Al-Muhasibi

Penjaga Batin dari Basrah

Ia sufi besar dan intelektual produktif. Pergaulannya yang luas dengan berbagai pemikir menghasilkan analisis obyektif.

Tentang al-Muhasibi, sufi besar Al-Imam Al-Qusyairi berkata: “Ia sufi yang tiada tandingannya dalam hal otoritas keilmuan, kesalehan. Pergaulan dan kekayaan intelektualnya.”

Siapa sebenarnya Al-Muhasibi, sehingga Al-Qusyairi begitu mengaguminya? Warisan apa yang ia tinggalkan buat generasi kaum muslimin masa kini?

Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris ibnu Asad Al-Basri Al-Muhasibi. Lahir pada abad ke-2 Hijriyah (165 H/781 di Basrah, Irak. Ia dibesarkan dalam keluarga yang berada baik secara materi maupun intelektual.

Dengan mudah ia pun pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu, dan di sana pula ia berkembang menjadi seorang intelektual. Ia menulis banyak kitab, meliputi berbagai ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadis, fikh sampai tasawuf. Sementara pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan menghasilkan karya-karya dengan sudut pandang yang luas dan mendalam. Apalagi ia berguru kepada banyak ulama yang beberapa diantaranya sangat terkenal, seperti Imam Syafi’i, Yazid bin Harun, dan sebagainya.

Mula-mula ia mempelajari fikih, hadis dan tafsir. Dengan cepat murid yang cerdas ini menguasai cabang-cabang ilmu tersebut, bahkan belakangan ia dikenal sebagai ahli hadits pada zamannya. Para guru hadisnya, Syekh Hasyim Syureh bin Yunus, Yazid bin Harun, Abu an-Nadar, dan Junaid bin Daud. Sementara guru Fikihnya, Imam Syafi’i, Abi Ubaid Qasim bin Salim, dan Qadi Abu Yusuf.

Dalam menuntut ilmu ia tidak membatasi diri hanya pada ilmu agama, melainkan juga ilmu politik dan sosial. Tidak heran jika gurunya begitu banyak, sementara pergaulannya dengan para ilmuan berbagai disiplin ilmu di Baghdad cukup luas. Ia juga sering berdiskusi dengan para ahli ilmu kalam dari berbagai aliran seperti kalangan Khawarij, Muktazilah, dan Murji’ah. Ia cukup terbuka dan dapat mencerna setiap pola pikir berbagai aliran, baik yang tradisional maupun modern.

Belakangan ia menyusun suatu pendekatan yang relatif lebih baru dalam ilmu filsafat, yakni mendekatkan relasi antara rasionalisme dan teologi. Tapi setelah melakukan studi lebih mendalam, dan menganalisis beberapa aliran yang dikenalnya dengan baik, akhirnya ia menentang aliran-aliran yang dianggapnya sesat, seperti Khawarij, Jahmiyah, dan Muktazilah. Hebatnya, ia bukan sekedar menentang, melainkan juga mendasarkan pandangannya pada argumen yang kuat dengan tujuan untuk mencari kebenaran.

Bukan hanya dengan para ilmuan, Al-Muhasibi juga mengamati para Zahid – orang yang melakukan Zuhud, lebih mementingkan ibadah ketimbang sekedar kehidupan duniawi. Ia misalnya menelaah kehidupan para sufi Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Kharqi, Bisir al-Hafi, Dzun Nun al-Misri, dan Sirri as-Saqati, termasuk para sufi sebelumnya seperti Hasan Al-Basri, Ibrahim bin Adham, Daud At-Ta’i, dan Fudlali bin iyad.

Mempengaruhi Ghazali

Karena luasnya pengetahuan yang menjadi perhatiannya, tidak heran jika pengaruh Al-Muhasibi sangat terasa sampai sekarang. Hal itu tampak dalam beberapa karya para ulama sesudahnya, seperti Syekh Abu Said al-Kharraz dalam kitab Al-Sidq, Syekh Al-Hakim Al-Tirmidzi dalam al-Maknunah, Syekh Al-Imam Al-Musthafa bin Kamaluddin al-Bakri dalam kitab Al-Ara’is al-Qudsiyah al-Muhasyahah al-Dasais al-Nafsiyah, Abu Zaid ad-Dabusi dalam kitab Al-Amad al-Aqsa dan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.

Begitu besar pengaruhnya pada para ulama dan intelektual, sehingga mereka memujinya, seperti Al-Imam as-Sya’rani dalam kitab Thabaqat Qubra, “Al-Muhasibi termasuk ulama yang piawai dalam ilmu Dzahir (ilmu pengetahuan umum), ilmu Ushul (ilmu agama), dan ilmu Muamalah (ilmu sosial). Ia menulis beberapa karya terkenal yang tidak tertandingi pada masanya. Dia adalah guru besar para ulama Baghdad saat itu. Sementara sejarawan besar Ibnu Khaldun menulis:

“Al-Muhasibi menghimpun dalam dirinya sejumlah ilmu pengetahuan seperti Fikih, Tasawuf dan llmu-ilmu akhirat.”

Tasawuf memang telah melejitkan nama Al-Muhasibi dalam jajaran intelektual dan sufi. Ada sebuah ungkapan tentang kepeduliannya pada dunia tasawuf, katanya, “Telah berlalu waktu selama 30 tahun, dan selama itu aku telah mendengar sesuatu dalam kepalaku. Kemudian telah berlalu pula masa 30 tahun, dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari Allah SWT.

Maksudnya ia telah bergumul dengan berbagai analisis pemikiran selama 30 tahun, kemudian beralih kepada ilmu tasawuf dengan menyucikan batin dan mempertajam hati agar dapat mendengar bisikan suci dari Allah SWT, karena kesungguhan inilah kalangan tasawuf menggelarinya AL-MUHASIBI (orang yang mawas diri terhadap aktivitas batin sendiri).

Sebagai pakar dengan latar belakang fikih dan hadits yang kuat, tasawufnya pun erat berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis, dan tidak mau melanggar batas-batas syari’at. Selain itu karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu kalam ia sangat mengunggulkan akal, selaras dengan hadits Rasulullah SAW:

“Allah SWT tidak menerima shalat seseorang, puasanya, hajinya, umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan berbagai kebaikannya, jika ia tidak memahaminya.”

Berkaitan dengan ilmu tasawuf, banyak sekali nasihatnya, salah satunya tentang rasa sedih.

“Rasa sedih ada beberapa macam: Sedih karena kehilangan sesuatu yang sangat disenangi, Sedih karena khawatir tentang apa yang akan terjadi esok, Sedih karena merindukan yang didambakan tapi tidak tercapai, Sedih karena mengingat betapa diri menyimpang dari ajaran Allah SWT.”

Katanya pula:

“Manusia yang baik ialah yang akheratnya tidak terpengaruh oleh dunianya, dan tidak meninggalkan dunia sama sekali karena akheratnya. Sebaik-baiknya sikap ialah tahan menderita karena kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, belas kasihan, indah tutur katanya, serta lemah lembut. Orang yang zalim akan mendapatkan azab meski dipuji orang. Orang yang dizalimi selamat meski di cela orang. Orang yang selalu merasa cukup termasuk orang kaya meski ia lapar, sedang orang yang merasa kecewa termasuk orang Faqir meski dia punya harta melimpah.”

Tangannya Mengejang

Kehidupan Al-Muhasibi antara lain dapat dibaca dalam kitab Risalah Qusyairiyah karangan Imam Al-Qusyairi. Di dalamnya ditulis beberapa hikayat, misalnya tentang tangan Al-Muhasibi yang akan tertarik dan mengejang kalau ia hendak meraih makanan yang diragukan kehalalannya. Jari-jarinya tidak akan bergerak dan kaku. Bila ia mengalaminya, makanan itu bisa jadi diperoleh dengan cara yang tidak halal.

Seorang tokoh sufi Junaid Al-Bagdadi, yang juga kemenakan Al-Muhasibi, berkisah tentang pamannya itu. “Pada suatu hari Al-Muhasibi mengunjungiku, tampaknya ia sedang lapar, maka aku pun berniat mengambilkan makanan ke Gudang, disana aku dapatkan sisa makanan dari pesta perkawinan, ku suguhkan makanan itu kepadanya. Tapi ketika ia hendak mengambilnya, tangannya mengejang tidak dapat digerakkan, ia sempat memasukkan sesuap ke mulutnya, tapi ia tidak bisa menelannya, ia memaksa menelan dan mengunyah, kemudian berdiri dan keluar, lalu meludahkan makanan di halaman, setelah itu ia pamit pulang.”

Junaid melanjutkan, “Selang beberapa hari, aku bertanya, apa sebenarnya yang terjadi, ia menjawab, “Waktu itu aku memang lapar, dan ingin menyenangkan kamu, namun Allah memberi isyarat khusus kepadaku bahwa makanan yang kuragukan kehalalannya itu tidak bisa kutelan, jari-jarku tegang, tidak mau menyentuhnya, aku berusaha menelannya tapi percuma saja, beberapa hari kemudian aku berkata, sekarang maukah engkau datang ke rumah? Sampai di rumah kukeluarkan sekerat roti kering, dan kami pun makan bersama-sama. Ia berkata, “Makanan seperti inilah yang harus disuguhkan kepada guru sufi.”

Di samping sebagai sufi yang luhur budi dan zahid, Al-Muhasibi juga penulis produktif. Menurut AJ. Arberry, pengamat dunia sufi dari Ingris, karya-karya Al-Muhasibi berkaitan dengan disiplin diri, antara lain, Al-Ri’ayah lil Ruquq Islam, Al-Wayasah, Bad’u Man Anaba ila Allah, Al-Khuluwah wa Tanaqqul fil ‘Ibadah wa Darajat al-Abidin, dan Adal al-Nufus. Beberapa diantaranya mempengaruhi kitab-kitab para ulama sesudahnya, bahkan juga mempengaruhi intelektual dan pembaharu yang terkemuka seperti Imam Al-Ghazali.