Kriteria dan Adab Guru Mursyid
Menjadi guru tarekat (mursyid) tidak semudah seperti menjadi guru pada umumnya. Seorang mursyid harus memiliki kualifikasi khusus. Hadratusy Syekh Hasyim Asy`ari (Pendiri tokoh NU) menetapkan syarat-syarat guru tarekat seperti ungkapan di bawah ini :
ومن شرائط الشيخ ان يكون عالما بالاوامر الشرعية عاملا بهاواقفا على اداب الطريقة سالكا فيهاكاملا فى عرفان الحقيقة وواصلا اليهاومحرصا عن جميع ذلك
Artinya : “Diantara syarat guru tarekat adalah alim atas perintah-perintah syara`, mengamalkannya, tegak di atas adab-adab tarekat serta berjalan di dalamnya, sempurna pengetahuannya tentang hakekat dan sampai pada hakekat itu serta ikhlas dalam semua hal tersebut”.
Hadratuy Syekh juga mengutip ungkapan Imam Al-Junaidi ra. Melalui ungkapannya
علمناهذا مقيد بالكتاب والسنة فمن لم يقرأ القران ولم يكتب الحديث ولم يجالس العلماء لايقتدى به فى هذا لشأن
Artinya : “Ilmu kita ini (tarekat) terikat oleh Al-Qur`an dan Assunnah. Siapa saja yang belum belajar Al-Qur`an dan As-Sunnahdan tidak pula pernah duduk di depan para Ulama (untuk menuntut ilmu) orang tersebut tidak boleh diikuti di dalam tingkah laku tarekat ini”.
Syekh Ahmad at-Tajibi dalam kitab Mabaahisul Ashliyah yang teruntai dalam nadhamnya :
عار لمن لم يرض العلوما – ويعلم الموجود والمعدوما
ولم يكن فى بدئه فقيها - وسائر الاحكام ما يدريها
والحد والاصول واللسان – والذكر والحدود والبرهانا
ولم يكن احكام علم الحال – ولا درى مراتب الرجال
وعلم السر النسخ والمنسوخ – ان يتعاطى رتبة الشيوخ
Artinya : Buruk sekali bagi orang yang belum belajar ilmu-ilmu Belum mengetahui yang maujud dan yang ma`dum. Tidak pula mengerti hukum Islam. Tidak pula mengetahui seluruh hukum-hukum. Juga tidak tentang ketetapan, ilmu ushuluddin dan nahwu. Demikian pula tidak mengetahui ilmu Al-Qur`an, pidana dan burhan. Dan tidak pula mendayakan ilmul hal. Dan juga tidak mengerti tentang martabat para guru. Serta tidak mengetahui rahasia ilmu nasakh dan mansukh. Sungguh buruk sekali orang demikian itu apabila ia Menduduki martabat para syekh"
Syekh Hasyim Asy`ari mengatakan betapa buruk gambaran seseorang yang mengaku menjadi guru tarekat, sementara belum mendalami semua ilmu sebagaimana terebut di atas. Beliau menyarankan kepada kita, jika belum menemukan guru seperti kriteria yang telah disebutkan pada syarat diatas, maka seseorang boleh mencukupkan diri dengan “mendalami Sullam Taufiq, Safinah, Bidayah dan lainnya.
Idealnya seorang guru mursyid atau syaikh dalam thareqat memenuhi kemampuan-kemampuan dan harapan di mata muridnya sebagai berikut :
1. Syaikh al Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam thareqat yang iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum tuhan, sehingga dari syaikh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
2. Syaikh al Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya diikuti
3. Syaikh at Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada mereka.
4. Syaikh al Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung, lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
5. Syaikh at Talqin, adalah guru keruhanian yang mengajar setiap individu anggota thareqat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu harus diulang-ulang.
6. Syaikh at Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para pemula dari pengamal thareqat.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Seorang mursyid memiliki tanggung jawab yang berat. Oleh karenanya seorang mursyid itu harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab sebagai berikut;
Alim dan ahli di dalam memberikan irsyadat (tuntunan-tuntunan) kepada para muridnya dalam masalah fiqih/syari'ah dan masalah tauhid/'aqidah dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala prasangka dan keraguan dari hati para muridnya mengenai persoalan tersebut.
Arif dengan segala sifat kesempurnaan hati, segala etika, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya dan juga mengetahui cara menyembuhkannya kembali serta memperbaiki seperti semula.
Bersifat belas kasih terhadap semua orang Islam, terutama mereka yang menjadi muridnya. Apabila melihat ada diantara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya, sehingga belum bisa menghindarkan diri dari kebiasaan-kebiasaannya yang kurang baik, maka dia bersikap sabar, memperbanyak maaf dan tidak bosan-bosan mengulang-ulang nasehatnya serta tidak tergesa-gesa memutuskan hubungan murid yang seperti itu dari silsilah thariqahnya. Tetapi hendaknya dia tetap dengan penuh lemah lembut selalu bersedia memberikan bimbingan-bimbingannya kepada para murid asuhannya.
Pandai menyimpan rahasia para muridnya, tidak membuka aib mereka terlebih di depan banyak orang. Tetapi sebaliknya tetap mengawasinya dengan pandangan mata kesufiannya yang tajam serta memperbaikinya dengan caranya yang bijaksana.
Tidak menyalah-gunakan amanah para muridnya, tidak menggunakan harta benda mereka dalam bentuk dan kesempatan apapun dan juga tidak menginginkan apa yang ada pada mereka.
Tidak sekali-kali menyuruh para muridnya dengan suatu perbuatan kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas dilakukan oleh dirinya sendiri. Demikian pula dalam hal melakukan ibadah yang sunnat atau menjauhi perbuatan yang makruh. Pendeknya dalam segala macam keadaan dan perasaan, dirinyalah yang harus menjadi contoh lebih dahulu, baru kemudian disampaikan suatu perintah atau larangan kepada para muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, maka lebih baik hendaknya dia berdiam saja.
Tidak terlalu banyak bergaul, apalagi bercengkerama dan bersendau gurau dengan para muridnya. Dia hanya bergaul dengan mereka sekali dalam sehari semalam dalam kesempatan dzikir dan wirid, sekaligus menyampaikan bimbingan-bimbingannya berkaitan dengan masalah syari'ah dan thariqah dengan merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi pegangan alirannya. Sehingga dengan demikian dia dapat menghindarkan segala keraguan dan dapat membimbing para muridnya dalam beribadah kepada Allah SWT dengan amalan-amalan yang sah.
Mengusahakan agar segala perkataannya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama kata-kata yang pendapatnya itu akan memberi dampak pada batiniyah para muridnya.
Bijaksana, lapang dada dan ikhlas. Tidak memerintahkan kepada para muridnya sesuatu yang menurutnya mereka tidak sanggup untuk itu, dan senantiasa bermurah hati di dalam memberikan pengajaran kepada mereka.
Apabila dia melihat seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dengannya lalu menampakkan ketinggian hatinya, maka hendaknya segera dia perintahkan si murid tersebut pergiberkholwat (menyendiri) ke suatu tempat yang tidak terlalu jauh clan juga tidak terlalu dekat dengan dirinya.
Apabila dia melihat kehormatan dirinya dirasa berkurang pada perasaan dan hati para muridnya, hendaklah dia segera mengambil inisiatif yang bijaksana untuk mencegah hal tersebut. Karena berkurangnya rasa percaya clan sikap hormat seorang murid kepada guru mursyidnya adalah merupakan suatu keburukan yang membahayakan bagi pribadi si murid.
Memberikan petunjuk-petunjuk tertentu dan pada kesempatan-kesempatan tertentu kepada para muridnya untuk memperbaiki ahwal (perilaku dan keadaan) mereka.
Memberikan perhatian yang khusus pada kebanggaan rohani yang sewaktu-waku dapat timbul pada diri para muridnya yang masih dalam bimbingan clan pengajaran. Kadang ada seorang murid yang menceritakan suatu ru'yah (mimpi) yang dilihatnya, mukasyafah (tersingkapnya hal-hal gaib) yang terbuka baginya dan musyahadah (menyaksikan hal-hal gaib) yang dialaminya, yang didalam semua itu terdapat hal-hal yang istimewa, maka hendaklah dia berdiam diri dan tidak banyak menanggapi hal tersebut. Sebaliknya, dia berikan kepada murid tersebut tambahan amalan yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar. Sebab jika dia menanggapinya, dikhawatirkan justru akan terjadi sesuatu yang dapat merusakkan jiwa dan hati si murid. Karena memang seorang murid thariqah bisa sewaktu-waktu mengalami peningkatan rohani, tetapi sering terjadi hal-hal yang tidak benar menurunkan martabatnya kembali.
Melarang para muridnya banyak berbicara dengan kawan-kawannya kecuali dalam hal-hal yang bermanfaat, terutama melarang mereka membicarakan tentang karomah-karomah atau wirid-wirid yang istimewa. Karena jika dia membiarkan hal tersebut, lambat laun si murid bisa menjadi rusak karenanya, sebab ia akan bertambah takabbur dan berbesar diri terhadap yang lainnya.
Menyediakan tempat ber-kholwat yang khusus bagi para muridnya secara perorangan, yang tidak setiap orang boleh masuk kecuali untuk keperluan khusus. Begitupun dirinya, juga menyiapkan tempatkholwat khusus untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya.
Menjaga agar para muridnya tidak melihat segala gerak geriknya, tidak melihat cara tidurnya, cara makan minumnya dan lain sebagainya. Karena yang demikian itu, sewaktu-waktu bisa saja akan justru mengurangi penghormatan si murid kepadanya.
Mencegah para murid memperbanyak makan, karena banyak makan itu bisa memperlambat tercapainya latihan-latihan rohani yang dia berikan kepada mereka. Dan kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.
Melarang para muridnya berhubungan aktif dengan mursyid thariqah lain, karena yang demikian itu acapkali memberikan akibat yang kurang baik bagi mereka. Tetapi apabila dia melihat bahwa hal itu tidak akan mengurangi kecintaan para muridnya kepada dirinya dan tidak akan mengguncangkan pendirian mereka, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
Melarang para muridnya terlalu sering berhubungan dengan penguasa dan pejabat tanpa adanya keperluan tertentu, karena hal itu akan dapat membangkitkan dan membesarkan nafsu duniawi mereka serta membuat lupa bahwa mereka tengah dididik berjalan menggapai kebahagiaan akherat yang hakiki.
Menggunakan kata-kata yang lemah lembut serta menawan hati dan fikiran dalam khutbah-khutbahnya. Jangan sekali-sekali khutbahnya berisi kecaman dan ancaman, karena hal itu akan dapat membuat jiwa para muridnya jauh darinya.
Apabila dia berada di tengah-tengah para muridnya, hendaklah dia duduk dengan tenang dan sabar, tidak banyak menoleh kanan kiri, tidak mengantuk apalagi tidur, tidak menjulurkan kaki di tengah-tengah pertemuan, tidak memejamkan mata, tidak merendahkan suaranya ketika berbicara clan tidak melakukan hal-hal kurang etis lainnya. Karena semua yang dilakukannya itu akan diikuti oleh para muridnya yang menganggapnya sebagai contoh-contoh yang mesti mereka tiru.
Tidak memalingkan muka ketika ada seorang atau beberapa orang muridnya menemuinya. Ketika akan menoleh ke arah lain, dipanggilnya muridnya itu meskipun tidak ada sesuatu yang akan dipertanyakan. Dan bila mendatangi para muridnya, dia tetap menjaga etika dan sopan santun yang sebaik-baiknya.
Suka menanyakan muridnya yang tidak hadir pada pengajarannya dan mencari tahu sebabnya. Apabila murid itu ternyata sakit, dia segera berusaha menengoknya. Dan kalau ternyata sedang ada uzur, maka dia kirimkan salam kepadanya.