Benarkah Tasawuf Hanya Amalan Wali?

Al-Kisah no.16/2004

Assalamu’alaikum Wr Wb

Saya bersyukur adanya rubrik Konsultasi Spiritual yang diasuh Habib Luthfi bin Ali bin Yahya. Hal ini terus terang dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi Al Baghdadi. Salam hormat saya haturkan kepada Habib Luthfi. 

Didaerah saya ada penceramah yang mengatakan salat, puasa, zikir, selawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang seperti kita kenal. Benarkah demikian? 

Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fiqih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan para wali. Sedangkan kita orang awam bukan wali. 

Karena itu kami memohon petunjuk Habib Luthfi. Apa hukum bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan  tarekat lebih dari satu? Atas jawaban Habib, kami ucapkan terimakasih. 

 

Wassalum’alaikum Wr Wb. 

SALEH,

Jln. Mendawai-Palangka Raya

 

 

Wa’alaikumsalam Wr Wb 

Semoga ananda dan keluarga dilindungi Allah SWT. Perlu ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Salat,zakat dan haji adalah syariatillah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariatillah. Yang dimaksud disini adalah tarekatul ihsan-tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. 

Suatu hari, bertanya sahabat Ali kepada Baginda Nabi,”Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik mendekatkan diri kepada Allah.” (karena pada saat bertanya ada satu keterangan tentang bab iman, Islam dan ihsan). Kata Rasulullah, bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Maha Kuasa. Mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian dihati kita? 

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau takbiratul ihram “Allahu Akabar” pada waktu itu saja ingat seolah-olah menghadap Allah. Tapi setelah membaca Iftitah, bahkan waktu membaca Al Fatihah, kadang hati dan pikiran kita terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah SWT.

Menurut syariat, salat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur bagaimana wudunya tidak batal, pakaiannya yang dipakai itu sah. Itu cukup memenuhi kriteria ‘syariat’. Sedangkan di dalam kriteria kacamat ‘tarekat’, tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah SWT, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. 

Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? 

“ Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau.” Dan waktu bersembah sujud merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah itulah tarekat. 

Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajar Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah Rasulullah bersabda, “Pejamkan matamu duduk yang baik dengan bersila.” Lalu ia ditalkin oleh baginda Nabi, “Laa ilaha illallah,  Laa ilaha illallah, Laa ilaha illallah  Muhammadun Rasulullah, SAW”. Dari situ lahirlah yang dikenal  ijazah zikir/ba’iat, seperti yang diajarkan Baginda Nabi SAW. 

Jika saja menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah SAW mengajarkan hal itu kepada Sayidina Ali.kwj ? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun Sahabat yang lain.(ketinggian derajatnya disisi Allah dan Rasul-Nya) 

Jadi harus dipisah, mana syariat mana tarekat. Dalam syariat, berwudhu hanya sampai batas berwudhu, yang memenuhi syarat dan rukunnya saja. Menjaga wudhu agar tidak batal ; kentut, atau bersentuhan dengan selain muhrimnya. Itu syariat. 

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekedar untuk shalat. Bagaimana akhlak orang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat apalagi menggunakan air wudhu. 

Selanjutnya, yang dimaksud dengan Al Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah Saw. Ada jalurnya, istilahnya ada sanad atau silsilah. Ada tali temali, dari Baginda Nabi, sahabat lalu kepada aulia-aulianya. 

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fiqih, harus diketahui bahwa ilmu fiqih harus dipelajari terlebih dahulu oleh orang yang mau belajar ilmu Tasawuf/Tarekat. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. 

Tarekat tasawuf dan tarekat dzikir itu hal yang berbeda. Kita harus mencapai tarekat dzikir agar mencapai derajat ‘Ihsan’. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat dengan Allah (kaum Muqarabbin). Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai pemahamannya dengan pengetahuan yang terbatas hanya syariat saja. 

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita mencapai ihsannya dahulu. 

Agar tidak tergolong manusia yang lalai kepada Allah Ta’Ala, termasuk untuk menyambung hubungan antara salat Subuh dan salat Zuhur, salat Zuhur dan salat Ashar, salat Ashar dan salat Maghrib, salat Maghrib dan salat isya, kita mesti bertanya, ditengah-tengah salat itu ada apa, kita berbuat apa. Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak ? 

Nah, tarekat berperan disitu. Yaitu, agar ada kaitan misalnya antara subuh dan zuhur. Lantas menerapkannya pada realitas perbuatan kita terhadap sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar Allah hanya pada saat mengucap Allahu Akbar, tabiratul ihram pada sholat belaka. 

Kalau anda bertanya apa hukum bertarekat, ada dua jawaban. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak zikir, maka itu hukumnya sunah. Kedua, kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut, dan dengki, dalam hal ini hukumnya menjadi wajib. 

Bai’at dalam tarekat adalah mengambil janji/sumpah setia. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi SAW. Pertama, yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng/remeh sesuatu amalan. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apapun.

Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Awliya-Nya (para Wali Allah) dan ulama-Nya, menta’ati Al Quran dan hadis, mentaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut bai’at. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya SAW. 

Mengamalkan awrad atau wirid sebaiknya yang diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan(kabar, seperti yang tertulis di kitab/buku-buku). Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan bai’at, dan tidak melalui guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa ataupun membaca kitab tanpa guru, kadang akan salah memaknainya. Termasuk tujuan yang ada didalam kitab. Karena kita hanya memahami secara pribadi, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalu guru, supaya kita tahu benar maksud-maksudnya (atas apa yang tertulis tertuang dalam kitab tersebut). 

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus silahkan saja. Kalau tidak, tolong satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidak stabilan. Itulah maksud para ulama menduakan tarekat. Disinilah masalahnya. Semoga anda puas.  

 

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah