24. Syarat Sholat

(فصل) شروط الصلاة ثمانية : طهارة الحدثين والطهارة عن النجاسة في الثوب والبدن والمكان وستر العورة واستقبال القبلة ودخول الوقت والعلم بفريضتة وأن لايعتقد فرضا من فروضها سنة واجتناب المبطلات .

Syuruuthush-Sholaati Tsamaaniyyatun : Ath-Thohaarotu ‘Anil Hadatsaini Al-Ashghori Wal Akbari , Wath-Thohaarotu ‘Aninnajaasati Fits-tsaubi Walbadani Wal Makaani , Wasatrul ‘Auroti , Wastiqbaalul Qiblati ,Wadukhuulul Waqti , Wal’ilmu Bifardhiyyatihaa , Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihaa Sunnatan , wajtinaabul Mubathilaati .

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :

Suci dari 2 hadas yakni hadas kecil dan hadas besar , dan suci dari segala najis pada pakaian, dan badan, dan tempat , dan menutup aurat , dan menghadap kiblat , dan masuk waktu , dan mengetahui dengan fardhu-fardhunya , dan bahwa jangan ia beri’tiqod akan yang fardhu daripada fardhu-fardhu sholat akan sunah, dan meninggalkan segala yang membatalkan sholat .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah

Syarat Shalat

Syarat Shalat ada delapan. Syarat adalah segala sesuatu yang menentukan ke-sah-an shalat. Sebagaimana rukun. Namun, perbedaannya yaitu syarat adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat, sementara rukun adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi pada saat shalat dilaksanakan. Kedua-duanya, syarat dan rukun, harus terpenuhi demi ke-sah-an shalat. Jika tidak dipenuhi salah satunya atau tidak dipenuhi sebagian dari syarat dan rukun, maka shalat tidak bisa dianggap sah. Karena itu, sah dan tidaknya shalat sangat tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah ditentukan.

Syarat shalat yang pertama, suci dari kedua hadats, yaitu hadats kecil seperti kecing dan berak, dan hadats besar seperti keluar seperma (mani) akibat bersetubuh suami-istri atau dengan sebab yang lainnya, seperti bermimpi, dll., yang diharuskan mandi junub.

Syarat kedua, suci dari najis dalam pakaian, badan dan tempat seseorang yang melaksanakan shalat. Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang la yu’fa ‘anhu (tidak bisa dimaklumi menurut syariah). 

Tidak sah shalat seseorang dalam keadaan badan, pakaian dan tampat shalatnya terkena najis. Rasulallah saw bersabda: “Cucilah bekas air kencing, karena kebanyakan azab kubur itu karena masalah itu.” (HR. Muslim).

Allah berfirman “Dan pakaianmu, bersihkanlah”. QS Al-Muddatstsir  4

Begitu pula hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di dalam masjid. Rasulullah saw memerintahkan untuk menyiraminya dengan seember air. (HR Bukhari Muslim)

Perlu diketahui bahwa najis ada empat macam. 

Pertama, najis yang tidak dapat dimaklumi (ya yu’fa ‘anhu) menurut syariat baik menempel di baju atau di dalam air. Najis jenis ini sudah kita kenal bersama, yaitu najis yang biasa kita fahami, seperti kotoran orang, darah, dll.

Kedua, najis yang dapat dimaklumi menurut syariat baik di baju atau pun di pakean. Seperti najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan yang wajar dan biasa. Artinya dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat pembesar, seperti Miskroskup, dll.

Ketiga, najis yang tidak dapat dimaklumi menurut syariat jika menempel dalam pakean tapi dimaklumi (ma’fu) jika berada di dalam air, seperti darah yang sedikit. Karena darah sedikit dapat dengan mudah dihilangkan dengan air. Dan jika menempel di baju, akan mengerahkan tenaga dengan susah payah menghilangkannya dan akan bisa jadi merusak baju akibat terus terusan dibasuh. Termasuk jenis najis tersebut juga adalah sisa-sisa istinja (bersuci dengan menggunakan batu), maka dimaklumi atau dimaafkan jika masih ada di badan dan pakean, meskipun sisa-sisa tersebut terbasahi oleh keringat dan terbawa mengalir dan mengenai pakean. Tapi sisa-sisa istinja tersebut tidak bisa dimaklumi jika berada di dalam air.

Keempat, najis yang dimaklumi jika ada di dalam air, tapi tidak dimaklumi jika menempel di pakean. Jenis najis tersebut seperti bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti Kutu (Tuma), sehingga jika seseorang dengan sengaja pada saat shalatnya membawa Kutu di dalam pakeannya maka shalatnya batal, alias tidak bisa dianggap sah. Termasuk dalam jenis najis tersebut adalah pantatnya burung yang terdapat najis yang menempel dan burung tersebut jatuh ke dalam air, maka burung tersebut tidak bisa dikatakan menajiskan air. Dengan kata lain airnya masih dianggap suci. Akan tetapi berbeda dengan pantan manusia. Jika seseorang yang pantatnya terkena najis, maka shalatnya tidak sah.

Menurut Imam as-Syihab ar-Ramly bahwa batasan sedikit dan banyaknya najis dapat diketahui menurut pandangan umum (‘urf), yang menyatakan bahwa jika najis tidak susah terdeteksi dan susah dihindarinya maka termasuk najis yang sedikit (qalyl), jika lebih dari itu (baca, mudah terdeteksi, jelas dan mudah untuk dihindarinya) maka termasuk najis yang banyak (katsir). Sebab pada dasarnya najis sedikit yang dapat dimaklumi oleh syariat (ma’fu ‘anhu) adalah karena susah untuk dihindari (ta’adzuri al-ikhtiraz). Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa batasan banyaknya najis adalah batasan dimana seseorang dapat melihatnya dengan jelas tanpa mengangan-angan, memikirkan dan menelitinya.

Yang Dimaafkan Bagi Orang Shalat:

Syarat shalat yang ketiga, menutup aurat. Batasan menutup aurat dengan sekiranya kulit seseorang tidak dapat dilihat oleh mata orang lain. Ada perbedaan batasan aurat dalam shalat bagi laki-laki dan perempuan. Batasan aurat bagi laki-laki yang wajib ditutup adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut. Sedangkan aurat bagi perempuan yang wajib ditutup adalah sekujur tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

Orang yang hendak melaksanakan shalat harus menutupi auratnya, meski shalat di kegelapan malam atau berada di tempat yang sepi. Dan disunahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat dengan menggunakan pakaian yang terbaik yang dimilikinya.

Syarat shalat yang keempat, menghadap Kiblat.

Kewajiban menghadap Kiblat pada saat seseorang melaksanakan shalat berdasarkan ayat al-Quran yang memerintahkan menghadap Kiblat. Sebagaimana Allah berfirman;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 144).

Dalam ayat tersebut Allah telah memerintahkan lebih dari satu kali memerintahkan kita untuk menghadap kiblat. Dan ayat tersebut dipertegas dengan ayat yang lain, sebagaimana Allah berfirman;

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan dimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dzalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Dan agar kesempurnaan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS  al-Baqarah ayat 150)

Ada sebuah ungkapan kaidah yang mengatakan bahwa “kullu syain mustasnayatun” (Setiap sesuatu ada pengecualiannya). 

Sebagaimana dalam persoalan menghadap Kiblat, ada dua keadaan yang mana seorang yang melaksanakan shalat diperbolehkan untuk tidak menghadap Kiblat ; 

Pertama, keadaan seseorang yang teramat mencekam dalam bayang-bayang ketakutan (syadzid al-khauf). Seperti kondisi peperangan, dimana jika memaksakan kehendak untuk berusaha menghadap Kiblat, maka akan tertangkap basah oleh musuh dan nyawa pun akan melayang, kondisi seperti inilah yang membolehkan seseorang shalat tidak menghadap Kiblat.

Allah berfirman: “Maka jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka (sholatlah) sambil berjalan atau berkendaraan” al-Baqarah 239

Ibnu Umar ra berkata tentang tafsir ayat ini, “Jika rasa takut melebihi itu, maka mereka boleh shalat sambil jalan kaki atau berkendaraan dengan menghadap kiblat maupun tidak menghadap kiblat”. (HR. Bukhari)

Kedua, shalat sunah yang dilaksanakan dalam kondisi bepergian yang diperbolehkan menurut syariat. Dengan kata lain, perjalanan tidak dalam keadaan atau demi mencapai tujuan yang bernuansa maksiat.

Boleh sesorang tidak menghadap kiblat dalam shalat jika dalam keadaan sangat takut atau bahaya (perang dan sebagainya).

Sedang jika dalam perjalanan (berkendaraan) boleh tidak menghadap kiblat ketika shalat sunnah. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: “Rasulullah saw pernah shalat di atas kendaraannya sesuai dengan kendaraannya mengarah.” (HR Bukhari). Dari hadist ini kita bisa memahami bahwa jika ingin melakukan yang fardhu, Rasulallah saw turun dari kendaraannya lalu menghadap kiblat.

Kesimpulannya menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat, maka ia tidak gugur kecuali dalam keadaan sangat takut (bahaya) dan saat shalat sunah dalam bepergian sebagaimana telah disebutkan.

Ketahuilah bahwa terdapat empat derajat kiblat, sesuai dengan kadar dan cara mengetahui eksistensinya, yaitu ; 

Pertama, seseorang yang benar-benar melihat dan mengetahui secara langsung Kiblat. 

Kedua, mengetahui Kiblat dari informasi seorang yang dapat dipercaya, seperti ia mengatakan; aku melihat sendiri Kiblat. 

Ketiga, mengetahui Kiblat melalui ijtihad. 

Dan keempat, mengetahui Kiblat melalui taklid pada mujtahid.

Syarat shalat yang kelima, masuk waktu.

Mengetahui masuknya waktu secara yakin benar-benar mengetahui secara persis, atau dengan praduga (dzan) melalui ijtihad yang sungguh-sungguh. 

Ada tiga tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu shalat. 

Pertama, mengetahui sendiri secara langsung, atau mengetahui dari informasi seseorang yang dapat dipercaya, atau melihat petunjuk Bencet yang benar dan tidak rusak, atau mengetahui melalui petunjuk bayang-bayang matahari, atau jam dan Kompas. Termasuk juga adzan seorang muadzin termasuk petunjuk yang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.

Kedua, ijtihad melalui penggalian al-Quran, belajar, mengkaji ilmu, atau menganalisa melalui fenomena alam, seperti kokok Ayam di pagi hari. Harus diteliti apakah kokok ayam telah menunjukkan waktu subuh sudah masuk atau belum. Maka tidak boleh mengikuti kokok ayah dengan tanpa diteliti dan berijtihan terlebih dahulu.

Ketiga, taklid pada seorang mujtahid. Maka jiaka seseorang mampu berijtihan sendiri, maka tidak boleh mengikuti ijtihan orang lain. Dengan syarat ia dalam kondisi dapat melihat. Sementara bagi orang yang buta harus taklid pada mujtahid, meski ia sebenarnya mampu berijtihad. Karena kebutaannya itu lah sehingga mengakibatkan ia tidak mampu meneliti secara komprehensip dan seksama atas sesuatu.

Syarat Shalat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan shalat. Artinya bahwa shalat lima waktu itu diketahui dan diyakini sebagai shalat yang wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam.

Syarat shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini shalat fardhu sebagai pekerjaan yang disunahkan.

Syarat shalat yang kedelapan adalah menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat.