al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Seqqaf

Al-Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan pentung bagi kaum Ahlussunnah Waljamaah.

Nasab beliau yang mulia

Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin  ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Umar bin Saqqaf bin Muhammad bin ‘Umar bin Thoha as-Saqqaf.  dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Kelahiran beliau

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.

Kedua orangtua beliau

Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi pernah

berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).

Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meniggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib

Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.

As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh

Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada

sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru

berusia 25 tahun.

Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan. Dan guru beliau, al-Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi pernah berkata: Al-Habib Ahmad bin ‘Abdurrahman adalah Imam Wadi al-Ahqaf (Hadhramaut). Ayahanda beliau wafat setelah menunaikan sholat ‘asar, petang hari Sabtu, 4 Muharram 1357. Manakala ibunda beliau wafat pada 23 Rajab 1378 yaitu bersamaan dengan hari wafatnnya al-Habib Salim bin Hafidz bin ‘Abdullah, kakek al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Masa kecil beliau

Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus icontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulaha’ (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka.

Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.

Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assagaf di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ‘Ulmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.

Al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf mendapat pendidikan dari ayahanda beliau sendiri. Menurut cerita bahwa al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf, telah mengkhatam ratusan buah kitab ketika usianya masih belasan tahun. Di didik oleh ayahanda beliau sendiri. Selain belajar dengan ayahandanya beliau juga belajar di Madrasah An-Nahdhoh Al’ilmiyah di Kota Seiyun.

Di madrasah An-Nahdhoh Al-’Ilmiyah ini, Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad Baktsir. As-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sab’ah dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Baraja’ setelah As-Syaikh Hasan pulang dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qur’an.

Selain mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas pengetahuannya dan luhur budi pekertinya. 

Di antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman sebayanya.

Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan menyaksikan keunggulan beliau.

Diantara Guru beliau antara lain :

Sepeninggal ayahnya

Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Seqqaf, yang meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh puteranya, Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.

Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi'i, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.

Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu

darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.

Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan diperpustakaannya itu. 

Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair. 

Beliau dikaruniai Allah dengan umur yang panjang, maka banyak ulama yang dapat mengambil faedah dari beliau. diantara murid-murid beliau adalah :

Teman-teman seperjuangan beliau yang telah pergi mendahuluinya antara lain :

Hijrahnya dari Hadramaut

Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapustradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya.

Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.

Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura. 

Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Sa’id Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.

Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.

Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin.

Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.

Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.

Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di

Jeddah pada 1411 H / 1990 M, " Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt." Ujarnya.

Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.

Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. " Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan." Katanya.

Dikatakan oleh Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'roni : "Seseorang akan bisa mendengar ucapan Rasulullah SAW secara langsung tentulah ia telaj mencapai 79 ribu maqam dan berhasil menghilangkan 247 ribu hijab dalam hatinya."

Sosok Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah. Suatu ketika ada seorang muhibbin datang kepada Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seraya berkata :

"Wahai Habib, sudah bertahun-tahun aku ikut ta'lim denganmu. Dan sudah lama pula aku rindu ingin bertemu Rasulullah SAW. Namun hingga saat ini keinginanku tersebut belum dikabulkan Allah SWT. Aku ingin engkau berkenan menjadi wasilahku bertemu dengan Rasulullah SAW."

Mendengar permohonan si muhibbin tadi, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengajaknya ziarah ke makam Rasulullah SAW. Tatkala sudah tiba di makam Rasulullah SAW, beliau membaca salam dan beberapa awrad. Tak berapa lama Rasulullah SAW menjawab salam dari Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Bahkan Rasulullah SAW nampak keluar dari pusaranya yang mulia tersebut.

Mendengar jawaban salam dan melihat Rasulullah SAW, si muhibbin gemetar seakan tak bisa mengendalikan dirinya, serasa tubuhnya akan luluh lantak menatap keindahan wajah Rasulullah SAW. Akhirnya Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf memegangnya sehingga ia mampu mengendalikan dirinya.

Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.

(No 07 / Tahun III / 28 Maret – 10 April 2005 &No.15/ Tahun V / 16-29 Juli 2007)

Dua Tamu Asing Menjelang Kematian

Suatu ketika, ditahun delapan puluhan, Allahuyarham Ustadz al-Habib Ahmad bin Abdullah Al Habsyi dari Palembang, selesai melakukan Umrah, beliau mengunjungi temannya, Habib Assad Bin Shahab yang memiliki sebuah toko kecil di sekitar Masjidal Haram di Makkah. Sementara mereka bercakap-cakap, dua orang mendekati mereka dengan wajah penuh cahaya, dengan wangi aromatik dan masuk memberi salam. Secara Misterius salah satu dari mereka bertanya pada Habib Assad Bin Shahab mengapa / dengan alasan apa, tidak memasukkan namanya di setiap kali Habib Assad mengirim bacaan al fatihah, dan setelah itu mereka berdua secepatnya mengakhiri pertemuan itu, ...Sementara Habib Ahmad dan Habib Assad berada di dalam keadaan terkejut, takjub dan benar-benar tercengang, dua pengunjung itu meminta izin untuk meninggalkan tempat itu, memberi salam dan kemudian menghilang dari pandangan mereka. 

Dengan penuh kebingungan, Habib Assad segera menulis surat kepada Al-Habib Abdul Qadir Bin Ahmad Al Saqqaf (di foto), yang berada di Jeddah. Ketika surat itu sampai pada Al-Habib Abdulqadir, beliau sedang berada di tengah-tengah majlis rouhah dan ia berhenti sejenak dan membaca surat itu dan mengucapkan إنا لله وإنا إليه رٲجعون. Berturut-turut, beliau belum berhenti hingga telepon berdering diikuti oleh berita bahwa Habib Assad Bin Shahab telah meninggal. Semua orang yang berkumpul bingung dan ingin Al Habib Abdulqadir menguraikan apa yang terjadi. 

Al Habib menjelaskan isi surat itu, bahwa orang-orang yang datang itu, salah satunya adalah Sayyidina Al-Faqih Al-Muqaddam (yang biasanya mengunjungi keturunannya ketika mereka mendekati waktu kematian), dan orang kedua yang mengajukan pertanyaan tentang Al fatihah adalah Sayyidina Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir.

لآحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْم

Dalam sebuah hadits Qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”

Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.

Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”

KUNJUNGAN TERAKHIR AL-HABIB AL-‘ARIF BILLAH AL-IMAM AL-QUTHB ABDUL QADIR BIN AHMAD ASSEGAF DI MAJELIS KWITANG JAKARTA

Kunjungan beliau kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Dan kunjungannya kali ini merupakan akhir perjalanan Rihlahnya ke Indonesia. Hal itu diketahui melalui dokumen kunjungan beliau yang terhenti di tahun 1987, karena kesibukan beliau yang memang terlampau pada. Namun kunjungan beliau membawa kesan yang tiada tara hingga kini. Berikut secara singkat kunjungan terakhir beliau di Kwitang.

Di waktu Ahad pagi 11 Januari 1987 tepat jam 08.30 WIB al-Habib Muhammad al-Habsyi keluar dari kamarnya menuju mimbar dan langsung berkata kepada jamaah yang hadir: “Hadirin hadirat sekalian, pada hari ini beruntung. Karena kita akan kedatangan seorang ulama sebagai penggantinya Rasulullah. Sekarang saya akan sambut di depan sana dengan sepuluh rebana, nanti kita akan lihat wajahnya yang ada nurnya Rasulullah.”

 

Tatkala al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf tiba, jamaah pun semuanya berdiri dengan mengumandangkan shalawat kepada Nabi Saw.

Tiba saatnya dimana al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf menyampaikan ceramahnya, yang diterjemahkan oleh al-Habib Ali Assegaf. Diantara pesan beliau adalah jangan tinggal shalat dan saling kasih sayang terhadap sesama. Dan beliau pula berkata: “Hadirin, saya datang ke sini ingin mengambil keberkahan al-Habib Ali Kwitang. Seorang yang dicintai Allah dan RasulNya dan agar kalian tahu setiap hari Minggu di sini hadir ribuan malaikat dan pula hadir auliya’ (para wali) washshalihin. Dan pula hadir di sini Ruhul Musthafa Saw. Mereka menaruh perhatian yang besar ke Majelis ini. Karena majelis ini didirikan atas dasar takwa. Dan semoga saya datang kemari dapat pula menapaki jejak Shahibul Majelis.”

Selama al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf berceramah, seluruh jamaah menangis terharu sampai-sampai al-Habib Muhammad al-Habsyi Khalifatul Majelis berteriak: “Ya Rasulullah!” Yang membuat jamaah semakin terharu pula, al-Habib Ali Assegaf pada waktu itu tak bisa menahan harunya.

Berkata al-Habib Ali Assegaf kepada alfaqier : “Jamaah pada waktu itu baru memandang wajahnya al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf semuanya menangis. Dan pada waktu itu tidak ada yang tidak meneteskan air mata.”

Demikian secara singkat yang dapat alfaqier uraikan di dalam menyambut iftitah/pembukaan Majelis al-Habib Ali Kwitang tanggal 25 Agustus.

Disadur ulang dari tulisan al-Ustadz Antoe Djibrel. Semoga bermanfaat dan menaburkan keberkahan untuk kita semua. Aamiin

Inilah Akhlak Salafush Shalih...

 

Al habib Abu Bakar Adni bercerita, "Ketika Al habib Abdul Qadir ibn Ahmad Assegaf mengajar di Ashar bulan Ramadhan pada tahun 1407 H/ 1408 H, kita duduk dan Al habib Abdul Qadir mengajar. Selesai mengajar, tiba-tiba saja muncul seseorang dari golongan mereka lalu berdiri dan mencaci-maki Al habib Abdul Qadir didepan kita semua. Waktu orang ini berdiri, dia mencaci-maki Al habib Abdul-Qadir, mencaci-maki dari pada orang tua kita, mencaci-maki dari pada kitab yang kita baca pada saat itu dan orang ini juga mencaci-maki qasidah yang kita baca. Kemudian orang tersebut mengatakan, "Orang ini (maksudnya Al habib Abdul Qadir) tidak mau shalat berjamaah di masjid kami, orang ini jelas-jelas munafik."

Dan ketika orang tersebut berbicara seperti itu, ada kurang lebih 200 orang dari Ahlul Bait Nabi Shallallâhu alaihi wa sallam yang duduk yang mendengar ucapan itu dan masih banyak orang-orang lainnya yang kita tidak bisa berbuat apa-apa tatkala orang berbuat seperti itu. Setelah orang itu berdiri, berbicara yang begitu ngerinya dan ia pun duduk. 

Lalu Alhabib Abdul Qadir hanya mengatakan, 

"Barakallahu fiik wa jazakallah kheir, wa rattabal-fâtihah wa khatama/ Terimakasih banyak mudah-mudahan Allahu ta'âlâ membalas kamu dengan balasan yang sebagus-bagusnya, kemudian Al habib Abdul Qadir ratibul-fatihah dan membubarkan majelisnya. 

Saya ( Al habib Abu Bakar al Adni ) lihat bahwa al Habib Abdul Qadir tidak marah sama sekali, tidak membalasnya sama sekali dan tidak berbuat apa-apa sama sekali. Bahkan saya lihat wajahnya pun tidak berubah, justeru yang saya lihat beliau hanya menundukkan pandangannya ke bawah. Masya Allah Tabarakallah!!

Sekelumit kisah yang saya dengar disaat bersama Al habib Abu Bakar Adni Al Masyhur di Jabal Tawangmangu, Surakarta. Pada hari Kamis, 28 Mei 2015.

Kepergian Al Allamah Al Habib Abdul Qodir Bin Ahmad Asseqaf pada Ahad 19 Rabi’ul Akhir 1431 H dini hari, bersamaan 4 April 2010 M, membawa berita yang teramat sedih kepada keluarga besar ‘Alawiyyin dan para Muhibbin khususnya dan kaum Muslimin umumnya. Beliau kembali ke rahmatullah sebelum waktu Fajar di Jeddah, Arab Saudi.

Guru-guru beliau

Al-Habib Abdul Qodir menimbah ilmu dari banyak guru. Setiap berkunjung ke suatu tempat, beliau menyempatkan diri untuk menggali ilmu dari

para ulama dan orang-orang sholeh di tempat tersebut. Di antara guru beliau adalah Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf (ayah beliau),

Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar Assaggaf, Al-Habib Umar bin Abdul Qodir bin Ahmad Assaggaf, Al-Habib Abdul Bari bin Syaikh Al-Aidrus,

Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaggaf, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul), Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aidrus, dan lain-lain.

Murid-murid beliau

Di antara para murid beliau adalah Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alhaddar, Al-Habib Zein bin Ibrahim Bin Sumaith, Al-Habib Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiry, Al-Habib Abubakar Al-’Adany bin Ali Al-Masyhur, As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ِAl-Habib Abubakar bin Hasan Al-Atthas dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

Diantara Teman-teman beliau yang telah pergi mendahului beliau, Adalah, Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad. Al-Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Kaf. Al-Habib Abu Bakar Atthas bin Abdullah al-Habsyi. Syeikh Umar Khatib.

Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa saja, ilmu, wara’ dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Kabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahwa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani ‘Alawiy.

Beliau telah lama uzur. Dan sebelum Fajar hari Ahad, 19 Rabi ’al-Akhir 1431 H bersamaan 4 April 2010, beliau kembali ke Rahmatullah di Jeddah. Beliau menutup umur pada usia 100 tahun. Dan Dishalatkan di Masjidil Haram Makkah selepas shalat Isya, Ahad 4 April 2010.

Selamat jalan wahai Habib Abdul Qodir. Semoga keselamatan, kesejahtraan, rahmat Allah dan ridhoNya selalu menyertaimu. Semoga Allah SWT membalas semua pengorbananmu untuk Alawiyyin dan kaum muslimin.

Selamat Jalan Imam dan Khalifah para habaib di dunia.. Khalifah para habaib terus silih berganti dari generasi ke generasi mengemban beban luhur..

Once Al-Habib Abdul Qadir was invited to the house for lunch, and despite my young age with little religious substance, he graciously came for the occasion. It was a very small gathering of hardly a dozen people.

After lunch, we prayed zohor but during the prayer, a question on jurisprudence in prayer entered my mind. After finishing the prayer and Al Habib’s supplication, an extraordinary episode ensued. He called me and asked whether I have the kitab of Imam Bukhari? Fortunately I had the four volumes of “ Matan Al Bukhari”. He asked me to open volume two of the books and looked at the bottom of such and such a page; Sure enough I found the hadis that explained my query. This is really a perplexed manifestation, and to date I still ponder on how did Al Habib know of what was in my heart and miraculously being able to quote off the cuff from the Matan Al-Bukhari.

لآحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْم

 

 

Once in the eighties, Allahyarham Ustaz Habib Ahmad bin Abdullah Al Habshi from Palembang, Indonesia visited his friend, Habib Assad BinShahab who owned a small shop near the vicinity of Masjidal Haram at Mekah. While they were having a conversation, two persons approached them with full radiance on their countenance, with aromatic smell and gave salam. Mysteriously one of them asked Habib Assad BinShahab for the reason of not including his name in the fatihah, after all they would be eventually assembled together. While Habib Ahmad and Habib Assad were in the state of total amazement and completely dumbfounded, the two visitors asked permission to leave and subsequently disappeared from their sight. With full of perplexity, Habib Assad immediately wrote a letter to Al-Habib Abdul Qadir, who was in Jeddah. When the letter reached Al-Habib, he was in the midst of the majlis roha and he stopped the session and read the letter and uttered   إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيهِ رَٲجِعُونَ . Consecutively, the phone rang followed by the news that Habib Assad BinShahab had died. The assemblage was perplexed and wanted Al Habib to decipher the event. He explained that the persons who came was, one of them Saidina Al-Faqih Al-Muqaddam (who usually visited his descendants when they are near the death knell), and the other person who posed the question on fatihah was Saidina Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir.

لآحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْم