Kami telah beriman!”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum kalian. Maka Allah mengetahui orang-orang yang benar imannya dan Allah mengetahui orang-orang yang berdusta”.[6] Ayat ini, menurut Ibn Katsir sebagaimana diungkapkan dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, adalah ayat yang menjadi penengah atau pemutus perkara (hâkimah) atas orang-orang yang hidup pada masa kenabian Nabi Muhammad dan menganggap diri mereka mencintai Allah. Siapapun yang menganggap dirinya mencintai Allah, namun tidak berada di jalan yang telah ditetapkan oleh Nabi Allah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam (al-tharîqah al-muhammadiyyah) tersebut maka dia termasuk orang yang berdusta atas cintanya sampai dia mau bersungguh-sungguh mengikuti syariat dan agama Nabi pada semua perkataan dan perbuatannya.[7]
Kalau ada orang yang meragukan kredibilitas beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya dia mengerti bahwa akhlaq beliau s.a.w. adalah sedemikian mulia karena bersumber dari al-Qur’an, sebagaimana keterangan dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhu. Pujian terhadap beliau juga datang langsung dari Allah Subhânahu wa Ta’âlâ., “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas pondasi akhlaq yang agung”.[8] Meskipun demikian beliau selalu berdoa kepada Allah agar selalu dikaruniai budi pekerti yang luhur.[9] Keluhuran pribadi itu tampak dalam sikap kesehariannya baik sebagai pemimpin umat maupun sahabat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Beliau orang yang jujur dan selalu berpesan tentang pentingnya arti kejujuran, “Senantiasalah bersikap jujur karena sesunggunya kejujuran itu mengarahkan seseorang kepada kebajikan. Dan sesungguhnya kebajikan itu mengarahkan seseorang kepada jalan menuju surga. Dan seseorang yang senantiasa memelihara kejujuran dan konsisten atas kejujuran itu akan dicatat sebagai orang yang shiddîq di sisi Allah. Dan jauhilah kedustaan karena sesungguhnya kedustaan itu mengarahkan kepada kecurangan. Dan kecurangan itu akan mengarahkan seseorang kepada jalan menuju neraka. Dan seseorang yang berdusta dan selalu menetapi kedustaan itu maka dia akan tertulis sebagai seorang pendusta di sisi Allah”.[10]
Kepemimpinan seorang Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga sanggup menyita banyak perhatian sarjana Barat untuk sekedar mengulas ataupun menuliskannya dengan serius dalam berbagai tendensi dan motivasi. Ada yang karena kecintaannya dan ada pula karena kebenciannya. Biasalah dalam hidup. Karen Armstrong, Martin Lings, Annemaria Schimmel bolehlah jadi contoh sebagai kalangan sarjana yang menulis biografi Muhammad atas dasar kecintaan mereka padanya.
Apalagi? Masih juga ragu? Carilah, adakah literatur-literatur yang berani mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembohong? Jika ada yang berani menyatakan hal tersebut maka dia harus memberikan fakta sejarah yang valid, dalam hal apa kebohongan itu terjadi? Jadi tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengikuti jalan beliau. Sudah semestinya setiap Muslim menjadikannya sebagai suri tauladan dalam kehidupan dan mencintainya melebihi cintanya pada kedua orangtuanya, anaknya dan manusia semuanya. “Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian yakni bagi setiap orang yang mengharapkan rahmat Allah dan datangnya hari akhir serta banyak mengingat Allah.[11] Sudah seharusnya pula setiap manusia berakhlaq dengan akhlaq beliau dan melazimi sunnah qauliah dan ‘amaliah beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mencintai dan mengikuti Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam maka ampunan dan kasih sayang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ akan terlimpah atas kita semua.
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Marâji’
Al-Ashfahani, Al-Raghib. 2004. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Baidhawi, Nashiruddin. 2003. Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Biqa’i, Imam. 2005. Tafsir Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayati wa al-Suwar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Harari, Muhammad al-Amin. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon
Al-Nasafi, Abdullah. 2001. Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Nisaburi, Imam al-Qusyairi. 2000. Tafsîr Lathâ’if al-Isyârât. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Qasimi, Jamaluddin. TT. Mau’izhah al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din. Maktabah al-Hidayah: Surabaya
Al-Sa’di, Abdurrahman ibn Nashir. 2003. Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dar Ibn Hazm: Beirut, Lebanon
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Shafwah al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim. Dar al-Kutub al-Islamiyyah: Jakarta
Al-Syanqithy, Muhammad al-Amin. 2003. Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Syaukani, Muhammad. 2003. Tafsir Fath al-Qadhir. Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. 2010. Al-Kanz al-Tatsmin fi Tafsir Ibn Utsaimin. Kitab Nasyirun: Beirut, Lebanon
Al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Al-Zamakhsyari, Mahmud ibn Umar ibn Muhammad. 2006. Tafsir al-Kassyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Bugha, Mushthafa & Muhyiddin Mistu. 2007. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah. Dar Ibn Katsir: Damaskus: Lebanon
Katsir, Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn. 1997. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon
Ridha, Muhammad Rasyid. 2005. Tafsir al-Manar. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon
Thabathaba’I, Muhammad Husein al-. 1997. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at: Beirut, Lebanon
[1] Ali ibn Ahmad al-Wahidi. 2004. Asbab Nuzul al-Qur’an. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Lebanon, h. 106. Muhammad al-Amin al-Harari menambahkan bahwa ayat tersebut juga turun karena adanya klaim serupa dari kalangan Nasrani Najran dan Kafir Quraisy. Baca Muhammad al-Amin al-Harari. 2010. Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Raihan fi Rawaby ‘Ulum al-Qur’an. Dar Thauq al-Najah: Beirut, Lebanon, jilid 4, h. 249
[2] Q.S. al-Najm [53]: 3-4
[3] Q.S. al-Hasyr [59]: 7
[4] Mushthafa Bugha & Muhyiddin Mistu. 2007. Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah. Dar Ibn Katsir: Damaskus: Lebanon, h. 43
[5] Q.S. al-Nisa’ [4]: 80
[6] Q.S. al-Ankabut [29]: 2-3
[7] Abu al-Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir. 1997. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Dar al-Fikr: Beirut, Lebanon, Jilid 1, h. 393
[8] Q.S. al-Qalam [68]: 4
[9]فكان يقول فى دعائه: (( اللهمّ حسّن خَلْقِي وخُلُقِي)) ويقول: (( اللهمّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الأخْلاقِ)) , lihat Muhammad Jamaluddin al-Qasimi. TT. Mau’idzah al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum al-Din. Maktabah al-Hidayah: Surabaya, h. 186
[10]عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن الرجل ليصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا. وإياكم بالكذب فإن الكذب يهدي إلى النار وإن الرجل ليكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
[11] Q.S. al-Ahzab [33]: 21