Tingkatan Bathiniyyah dan Tafsir Isyari

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Tingkatan Bathiniyyah dan Tafsir Isyari 

Oleh: Al Habib M. Luthfi bin Yahya

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

Allah Ta’ala memberikan keni’matan terhadap hamba-Nya yang luar biasa, diantaranya ilmu yang diberikan dan dibukakan kepada beliau-beliau para ulama. Sehingga ilmu yang beliau peroleh itu benar-benar bisa menerangi. Pencerahan-pencerahan itu timbul min nurul ma’rifah, dari cahaya ma’rifat, sehingga tahu dalam dan tidaknya makna-makna, persis dan tidaknya karena kekuatan ma’rifah yang ada di dalam hati mereka.

 

Para mufasir (ahli tafsir) memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda, tidak semuanya sama. Perbedaan tingkatan pada kategori ma’rifatnya, pada katagori ke-alimannya.

 

Seseorang yang dikatakan ‘alim atau allamah (sangat alim) itu belum tentu menguasai semuanya, ada yang tabahur dzowahirul ilmi (dalam ilmu-ilmu lahir) saja, ada yang dzowahiril syari’ah saja (lahirnya syari’ah), tapi ada yang tidak menguasai bathinu syari’ah (hakikat syari’ah), bathinul ilmi (dalamnya hakikat ilmu), sehingga banyak yang tidak mengetahui tafsir-tafsir i'syari.

 

Yang sebetulnya tafsir i'syari itu ada di dalam tafsir dzohiri itu sendiri, bukan di luar dzohir, masih ada di dalam syari’ah. Tafsir i'syari itu la yahruju Abada minal syari’ah, selamanya tafsir i'syari itu tidak akan keluar dari syari’ah.

Karena ma’rifatnya beliau-beliau yang luar biasa, sehingga tahu persis luar dalamnya setiap kalimat, setiap ayat dalam al Quran sehingga pengetahuan beliau luas sekali. Tapi semuanya itu tidak berlawanan dan tidak terlepas dengan syari’ah. Saya contohkan, kalau anda punya bekal paling tinggi 3 baterai, ya sudah kemampuan 3 baterai itu jarak sinarnya tidak akan lebih dari tiga baterai, tapi kalau yang mempunyai 10 baterai itu sinarnya sampai ke mana-mana, lebih jauh dari yang hanya tiga baterai. Seperti lampu soklay yang jangkauannya jauh sekali.

 

Seperti hanya sinar lampu yang dipantulkan oleh sebuah lampu yang batrainya kuat mampu melampui jarak yang jauh, demikian pula seorang mufasir, (penafsir al Qur’an) yang ma’rifatnya kuat tidak hanya mampu menafsirkan yang ada didepan saja tapi juga yang jauh bisa mereka jangkau.

Nah qulub, (hati) yang menjadi tempatnya ma’rifat itu saperti itu, mempunyai thobaqah, tingkatan-tingkatan, sebagaimana ma’rifat sendiri memiliki tingkatan seperti yang dimaksudkan oleh imam Fakhrurazi.rhm  dalam kitab tafsirnya (volum 2 hal 250).

Jadi jangan menyalahkan salah satu mufasir, sebab perbedaan penafsiran itu tergantung pada bathiniah beliau-beliau. Yang kedua, selain kuatnya ma’rifatnya beliau para mufasir memiliki wawasan dari segi balaghah atau ilmu-ilmu lain yang termasuk dzohiru syar’i.

Dari perbedaan tingkat mak’rifat para ulama seperti yang telah disebutkan, selain juga perbedaan penguasaan ilmu dzahirnya (fiqih, nahwu, sharaf dsb), maka akhirnya menjadi salah satu sebab perbedaan beberapa qaul, pendapat, dalam tingkatannya.  Seperti qaul yang rajih (unggul) dan qaul yang mu’tamad (dijadikan pegangan). Mengapa pendapat ‘ulama A’ terkadang lebih dikatakan lebih kuat (arjah-rajih) dari pendapat ulama lainnya. Padahal ‘ulama A’ ini umurnya lebih muda dari pada ‘ulama B’.

Adakalanya indikasi kuat penyebabnya, karena meskipun ‘ulama B’ ini aimmah dari golongan imam yang luar biasa ilmunya, tapi ternyata tidak menguasai penuh bathinu syari’ah. Sedangkan yang satu  alamah dhowahiru syari’ah wal bathinu syari’ah, menguasi ilmu-ilmu dzahir disamping juga mengusai ilmu-ilmu bathin.

Seperti contoh Imam  kita Nawawi ra. Imamuna Nawawi itu umur lebih muda dari imam ar Rafii, beliau diberi umur oleh Allah Ta’ala hanya 42 tahun. Memegang jabatan wali qutub umur 39 tahun, Abu Zakaria bin Syarif An Nawawi itu memegang wali qutub selama 3 tahun lebih 4 bulan.

Wali qutub itu peranannya sudah lain lagi, selain dhowahiru syari’ah luar biasa, bathinu syari’ah-nya juga luar biasa lebih jauh, lebih dalam. Maka qaulnya disini ittifaq indal ulama, para ulama sepakat lebih rajah, lebih unggul dibandingken dengan qaul imam ar Rafi’i atau qaul ulama yang lain.

Wakadzalik fi kulli zaman, maujud kaamtsali imamuna Nawawi RA, demikian pula disetiap jaman ada ulama yang memiliki predikat seperti imam Nawawi yang pendapat-pendapatnya selalu lebih unggul.

Jadi menimbang qaul rajih, arjah, sahih, asha, mu’tamad tidak mudah. Tetapi didalam kitab-kitab jelas, seperti imam Syuyuti, Abu Zakaria al Anshori, Imamuna Nawawi, Muhammad bin Ahmad bin Yusuf,  Imamuna Qasyasyi dan tokoh-tokoh yang lainnya yang hebat betul.

Bahkan al-imam Shuyuti itu kalau mau itu beliau sudah mendapatkan pangkat mujtahid mutlaq, posisi tertinggi dalam bermadzhab. Tapi imam Shuyuti tidak mau, tetap ittiba’,  mengikuti madzhab Syafi’i sehingga beliau lebih dikenalmujtahidul madzhab, padahal beliau sendiri sudah bisa untuk mujtahidul mutlaq.

Nah, itu qaul-qaul yang rajih itu ulama-ulama kita dahulu jauh pandangannya, tidak seperti pandangan-pandangan kita-kita ini; seperti mu’tamar, seminar, “ya maaf, saya tidak mengkritik ke situ”, “individunya”, tapi harus diakui kita-kita ini hanya tahu dzohiru Syari’ah saja, ahirnya apa? Ahirnya rebutan “pendapat saya”. Waallahu ‘A’lam

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!