Al Qadhi Iyadh

Al-Qadhi Abu Al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin  'Imrun bin Musa bin Muhammad bin 'Abdullah bin Musa bin 'Iyadh al-Yahshubi al-Maliki, adalah seorang faqih di dalam mazhab Maliki dan seorang ulama hadits pada zamannya. Hal ini disebut oleh al-Qadhi Syamsuddin di dalam kitab Wafayat al-A’yan: “Al Qadhi Iyadh adalah seorang ulama hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara orang-orang di sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek bangsa Arab, serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”

Qadhi ‘Iyadh lahirkan di Ceuta (hujung utara Maghribi, di persisiran pantai Mediterranean berdekatan dengan Selat Gibraltar) pada bulan Sya’ban tahun 476H. Keluarga beliau berasal dari Andalus yang berhijrah ke kota Fes di Maghribi.

Pada tahun 509H, beliau mengembara ke Andalus untuk mencari ilmu. Di sana beliau belajar kepada Qadhi Abu ‘Abdullah Muhammad ibn ‘Ali ibn Hamdin, Abu al-Hussin as-Siraj, Abu Muhammad ibn ‘Attab dan lain-lain. Menurut Ibnu Khallikan, guru-guru Qadhi Iyadh berjumlah hampir seratus orang. Sekembalinya dari Andalus, beliau di lantik menjadi Qadhi Ceuta. Kemudian dilantik menjadi Qadhi Granada pada tahun 531H. Namun tidak lama setelah itu, beliau kembali menjadi Qadhi di Ceuta.

Suatu ketika ia terpilih sebagai pemimpin di negerinya, tetapi hal itu justru membuatnya semakin tawadhu’ dan takut kepada Allah SWT.

Al Qadhi Syamsuddin berkata dalam kitab Wafayat Al A’yan, “Al Qadhi Iyadh adalah seorang ulama hadits pada zamannya, dan seorang yang alim di antara orang-orang di sekitarnya, dia juga menguasai ilmu nahwu, bahasa, dan dialek bangsa Arab, serta mengetahui ilmu hari dan nasab.”

Al Qadhi Syamsuddin melanjutkan perkataannya, “Di antara karya Al Qadhi Iyadh adalah kitab Al Ikmal fi Syarh Shahih Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazari, ia juga mengarang kitab Masyariq Al Anwar fi Tafsir Gharib Al Hadits, dan juga kitab At-Tanbihat. Di dalam kitab-kitab yang dikarangnya, Al Qadhi Iyadh memiliki keunikan tersendiri, dan semua karangannya adalah karangan yang sangat menakjubkan, ia pun memiliki syair yang indah.”

Aku katakan, “Karangan-karangannya sangat berharga, tetapi di antara karangannya yang aku anggap paling bagus adalah kitab Asy-Syifa, tetapi sayangnya kitab tersebut  dipenuhi dengan hadits-hadits yang dibuat-buat (dusta). Kitab tersebut tidak pernah dikritik oleh ulama lain, semoga Allah memberikan kepadanya balasan yang baik, dan menjadikan kitab Asy-Syifa sebagai kitab yang bermanfaat. Di dalam kitab tersebut terdapat pula berbagai macam takwil yang jauh dari kebenaran, kitab ini juga penuh dengan khabar-khabar Ahad yang mutawatir, oleh karena itu mengapa kita masih saja puas dengan khabar-khabar maudhu’ (palsu), dan kita pun menerima khabar yang penuh dengan dendam dan dengki, tetapi ingat bahwa sesuatu yang belum diketahui, dosanya dapat terampuni, bacalah kitab Dala`il An-Nubuwwah karya Imam Al Baihaqi, karena kitab tersebut merupakan obat penyejuk hati dan juga sebagai cahaya petunjuk.”104 

Al Qadhi Ibnu Khallikan berkata, “Guru-guru Qadhi Iyadh hampir berjumlah seratus orang. Qadhi Iyadh wafat pada tahun 544 H.”

Guru-gurunya : al-Qadhi ‘Ali bin Sukkaroh al-Shadafi, Abu al-Bahr bin al-’Ash, Muhammad bin Hamdain, Abu al-Husain Siroj al-Shaghir, Abu Muhammad bin ‘Attab, Hisyam bin Ahmad, dan lain-lain.

Murid-muridnya : ‘Abdullah bin Muhammad al-Asyiri, Abu Ja’far bin Qashir, Khalaf bin Basykuwal, anaknya Muhammad bin ‘Iyadh, dan lain-lain.

Aku katakan, “Telah sampai kepadaku sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Qadhi Iyadh wafat setelah dilempar tombak oleh seseorang, karena Qadhi Iyadh mengingkari kemaksuman Ibnu Tumart.”

Beliau juga menulis sejumlah kitab-kitab, antaranya: Al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazari; Masyariq al Anwar fi Tafsir Gharib al Hadits; at-Tanbihat al-Mustanbita; Tartib al-Madaraik wa Taqrib al-Masalik; al-I’lam bi Hudud Qawaid al-Islam; al-Ilma fi Dabt ar-Riwayah wa Taqyid as-Sama’; Ajwiba al-Qurtubiyyin; al-Maqasid al-Hisan fima Yalzam al-Insan; al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa dan lain-lain. Qadhi Iyadh meninggal dunia pada tahun 544H di Marakkesh, Maghribi.

Di kitab beliau berjudul al-Syifa bi Ta‘rif Huquq al-Mustafa(juzuk 2, halaman. 35-36) beliau menyebutkan tentang kewajipan mentakzim Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Kata beliau (maksudnya – dipetik dari blog Sawanih wa Khawatir): 

Ketahuilah bahawa kehormatan Nabiصلى الله عليه وآله وصحبه وسلم sesudah wafatnya serta memulia dan mengagungkannya adalah lazim (wajib), sebagaimana hal keadaan pada masa hidupnya. Dan yang demikian itu adalah ketika menyebut Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم, menyebut hadits dan sunnahnya, mendengar nama dan sirahnya, bermuamalah dengan ahli keluarganya serta memuliakan ahlulbait dan para sahabat Bagindaصلى الله عليه وآله وصحبه وسلم .

Kata Abu Ibrahim al-Tujibi: Wajib atas setiap mukmin apabila menyebut Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم atau disebut nama Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم di sisinya hendaklah ia tunduk, khusyuk, hormat dan diam dari bergerak serta merasakan kehebatan Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم dan kehormatannya, sebagaimana dirinya akan berasa begitu sekiranya dia sendiri berada di hadapan Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم, serta beradab sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah Taala kepada kita.

Kata al-Qadhi ‘Iyadh lagi: Beginilah akhlak para salafussoleh dan imam-imam kita dahulu (رضي الله عنهم).