I. Risalah Nasihat

Mukadimah

             Aku mendengar dari orang yang kupercaya tentang sejarah perjalanan hidup Syaikh al-Imam az-Zahid. Se­moga Allah senantiasa memberikan taufik pada beliau dan  memeliharanya dalam menjalankan risalah agama­Nya. Sejarah perjalanan hidup beliau memperkuat keinginanku untuk menjadi saudaranya di jalan Allah Swt. karena mengharapkan janji yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya yang saling mencinta.

            Persaudaraan tidak harus dengan bertemu muka dan berdekatan secara fisik, tapi yang dibutuhkan adalah adanya kedekatan hati dan perkenalan jiwa. Jiwa-jiwa merupakan para prajurit yang tunduk; jika telah saling mengenal, jiwa-jiwa itu pun jinak dan menyatu. Oleh karenanya, aku ikatkan tali persaudaraan dengannya di jalan Allah Swt.. Selain itu, aku harap beliau tidak mengabaikanku dalam doa-doanya ketika sedang berkhal­wat serta semoga beliau memintakan kepada Allah agar diperlihatkan kepadaku bahwa yang benar itu benar dan aku diberi kemampuan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta aku diberi kemampuan untuk meng­hindarinya. Kemudian aku dengar beliau memintaku untuk memberikan keterangan berisi petuah dan nasihat serta uraian singkat seputar landasan-landasan akidah yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf.

 

Menasihati Diri

             Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pan­tas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran un­tuk diri sendiri. Siapa yang tak sampai pada nisab, bagai­mana ia akan mengeluarkan zakat? Orang yang tak me­miliki cahaya tak mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt. mewahyukan kepada Isa bin Mar-yam, "Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malu­lah kepada-Ku." Nabi kita saw bersabda, "Aku tinggal­kan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam."

            Pemberi nasihat yang berbicara adalah Alquran, se­dangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagai­mana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasi­hati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenar­kan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pa­da diri ini, "Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru na­sihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di­turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?" Ia menjawab, "Benar." Allah Swt. berfirman, "Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-­apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal per­buatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan" (Q.S. Hud: 15-16).

            Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena eng­kau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak me­nyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cin­ta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiur­kan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ke­timbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengam­bil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, "Pem­beri nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberi­tahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, 'Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberi­tahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan' (Q.S. al-Jumuah: 8)." Kukatakan padanya, "Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, 'Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada me­reka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.' (Q.S. asy­Syuara: 205-206)."

            Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, "Engkau benar." Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagai­mana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat se­bagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk meng­hadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengum­pulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, pa­dahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Kukatakan padanya, "Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perleng­kapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahanan­mu menghadapi panas?" Ia menjawab: "Benar." "Kalau begitu", kataku, "Bermaksiatlah kepada Allah sesuai de­ngan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan ber­siap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana." Ia menjawab, "Ini merupakan kewa­jiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu." Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, "Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah."

            Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat ke­matian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus. Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh ka­rena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa.Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Sean­dainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.

            Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasu­llah saw ketika beliau bersabda,"Salatlah seperti salat­nya orang yang akan berpisah (dengan dunia)." Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas. Itulah nasihat yang berguna.

            Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mem­persiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan  selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.

            Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

 

Akidah Seorang Mukmin

             Kemudian, seorang mukalaf minimal harus meyakini tafsiran dari kata-kata "tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah." Jika ia membenarkan Rasul saw., maka ia juga harus membenarkan beliau dalam hal sifat-sifat Allah Swt. Dia Zat Yang Maha hidup, Berkuasa, Mengetahui, Berbicara, dan Berkehendak Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Namun, ia tak harus meneliti hakikat sifat-sifat Allah tersebut serta tak harus mengetahui apakah kalam dan ilmu Allah bersifat qadim atau baru. Bahkan, tak jadi masalah walaupun hal RI tak pernah terlintas dalam benaknya sampai ia matt da lam keadaan mukmin. Ia tak wajib mempelajari dalil dalil yang dikemukakan oleh para ahli kalam. Selama hatinya meyakini al-Haq, walaupun dengan iman yang tak disertai dalil dan argumen, ia sudah merupakan mukmin. Rasulullah saw. tidak membebani lebih dari itu.

            Begitulah keyakinan global yang dimiliki oleh bangsa Arab dan masyarakat awam, kecuali mereka yan berada di negeri-negeri dimana masalah-masalah tentang qadim dan barunya kalam Allah, serta istiwa dan nuzul Allah, ramai diperdebatkan. Jika hatinya tak terlibat dengan hal itu dan hanya sibuk dengan ibadah dan amal salehnya, maka tak ada beban apa pun baginya. Namun, jika ia juga memikirkan hal itu, maka minimal ia harus mengakui keyakinan orang-orang salaf yang mengatakan bahwa Alquran itu qadim, bahwa Al­quran adalah kalam Allah, bukan makhluk, bahwa is­tiwa Allah adalah benar, bahwa menanyakan tentangnya adalah bidah, dan bahwa bagaimana cara istiwa itu ti­dak diketahui. Ia cukup beriman dengan apa yang di­katakan syariat secara global tanpa mencari-cari hakikat dan caranya. Jika hal itu masih tidak berguna juga, di­mana hatinya masih bimbang dan ragu, jika memung­kinkan, hendaknya keraguan tersebut dihilangkan de­ngan penjelasan yang mudah dipahami walaupun tidak kuat dan tidak memuaskan bagi para ahli kalam. Itu sudah cukup dan tak perlu pembuktian dalil. Namun, lebih baik lagi kalau kerisauannya itu bisa dihilangkan dengan dalil yang sebenarnya. Sebab, dalil tidak sem­purna kecuali dengan memahami pertanyaan dan jawab­annya. Bila sesuatu yang samar itu disebutkan, hatinya akan ingkar dan pemahamannya tak mampu menang­kap jawabannya. Sebab, sementara kesamaran tersebut tampak jelas, jawabannya pelik dan membingungkan sehingga sukar dipahami akal. Oleh karena itu, orang­-orang salaf tak mau mengkaji dan membahas masalah ilmu kalam. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan masyarakat awam yang lemah.

            Adapun orang-orang yang sibuk memahami berba­gai hakikat, mereka memiliki telaga yang sangat mem­bingungkan. Tidak membicarakan masalah ilmu kalam kepada orang awam adalah seperti melarang anak kecil mendekati pinggir sungai karena takut tenggelam. Se­dangkan orang-orang tertentu diperbolehkan karena me­reka mahir dalam berenang. Hanya saja, ini merupakan tempat yang bisa membuat orang lupa diri dan mem­buat kaki tergelincir, dimana, orang yang akalnya lemah merasa akalnya sempurna. Ia mengira dirinya bisa me­ngetahui segala sesuatu dan dirinya termasuk orang hebat. Bisa jadi, mereka berenang dan tenggelam dalam lautan tanpa ia sadari. Hanya segelintir orang saja dari mereka yang menempuh jalan para salaf dalam meng­imani para rasul serta dalam membenarkan apa yang diturunkan Allah Swt. dan apa yang diberitakan Ra­sul-Nya dimana mereka tak mencari-cari dalil dan ar­gumen. Melainkan, mereka sibuk dengan ketakwaan.

            Demikianlah, ketika Nabi saw. melihat para sahabatnya sibuk berdebat, beliau marah hingga memerah kedua pipi beliau dan berkata, "Apakah kalian diperintahkan untuk ini. Kalian mengumpamakan sebagian isi Kitab­ullah dengan yang lain. Perhatikan! apa yang Allah pe­rintahkan pada kalian kerjakanlah, sedangkan yang dilarang kalian tinggalkan." Ini merupakan peringatan terhadap manhaj yang benar. Lengkapnya, hal itu kami jelaskan dalam kitab Qawa'id al-Aqaa'id.