Abu Hafshin Al-Haddad

BAGAIMANA ABU HAFSHIN BIN HADDAD BERTAUBAT

Ketika masih remaja, Abu Hafshin bin Haddad jatuh cinta kepada seorang gadis pelayan. Ia sedemikian tergila-gila sehingga tak dapat hidup dengan tenang.

“Ada seorang dukun Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Nishapur. Ia tentu dapat menolongmu”, sahabat-sahabatnya menyarankan.

Maka pergilah Abu Hafshin menemui dukun Yahudi itu dan menerangkan masalah yang sedang dihadapinya.

Si Yahudi menyarankan: “Selama empat puluh hari janganlah engkau melakukan shalat, dengan cara bagaimana pun juga janganlah kau patuhi perintah Allah, dan jangan lakukan perbuatan-perbuatan baik. Selama itu pula jangan engkau sebut-sebut nama Allah dan sama sekali jangan memikirkan hal-hal yang baik. Setelah semua ini engkau lakukan, barulah aku sanggup dengan sihirku membuat kehendakmu itu tercapai”.

Selama empat puluh hari Abu Hafshin melaksanakan nasehat si dukun. Setelah itu si dukun membuatkan sebuah jimat untuknya, tetapi ternyata juga masih tak ada hasilnya.

Si Yahudi berdalih: “Sudah pasti bahwa selama ini engkau pernah melakukan perbuatan baik. Jika tidak, tentu tujuanmu itu telah tercapai”.

“Tak ada pelanggaran yang pernah kulakukan”, Abu Hafshin membela diri. “Satu-satunya kebajikan yang kuingat adalah menyepak sebuah batu ketika aku datang ke sini agar tak ada orang yang tersandung karenanya” .

“Janganlah menjengkelkan Allah yang perintah-perintah-Nya hendak engkau tentang selama empat puluh hari. Dia takkan menyia-nyiakan kemurahan-Nya walau untuk kebajikan kecil seperti yang telah engkau lakukan”, cela si Yahudi.

Kata-kata itu mengobarkan api taubat di dalam dada Abu Hafshin, bahkan sedemikian berkobarnya sehingga ia bertaubat melalui si Yahudi itu.

Abu Hafshin terus melakukan usahanya sebagai pandai besi, dan menyembunyikan keajaiban yang telah terjadi terhadap dirinya itu. Setiap hari ia memperoleh uang satu dinar. Dan setiap malam pula uang satu dinar itu diberikannya kepada orang-orang miskin, atau secara sembunyi dimasukannya ke dalam kotak surat di rumah para janda. Kemudian, bila waktu isya’ telah tiba, ia pun pergi mengemis dan dengan uang yang diperolehnya melalui cara ini ia berbuka puasa. Kadang ia mengumpulkan bawang atau lainnya sisa-sisa yang terdapat di kamar cuci umum, lalu dijadikannya sebagai santapannya.

Demikianlah perilaku Abu Hafshin untuk beberapa lama. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat “Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya …… “

Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin sehingga ia tak sadarkan diri. Sehingga, ketika itu dipertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin tersadar, betapa Abu Hafshin menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.

“Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?” seru mereka.

“Palu!” Abu Hafshin memberi perintah.

“Tuan, apakah yang harus kami palu?” tanya mereka, “besi ini telah bersih”.

Barulah Abu Hatshin sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: “Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?” Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.

“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia, akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku”

Sesudah itu, Abu Hafshin menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi.

ABU HAFSHIN BIN HADDAD DAN JUNAID

Abu Hafshin bertekad hendak ke tanah suci menunaikan ibadah haji, tapi ia tidak dapat membaca dan berbahasa Arab. Ketika sampai di kota Baghdad, murid-murid sufi saling berbisik.

“Sangatlah memalukan apabila syeikh dari segala syeikh di Khurasan masih memerlukan juru bahasa untuk memahami bahasa-nya sendiri,’.

Junaid menyuruh murid-muridnya untuk menyongsong kedatangan Abu Hafshin. Abu Hafshin sendiri menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh “para sahabat” itu dan segera ia berbicara dalam bahasa Arab sehingga orang-orang Baghdad itu kagum akan kemurnian bahasa Arabnya.

Beberapa cendekiawan berkumpul di sekelilingnya dan bertanya tentang cinta yang menyebabkan seseorang rela mengorbankan diri. ‘

“Engkau lebih pintar berbicara, jawablah pertanyaan mereka itu”, `Abu Hafshin berkata kepada Junaid.

“Menurut pendapatku, Junaid memulai, “Apabila kita benar-benar mengorbankan diri sendiri, maka kita tidak beranggapan bahwa kita telah mengorbankan diri dan membanggakan segala perbuatan yang telah kita lakukan”.

“Hebat sekali”, seru Abu Hafshin. “Tetapi menurut pendapatku, mengorbankan diri-sendiri berarti berlaku adil kepada orang lain dan tidak mengharap agar orang lain berlaku adil kepada diri kita sendiri”

“Laksanakan petuah ini, hai sahabat-sahabat”, Junaid berkata kepada mereka.

“Pelaksanaan yang benar, lebih sulit dari sekedar kata-kata”, Abu Hafshin menandaskan.

Ketika mendengar kata-kata Abu Hafshin ini, Junaid berseru kepada sahabat-sahabat:

“Bangkitah sahabat-sahabat! Di dalam pengorbanan diri sendiri, Abu Hafshin melebihi Adam beserta anak cucunya”.

ooo

Abu Hafshin menanamkan rasa hormat dan disiplin ke dalam diri sahabat-sahabatnya. Tak seorang pun di antara murid-muridnya yang berani duduk di depannya dan menatap matanya. Di depannya mereka selalu berdiri dan tidak akan duduk sebelum dipersilahkan. Abu Hafshin sendiri duduk di antara mereka bagaikan seorang sultan.

Melihat hal ini Junaid menegurnya: “Engkau mengajari sahabat-sahabatmu tingkah laku seperti menghadap sultan”.

“Engkau hanya melihat apa yang terlihat, tetapi bukankah dari alamat surat saja kita dapat menduga apa yang tertulis di dalamnya?” jawab Abu Hafshin.

Setelah itu, Abu Hafshin melanjutkan: “Suruhlah sahabat-sahabatmu memasak kaldu dan halwa”.

Junaid lalu menyuruh seorang muridnya memasak kaldu dan halwa. Setelah selesai, Abu Hafshin berkata:

“PanggilIah seseorang kuli dan letakkan makanan ini ke atas kepalanya. Kemudian suruh ia berjalan sambil membawa makanan ini sampai ia letih dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Di depan rumah siapa pun ia berhenti, suruh ia memanggil si empunya rumah. Dan siapa saja yang membuka pintu, ia berikan saja kaldu dan halwa ini kepadanya”.

Si kuli mematuhi segala perintah ini. Ia pun berjalan sampai kelelahan dan tak sanggup Iagi meneruskannya. Makanan-makanan itu diletakkannya di depan sebuah rumah, kemudian ia memanggil penghuni rumah itu. Ternyata pemilik rumah itu adalah seorang Ielaki yang telah tua, ia menyahut:

“Jika engkau membawa kaldu dan halwa, barulah kubukakan pintu”. ·

“Aku membawa kaldu dan halwa”, jawab si kuli.

“Masuklah”, lelaki itu mempersilahkan setelah membukakan pintu.

“Aku sangat heran”, belakangan si kuli mengisahkan kejadian itu.

“Aku bertanya kepada lelaki tua itu, ’Apakah yang telah terjadi?

Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku membawa kaldu dan halwa?’.

Orang tua itu menjawab, ’Ketika aku sedang berdoa tadi malam, teringat olehku bahwa anak-anakku sudah lama meminta kaldu dan halwa kepadaku. Aku tahu bahwa doaku tadi malam tidaklah percuma”.

ooo

Ada seseorang murid yang senantiasa melayani Abu Hafshin dengan sangat takzim. Junaid sering memperhatikan si murid karena senang melihat sikapnya. Junaid bertanya kepada Abu Hafshin:

“Sudah berapa tahunkah ia berada di bawah bimbinganmu?”

“Sepuluh tahun”, jawab Abu Hafshin.

“Tingkah lakunya tiada bercela dan Sikapnya sopan. Benar-benar; seorang pemuda yang mengagumkan”, Junaid memberi penilaian.

“Ya”, jawab Abu Hafshin. “Sudah tujuh belas ribu dinar disumbangkannya untuk tujuan kita ini, kemudian dipinjamnya pula tujuh belas ribu dinar untuk keperluan yang sama. Walau demikian, ia masih belum berani juga mengajukan satu pertanyaan pun kepada kami”.

ooo

Kemudian Abu Hafshin berangkat mengarungi padang pasir. Inilah pengisahan mengenai pengalamannya di padang pasir itu;

Di tengah padang pasir itu, aku bertemu dengan Abu Thurab dan kami lalu berjalan bersama-sama. Sudah enam belas hari aku tak makan ketika terlihat olehku sebuah telaga, aku ingin minum dan melangkah ke arab telaga itu. Tetapi aku berhenti dan merenung.

“Apakah yang menyebabkan engkau berhenti?”, Abu Thurab bertanya kepadaku.

“Aku ingin menyaksikan, mana yang akan menang di antara pengetahuan dengan kepastian, sehingga dapat kupilih yang menang di antara keduanya. jika kemenangan diperoleh oleh pengetahuan, air telaga ini akan kuminum, tetapi jika kepastian yang menang, aku akan terus berjalan”, jawabku.

“Engkau pasti akan mendapat kemajuan”, Abu Thurab berkata padaku.

ooo

Ketika sampai di kota Mekkah, Abu Hafshin menyaksikan jamaah-jamaah yang miskin dan terlunta-lunta, Ia ingin sekali memberikan sesuatu kepada mereka tetapi tak ada yang dimilikinya dan oleh karena itu ia sangat gelisah.

Kegelisahan ini sedemikian mencekam hatinya dan ia tak sanggup meredakannya, akhirnya dipungutnya sebuah batu dan ia berteriak;

“Demi keagungan-Mu, jika Engkau tidak memberikan sesuatu kepadaku akan kuhancurkan semua lampu-lampu di dalam masjid itu!”

Kemudian ia mengeliling Ka’bah. Tak lama kemudian datanglah seorang lelaki menghampiri dan memberinya sekantong emas yang kemudian dibagi-bagikannya kepada orang-orang ’miskin tersebut.

ooo

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Abu Hafshin kembali ke Baghdad, Sahabat-sahabat Junaid menyongsong kedatangannya.

“Oleh-oleh apakah yang kau bawa untuk kami?”, tanya Junaid kepadanya.

“Yang hendak kukatakan inilah oleh-olehku”, jawab Abu Hafshin. “Mungkin sekali di antara sahabat-sahabat kita ada yang, tidak sanggup menghadapi kehidupan ini seperti yang seharusnya. Jika tingkah lakunya kepadamu kurang cocok, carilah ke dalam dirimu sebuah alasan untuk memaafkannya, lalu maafkanlah kesalahannya itu. Bila debu salah faham tak dapat dihilangkan karena maaf itu, sedang kau berada di pihak yang benar, cari pula alasan untuk memaafkannya lalu maafkan perbuatannya itu. Apabila debu salah faham tetap tak dapat dihilangkan, cari pula alasan lain walau sampai empat puluh kali. Apabila debu itu tak dapat dihilangkan sedang engkau berada di pihak yang benar, dan keempat puluh alasan itu tidak dapat mengimbangi kesalahan yang telah dilakukannya terhadap dirimu, maka duduklah dan berkatalah kepada dirimu sendiri: ’Betapa keras kepala dan betapa kelam hatimu ini! Betapa kesat batinmu, betapa buruk kelakuanmu, betapa angkuhnya engkau! Saudaramu talah mengajukan empat puluh alasan agar kesalahannya dimaafkan, tetapi engkau tidak dapat menerima alasan-alasan itu dan tetap membenci dia. Aku berlepas tangan terhadapmu. Engkau tahu apa yang kau inginkan, berbuatlah sekehendakmu!”

Junaid sangat kagum mendengar kata-kata ini.

“Tetapi siapakah yang mempunyai kekuatan seperti itu?” Junaid bertanya kepada dirinya sendiri.

ABU HAFSHIN DAN SYIBLI

Selama empat bulan Syibli menerima Abu Hafshin sebagai tamu. Setiap hari ia menyajikan aneka macam santapan  dan berbagai penganan kecil.

Ketika pamit, Abu Hafshin berkata kepada Syibli:

“Jika engkau datang ke Nishapur akan kuajarkan kepadamu cara menjamu tamu dan kemurahan hati yang sejati”.

“Apakah kesalahan yang telah kulakukan?”, Syibli bertanya.

“Engkau terlampau merepotkan dirimu. Jamuan yang berlebihan tidaklah sama dengan kemurahan hati.  Engkau harus meladeni tamu seperti meladeni dirimu sendiri. Dengan demikian kedatangan tamu tidak merupakan beban kepadamu dan kepergiannya tidak merupakan alasan untuk merasa lega. Jika engkau terus menjamu tamu secara berlebihan, maka kedatangannya akan engkau anggap sebagai beban dan kepergiannya sebagai kelegaan. Seorang yang beranggapan demikian terhadap tamunya, tak dapat dikatakan bersifat pemurah”.

Ketika Syibli datang ke Nishapur, ia menginap di rumah Abu Hafshin. Semua tamu berjumlah empat puluh orang, dan sewaktu malam tiba, Abu Hafshin menyalakan empat puluh satu buah pelita.

“Bukankah engkau sendiri mengatakan bahwa kita jangan berlebihan?”, Syibli menegur Abu Hafshin.

“Jika demikian, padamkanlah olehmu lampu-lampu itu”.

Syibli menuruti, tetapi betapa pun ia berusaha hanya satu lampu yang dapat dipadamkannya.

“Syeikh, apakah artinya semua ini?” Syibli kepada Abu Hafshin.

“Kalian adalah empat puluh utusan Allah, karena seorang tamu adalah seorang utusan Allah. jadi wajarlah apabila demi Allah aku menyalakan sebuah pelita untuk masing-masing di antara kalian dan sebuah untuk diriku sendiri. Keempat puluh pelita yang kunyalakan demi Allah itu tidak sanggup engkau padamkan, tetapi satu pelita yang kunyalakan untuk diriku sendiri itu berhasil engkau padamkan. Segala hal yang telah kau lakukan di Baghdad itu dahulu, engkau lakukan demi diriku, tetapi yang kulakukan di sini, kulakukan demi Allah, jadi yang kau lakukan dahulu itu merupakan hal yang  berlebih-lebihan tetapi yang kulakukan ini bukan”.[]

BIBLIOGRAFI

As-SuIami, op. cit., halaman 114 – 122.

Abu Nu’aim, op. cit., V, 229 – 230.

AI-Khatbib, op.cit., XII, 220 – 223.

AI-Qushairi, op. cit., halaman 19.

Hujwiri, op. cit., halaman 123 – 125.

Al-Yafi’i, op. cit., II, 179.

Jami, op. cit., halaman 57 – 58.

Ibnul ’Imad, op. cit., Il, 150.

CATATAN MENGENAI ANEKDOT-ANEKDOT

“Bagaimana Abu Hafshin bin Haddad Bertaubat”: T.A., I, 323 – 324.

Sumbernya adalah karya Hujwiri, halaman 124. “Akan datang kepada mereka

. ….. ” adalah aI-Qur’an, 39 : 48.

“Abu Hafshin adalab Junaid”: T.A., I, 326 – 328. Lihat karya aI-Khathib, XII, 221 — 222; dan karya Hujwiri,  halaman 123 – 124. Sehubungan dengan berbagai peristiwa lihatlah karya al-Qushairi, halaman 97, 151, 157.

“Abu Hafshin dan Syibli”: T.A., I, 328 – 329.

Sumber Tulisan:

Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.