Bagaimana menjadi Waliyullah

Al-Kisah no.05/2004

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya tertarik dengan tulisan tentang kewalian, termasuk kiprah para habib, seperti yang ditulis dalam majalah Alkisah.

Dalam kolom ini saya ingin bertanya: 

Bagaimana cara seseorang bisa mencapai martabat atau derajat wali? 

Mungkinkah capaian martabat wali diperoleh dengan mengikuti tarekat tertentu? 

Apakah pemimpin tarekat itu otomatis juga seorang waliyullah?

Sebab, saya amati, kiai tarekat dimuliakan seperti seorang wali oleh pengikutnya. Bolehkah demikian itu, menghormati secara berlebihan kepada guru tarekat yang dianggapnya sebagai waliyullah itu?

 

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Ali Rif’an Solihin

Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat

 

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Kalau memiliki keinginan seperti itu, Anda harus bersungguh-sungguh. Karena itu bukan pekerjaan gampang. Pertama, taatlah kepada Allah, taat kepada rasul-Nya, dan juga taat pada guru dan orang tua. Itu merupakan hal utama dalam mencapai sukses mencapai jalan menuju sifat kewalian.

Yang kedua, Anda harus memiliki sifat akhlakul karimah. Itu harus selalu menjadi pakaian Anda sehari-hari. Sejak pagi hari, sampai pagi hari kembali. Terus-menerus, tidak ada hentinya.

Anda perlu pahami, tidak ada satu tarekat pun yang dapat mengangkat seseorang menjadi wali, Tarekat hanya mampu mengangkat kedudukan seseorang agar lebih baik ketika berada di sisi Allah. Tentu dengan menjalankan tarekatnya. Adapun wali-tidaknya seseorang dengan mengikuti suatu tarekat, itu Allah Taala semata yang menentukan, bukan tarekatnya.

Wali-tidaknya seorang mursyid itu adalah "rahasia perusahaan". Sedangkan masalah ketaatan, selama tidak bersenggolan dengan syirik, silakan saja. Sama seperti taat dan hormat pada orang tua, taat dan hormat yang berlebih-lebihan pada orang tua itu toh tidak baik juga. Artinya sama saja, seperti taat dan hormat pada guru dan mursyidnya.

Namun harus juga dipahami, meng-agungkan sang guru itu juga memiliki alasan. Melalui guru, kita lebih kenal kepada Sang Maha Pencipta. Sebab guru itulah yang mengenalkan kita kepada Allah.

Dari guru pula kita mengenal kebesaran Allah dan Baginda Rasulullah. Dari beliau kita juga tahu, tidak boleh musyrik. Jadi, di mana letak berlebih-lebihannya kalau kita mengabdikan diri kepada guru? Karena kita tahu, tidak boleh syirik, tidak boleh menyekutukan Allah.

Kita harus mentauhidkan, mendekatkan, merasa mendengar dan didengar oleh Allah. Melihat dan dilihat oleh Allah. Sehingga kita dapat menghindarkan diri dari perbuatan ma'ashi (maksiat), yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan takut putus hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya. Kita bisa mengerti semua itu karena seorang guru. Lalu, sekali lagi, di mana letak sikap yang terlalu mengagungkan guru?

Begitulah jawaban kami, semoga Anda puas.

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah