Tuan Guru Kasyful Anwar

Kasyful Anwar. Demikian nama yang diberikan oleh Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari (Tuan Guru Bangil) kepada putra pertamanya. Nama Kasyful Anwar tak lain diambil dari nama guru sekaligus paman Tuan Guru Bangil sendiri yakni Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari (Pengurus Pondok Pesantren Darussalam, Martapura (1922-1940). Harapannya adalah agar keberkahan Tuan Guru Syech Kasyful Anwar menurun kepada putranya, yang nantinya akan melanjutkan dakwah Islam sebagai pengganti dirinya di kemudian hari seperti halnya Tuan Guru Syech Syarwani Abdan dalam meneruskan tongkat estafet dakwah paman tercintanya Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari.

Kini, Tuan Guru Kasyul Anwar (putra Guru Bangil) telah mewujudkan harapan tersebut, dimana hari-harinya diisi dengan mengurus Pondok Pesantren Datu Kelampaian yang merupakan peninggalan orang tuanya, dengan mengasuh dan mendidik para santri. Sebagaimana orang tuanya dulu yang selalu berpesan agar selalu memegang teguh aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam banyak kesempatan Tuan Guru Kasyful Anwar juga sering kali berpesan hal serupa yaitu agar umat Islam pada umumnya dan warga banjar khususnya senantiasa berhati-hati dari berbagai pengaruh pemikiran dan aqidah yang menyimpang.

JALUR PESANTREN

Tuan Guru Kasyul Anwar lahir pada tahun 1944 di Kota Bangil, ia merupakan putra pertama pasangan Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari dan Hajjah Bintang Binti H. Abdul Aziz dari 27 bersaudara. Sewaktu kecil, pertama kali ia menjalani pendidikan agamanya di Madrasah Ibtidaiyah Al Hurriyah di Bangil pimpinan Ustadz Jalal. Selain di Al Hurriyah, ia juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Kiai Hamid Pasuruan, yang juga sahabat akrab ayahandanya. Di masa-masa belianya beliau aktif dalam menuntut ilmu dan masuk Pondok Pesantren Darun Nasyi’in Lawang, Jawa Timur yang diasuh oleh Habib Muhammad Bin Husain Ba’bud. Di Pesantren tersebut, beliau tinggal selama enam tahun lainnya.

Selepas mondok di Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, beliau berangkat ke Martapura, Kalimantan Selatan kurang lebih selama satu tahun lamanya untuk menuntut ilmu dan mengaji, diantaranya kepada Tuan Guru Anang Sya’rani Arif (dikemudian hari menjadi mertuanya). Tuan Guru Anang Sya’rani Arif adalah seorang ulama besar yang menggantikan Tuan Guru Syech Kasyful Anwar Al Banjari dalam meneruskan kepemimpinan Pondok Pesantren Darussalam, Martapura yang tak lain adalah sepupu sekaligus sahabat seperguruan ayahnya sewaktu sama-sama menuntut ilmu selama sekitar sepuluh tahun di kota Mekkah.

Setahun di Kota Martapura, beliau kembali lagi ke kota Bangil. Di kota kelahirannya ini, beliau menyempatkan diri berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, putra Habib Abdullah bin Ali Al Haddad, Sangeng, Bangil. Selain kepada Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, selama sekitar dua tahun lamanya beliau juga menimba ilmu dari Habib Salim bin Agil di Surabaya.

Kedekatannya dengan para guru dari kalangan Habaib berlanjut saat dirinya tak lama setelah itu tinggal di Jakarta. Beliau di Jakarta memperdalam ilmu kepada Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (ulama ahli hadist terkemuka di era tahun 1960 an).

JALUR FORMAL

Selain jalur pendidikan pesantren, beliau juga menenmpuh pendidikan formal hingga sampai ke jenjang perguruan tinggi. Pada tahun 1971, beliau masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan berhasil  meraih gelar sarjana pada tahun 1978. Setelah lulus sarjana, beliau mengajar di almameternya tersebut hingga tahun 1991. Sejak tahun 1991, beliau mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Meski terhitung sudah tidak muda usia, semangatnya dalam terus mengisi hari-harinya dengan aktivitas ilmu pengetahuan tidaklah pudar. Tahun 2007, beliau menuntaskan pendidikan pasca sarjana (S2) di Universitas Sunan Giri Surabaya.

Sebelumnya beliau juga mengajar di beberapa tempat lainnya, termasuk di Universitas Zainul Hasan Probolinggo dan terkadang mengisi acara santapan rohani di Radio. Setelah ayahnya wafat (Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari), Tuan Guru Kasful Anwar memfokuskan aktivitas mengajarnya pada dua tempat, yaitu di IAIN dan Pondok Pesantren Datu Kelampaian, peninggalan sang ayah.

KEDEKATAN DENGAN PARA HABAIB

Tuan Guru Kasyul Anwar adalah sosok seorang ulama yang dekat dengan kalangan habaib, bahkan sejak dari masa-masa menuntut ilmu di waktu muda dulu. Ia tampak bersemangat saat menceritakan masa-masa indahnya sewaktu belajar kepada Habib Salim.

Sejenak matanya menerawang jauh kedepan. Tak lama setelah itu, ia pun tersenyum sambil mengisahkan sosok Habib Salim yang dulu mengajarnya sambil duduk di atas kursi goyang. Kenangan itu seakan belum lama terlewat. Selain bercerita tentang saat-saat belajarnya, ia juga mengisahkan cerita yang menggambarkan kedekatan hubungan yang terbangun antara dirinya dan gurunya itu. Sejurus kemudian ingatannya melayang pada suatu kenangan saat ia pernah diperintahkan menguras kolam besar dirumah gurunya tersebut. Pada awalnya Habib Salim hanya memperhatikan dan memberikan perintah dari sisi kolam. Dengan sepenuh rasa patuh seorang murid kepada gurunya, Tuan Guru Kasyul Anwar muda pun membersihkan kolam air tersebut. Setelah beberapa lama, Habib Salim sendiri pun menceburkan dirinya ke kolam itu. Akhirnya, keduanya sama-sama berkubang air kolam, menguras dan mencuci isi kolam. Setelah selesai, mereka makan bersama.

Meski roda waktu telah berputar lebih dari empat puluh tahun, peristiwa tersebut serasa baru saja terjadi. Baginya, itu menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Terkadang beliau juga tidak habis pikir dengan beberapa kejadian di rumah Habib Salim. Dulu itu sehari-hari beliau sering berada di rumah Habib Salim, maka sering kali beliau disuruh menjaga pintu ruang tamunya. Sekali waktu, beliau kaget saat melewati ruang dalam dan kemudian menoleh ke ruangan tersebut. Beliau terkejut dengan banyaknya tamu dengan pakaian jubah dan sorban serba putih, duduk bersama Habib Salim, seperti tengah dalam perbincangan pada sebuah majelis ilmu. Padahal, awalnya para tamu itu tidak ada. Karena ia yang ditugasi untuk menjaga pintu, ia tahu persis bahwa sebelumnya tidak ada seorang tamu pun, apalagi tamu sebanyak itu.

Banyak pula kejadian aneh yang ia alami langsung saat ia dekat dengan Habib Salim dulu. Karenanya, ia sangat meyakini bahwa sang guru memang waliyullah. Saat menceritakan perihal gurunya yang satu ini, Tuan Guru Kasyul Anwar kelihatan lebih bersemangat. Dua tahun lamanya beliau mengaji dan dekat dengan Habib Salim tampaknya meninggalkan banyak kisah dan kesan. Semua yang diceritakannya itu tak lain merupakan gambaran kedekatan hubungan antara dirinya  dan sang guru, Habib Salim bin Jindan.

Saat beliau kuliah di Semarang yaitu era tahun 1970 an, Beliau juga sudah mengenal dekat Habib Anis bin Alwi Al Habsyi. Bahkan dapat dikatakan sangat dekat. Beliau sangat mengagumi sosok Habib Anis, yang sangat bersahaja, ramah kepada siapapun dan berbagai sifat-sifat istimewa Habib Anis lainnya. Banyak pula kenangan yang telah ia lalui saat-saat perjumpaannya dengan Habib Anis, yang kini telah tiada.  Selama ini saya sangat mencintai Habib Anis, begitu pun sebaliknya. Maka, pada suatu kesempatan beliau mengatakan, Ya Habib Anis, ‘Usyhidullaha anni uhibbuk’ (Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku mencintaimu, wahai Habib Anis), maka Habib Anis pun menjawab, ‘ Wa ana kadzalik’ (Begitu pula aku kata Habib Anis). Dalam kitab Al Adzkar, buah karya Imam Nawawi memang disebutkan kesunnahan bagi seseorang yang mencintai seseorang lainnya karena Allah agar mengungkapkan ekspresi kecintaan itu lewat lisannya.

MENJAGA AQIDAH PARA SALAF

Dari pengalaman hidup yang telah dilewati, beliau memang seorang yang telah cukup lama menuntut ilmu dari para habaib. Dalam pergaulan sehari-harinya pun, beliau juga banyak berhubungan dekat dengan mereka, beliau mengatakan, umat islam memang harus mencintai ahlul bayt, dan pada saat ini kecintaan tersebut dapat dicurahkan kepada para habib, sebagai dzurriyat Rasulullah SAW.

“ Saya bahkan menganjurkan kepada para thalabah (penuntut ilmu), dalam mencari guru silakan mencari ilmu sebanyak-banyaknya, silakan pula mencari guru sejauh-jauhnya, tapi jangan sampai tidak berguru kepada habib. Selain memperhatikan keluasan ilmu yang dimiliki  seorang guru dan sikap keseharian yang wara, perhatikan pula nasabnya. Sebisa mungkin kita menimba ilmu kepada guru yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW. Karena itu termasuk tali penyambung seorang thalabah kepada Rasulullah SAW, yaitu melalui keberkahan nasab gurunya tersebut. Zaman sekarang, banyak orang yang tidak memperhatikan lagi hal-hal seperti ini, “ katanya dengan sepenuh perasaan.

Terlepas dari itu, sebagaimanan ayahnya dulu Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari yang semasa hidupnya sangat bersungguh-sungguh dalam menjaga aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, kini ia pun tampaknya meneruskan sikap teguh sang ayah tersebut. Dulu, sekitar tahun 1978 hingga awal 1980 an, ayahnya merasakan ada pengaruh-pengaruh ajaran Syi’ah yang mulai dimunculkan di kota Bangil. Demi tanggung jawabnya dalam membentengi aqidah para santri yang menuntut ilmu di pesantrennya, segera saja Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari membuka majelis ilmu yang materinya berisikan seputar perbedaan-perbedaan antara paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan paham Syi’ah. Pada majelisnya itu, Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari membaca Kitab Al Hujjatul Mardhiyyah fin Nasyihati wa Raddi ba’dhi Syuyu-khisy Syi’atil Khasbiyah, buah karya Syech Muhammad Ali bin Husain Al Maliki, dan Kitab Al Husamul Masluk ‘ala Muntaqishil Ashabir Rasul, buah karya Syech Hasanain Muhammad Makhluf.

Tampaknya, kekhawatiran mendalam Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari pada masalah aqidah, khususnya dalam menjaga aqidah santri asuhannya, menurun kepada sang anak. Seperti tiada mengenal kata bosan, Tuan Guru Kasful Anwar selalu berpesan kepada para santri dan alumni Pondok Pesantren Datu Kelampaian, masyarakat muslim Banjar, baik yang ada di Bangil maupun di tanah asalnya, dan juga kepada banyak orang yang ditemuinya, agar senantiasa berpegang teguh pada aqidah para salafush shalih.

Karenanya, beliau mengingatkan, kecintaan kepada para habib itu selayaknya harus berdasarkan ilmu, hingga seseorang dapat mencintai habaib dengan benar dan tepat. Tidak kurang, dan jangan pula sampai berlebih. Dalam kaitan itu beliau berpesan, terutama kepada warga Banjar, agar kecintaan kepada para Habib tidak sampai membuat aqidah menjadi bergeser. Maka, perdalamlah ilmu agama secara benar, perhatikanlah pula sanad (mata rantai) ilmu yang diperoleh, agar seorang thalabah tidak terseret pada paham aqidah yang menyimpang.

KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA

Tuan Guru Kasful Anwar menikah dengan Hajjah Rif’ah (putri dari Tuan Guru Anang Sya’rani Arif, Martapura) dikaruniai anak  lima orang putra dan putri yakni Siti Wafrah, Siti Nayyirah, Siti Atikah, Muhammad Luthfil Hakim dan Muhammad Minnanurrahman). Beliau membekali putra dan putrinya  dengan pendidikan agama yang kuat. Hal ini tentunya beliau maksudkan agar mereka dapat mempunyai pegangan yang kukuh dalam menghadapi tantangan zaman yang terlihat semakin berat, sekaligus beliau berharap agar kelak mereka dapat meneruskan jejak orangtuanya dalam berdakwah menyebarluaskan ilmu agama.

Saat ini, putranya yang bernama Muhammad Luthfil Hakim, beliau kirim ke Rubath Tarim, asuhan Habib Salim bin Abdullah Asy Syathiri. Sementara putra bungsunya, Muhammad Minnanurrahman juga tengah belajar pada ma’had pimpinan Habib Ahmad bin Husain bin Abu Bakar Assegaf, yang juga terdapat di kota Bangil, dan letaknya tidak seberapa jauh dari kediamannya. Habib ahmad adalah cucu Habib Abu Bakar bin Husain Assegaf, salah seorang sahabat dekat yang sangat dicintai oleh Tuan Guru Syech Syarwani Abdan Al Banjari ayah Tuan Guru Kasful Anwar atau kakek dari Muhammad Minnanurrahman.