Tradisi Islami

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

Allah SWT menciptakan manusia dalam kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam. Namun demikian manusia dibekali software yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat terhormat dan diharapkan bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka mampu melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain. Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonsiaan.

Ketika masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu ramah menyapa umat. Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi. Kelihaian Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam, menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya menjadi penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan berbondong-bondong menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Walisongo. Mereka hadir bukan karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’ diikuti.

Itu hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang mampu berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi dengan tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi meningkatkan kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di tengah masyarakat, dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin.

    

Islam Mengakomodasi Adat

Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dab hal itu –secara prinsip- tidak terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW.

Adat atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Dalam Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'” (Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariah).

Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: Setiap sesuatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim)

Ia juga berpesan: Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan beberapa hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya. Setiap suatu yang umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Dalam Hasiyah as-Sanady disebutkan, “Bahwa sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”. (Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368)

Imam Syafi’i memberikan batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji. Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam Islam.

Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya Manakip As Syafi’i lil Baihaqi:  Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama. Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari, karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330)

H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA

Rais Syuriyah PCNU Mesir

WAHABI: “Mayoritas umat Islam Indonesia itu ahli bid’ah, karena mereka masih kuat memegang tradisi-tradisi yang berkembang dari nenek moyang mereka sebelumnya. Sedangkan Islam itu jelas anti tradisi. Islam itu hanya al-Qur’an dan hadits saja.’

SUNNI: “Pernyataan Anda berangkat dari konsep yang keliru, yakni beranggapan bahwa Islam anti tradisi. Padahal tidak demikian. Dalam pernyataan Anda ada dua kesalahan fatal. Pertama, menganggap dasar Islam hanya al-Qur’an dan hadits. Padahal sejak masa ulama salaf, dasar agama itu ada empat, al-Qur’an, hadits, ijma’ dan Qiyas. Kedua, Anda berasumsi bahwa Islam anti tradisi. Padahal tidak demikian. Tradisi itu ada yang dapat diterima oleh Islam dan ada yang tidak dapat diterima. Cara berpikir Anda sangat picik dan sempit.”

WAHABI: “Mana dalil Anda bahwa Islam dapat menerima tradisi?”

SUNNI: “Anda harus memahami, bahwa Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Tapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tradisi. Bahkan ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian dari syari’ah Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).

1. Tradisi menurut al-Qur’an.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:

وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ

“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).

Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas, sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:

(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل ُّخَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا الشَّرْعُ.

“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).

Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata:

(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) أَيْ بِكُلِّ مَا عَرَفَهُ الشَّرْعُ وَأَجَازَهُ، فَإِنَّهُ مِنَ الْعَفْوِ سُهُوْلَةً وَشَرَفاً

“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).

Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata:

وَمِنْ أَخْلاَقِهِمْ أَي السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ تَوَقُّفُهْم عَنْ كُلِّ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ حَتَّى يَعْرِفُوْا مِيْزَانَهُ عَلىَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوِ الْعُرْفِ، لأَنَّ الْعُرْفَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّرِيْعَةِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)

“Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: ““Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).

Paparan di aras memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.”

WAHABI: “Owh, ternyata ajaran al-Qur’an tidak menolak tradisi dan budaya, selama tidak bertentangan dengan agama. Sekarang, apakah ada dalil hadits yang menguatkan paparan di atas?”

SUNNI: “Jelas ada. Islam itu datang tidak untuk menghapus tradisi, tetapi dalam rangkamemperbaiki dan menyempurnakan tradisi. Dalam hadits diterangkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد ، وابن سعد والحاكم وصححه على شرط مسلم. والبيهقى و الديلمى.

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim (2/670 [4221]).

Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.

“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).

Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka. Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري

“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).

Dalam riwayat lain disebutkan:

أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة

“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).

Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.”

Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud yang berkata:

قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”

WAHABI: “Apa yang Anda paparkan itu kan konsep umum. Kami masih harus menggugat, apakah konsep tersebut dipraktekkan oleh para ulama sejak generasi salaf?”

SUNNI: “Anda ini bagaimana, diberi konsep, malah tanya penerapannya di kalangan ulama. Ya pasti hal tersebut dipraktekkan oleh para ulama.”

WAHABI: “Mana buktinya bahwa para ulama salaf menerapkan konsep yang Anda paparkan tersebut.”

SUNNI: “Anda ini lucu, masak ulama salaf tidak mengamalkan konsep yang sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits? Ya jelas banyak contohnya. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو داود والبيهقي

Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Perhatikan dalam riwayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhuma menunaikan shalat di Mina (ketika menunaikan ibadah haji, dengan di-qashar) dua raka’at. Kemudian Khalifah Utsman tidak melakukan qashar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mencela Khalifah Utsman karena tidak melakukaan qashar shalat sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya. Meski begitu, karena Khalifah Utsman dan umat Islam pada saat itu tidak melakukajn qashar, Ibnu Mas’ud juga tidak melakukan qashar, demi menjaga kebersamaan dengan jama’ah, karena berbeda dengan jama’ah suatu keburukan. Lalu Anda bandingkan dengan sikap sebagian ormas Wahabi di Indonesia, setiap awal Ramadhan dan Syawal selalu berbeda dengan pemerintah dan mayoritas umat Islam dalam menetapkan waktu ibadah. Kaum Wahabi juga demikian, senang berbeda dengan umat Islam di sekitarnya, karena tidak tahu bahwa berbeda dengan mayoritas umat Islam itu suatu keburukan dalam kacamata ulama salaf.

Dalam kitab-kitab sejarah disebutkan:

قال محمد بن رافع : ” كنت مع أحمد بن حنبل وإسحاق عند عبدالرزاق فجاءنا يوم الفطر ، فخرجنا مع عبدالرزاق إلى المصلى ومعنا ناس كثير ، فلما رجعنا من المصلى دعانا عبدالرزاق إلى الغداء ، فقال عبدالرزاق لأحمد وإسحاق : رأيت اليوم منكما عجباً ، لمْ تكبّرا !قال أحمد وإسحاق : يا أبابكر ، نحن كنا ننظر إليك : هل تكبّر فنكبّر ؟ فلما رأيناك لم تكبّر أمسكنا .قال : أنا كنت أنظر إليكما : هل تكبران فأكبّر ”

“Muhammad bin Rafi’ berkata: “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu kami memasuki hari raya Idul Fitri. Maka kami berangkan ke mushalla bersama Abdurrazzaq dan banyak orang. Setelah kami pulang dari mushalla, Abdurrazzaq mengajak kami sarapan. Lalu Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari ini saya melihat keaneha pada kalian berdua. Mengapa kalin tidak membaca takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai Abu Bakar, kami melihat engkau apakah engkau membaca takbir, sehingga kami juga bertakbir. Setelah kami melihat engkat tidak bertakbir, maka kami pun diam.” Abdurrazzaq berkata: “Justru aku melihat kalian berdua, apakah kalian bertakbir, sehingga aku akan bertakbir juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, juz 36 hlm 175; dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566 ).

Perhatikan dalam riwayat di atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih tidak bertakbir ketika berangkat ke mushalla pada hari raya idul fitri, karena melihat guru mereka, Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani tidak bertakbir. Sementara Imam Abdurrazzaq tidak bertakbir, karena melihat kedua muridnya yang sangat alim tidak bertakbir. Suatu budi pekerti yang sangat bagus, meninggalkan amalan sunnah, karena khawatir menyinggung perasaan orang di sekitarnya.

Paparan di atas semakin jelas apabila kita membaca pernyataan al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam kitabnya al-Adab al-Syar’iyyah sebagai berikut:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلاَ أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)

“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, tentu aku tulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir sebagian orang-orang yang melihat akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).

Kaedah di atas sangat jelas, agar kita mengikuti tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak haram. Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan shalat sunnah qabliyah Jum’at, juga karena tradisi masyarakatnya yang tidak pernah melakukannya dan menganggapnya tidak sunnah, untuk menjaga kebersamaan dan kerukunan dengan mereka.

Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan kaum Wahabi juga berkata:

إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه ، سواء قنت قبل الركوع أو بعده ، وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ، ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لايستحبونه ، فتركه لأجل الإتفاق والإئتلاف كان قد أحسن … وكذلك لو كان رجل يرى الجهر بالبسملة فأمّ قوماً لا يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد أحسن ”

“Apabila makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut dalam shalat shubuh atau witir, maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia membaca qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca qunut, maka ia juga tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan. Demikian pula apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan membaca basmalah dalam shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak menganjurkannya, atau sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab mereka, maka ia benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 22 hlm 268).

Paparan di atas memberikan kesimpulan suatu kaedah, bahwa keluar dari tradisi masyarakat itu tidak baik, selama tradisi tersebut tidak diharamkan dalam agama. Kaedah tersebut didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar para sahabat dan ulama salaf yang shaleh. Para ulama salaf yang shaleh terkadang meninggalkan amalan sunnah, semata menjaga kebersamaan dengan kaumnya yang menganggapnya tidak sunnah, sebagaimana banyak diceritakan dalam kitab-kitab sejarah dan hadits. Tidak jarang pula fatwa-fatwa para ulama juga berubah sesuai dengan perubahan tradisi, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab ushul fiqih dan qawa’id. Terdapat sebelas macam kaedah fiqih yang berkaitan dengan tradisi. Bahkan Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah sangat membela kaedah tradisi berikut ini:

تتغير الأحكام بتغير الأحوال والأزمان

“Hukum-hukum agama dapat berubah sebab perubahan tradisi dan perkembangan zaman.”

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in. Tentu saja hukum-hukum yang berubah sebab tradisi bukan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nash yang mutlak seperti wajibnya shalat lima waktu dan semacamnya.

Kiranya paparan sekelumit ini menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya menjaga tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan agama.”.

WAHABI: “Owh, begitu ya. Terima kasih.”