Imam al-'Aini

BADRUDIN al Aini dan Ibnu Hajar al Asqalani dikenal sahabat dekat. Badrud Din Al ‘Aini pernah mengundang Ibnu Hajar agar berkunjung ke ‘Ainatab, dan Ibnu Hajar membacakan untuknya tiga hadits, satu dari Musnad Ahmad dan yang lain dari Sahih Muslim.

Begitu pula ‘Aini, ia datang ke majelis imla’ Ibnu Hajar di Halab (Ibnu Hajar Al Asqalani, Amirul Mukminin fil Hadits, karya Abdus Satar Syaikh, hal 342).

Ibnu Hajar Al Asqalani, lahir di Mesir tahun 773 H, wafat tahun 852 H di negeri yang sama. Seorang hafidz, muhadits, sekaligus faqih bermadzhab Syafi’i. Beliau dikenal penulis Fathul Bari (Syarh Sahih Bukhari), Bulughul Maram, Lisanul Mizan, dll.

Sedangkan Badrud Din Al ‘Aini lahir di ‘Ainatab, meninggal di Mesir pada tahun 855 H, muhadits, muarikh bermadzhab Hanafi, penulis ‘Umdatul Qari (Syarh Sahih Bukhari).

Mereka berdua adalah sahabat dekat. Badruddin Al ‘Aini pernah mengundang Ibnu Hajar agar berkunjung ke ‘Ainatab, dan Ibnu Hajar membacakan untuknya tiga hadits, satu dari Musnad Ahmad dan yang lain dari Sahih Muslim. Begitu pula ‘Aini, ia datang ke majelis imla’ Ibnu Hajar di Halab (Ibnu Hajar Al Asqalani, Amirul Mukminin fil Hadits, karya Abdus Satar Syaikh, hal 342).

Walau mereka sahabat dekat, akan tetapi satu sama lain tetap saling mengkritisi. Ibnu Hajar sendiri telah memeriksa beberapa karya ‘Aini, salah satunya adalah Al Mu’ayid Syaikhul Mahmudi. Ibnu Hajar menemukan kurang lebih 400 bait yang tidak beraturan (Badrud Din Al ‘Aini Li Ma’tuq, hal. 165-168)

Sebagaimana Ibnu Hajar mengkritik tarikh kabir ‘Aini, Aqdul Juman Fi Tarikh Ahluz Zaman. Berkata Ibnu Hajar dalam muqadimah Imba’ul Ghumar: “Aku telah memeriksa tarikh milik Qodhi Badruddin Al ‘Aini, ia menyebutkan bahwa rujukan dalam penulisan tarikhnya adalah Ibnu Katsir[1], akan tetapi setelah Ibnu Katsir berhenti menulis tarikh dikarenakan wafat, maka rujukannya berganti ke Tarikh Ibnu Duqmaq. Hingga ‘Aini menukil satu lembar penuh secara berurutan, malah kemungkinan ia bertaklid terhadap kesalahan yang ada di dalamanya. Dan aku pun terheran-heran, bahwa Ibnu Duqmaq menyebutkan beberapa peristiwa yang ia saksikan, akan tetapi ‘Aini menulisnya apa adanya, padahal peritiwa itu terjadi di Mesir dan dia jauh di ‘Ainatab. Akan tetapi aku tidak menyibukkan diri untuk memeriksa seluruh kesalahannya. Malah aku mengutip darinya apa yang tidak aku dapati, yaitu kejadian-kejadian yang kukira ‘Aini menyaksikan sedangkan aku tidak mengetahuinya.” (Imba’ul Ghumar hal.4-5, vol.1)[2].

Abdus Sattar As Syaikh menyebutkan bahwa Al ‘Aini dalam Umdatul Qari juga mengoreksi karya Fathul Bari, karya Ibnu Hajar, menukil dari buku itu satu-dua lembar, lalu menghitung kesalahan-kesalahannya. Lalu Ibnu Hajar menjawab secara inshaf (lapang dada) dengan dua buku, yang berjudul Al Istinshaf ‘Ala ‘Atha’in Al ‘Aini, dalam buku tersebut disebutkan bahwa ‘Aini mengritik khutbah Ibnu Hajar atas Fathul Bari dan ‘Aini mengutamakan Umdatul Qariatas Syarh Sahih Bukhari sebelumnya, yaitu Fathul Bari. Maka Ibnu Hajar menjawab kritikan tersebut dan para ulama’ yang hidup di masanya pun membenarkan Ibnu Hajar. Buku ke dua Ibnu Hajar yang menjawab kritikan ‘Aini adalah Intiqadhul I’tiradh, yang berisi sanggahan terhadap kritikan ‘Aini terhadap Fathul Bari, akan tetapi Allah memanggilnya sebelum ia menyempurnakan bukunya tersebut (Ibnu Hajar Al Asqalani, karya Abdus Sattar As Syaikh, hal. 345, lihat juga Al Jawahir Wad Dhurar, hal. 224-226).

Walaupun demikian Ibnu tetap mencantumkan nama Al ‘Aini dalam mu’jam syuyukh-nya, Al Majma’ Al Mu’asis Lil Mu’jamil Fahras. Begitu pula ia menulis riwayat ‘Aini di Rafi’il ‘Ishri ‘An Qudhati Mishri-nya, secara ringkas.

Sebagaimana ‘Aini juga mengambil faidah dari Ibnu Hajar, khususnya ketika ia menulis Rijal At Thohawi.

Dinukil dari Hafidz As Sakhawi[3]: “…dan aku menyaksikanya (Al ‘Aini) bertanya kepada syaikh kami ketika belau hendak meninggal tentang masmu’at dari Al Iraqi[4], lalu Ibnu Hajar menjawab: “Hal itu tidak berada dalam buku, akan tetapi aku menulisnya menyertai riwayat hidupnya (Al Iraqi) dalam mu’jamku yang telah aku nukil dari beliau, dan hal itu tidak sedikit, periksalah, jika engkau telah menemukan, kita bias coba mencari sisanya (Badrud Din Al ‘Aini Lima’tuq, hal. 169-170).

Ibnu Hajar juga menulis sebuah risalah yang bernama Al Ajwibah Al Ainiyah ‘Alal As’ilah Al ‘Ainiyah, yang berisi jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan-pertanyaan ‘Aini (Ibnu Hajar Al Asqalani, oleh Abdus Sattar As Syaikh, hal 345).

Ini menunjukkan kemulyaan akhlak kedua imam besar tersebut, walau saling mengkritik akan tetapi keduanya masih saling menerima ilmu satu sama lain.*

 Al-Aini (702 – 855 H)

Sang Qadhi nan Sufi

Al-Aini, yang mempunyai nama asli Badruddin bin Ahmad bin Musa bin Ahmad ini lahir pada bulan Ramadhan tahun 702 H, selang empat tahun sebelum kelahiran Imam al-Maqrizi, di sebuah negara kecil yang bernama Aintab yang terletak antara kota Halb dan Anthokiyah (Suriah).

Di sanalah al-Aini yang kelak menjadi hakim agung mulai mempelajari bahasa Arab dan filologi. Bahasa memang menjadi perhatian utamanya. Di samping memperdalam bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Turki bahkan bisa menguasainya. Kendati demikian ilmu-ilmu lain juga tidak luput dari perhatiannya. Sebab ilmu bahasa tidak lain adalah alat, kunci pembuka ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal ini Imam Suyuthi menuturkan: “al-Aini mempelajari ilmu fiqh, juga sibuk dengan ilmu-ilmu lain. Dan ternyata dia juga mahir bahkan menguasai ilmu tersebut”.

Posisi Al-Aini di Mesir

Imam al-Aini tiba di Kairo pada akhir abad ke-8 H yang kemudian memangku jabatan   penting, yakni sebagai pimpinan hisbah (jabatan yang berkenaan dengan amar ma'ruf   nahi munkar), yang sebelumnya jabatan ini dipegang oleh Syaikh Taqiyuddin al-Maqrizi. Pergeseran jabatan ini rupanya menimbulkan rasa tidak senan di hati Taqiyuddin   pada al-Ainy.

Jerih payah al-Aini mempelajari ilmu bahasa juga ilmu-ilmu lain, khususnya bahasa   Turki dirasakan manfaatnya setelah ia memangku jabatan tersebut. Seringkali ia dipanggil oleh Raja Barsibay yang tidak mahir berbahasa Arab untuk berdialog dan menjelaskan hukum-hukum fiqh dan hukum-hukum syariat. Dari kejadian ini iapun tergerak menerjemahkan kitab sejarah “Uqud al-juman fi tarikh ahl-zaman” karangannya  sendiri ke dalam bahasa Turki.

Dan hasil hubungan baiknya dengan para pembesar dan Raja-Raja Mamalik seperti   Faraj bin Barquq dan Asyrof Barsibay, menjadikannya orang yang mempunyai pengaruh besar pada jabatannya. Dan akhirnya pada masa Raja Barsibay, al-Aini memegang dua jabatan yaitu Alhisbah (menggantikan Taqiyuddin al-Muqrizi ) dan Qodli al-Qudlot al-Hanafiyyah selama 12 tahun berturut-turut. Dalam hal ini al-Sakhowi menuturkan   bahwa sejak dahulu dalam sejarah administrasi di Mesir, tidak ada yang bisa merangkap jabatan seperti al-Aini.

Meskipun hubungan al-Aini dengan para raja dan penguasa sangat kokoh dan kuat,   namun tidak demikian halnya hubungannya dengan para ulama. Hubungan al-Aini   dengan mereka tidak di dasarkan pada kecocokan dan penghormatan timbal balik.  

Dalam hal ini Musthofa Zubadah berkomentar: "Boleh jadi kedekatan al-Aini dengan raja-raja dan penguasa adalah salah satu sebab dari ketidakcocokan yang   berkepanjangan antara hakim agung ini dengan al-Maqrizi dan Ibnu Hajar. Hal ini karena al-Aini sendiri adalah orang yang menggantikan kedudukan al-Maqrizi sebagai pimpinan hisbah. Adapun ketidakkecocokannya dengan ibnu Hajar adalah karena al-Ainy menukil banyak pendapat dan keterangan yang tertuang dalam kitab ibnu Hajar Fathul Bary, dan dia tidak segan menentang pendapat ibnu Hajar ''.

Lahiriyah boleh beda bahkan berseberangan atau bertentangan. Namun ada sisi   kesamaan antara ulama'-ulama' itu. Umat adalah obyek mereka melayani, membimbing   menuju Islam yang benar. Keilmuan dengan diwujudkan dalam bentuk belajar, mengajar dan berkarya adalah perhatian mereka yang utama. Kalau Ibn Hajar mempunyai syarah   Bukhori juga kitab-kitab yang lain, al-Aini juga banyak meninggalkan karya,   diantaranya; Syarh al-Syawahid, Syarh al-Ma'ani wa al-'Atsar, Syarh al-Hidayah, Syarh al-kanz, Syarh al-mujma', Syarh Duror al-Bihar, Thobaqoh al-Hanafiyah dan sebagainya.

Wafatnya al-Aini

Imam al-Aini wafat tahun 855 H dan dimakamkan di madrasahnya, di sekitar komplek   Azhar. Dan ini juga titik kesamaan antar ulama' bahkan semua manusia, kematian. Pada saat itulah ketulusan amal manusia yang hanya bisa menyelamatkannya. Pada saat itulah hanya satu qadhi, hakim yang memutuskan apakah diri termasuk golongan orang yang bahagia atau celaka. Dialah hakim yang Maha Agung Allah SWT.

Letak Geografi Masjid al-Aini.

Masjid al-Aini terletak di belakang masjid al-Azhar, akhir jalan Muhammad Abduh.   Masjid ini berbentuk memanjang 5x8 m. Di situ terdapat musolla dan ruangan yang   terdapat dua makam, yaitu makam al-Aini dan Ibnu Hajar al-Qastalany. Di belakang   masjid terdapat kamar kecil yang di atasnya terdapat asrama bagi murid murid al-Azhar. Dan masjid yang senantiasa mengingatkan imam agung ini mempunyai menara   bercirikan bangunan dinasti Mamalik.

Wallahu a’lam.